Logo YSK Satu Keadilan

Hentikan Persekusi Terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Polisi Jangan Suburkan Intoleransi!

,

Tindakan Kepolisian Resort (Polres) Depok, bersama dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP) Depok, menggeledah dan menyegel Rumah Ibadah, yakni Masjid Al-Hidayah yang dibangun dan dikelolah oleh Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Depok, yang terletak di Kelurahan Sawangan Baru, Kecamatan Sawangan, Kota Depok (Sabtu, 3 Juni 2017), adalah ancaman nyata bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang di promosikan oleh Pemerintah “katanya” menghargai hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hak tersebut mestinya dilindungi oleh konstitusi dan berbagai instrumen hukum hak asasi manusia. Perintah Kepala Kepolisian RI kepada jajarannya untuk melawan segala bentuk persekusi selama ini, telah disalahtafsirkan oleh Polres Depok, sehingga JAI kembali menjadi korban persekusi itu sendiri.

“Tindakan aktif aparatur negara dalam kasus-kasus intoleransi ini, adalah ironi ditengah masyarakat mulai fasih bicara tentang hak asasi manusia. Memperlakukan semua manusia secara setara tanpa diskriminasi oleh karena latar belakang apapun, seperti agama ataupun kepercayaan”, kata Sugeng Teguh Santoso, S.H., Ketua Yayasan Satu Keadilan.

Penggeledahan dan penyegalan yang dilakukan secara bersama-sama, pada Sabtu, 3 Juni 2017, berlangsung di malam hari hingga dini hari tanggal 4 Juni 2017. Mengabaikan prosedur penegakan hukum sebagaimana mestinya, dan “menabrak” prinsip-prinsip hak asasi manusia. Penyitaan terhadap property JAI telah mendudukkan polisi dalam struktur pelanggaran atas hak beragama, berkeyakknan dan beribadah yang selama ini dilanggengkan oleh Pemkot Depok.

Kami menemukan dugaan penggunaan kekuasaan yang eksesif oleh Polri dalam proses penggelaledahan dan penyitaan di Mesjid Al Hidayah. Indikasinya ada penggunaan kekuasaan yang eksesif oleh Polri adalah melampaui upaya yang dibutuhkan. Misalnya penggunaan upaya paksa dan pengerahan kekuatan pasukan yang berlebihan untuk menyita CCTV yang terpasang di lokasi mesjid. Anggota Kepolisian yang datang lebih 20 (dua Puluh) orang, memaksa masuk ke dalam sekretariat JAI Depok untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan.

“Kepada salah satu jamaah, hanya ditunjukkan surat tugas dan surat izin penggeledahan, tanpa menyampaikan salinan surat penggeledahan tersebut. Bahkan, ada upaya penggeledahan badan kepada salah satu jamaah dengan alasan mencari kunci sekretariat, namun oleh “korban” ditolak, sehingga tidak dilakukan. Tindakan ini tidak prosedural dan melanggar hukum”, ujar Sugeng.

Jika yang dilakukan oleh Polres Depok adalah bagian dari proses penegakan hukum, maka penegakan hukum harusnya dengan mengarusutamakan hak asasi manusia dan taat hukum. Menghargai dan menghormati hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan JAI Depok.

Bahkan, salah satu pemuda JAI Depok, AB, sempat ditangkap dan dibawa ke Polres. Namun kemudian dilepaskan setelah dijemput oleh Tim Hukum dari Yayasan Satu Keadilan.

Untuk diketahui, Rumah Ibadah JAI Depok telah beberapa kali disegel oleh Pemkot Depok. Pertama tahun 2011. Padahal, Rumah Ibadah tersebut telah memiliki Izin Mendirikan Bangunan Nomor: 648.12/4448/IMB/DTB/2007. Sejak saat itu, jamaah beribadah dengan berpindah-pindah. Dimana-mana mereka dilarang. Hingga tetap berupaya memperjuangkan hak atas Rumah Ibadah tersebut.

Oleh karena itu, Yayasan Satu Keadilan mendesak:

  1. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, agar segera mengambil tindakan tegas terhadap Polres Depok, yang diduga terlibat aktif menjadi aktor intoleran terhadap JAI Depok dengan dalih penegakan hukum. Dan, memerintahkan kepada Propam Mabes Polri untuk segera melakukan penyelidikan atas dugaan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Polres Depok.
  2. Pemerintah Kota Depok, agar segera mencabut berbagai peraturan dan keputusan terhadap pelarangan kegiatan JAI Depok, yang menjadi salah satu sebab sikap intoleransi terhadap JAI Depok;
  3. Mengecam segala bentuk sikap dan tindakan yang tidak menghargai dan menghormati hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, seperti stigma sesat, kafir, dan lain sebagainya yang merendahkan harkat dan martabat manusia, khususnya kepada JAI Depok.

