Penganut Islam Syiah, Pengungsi Asal Afghanistan yang Hidup Bersama Warga Puncak

, ,

CISARUA. Genap 10 tahun, Tahir Asad tinggal di Desa Batulayang, Cisarua, Kabupaten Bogor. Kondisi konflik di negaranya, Afghanistan, membuat pria berumur 35 tahun itu terpaksa pergi dari tanah kelahirannya demi menyelamatkan diri.

Tahir tidak sendiri di kawasan Puncak itu. Dia bersama komunitas pengungsi lainnya bertahan hidup dari kiriman uang sanak keluarga maupun bantuan dari Badan PBB untuk pengungsi, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).

Statusnya sebagai pengungsi cukup berat. Apalagi dengan kepercayaannya yang merupakan Islam Syiah. Berbeda dengan mayoritas penganut agama Islam di Indonesia.

Meski begitu, seiring waktu Tahir bersama penduduk setempat saling memahami perbedaan tersebut. Tahir pun tidak jarang ikut salat berjemaah di masjid.

“Syiah dan Sunni tidak ada beda, semua sama, salat pun sama,” kata Tahir saat ditemui Radar Bogor, beberapa waktu lalu.

Dia punya pribadi yang ramah. Kemampuan bahasa Indonesianya cukup fasih untuk sekadar dipahami. Saat ditemui, ia pun tengah sibuk merenovasi rumah belajar yang dia bangun sejak 2017 lalu.

Dari ceritanya, Tahir cukup moderat. Tidak menyalahkan, juga tidak merasa paling benar dengan keyakinannya. Menurutnya, perbedaan tidak menjadi alasan untuk tidak hidup berdampingan. Selama bisa memahami satu sama lain, semua dapat hidup dengan penuh kebaikan.

“Warga sini tahu saya Syiah, tapi tidak apa-apa. Saya senang mereka mau terima. Salat di masjid, saya boleh, tapi tidak boleh di depan. Saya di belakang orang Sunni, tidak apa,” tuturnya.

Kerukunan pengungsi dengan penduduk setempat diamini Kepala Desa Batulayang, Iwan Setiawan. Ia juga membenarkan banyaknya pengungsi yang berkeyakinan Islam Syiah.

“Untuk di masjid, tidak ada larangan bagi mereka (pengungsi), selama bisa mengikuti kebiasaan dan budaya di kita, tidak juga mensiarkan kepercayaan mereka,” kata Iwan.

Selama pengungsi dapat saling menjaga kerukunan dan tidak menimbulkan konflik, ia bersama warga pun menerima keberadaan para pengungsi atas dasar Hak Asasi Manusia (HAM).

Terpisah, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor, KH Ahmad Mukri Aji menuturkan, meski Islam di Indonesia tidak menjadikan Syiah sebagai rujukan aliran, namun Ahlussunnah wal Jamaah mengajarkan hidup berjamaah, tidak terpecah dan menghindari konflik sosial.

“Dari aspek kemanusiaan, saya kira sah-sah saja membantu mereka, apalagi penduduk setempat kembali kepada ajaran Islam yang tidak mengenal konflik, tidak mengenal perbedaan pandangan,” tutur Mukri Aji.

Dia pun bersama pimpinan daerah berharap, pengungsi dapat beradaptasi dan menyesuaikan dengan Indonesia yang memiliki perbedaan adat istiadat dengan negara asalnya.

“Bukan untuk saling merendahkan, apalagi merasa paling benar dengan apa yang dia percaya. Kita ingin menjaga persatuan dan kesatuan yang sudah bagus ini,” tandasnya.(*)

 

Artikel ini telah tayang di radarbogor.id dengan judul Penganut islam syiah, Pengungsi asal Afganistan yang hidup bersama warga Puncak,

Pemerintah Provinsi Jawa Barat Bangunkan Mayat Hidup di Pegunungan Kandaga

Jawa Barat – Keluarnya izin baru dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) terkait pertambangan batuan andesit di Pegunungan Kandaga di Desa Antajaya, Kabupaten Bogor, kepada Koperasi Primer Karyawan Perusahaan Umum Kehutanan Negara, selanjutnya disebut Primkopkar Perhutani seperti menghidupkan mayat yang sudah lama mati. Pasalnya pada tanggal 5 September 2017 Mahkamah Agung (MA) telah menjatuhkan putusan terhadap permohonan kasasi warga, Erwin Irawan dan Muhammad Amir. Dalam putusannya, MA mengabulkan permohonan warga dan membatalkan izin Primkopkar Perhutani.

