Penganut Islam Syiah, Pengungsi Asal Afghanistan yang Hidup Bersama Warga Puncak
CISARUA. Genap 10 tahun, Tahir Asad tinggal di Desa Batulayang, Cisarua, Kabupaten Bogor. Kondisi konflik di negaranya, Afghanistan, membuat pria berumur 35 tahun itu terpaksa pergi dari tanah kelahirannya demi menyelamatkan diri.
Tahir tidak sendiri di kawasan Puncak itu. Dia bersama komunitas pengungsi lainnya bertahan hidup dari kiriman uang sanak keluarga maupun bantuan dari Badan PBB untuk pengungsi, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).
Statusnya sebagai pengungsi cukup berat. Apalagi dengan kepercayaannya yang merupakan Islam Syiah. Berbeda dengan mayoritas penganut agama Islam di Indonesia.
Meski begitu, seiring waktu Tahir bersama penduduk setempat saling memahami perbedaan tersebut. Tahir pun tidak jarang ikut salat berjemaah di masjid.
“Syiah dan Sunni tidak ada beda, semua sama, salat pun sama,” kata Tahir saat ditemui Radar Bogor, beberapa waktu lalu.
Dia punya pribadi yang ramah. Kemampuan bahasa Indonesianya cukup fasih untuk sekadar dipahami. Saat ditemui, ia pun tengah sibuk merenovasi rumah belajar yang dia bangun sejak 2017 lalu.
Dari ceritanya, Tahir cukup moderat. Tidak menyalahkan, juga tidak merasa paling benar dengan keyakinannya. Menurutnya, perbedaan tidak menjadi alasan untuk tidak hidup berdampingan. Selama bisa memahami satu sama lain, semua dapat hidup dengan penuh kebaikan.
“Warga sini tahu saya Syiah, tapi tidak apa-apa. Saya senang mereka mau terima. Salat di masjid, saya boleh, tapi tidak boleh di depan. Saya di belakang orang Sunni, tidak apa,” tuturnya.
Kerukunan pengungsi dengan penduduk setempat diamini Kepala Desa Batulayang, Iwan Setiawan. Ia juga membenarkan banyaknya pengungsi yang berkeyakinan Islam Syiah.
“Untuk di masjid, tidak ada larangan bagi mereka (pengungsi), selama bisa mengikuti kebiasaan dan budaya di kita, tidak juga mensiarkan kepercayaan mereka,” kata Iwan.
Selama pengungsi dapat saling menjaga kerukunan dan tidak menimbulkan konflik, ia bersama warga pun menerima keberadaan para pengungsi atas dasar Hak Asasi Manusia (HAM).
Terpisah, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor, KH Ahmad Mukri Aji menuturkan, meski Islam di Indonesia tidak menjadikan Syiah sebagai rujukan aliran, namun Ahlussunnah wal Jamaah mengajarkan hidup berjamaah, tidak terpecah dan menghindari konflik sosial.
“Dari aspek kemanusiaan, saya kira sah-sah saja membantu mereka, apalagi penduduk setempat kembali kepada ajaran Islam yang tidak mengenal konflik, tidak mengenal perbedaan pandangan,” tutur Mukri Aji.
Dia pun bersama pimpinan daerah berharap, pengungsi dapat beradaptasi dan menyesuaikan dengan Indonesia yang memiliki perbedaan adat istiadat dengan negara asalnya.
“Bukan untuk saling merendahkan, apalagi merasa paling benar dengan apa yang dia percaya. Kita ingin menjaga persatuan dan kesatuan yang sudah bagus ini,” tandasnya.(*)
Artikel ini telah tayang di radarbogor.id dengan judul Penganut islam syiah, Pengungsi asal Afganistan yang hidup bersama warga Puncak,