Demikian siaran pers ini kami sampaikan, terima kasih.

Bogor, 4 Juni 2017

Yayasan Satu Keadilan

Sugeng Teguh Santoso, S.H.
Ketua

CP: 08158931782 (Sugeng)

LBH KBR - Yayasan Satu Keadilan

LBH KBR : Warga Digusur, LBH KBR Somasi Bupati Bogor

Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH KBR) melayangkan somasi kepada Bupati Bogor pasca tidak ditanggapinya permohonan klarifikasi atas pembongkaran bangunan milik warga di Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor pada 21 Desember 2016, oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Bogor. Padahal diketahui, antara Surat Perintah Pembongkaran Bangunan dengan objek bangunan yang dibongkar tidak sesuai. Somasi LBH KBR tersebut disampaikan melalui Surat No. 10/SK-LBH KBR/II/2017, tanggal 22 Februari 2017.

Menurut Direktur Eksekutif LBH KBR, Fatiatulo Lazira, S.H., sikap Bupati Bogor yang tidak menanggapi permohonan klarifikasi LBH KBR melalui surat dengan Nomor: 05/SK-LBH-KBR/II/2017, tertanggal 8 Februari 2017 adalah sikap pelayan publik yang abai terhadap pengelolaan pemerintahan yang baik dan bersih. “Somasi ini kami layangkan karena Bupati Bogor kami nilai tidak patuh terhadap asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih. Padahal kewajiban pemerintah utk memberikan informasi publik termasuk klarifikasi atas pertanyaan warga – masyarakat”, kata Fati.

Fati juga mengingatkan bahwa pembongkaran bangunan milik Suratmi adalah tindak pidana. “Kami menduga tindakan Satpol PP Kabupaten Bogor yang membongkar bangunan secara bersama-sama adalah tindak pidana. Kami akan mendorong agar aparat kepolisian melakukan pro justisia terhadap para pelaku jika somasi tidak direspon dalam batas waktu yang sudah kami tentukan, yaitu 3 Maret 2017”, ucapnya.

Demikian siaran pers ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya yang baik, kami ucapkan terima kasih.

Bogor, 23 Februari 2017

LBH Keadilan Bogor Raya

Fatiatulo Lazira, S.H.
Direktur Eksekutif

Narahubung:
0852 7537 1525 (Fati Lazira)
0813 1032 5211 (Agung Ashari)

LBH KSR - Yayasan Satu Keadilan

LBH KSR : Perkembangan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual; Korban Menantikan Keadilan

,

Jaksa Peneliti Kejaksaan Negeri Cibadak menyatakan berkas perkara tindak pidana kekerasan seksual oleh ayah tiri di Bojong Genteng, kabupaten Sukabumi sudah lengkap (P21). LBH Keadilan Sukabumi Raya (LBH KSR) menilai kemajuan ini sangat penting bagi korban dalam meraih keadilan.

Sebelumnya, penyidik dari kepolisian sektor Bojong Genteng yang menangani perkara ini telah melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Negeri Cibadak, Sukabumi. Keluarga RM yang menjadi korban menghawatirkan kelanjutan penyelesaian perkara ini mengingat lambannya kinerja kepolisian dalam memenuhi kelengkapan berkas perkara hingga ke proses penuntutan.

Navi’a Nikmaturahmah, S.H., Pembela Umum di LBH KSR menyesalkan lambannya penanganan perkara di Kejaksaan Negeri Cibadak.  “Harusnya pihak kejaksaan bisa bekerja lebih profesional mengingat dalam kasus yang menimpa anak dibawah umur ini harus dilakukan secara cepat”.

Sebagaimana diketahui, dalam kasus ini pihak kejaksaan yang telah menerima berkas P21 dari kepolisian, seharusnya segera menyelesaikan kewajibannya dalam hal penuntutan, karena sampai saat ini belum ada kejelasan perkembangan kasus di kejaksaan sejak beberapa bulan setelah berkas dilimpahkan dari kepolisian.

LBH KSR sebagai pendamping keluarga korban telah melakukan berbagai upaya agar kasus ini segera dilimpahkan ke Pengadilan. Mengingat lambannya penanganan kasus ini di kejaksaan, pihak keluarga korban menghadapi berbagai hambatan sosial, diantaranya mendapatkan kecaman dari masyarakat dilingkungannya karena diduga munculnya kesalahpahaman terhadap masalah yang dihadapi oleh  keluarga korban. Atas perkembangan tersebut, LBH KSR dan Yayasan Satu Keadilan telah mengundang berbagai pihak untuk rembuk mencari solusi terbaik yang dialami oleh keluarga korban.