Pada bulan November tahun 2018, warga Desa Antajaya dikejutkan dengan kabar adanya izin baru, setelah lama sudah Perusahaan Primkopkar Perhutani berhenti menambang. Keluarnya izin baru atas pertambangan membuat warga Desa Antajaya dirundung rasa ketakutan, yang dahulu kerap dirasakan saat perusahaan tambang beroperasi di daerahnya sejak tahun 1997 sampai tahun 2017.

Ketakutan-ketakutan warga muncul kembali. Warga takut kembali merasakan kesulitan air bersih, bunyi bising yang ditimbulkan dari kendaraan alat berat, adanya pergeseran tanah yang membuat rumah warga rusak, dan akses jalan yang rusak akibat sering dilewati kendaraan alat berat. Aktivitas perusahaan tambang berpotensi merusak kelestarian lingkungan dan mengakibatkan konflik sosial antar sesama warga serta mengganggu akses sosial ekonomi warga yang sebagian besar menggantungkan hidupnya pada pertanian dan perkebunan.

Ancaman, intimidasi, penangkapan dan penahanan juga pernah dialami oleh warga Desa Antajaya yang menolak keberadaan aktivitas pertambangan. Pada bulan Agustus tahun 2015, seorang warga bernama Muhammad Miki mengalami kriminalisasi. Miki dituduh mencuri barang milik perusahaan. Ia ditangkap dan ditahan selama 4 (empat) bulan oleh Polres Bogor, hingga akhirnya diputus bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cibinong, Bogor.

Desember tahun 2016, di lokasi pertambangan, seorang warga bernama Ojak mengalami percobaan pembunuhan dan beberapa warga lainnya mengalami penganiayaan yang dilakukan oleh preman yang diduga digunakan oleh perusahaan. Pelaku tersebut kemudian sudah dilaporkan ke kepolisian dan perkaranya sudah disidangkan di Pengadilan Negeri Cibinong, namun majelis hakim hanya menjatuhkan hukuman 4 bulan penjara.

Izin Baru Masalah Baru

Izin baru yang dikeluarkan oleh DPMPTSP Provinsi Jawa Barat, melalui Surat Keputusan Nomor: 540/41/10.1.06.2/DPMPTSP/2017 tertanggal 18 Agustus 2017, tentang Persetujuan Perpanjangan Kesatu Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Primkopkar Perhutani, disinyalir syarat dengan maladministrasi, karena dalam hal ini penerbitan surat keputusan tersebut tidak mempertimbangkan putusan kasasi MA, yang mengabulkan permohonan warga dan membatalkan izin Primkopkar Perhutani.

Gugatan warga Desa Antajaya yang diajukan pada tanggal 29 Oktober 2015 di Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara Bandung (PTUN Bandung), bermula dari dikeluarkannya Keputusan Bupati Bogor Nomor: 541.3/051/Kpts/ESDM/2011 tertanggal 21 Januari 2011, tentang Penyesuaian Surat Izin Usaha Pertambangan Daerah (SIPD) Eksploitasi menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi atas Nama Koperasi Primer Karyawan Perum Perhutani (Primkopkar Perhutani), yang merupakan pembaharuan izin tahun 1997. Selain itu warga menilai penerbitan izin pertambangan tersebut tanpa melalui pemenuhan syarat-syarat perijinan yang seharusnya, seperti tidak adanya Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dan IUP Eksplorasi sebelum menjalankan produksi.

Melalui kuasa hukumnya Lembaga Bantuan HuKum Keadilan Bogor Raya (LBH KBR), Lembaga Bantuan Hukum Bandung (LBH Bandung) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Barat (Walhi Jabar), berhasil memenangkan Gugatan warga Desa Antajaya di Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung yang sebelumnya sempat kalah di Pengadilan Tinggi. Dengan dimenangkannya permohonan kasasi warga atas pembatalan izin Primkopkar Perhutani, warga berharap agar perusahaan tersebut berhenti melakukan pertambangan di daerahnya. Namun selama persidangan berjalan ternyata perusahaan sudah mendapatkan kembali izin pertambangan sejak tanggal 18 Agustus 2017, sebelum sebulan putusan kasasi dibacakan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 5 September 2017.