Sampai pada digelarnya persidangan perkara ini hingga putusan, LBH KSR akan melakukan pemantauan untuk memastikan jalannya proses hukum. “Kami mengharapkan seluruh proses hukum hingga persidangan nanti, Jaksa Penuntut Umum dapat segera bekerja serius dan profesional agar hak-hak korban dapat segera dipulihkan” tegas Evan Sukrianto, SH., Pembela Umum lainnya di LBH KSR.

LBH KSR juga akan berkoordinasi dengan Komisi Kejaksaan RI untuk dapat melakukan pemantauan kinerja Jaksa yang menangani perkara ini. Lebih jauh pada proses persidangan nantinya, LBH KSR juga akan meminta peran aktif dari Komisi Yudisial untuk melakukan pemantauan atas jalannya persidangan.

Dalam pandangan LBH KSR, proses hukum pada perkara ini tidak hanya pada penghukuman pelaku, namun lebih penting dari itu adalah pemulihan hak-hak korban dan keluarganya. “Kami akan berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) agar dapat memberikan perlindungan bagi korban dan keluarganya mengingat mandat dari lembaga kuasi negara ini, salah satunya adalah meamastikan hak-hak korban terpenuhi melalui tuntutan reparasi dan pemberian kompensasi kepada korban” jelas Navi’a.

Demikian pernyataan pers ini Kami sampaikan, atas perhatian dan kepedulian semua pihak maka harapan pencapaian keadilan bagi korban dapat diwujudkan.

Hormat kami,

Sukabumi, 10 September 2016

LBH Keadilan Sukabumi Raya

Navi’a Nikmaturrohmah, S.H.
Pembela Umum

LBH KBR - Yayasan Satu Keadilan

LBH KBR : POLRESTA BOGOR KELUARKAN SPRINDIK DALAM KASUS MALL PLAZA BOGOR

,

Kepolisian Resort Kota (Polresta) Bogor mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP. Sidik/539/IX/2016/Sat Reskrim, tertanggal 07 September 2016, terkait Laporan Polisi Nomor: LP/617/VI/2016/JBR/POLRES BOGOR KOTA, tanggal 01 Juni 2016, atas nama Pelapor Leni Marlina, dalam dugaan pelanggaran Pasal 360 ayat (2) KUHPidana oleh Mall Lippo Plaza Bogor, yang terletak di Jl. Siliwangi, No. 123, Sukasari, Bogor.

Sebelumnya, Lippo Plaza Bogor dilaporkan ke Polresta Bogor oleh Leni Marlina, didampingi Para Pembela Umum pada kantor LBH KBR. Leni Marlina adalah ibu kandung N (umur 7 tahun), anak yang menjadi korban kecelakaan pada saat berkunjung ke Mall Lippo Plaza Bogor pada 17 Januari 2016 lalu. Leher N terjepit diantara tangga berjalan (escalator) dan dinding, sehingga menyebabkan luka-luka sedemikian rupa. Dari hasil observasi atau pemantauan LBH KBR di lokasi kejadian (locus delicti), kami menemukan bahwa bangunan tempat terjadinya kecelakaan memang tidak memenuhi persyaratan teknis sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, sehingga mengancam keamanan para pengunjung.

Oleh karena itu, LBH KBR mendorong dan berharap agar pencari keadilan dapat menemukan keadilan melalui proses penegakan hukum yang profesional dan akuntabel oleh Polresta Bogor sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat.

Demikian siaran pers ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya yang baik, kami ucapkan terima kasih.

Bogor, 09 September 2016

LBH Keadilan Bogor Raya

Fatiatulo Lazira, S.H.
Direktur Eksekutif

Narahubung:

085275371525 (Fati Lazira)
081310325211 (Agung)

LBH KBR - Yayasan Satu Keadilan

LBH KBR: SIDANG PERDANA GUGATAN TERHADAP DKP KABUPATEN BOGOR BERLANJUT MEDIASI

,

Masih ingat kasus pemberhentian 7 (tujuh) orang pekerja pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Bogor pada 29 Januari 2016 yang sarat penyalahgunaan wewenang dan mencatut nama intel Polres Bogor? Kasus itu, kini tengah menghadapi proses persidangan di Pengadilan Negeri Cibinong, Bogor.

Sidang perdana dengan Perkara No. 133/Pdt.G/2016/PN.Cbi., tersebut diselenggarakan pada Selasa, 21 Juni 2016, dihadiri oleh Kuasa Hukum Para Penggugat dari LBH KBR dan Kuasa Hukum Tergugat I, H. M. Subaweh, Tergugat II DKP Kab. Bogor, Turut Tergugat I Bupati Bogor, dan Turut Tergugat II Kepala Unit Pelayanan Terpadu Kebersihan dan Sanitasi I, Cibinong.

Majelis Hakim yang diketuai oleh Heru Wahyudi, SH, MH., dan Hakim Anggota Dr. Indah Wastu Kencana Wulan, SH., MH., Raden Ayu Rizkyati, SH., menyarankan agar para pihak menempuh proses mediasi dan berharap tercapai kesepakatan. “Kami berharap, para pihak bisa selesai ditahap mediasi”, kata Heru Wahyudi

Majelis Hakim kemudian menunjuk Hakim Mediator, Istiqomah Berawi, SH., MH., dan sidang mediasi akan dilanjutkan pada Selasa, 28 Juni 2016, Pukul 10.00 WIB.

Fatiatulo Lazira, S.H., salah satu Kuasa Hukum Para Penggugat dari LBH KBR, mendorong agar Para Tergugat dan Turut Tergugat memiliki itikad baik dalam proses mediasi tersebut. “Kami berharap, Para Tergugat dan Para Turut Tergugat, yang notabene adalah aparatur negara ditingkat daerah, memiliki itikad baik dalam proses mediasi nantinya, sehingga kasus ini tidak berlarut-larut. Hak-hak Para Penggugat yang menjadi korban kesewenang-wenangan, terpenuhi”, ujar Fati Lazira

Gugatan ini juga menurut Fati Lazira, sekaligus untuk mengingatkan negara, dalam hal ini pemerintah daerah, agar tidak lupa menjalankan fungsi dalam memberikan perlindungan terhadap warganya.

“Gugatan ini kami ajukan karena sudah beberapa cara kami tempuh untuk menyelesaikan secara musyawarah untuk mufakat, tapi tidak ada kesepakatan. Itu artinya, DKP tidak memiliki itikad baik. Para Pekerja (Para Penggugat) ini sudah menjadi korban dari praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh mantan Kepala DKP yang kini menjadi TERGUGAT I, H. M. SUBAWEH. Ini sekaligus momentum untuk mengingatkan akan fungsi negara dalam lingkup yang kecil, yakni Kabupaten Bogor, bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”, tegas Fati Lazira.

Demikian siaran pers ini kami sampaikan, terima kasih.

Bogor, 21 Juni 2016

LBH Keadilan Bogor Raya

FATIATULO LAZIRA, S.H.
Direktur Eksekutif

Narahubung:
Fati Lazira (085275371525)
Winata (08567711328)

kesaksian mantan anggota gafatar - Yayasan Satu keadilan

Tim Hukum : Negara Telantarkan Ribuan Eks Gafatar

,

Lebih dari 5.000 jiwa anggota eks Gafatar nasibnya terlunta-lunta. Pemerintah hanya memberikan janji-janji kosong. Sementara harta benda warga eks Gafatar sudah habis dihancurkan oleh pengusiran sistematis dari Pulau Kalimantan yang melibatkan aparat negara. Kini mereka pun mengalami kesulitan dalam membangun kembali masa depannya. Selain karena diskriminasi yang tidak putus dari aparat pemerintahan, masyarakat juga terus menstigma dan tidak menerima keberadaan warga eks Gafatar.

Demikian disampaikan salah satu mantan pengurus Gafatar Jefry (35) ketika mengadukan diskriminasi yang terus dialami anggota-anggota eks Gafatar di Komnas HAM, Kamis (2/6), bersama Tim Kuasa Hukum.

“Apa yang kami kerjakan di Mempawah, Singkawang, Ella dan Bengkayang hanya bertani dan beternak. Menjadikan Kalimantan sebagai lumbung ketahanan pangan Indonesia. Itu cara kami mengabdi pada ibu pertiwi. Tapi kami malah diusir paksa dan diperlakukan seperti teroris,” ungkap Jefry di depan Ketua Komnas HAM M. Imdadun Rahmat.

Pelanggaran HAM nyata

Ia juga sangat menyesalkan tidak hadirnya negara paska pengusiran paksa. Bahkan janji Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa yang akan memberikan jaminan hidup perhari perjiwa sebesar 10.000 tidak kunjung terealisasi.

“Negara tidak peduli nasib kami yang sekarang tidak bisa beraktivitas normal seperti masyarakat lainnya dalam memenuhi hidup. Sebab, kami terus dicurigai masyarakat. Ketika di antara kami dikembalikan ke kampung halaman masing-masing, aparat pemerintah mengumumkan kepada masyarakat sambil melekatkan stigma kepada kami, layaknya teroris yang harus dijauhi. Kami juga dipaksa beribadah sesuai dengan agama yang resmi,” protes Jefry yang pernah menjabat sebagai Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Jawa Barat Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara (NKTN) yang lebih sering disebut sebagai eks Gafatar.

Asfinawati selaku Tim Kuasa Hukum tiga mantan elit Gafatar (Ahmad Mushadeq, Mahful Muis Tumanurung, dan Andri Cahya) yang ditahan di Mabes Polri meminta Komnas HAM untuk mendesak kepolisian segera membebaskan mereka.