Keluarnya surat keputusan perpanjangan izin tambang tersebut, seakan menerobos sekat penghalang yang dibangun warga dalam perjuangannya selama ini menolak tambang. Primkopkar Perhutani dan Pemprov Jabar seakan tak peduli atas hasil putusan kasasi MA tersebut kendati sudah bersifat final dan binding, mereka masih berniat membangun penguasaan atas hutan di Pegunungan Kandaga untuk mencari keuntungan atas tambang.

Pemprov Jabar Fasilitasi Perusakan Lingkungan

Pegunungan Kandaga yang terletak di Desa Antajaya, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor, merupakan kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat 2 Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor Nomor 11 tahun 2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor tahun 2016-2036.

Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang dimanfaatkan untuk memproduksi hasil hutan, dimana dalam pengelolaannya melibatkan peran Perum Perhutani sebagai badan usaha milik negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1972 tentang Pendirian Perusahaan Umum Kehutanan Negara, sebagaimana telah beberapa kali diubah dan diatur kembali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara.

Perum Perhutani melalui Primkopkar dalam melakukan pemanfaatan hutan produksi di Pegunungan Kandaga, melakukan kerjasama dengan PT. Gunung Salak Rekhanusa (PT GSR). PT GSR merupakan perusahaan swasta yang selama ini dilibatkan oleh Primkokar Perhutani dalam kerjasamanya melakukan operasi produksi pertambangan batuan andesit.

Selanjutnya untuk melakukan eksplorasi tambang berupa batuan andesit di Pegunungan Kandaga, pada tahun 2017 Perum Perhutani melalui Primkopkar mendapat izin lokasi eksplorasi dari Pemprov Jabar dengan luas 142,2 Ha. Sementara untuk lokasi produksi Primkopkar Perhutani mendapat konsesi lahan seluas 18,82 Ha yang semula seluas 12,5 Ha.

Dengan bertambahnya luas lokasi produksi dan eksplorasi, Primkopkar Perhutani semakin leluasa melakukan aktivitasnya dalam memanfaatkan hasil hutan di Pegunungan Kandaga untuk pertambangan. Dampak perluasan wilayah izin usaha pertambangan tersebut tentunya akan amat besar dirasakan kembali oleh warga terutama permasalahan hak atas air dan lingkungan hidup yang baik, juga dapat berdampak hilangnya wilayah yang seharusnya dipergunakan sebagai wilayah hutan.

Belum selesai dengan masalah yang ditimbulkan dari aktivitas sebelumnya, yang seharusnya segera dilakukan pemulihan atas kawasan yang terdampak kerusakan lingkungan, Primkopkar Perhutani kembali meminta izin untuk melakukan pertambangan di Pegunungan Kandaga tanpa mengindahkan penolakan yang selama ini dilakukan warga. Selain itu keberadaan tambang memang dirasa warga tidak memberikan manfaat, justru banyak permasalahan yang ditimbulkan karena pertambangan.

Warga Desa Antajaya meyakini gunung adalah “paku bumi”, apabila gunung dirusak (ditambang) maka hilanglah keseimbangan alam semesta dan jika keseimbangan itu hilang, maka bersiaplah terhadap segala bencana (longsor, banjir, hilangnya sumber kehidupan dan sebagainya).

Padahal konstitusi kita mengamanatkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tahun 1945. Maka seharusnya negara maupun pemerintah termasuk juga swasta harus senantiasa menjunjung tinggi dan menjalankan amanat dari konstitusi.