“Penahanan terhadap ketiganya tidak sah karena tidak ada alasan hukum yang membenarkan penangkapan ini. Pemidanaan terhadap ketiganya oleh kepolisian melanggar hukum karena tidak mempedulikan proses yang tersurat dalam UU No. 1/PNPS/1965 dan SKB dari UU tersebut,” tegas Asfin.

Selain kepolisian menabrak dua instrumen di atas, lanjut Asfin, kepolisian juga melanggar fair trial atau peradilan yang jujur dan adil. Mantan Direktur LBH Jakarta periode 2006-2009 ini menegaskan, “Kepolisian tidak merujuk pada Putusan MK yang mengharuskan penahanan terhadap tersangka dengan minimal dua alat bukti yang cukup yang dijelaskan oleh penyidik kepada tersangka dan kuasa hukumnya. Kepolisian juga lalai karena satu hari setelah ketiga eks Gafatar ditangkap, mereka tidak diperiksa.”

Berangkat dari pengaduan itulah Imdadun Rahmat akan mengagendakan perumusan tindakan yang akan diambil Komnas HAM. Pengaduan ini juga akan diperkuat hasil pemantauan yang telah dilakukan Komnas HAM.

“Telah terjadi bentuk-bentuk pelanggaran HAM dalam kasus pengusiran warga eks Gafatar,” tegasnya memberi kesimpulan.

Nasib berat perempuan eks Gafatar

Setelah mengadukan pelanggaran-pelanggaran HAM kepada Ketua Komnas HAM, beberapa warga eks Gafatar kembali mengadukan diskriminasi yang mereka alami ke Komnas Perempuan. Kepada Ketua Komnas Perempuan Azriana dan Komisioner lainnya, Saur Tumiur Situmorang dan Adriana Venny Aryani, salah seorang saksi dan eks Gafatar Bunda Ida (40) mengadukan kondisi yang lebih tragis dialami anak-anak dan perempuan. Situasi penuh intimidasi, kekerasan, dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami warga eks Gafatar membuat perempuan dan anak-anak sulit menghapus trauma. Beberapa di antara mereka sampai sekarang masih menangis.

“Anak-anak dan perempuan mengalami langsung dari mulai proses pengusiran paksa oleh RT, RW, Lurah, Camat, Babinsa hingga Bupati, kemudian harus melihat pembakaran tempat tinggal baru mereka, menyaksikan pula tentara yang marah-marah sambil mengokang senjata laras panjang di Bekangdam XII Tanjungpura Kalimantan Barat, sampai cara-cara tidak manusiawi mengangkut kami ke kendaraan-kendaraan untuk dipindah ke pengungsian demi pengungsian,” kisah Bunda Ida yang dalam kepengurusan juga menjabat DPD Jawa Barat Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara.

Karena ketidakmampuan negara melindungi warga eks Gafatar, terutama kalangan perempuan, ibu hamil dan anak-anak balita, Ida menceritakan bahwa dari pengungsi Kalimantan Timur ada anak berusia 2,5 tahun meninggal dunia karena tidak tahan selama proses pengusiran yang terus berpindah-pindah. Ada perempuan yang keguguran, ada pula yang melahirkan lebih cepat dari waktu normal karena stres. Anak-anak dan ibu hamil ikut mengonsumsi makanan tidak sehat yang dimasak dengan tidak bersih dan menunya dari hari ke hari selalu sama: mie dan sarden. Akibatnya banyak di antara mereka yang sakit.

Selain trauma yang terus membayangi warga eks gafatar, mereka juga dihantui nasib dan masa depan yang sangat berat. Sebab, di banyak tempat warga eks Gafatar dipersulit mengurus administrasi kependudukan (Adminduk) seperti KTP dan dokumen-dokumen resmi lainnya. Hal tersebut mempersulit mereka sebagai warga negara dalam mengakses hak-hak ekonomi, sosial, kesehatan, dan sebagainya.

“Bagaimana mungkin bisa membuat KTP dan surat-surat resmi lainnya, saya saja ketika pulang tidak diakui sebagai warga tempat saya berasal oleh RT, RW, dan kelurahan,” tutur Rahmat Sunjaya (26) yang pernah menjadi koordinator wilayah Jawa Barat dan kini terpaksa mengosongkan dan meninggalkan rumahnya di Cirebon.

Ia dan istrinya harus menyiasati hidup keluarganya agar bisa bertahan, yang ketika pengusiran terjadi mereka baru sebulan dikaruniai seorang bayi. Sementara selama di pengungsian, Dinas Sosial memberikan susu, pampers dan roti yang kadaluarsa dan tidak mungkin dikonsumsi.

Begitupun aset-aset bergerak dan tidak bergerak milik eks Gafatar yang mereka tinggalkan di Kalimantan tidak bisa atau sangat sulit diambil. Ada yang hancur karena dibakar. Ada pula hilang dijarah. Padahal nilainya tidak sedikit. Rahmat yang mengkoordinir satu kelompok dari beberapa wilayah Jawa Barat saja telah mengucurkan 1 sampai 1,5 milyar yang dibawa ke Mempawah sebagai modal untuk membangun hidup mereka dari awal.

Menuntut negara

Dengan seluruh pengaduan yang dibuat warga eks Gafatar, Asfinawati mendorong Komnas Perempuan dan Komnas HAM untuk: Pertama, segera menuntut negara menjamin dan memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan (ECOSOC Rights) warga eks Gafatar yang selama ini terampas. Terutama kepada Komnas HAM diharapkan menjadi fasilitator untuk mengembalikan aset-aset, baik bergerak maupun yang tidak bergerak, milik warga eks Gafatar yang ditinggalkan di Kalimantan. Kedua, mengingatkan negara bertanggung jawab memberikan pemulihan psikologis atas trauma yang sangat berat menimpa warga eks Gafatar, terutama kalangan perempuan dan anak-anak. Ketiga, menuntut Kemendagri menginstruksikan bawahannya agar mempermudah pelayanan terhadap warga eks Gafatar dalam pembuatan KTP atau Adminduk. Menghapus diskriminasi pelayanan publik. Keempat, segera menghentikan dan menindak aparat-aparat atau pejabat pemerintahan yang mendorong masyarakat stigmatisasi warga eks Gafatar.

Di penghujung pengaduan, Tim Kuasa Hukum eks Gafatar Febionesta meminta Komnas Perempuan dan Komnas HAM secepatnya bertindak agar kepolisian segera membebaskan Ahmad Mushadeq, Mahful Muis Tumanurung, dan Andri Cahya. Hal tersebut dengan mempertimbangkan nasib keluarganya, terutama anak-anak dan istri. Mahful mempunyai 7 anak yang masih kecil-kecil. Anak terbesar berusia 12 tahun. Andri juga mempunyai dua anak. Yang besar baru berusia 10 tahun. (Thowik SEJUK)

Kontak:

Asfinawati (08128218930);
Fati Lazira (085275371525); Febionesta (087870636308),
Atika (081383399078);
Syamsul Alam Agus (08118889083); Ainul (085277008689)
Imdadun Rahmat: Ketua Komnas HAM (08159548906)
Azriana: Ketua Komnas Perempuan (0811672441)

LBH KBR - Yayasan Satu Keadilan

LBH KBR GUGAT PEMBERHENTIAN PARA PEKERJA DKP KAB. BOGOR

,

Masih ingat kasus pemberhentian 7 (tujuh) orang pekerja pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Bogor? 29 Januari 2016 lalu, 7 (tujuh) orang pekerja pada DKP diberhentikan tanpa alasan dan dasar yang jelas. Merujuk pada surat tanggapan Kepala DKP, kala itu, Drs. H. M. Subaweh, salah satu alasan pemberhentian ialah informasi Intelijen Polres Bogor, sehingga LBH KBR menilai bahwa pemberhentian tersebut merupakan Perbuatan Melawan Hukum, karena bertentangan dengan UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, serta inkonstitusional karena abai terhadap perlindungan hak warga negara untuk mendapatkan perkerjaan yang layak dan perlakuan yang adil.

Melalui kuasa hukumnya di LBH KBR, Para Penggugat, yakni para pekerja yang telah diberhentikan tersebut, menggugat antara lain: H. M. SUBAWEH, DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN BOGOR, BUPATI BOGOR, DAN KEPALA UNIT PELAYANAN TERPADU KEBERSIHAN DAN SANITASI I CIBINONG, serta menuntut melalui Majelis Hakim untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 1, 725, 985, 056 (Satu Milyar Tujuh Ratus Dua Puluh Lima Juta Sembilan Ratus Delapan Puluh Lima Ribu Lima Puluh Enam Rupiah).

Fatiatulo Lazira, S.H., salah satu Kuasa Hukum Para Penggugat, mengungkapkan bahwa gugatan ini, sekaligus untuk mengingatkan negara, dalam hal ini pemerintah daerah, agar tidak lupa menjalankan fungsi dalam memberikan perlindungan terhadap warganya.

“Gugatan ini kami ajukan karena sudah beberapa cara kami tempuh untuk menyelesaikan secara musyawarah untuk mufakat, tapi tidak ada kesepakatan. Itu artinya, DKP tidak memiliki itikad baik. Para Pekerja (Para Penggugat) ini sudah menjadi korban dari praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh mantan Kepala DKP yang kini menjadi TERGUGAT I, H. M. SUBAWEH”, ujar Fati Lazira.