Disamping itu negara juga harus bertanggung jawab terhadap warganya karena rakyat adalah sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara, maka sudah sepatutnya negara mengembalikan hak-hak rakyat yang selama ini terabaikan, seperti permasalahan hak atas air dan lingkungan hidup yang baik sebagaimana selama ini dialami oleh warga desa antajaya.[]

Penulis: Guntur Siliwangi, S.H. (Pengacara Publik LBH Keadilan Bogor Raya)

Tulisan sebelumnya diterbitkan oleh: selamatkanbumi.com

Sunda Wiwitan - Seren Taun - Yayasan Satu Keadilan

Penyelesaian Sengketa Ruang Hidup Masyarakat Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan

Sunda Wiwitan - Seren Taun - Yayasan Satu Keadilan

Tulisan ini dipublikasi oleh Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis
Ditulis oleh Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH KBR) bersama Balai Diklat Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kadipaten

ABSTRAK

Keterpinggiran masyarakat hukum adat di Indonesia masih disaksikan hingga saat ini padahal payung hukum untuk menguatkan posisi masyarakat adat telah ada dalam amandemen UUD 1945 dan Putusan MK No.35. Tulisan ini mengungkap faktor-faktor yang menjadi kelemahan masyarakat hukum adat dalam pengakuan hak-hak tenurial komunal dan mengidentifikasi upaya-upaya penguatannya. Kurang jelasnya wilayah adat, norma adat, anggota beserta tempat tinggalnya adalah faktor penting yang menjadi pertimbangan pengakuan formal dari pemerintah daerah. Ketiadaan pengakuan formal masyarakat hukum adat lambat laun akan mengurangi pengakuan (legitimasi) masyarakat adat tersebut di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Untuk memperkuat posisi masyarakat hukum adat kiranya perlu memperkuat nilai/norma adat yang selama ini dipegang dan diatur adat. Selain itu membuktikan kepemilikan lahan dan wilayah adat serta mendefinisikan anggota masyarakat adatnya adalah penting untuk memperoleh pengakuan formal. Upaya menghindari kontak fisik antara pihak yang bersengketa penting dilakukan para pihak seraya berupaya menurunkan gaya sengketa yang dapat menerima pihak lain.

Selengkapnya:

Untuk Orang-orang Papua: Pemilik Amungsa dan Nemangkawi

Freeport - Yayasan Satu Keadilan

oleh: Zely Ariane (Bidang Kampanye YSK)
Tulisan telah dipublikasi di Harian IndoPROGRESS

MEWAKILI warga Indonesia, kami mesti minta maaf atas apa yang dibicarakan Setya Novanto, Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha R, di balik pengetahuan kamorang rakyat Papua.

Kami juga ikut malu atas kedatangan Saleh Husin, Sudirman Said, Sofyan Djalil dan sejumlah pejabat BUMN ke Tembagapura, dengan Airfast milik PT. Freeport, tanpa merencanakannya bersama dengan pimpinan daerah setempat. Dan kitorang saja hampir-hampir tratau harus taruh muka dimana lagi melihat para petinggi Koalisi Merah Putih maju membela Setya Novanto.

Pembicaraan itu biasa, karena siapa dapat apa dan bagaimana caranya, dalam perebutan 10,64 persen saham divestasi raksasa kapital internasional Freeport, adalah perkara basah bagi kantung para elit. Mereka terbiasa rakus dan korup, agar cepat kaya dan tetap berkuasa. Kalau kamorang ingat, Teten Masduki mengatakan: tak ada Freeport APBN bisa kolaps. Sebesar itulah angka yang sedang mereka perebutkan.

Bagaimana kepedulian mereka terhadap tanah dan nasib kamorang semua, khususnya Amungme, Kamoro, dan suku-suku kerabat lainya? Tak usah ditanya. Presiden katakan ada lima syarat bagi renegosiasi Freeport. Dari kelima syarat tersebut juga tra jelas dimana dorang tempatkan suara-suara pemilik ulayat. Syarat itupun menuntut adanya kepastian perpanjangan kontrak terlebih dahulu.

Riuh-riuh terkait MOU pra renegosiasi Kontrak Karya (KK) ketiga 2021 ini sudah mementaskan banyak drama. Intinya hanya satu: Freeport pegang kendali, karena KK sebelumnya sudah beri dorang kuasa banyak.

Padahal suara-suara kam su riuh, marah, bahkan sesaat setelah PT itu dirikan base camp dan helipad untuk mengeksploitasi areal Nemangkawi tahun 1967. Kemarahan yang jelas, karena mereka menggusur kam pu kebun di Lembah Waa trapake permisi. Perlawanan yang harus, karena dari 100.000Ha pada tahun 1967, lalu 32.000Ha antara tahun 1983-1985, lalu 1 juta Ha, lalu 2,6 juta Ha setelah penandatanganan Kontrak Karya II tahun 1991, tak satupun melalui mekanisme permisi yang benar, apalagi ganti rugi yang layak. Mereka berhasil karena punya tentara bersenjata.