“Semoga Majelis Hakim nantinya menerima, dan mengabulkan seluruh gugatan kami. Ini sekaligus momentum untuk mengingatkan akan fungsi negara dalam lingkup yang kecil, yakni Kabupaten Bogor, bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan yang layak”, tambah Fati Lazira.

Demikian siaran pers ini kami sampaikan, terima kasih.

Bogor, 1 Juni 2016

LBH Keadilan Bogor Raya

FATIATULO LAZIRA, S.H.
Direktur Eksekutif

Narahubung: Fati Lazira (085275371525) Winata (08567711328)

LBH KBR - Yayasan Satu Keadilan

LBH KBR: Walikota Bogor Segera Revitalisasi Pasar Blok F

,

Pembatalan beauty contest oleh Walikota Bogor karena alasan tidak ada calon mitra kerja yang memenuhi syarat, dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang dan atau perbuatan melawan hukum, sebab seharusnya, yang berwenang menyatakan bahwa dari semua calon mitra tidak ada yang memenuhi syarat ialah Direksi melalui Pansel, bukan Walikota.

Merujuk pada surat yang ditujukan kepada Walikota agar memilih dan menentukan pemenang beauty contest Revitalisasi Blok F Pasar Kebon Kembang oleh Ketua Pansel, tampak jelas bahwa Pansel telah memiliki hasil, tinggal menunggu persetujuan Walikota. Akan tetapi hasil tersebut tidak disetujui.

Tindakan memberhentikan beauty contes tanpa hasil, dari perspektif hukum bisnis, dapat dipandang sebagai bentuk intervensi terhadap kewenangan Direksi, sehingga bisa menghambat tujuan PD PPJ sebagai badan usaha sebagaimana diatur dalam No. 4/2009 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Pasar Pakuan Jaya.

Beauty Contest merupakan metode untuk mencari mitra agar mendapatkan calon partner usaha guna pengembangan suatu kegiatan bisnis atau proyek tertentu. Pemilihan mitra dengan menggunakan metode ini, dilakukan oleh Direksi sesuai dengan wewenangnya sebagai organ badan usaha. Sepanjang wewenang itu dilakukan oleh Direksi dengan penuh itikad baik (goodfaith), penuh kehati-hatian (prudent), serta sejalan dengan tanggungjawab dan wewenang (accountable/responsible) sebagai Direksi, maka secara hukum Direksi dilindungi oleh prinsip hukum – bussines judgement rule.

Oleh karena itu, LBH KBR mengecam tindakan Walikota yang menghentikan beauty contest tanpa hasil karena hanya mengorbankan para pedagang, dan mendesak agar Pasar Blok F segera direvitalisasi.

Demikian kami sampaikan, terimakasih.

Bogor, 28 Mei 2016

LBH Keadilan Bogor Raya

Fatiatulo Lazira, S.H.
Direktur Eksekutif

Narahubung: 085275371525

LBH KBR - Yayasan Satu Keadilan

Siaran Pers Bersama : Penahanan Terhadap Eks Anggota GAFATAR

,

Pada Rabu malam (25/5), 2 orang eks anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), yaitu Mahful Muis Tumanurung dan Andri Cahya serta Ahmad Mosaddeq ditahan di Mabes Polri setelah menjalani pemeriksaan pertama kalinya sebagai tersangka. Beberapa kali pemeriksaan sebelumnya telah mereka jalani dengan status sebagai saksi.

“Penahaanan terhadap mereka bertiga seharusnya sungguh tidak perlu dan tindakan yang berlebihan, karena tidak ada satupun alasan sehingga mereka perlu untuk ditahan” ujar Asfinawati, salah satu kuasa hukum mereka bertiga. Lebih lanjut, Asfinawati juga menyatakan dirinya dan tim advokasi meminta kepada Kapolri agar memperhatikan kasus ini dan segera melepaskan ketiga kliennya, karena penahanan yang terjadi justru akan membuat publik memiliki persepsi bahwa kasus ini lebih bermuatan politik ketimbang pertimbangan hukum. “Karena ketiganya selama ini sangat kooperatif dalam keperluan penyidikan untuk datang menghadiri panggilan kepolisian”, tambahnya.

Atas peristiwa diatas, kami menyatakan keberatan dengan alasan-alasan berikut:

  1. Tidak ada alasan mengapa ketiganya harus ditahan dan tidak ada bukti ketiganya akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Pasal 21 (1) KUHAP menyatakan; “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.

Pasal 20 KUHAP menyatakan; “untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan”. Oleh karenanya penahanan adalah untuk kepentingan penyidikan bukan hal lainnya. Karena setiap mendapat panggilan ketiganya selalu kooperatif maka tujuan penahanan ini tidak ada.

  1. Penahanan harus berdasarkan bukti yang cukup. Putusan MK dalam perkara nomor 21/PUU-XII/2014 dinyatakan frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” yang tertuang dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Pertanyaan tentang 2 alat bukti apa yang telah dimiliki penyidik tidak dapat dijelaskan kepada kuasa hukum.
  2. Apa yang dituduhkan kepada ketiganya terkait dengan keyakinan yang bersngkutan yang mereka telah diuraikan dalam berita acara pemeriksaan masing-masing. Sesuai konstitusi Indonesia adalah negara hukum yang demokratis dan memiliki UU terkait HAM maka keyakinan beragama atau berkeyakinan dijamin. Oleh karenanya penentuan ketiganya sebagai tersangka dan penahanan tersebut merupakan kriminalisasi terhadap kebebasan beragama berkeyakinan.

Berdasarkan hal-hal di atas, tim kuasa hukum meminta:

  1. Kepada penyidik dan Kabareskrim untuk segera mengeluarkan ketiga korban dari tahanan demi hukum.
  2. Kepada Kapolri untuk menjalankan wewenangnya sebagai pimpinan tertinggi Polri mengawasi penyidikan terhadap ketiga orang di atas dan memerintahkan dikeluarkannya korban dari tahanan demi hukum.
  3. Kepada Presiden sebagai pimpinan Kapolri untuk mengawasi jalannya penyidikan termasuk penahanan ini.

Jakarta, 26 Mei 2016

Tim Kuasa Hukum

Narahubung:
Asfinawati (08128218930); Fati Lazira (085275371525); Atika (081383399078); Ainul (085277008689)

LBH KBR - Yayasan Satu Keadilan

LBH KBR: Kejaksaan Harus Ungkap Pihak Yang “Turut Serta” Dalam Kasus Angkahong

,

Jika benar ada pejabat teras Kota Bogor yang disebutkan “turut serta” dalam kasus dugaan korupsi Angkahong sebagaimana terkuak dalam dakwaan yang teregister dengan No. Reg. Perk: PDS-03/BOGOR/03/2016, demi proses penegakan hukum transparan dan akuntabel, maka nama tersebut harus diungkap ke publik.

Sebagaimana diberitakan, kasus dugaan korupsi mark-up atas pembelian lahan Angkahong oleh Pemerintah Kota Bogor sebesar Rp. 43,1 Miliar, terungkap didakwaan yang beredar telah mengakibatkan Kerugian Keuangan Negara, dalam hal ini Pemerintah Kota Bogor, sebesar Rp. 38.400.533.057 (tiga puluh delapan milyar empat ratus juta lima ratus tiga puluh tiga ribu lima puluh tujuh rupiah).

Selama hampir 1 (satu) tahun lebih kasus ini bergulir, sejak bulan sejak Desember 2014 lalu, Kejaksaan Negeri Kota Bogor sudah memeriksa puluhan orang, dan pada akhirnya baru menetapkan 3 (tiga) orang tersangka, yakni: HYP (Ketua Tim Pengadaan Tanah Skala Kecil/PA/PPK/Kepala Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor, IG selaku Camat Tanah Sareal/PPTAS/Anggota Tim Pengadaan Tanah Skala Kecil, RNA (Appraisal) dan KHA.

Kasus korupsi di Kota Bogor yang telah menyita perhatian publik ini, dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah, para pihak yang terlibat, baik sebagai aktor intelektual maupun pelaku, harus diungkap masing-masing perannya demi tegaknya proses penegakan hukum yang transparan dan akuntabel. Kasus korupsi ini cukup terencana dan teroganisir. Hal ini dapat kita lihat dari rentang waktu antara tanggal 5 Agustus 2014 s/d 31 Desember 2014 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2014 sebagaimana terkuak dalam dakwaan Jaksa.

Oleh karenanya, LBH Keadilan Bogor menyatakan sikap:

  1. Mendesak Kejaksaan Negeri Kota Bogor, dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah agar mengungkapkan ke publik nama-nama tersangka dan yang “turut serta” sebagaimana disebutkan dalam dakwaan Jakaa tersebut;
  2. Mendesak Kejaksaan untuk mengusut proses penganggaran di DPRD Kota Bogor mengingat rentang waktu yang disebutkan dalam dakwaan adalah masa-masa pembahasan proses pembelian lahan Angkahong antara DPRD Kota Bogor dengan Pemerintah Kota Bogor.

Demikian siaran pers ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih.

Bogor, 20 Mei 2016

LBH Keadilan Bogor Raya

Badan Pengururus

FATIATULO LAZIRA, S.H.
Direktur Eksekutif

Narahubung: 085275371525 (Fatiatulo Lazira)