Dorang semua tra pernah pikir kamorang ada. Karena itulah tuntutan 400T untuk ganti rugi lahan sejak 1967 tak mereka gubris, bikin macam telinga batu.

Jadi memang, mereka tak sedang bicarakan nasib kamorang semua. Juga tak sedang bicara situasi kerja dan nasib 30.004 pekerja di sana, dimana kam su setengah mati masuk dan sulit bisa tempati posisi-posisi penting. Mereka hanya bicara angka, yang entah bagaimana masuknya ke kantung negara atau swasta, juga tra jelas, karena tidak atas kuasa dan kontrol kami juga.

Sebetulnya kami malu dengan pembicaraan belakang layar mereka itu. Kalo saja kitorang kuat, kami ingin sekali menggebrak meja dan mendudukkan mereka pada debat perkara yang lebih berguna terkait masa depan Freeport, negeri ini, dan Papua. Perkara yang akan menampar kekuasaan mereka dan kedewasaan politik kami semua.

Seperti yang sudah sejak lama kamorang ingatkan, tapi sedikit sekali di antara kitorang yang mau buka hati, bahwa kontrak pertama PT. FI ilegal karena ditandatangani pada 7 April 1967, sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) diselenggarakan oleh Indonesia di bawah asistensi PBB.

Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) adalah syarat hukum bergabungnya Papua ke wilayah Indonesia, sesuai mandat Perjanjian New York 1962. Tetapi proses Pepera dan Pepera itu sendiri, yang diselenggarakan pada Juli-Agustus 1969, hanya dikuti sekitar 1022 orang, dan dipenuhi rekayasa, peristiwa intimidasi dan kekerasan oleh tentara Indonesia. Utusan PBB pada saat itu, Ortiz Sanz, memberi banyak catatan kritis terhadap proses PEPERA.

Angka 1022 itu memang masalah. Karena pemerintah Orde Baru waktu itu dengan sadar menyatakan tidak akan menyelenggarakan pemilihan bebas, melainkah model setengah perwakilan setengah penunjukkan. Lewat telegram Marshal Green kepada Departemen of State AS, 20 Agustus 1968, kami bisa lihat bagaimana mereka setuju rekayasa itu, dan memosisikan kamorang hanya alas kaki demi kepentingan politik dan ekonomi mereka.

Pada dasarnya yang kami hadapi di sini adalah kelompok-kelompok kesukuan zaman batu buta huruf yang cakrawalanya sangat terbatas, dan tak akan mampu memahami pilihan-pilihan yang diberikan dalam pemungutan suara bebas. Pemilihan bebas bagi kelompok-kelompok semacam ini akan menjadi lelucon saja ketimbang mekanisme curang lainya yang dirancang Indonesia.” Demikian ujar Pace Marshal.

Hingga saat ini resolusi PBB No. XXIV tertanggal 19 November 1969 yang berjudul “Agreement Between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherland concerning West Papua” masih diperdebatkan intepretasinya. Dan kalau kami mau adil, bagian ini juga elemen penting dalam sejarah berdarah negeri ini yang harus kami buka. Sama seperti membuka pembicaraan terkait peristiwa G30S dan pembantaian massal 1965.

Lalu, bagaimana mungkin kontrak karya I Freeport sudah ditandatangani, sementara Papua belum menjadi bagian ‘resmi’ negara Indonesia?

Ini bukti kuasa Freeport bahkan lebih tinggi dari hukum negara. Pemerintahan Orde Baru Soeharto adalah gardanya. Mereka pasti marah mendengarnya, tanpa mau paham argumentasinya. Tetapi mereka memang harus dibuat marah, agar tidak betah dan tahu salah. Mereka harus akui bahwa Freeport sudah jadi elemen penting pendiri Indonesia Orde Baru, karena demi PT itulah UU No. 1 Penanaman Modal Asing (PMA) pertama dikeluarkan 10 Januari 1967. Jadi kami sangat maklum jika para pejabat di sini tak berkutik di hadapan kaki Freeport.

Lalu sekarang banyak yang mengaku-ngaku sedang menjaga kepentingan bangsa dihadapan Freeport. Kitorang minta maaf pada kamorang semua. Kami betul-betul malu. Jangankan evaluasi kontrak karya I dan II, nyali untuk menggertak saja mereka tidak ada—belum tahun 2021 tapi sudah sibuk layani bahkan melobi balik Freeport. Janji untuk tingkatkan nilai tambah lokal buat Papua, sambil tak satupun angkat suara terkait pelanggaran Freeport di Papua selama 48 tahun.

Sekarang tiba-tiba Maroef Sjamsoeddin, Presiden Direktur, macam jadi pahlawan. Permainan apalagi? Kami rasa pesan akhir dari sandiwara ini hanya satu: jangan main-main dengan Freeport, apalagi di tangan mantan petinggi dan Direktur Kontra Separatis BIN itu.

Stop sudah. Mereka baku tipu di hadapan kita semua.

Hanya suara, kehendak, dan perlawanan kamorang semua yang bisa buat Freeport gentar. Bukan dorang yang duduk di istana atau parlemen Indonesia. Kami masih ingat bagaimana gentarnya Freeport ketika 8000-an buruhnya mogok selama enam hari di tahun 2011. Kami tidak tahu apakah pelaku penembakan Petrus Ayamiseba sudah ditangkap atau belum.

Jauh sebelumnya, perlawanan di bawah pimpinan Tuarek Nartkime tahun 1967, protes tahun 1972 di Lembah Tsinga yang mengorbankan sekitar 60 warga Amungme, protes besar-besaran di Mulkindi tahun 1973 karena penggusuran untuk membangun kota Tembagapura, adalah di antara perjuangan yang sanggup memaksa Freeport duduk di hadapan warga Amungme. Tuntutan hanya satu: hargai orang Amungme sebagai manusia yang memiliki hak atas wilayah kehidupan.

Demikian pula rangkaian protes melawan yang dilakukan sepanjang tahun 1990-an bersama Kelly Kwalik, Kamangki Kemong, dan Mama Yosepha Alomang. Hingga tak terhindarkan, beberapa fasilitas Freeport terpaksa dihancurkan di tahun 1996, kota Timika dan Tembagapura lumpuh. Tuntutannya masih sama sederhananya: kesempatan kerja bagi orang asli Papua dan pengembangan manusia khususnya di 7 suku: Amungme, Kamoro, Dani, Damal, Nduga, Moni dan Mee.

Kami juga ingat kam semua berusaha membawa persoalan ini ke ranah hukum dengan menggugat PT. Freeport di New Orleans AS maupun di pengadilan Indonesia. Di luar keberhasilan dan kegagalannya, kamorang su kaseh kitorang pelajaran bagaimana menjadi berani, walau kematian harganya. Kamorang su berjuang dan berdarah banyak. Dan hanya setelah itu (1996) Freeport tingkatkan jumlah karyawan orang Papua asli beserta staf.

Dua tahun lalu Gubernur Papua mengajukan 17 agenda strategis pembangunan Papua kepada Freeport. Apakah sudah memenuhi aspirasi kamorang semua?

Jika untuk hak formal dan legal saja ribuan orang Amungme dan Kamoro mesti berjuang mati, maka buat apa sebenarnya PT. itu ada di Papua?

Hanya kamorang yang berhak beri keputusan. Kitorang akan akan bantu.***

sugeng teguh santoso - Yayasan Satu Keadilan

Diantara Monarki dan Anarki: Pasal 33 Sebagai Jalan Demokrasi

Oleh : Sugeng Teguh Santoso, SH. (Ketua Yayasan Satu Keadilan)1

Abstraksi

Persoalan utama politik adalah distribusi kekuasaan. Reformasi 1998 adalah fondasi politik penting bagi kemungkinan distribusi kuasa yang lebih adil bagi Indonesia baru di masa yang akan datang. Elemen-elemen utama demokrasi dilahirkan dari proses tersebut: pemilu bebas dan langsung, sistem multipartai, kebebasan pers, kebebasan berorganisasi dan berekspresi. National Democratic Institute, misalnya, memberikan 11 indikator demokrasi di satu negeri: Hak sipil politik, hak sosial ekonomi, partisipasi politik, pemilu bebas dan bersih, rule of law, kontrol polisi dan militer, akuntabilitas pemerintahan, korupsi, media, dan tingkat responsifitas pemerintah. Di atas fondasi inilah demokrasi Indonesia seharusnya dibangun. Namun, setelah 17 tahun, seluruh indikator demokrasi itu belum tercapai, dan beberapa aspek yang sudah ada pun dipukul mundur. Sektor penghidupan yang paling tidak banyak mengalami kemajuan demokratik adalah akes dan kontrol terhadap sumber daya alam. Hampir seluruh indikator demokrasi di dalam sektor sumber daya alam tidak menunjukkan kemajuan. Misalnya, akses sumber daya alam masih didominasi/dimonopoli oleh kekuatan oligarki politik lama (Orde Baru), kontrol masih dipegang oleh aparatus militer, kebebasan rakyat untuk mendapatkan imbal hasil, dan terlibat dalam proses penentuan dan pengelolaan sumber daya alam (sesuai Pasal 33) tidak dijamin. Represi, kriminalisasi, penyingkiran masyarakat setempat dan sumber-sumber penghidupannya mendominasi politik sumber daya alam Indonesia dewasa ini. Saluran-saluran demokrasi dihambat, terhambat atau bahkan tidak dan tidak bisa digunakan. Salah satu bentuk respon masyarakat adalah melakukan pengambilalihan, blokade atau aksi-aksi langsung melawan penguasaan sumber-sumber alam tersebut. Pola ini tidak merata dan tidak mendominasi, namun apabila dibiarkan tanpa arah, dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar lagi, dan kemungkinan justru akan merugikan pemenuhan hak-hak azasi sesama manusia.

Pendahuluan

Sebelum masuk ke pokok pembahasan, mari kita kembali telaah definisi dari ketiga sistem politik tersebut.

Pertama, Anarki. Istilah kata ini berasal dari bahasa Yunani kuno, anarchia, mengombinasikan (an) “tidak, tanpa” dengan (arkhos), “penguasa, pemimpin”. Oleh karena itu isitlah ini mengacu pada individu atau masyarakat “tanpa penguasa atau tanpa pemimpin, atau yang tidak mengakui otoritas. Immanuel Kant, seorang filsuf German, menempatkan anarki ke dalam satu jenis ‘pemerintahan’ dimana berlakunya “Hukum dan Kebebasan tanpa Paksaan”. Di dalam filosofi politik anarkisme, istilah dan konsep anarki lalu dikembangkan oleh tokohnya yang paling terkenal Josep Proudhon. Melalui anarkisme, ia berpendapat bahwa kekuasaan negara tidak bermoral dan mengajukan masyarakat tanpa negara yang berbasis pada organisasi-organisasi non hirarki, dan atau asosiasi sukarela.

Pengertian anarki ini penting dibedakan dengan pengetahuan umum yang berkembang dan dikembangkan di masyarakt luas bahwa anarki identik dengan “tindakan-tindakan di luar hukum atau tak mematuhi hukum atau vandal”. Saking seringnya istilah ini digunakan dengan salah, maka anarki sebagai salah satu filosofi politik kekuasaan direduksi sekadar menjadi tindakan yang memiliki aspek merusak.

Kedua, Monarki. Istilah kata ini berasal dari bahasa Yunani monos yang berarti satu, dan archein yang berarti pemerintah. Monarki merupakan sejenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki atau sistem pemerintahan kerajaan. Dalam penggunaannya sekarang monarki biasanya mengacu pada sistem tradisional berdasarkan kekuasaan yang diwariskan. Satu bentuk pemerintahan dimana kedaulatan sebenarnya dipegang/terletak pada satu atau beberapa individu yang berkuasa hingga kematiannya atau hingga turun tahta. Sistem ini berkecenderungan militeritik, otoriter ataupun tirani, dengan kuasa Raja sebagai kepala pemerintahan utama memiliki fungsi yang sakral dalam kedudukan dan dirinya. Hal inilah yang membuat rakyat atau warga negara/kerajaan ini menerima dengan status pemerintahan mutlak ditangan raja.

Ketiga, Demokrasi. Inilah wujud tata pemerintahan yang menjadi sintesa dalam mengatasi kontradiksi antara penguasa dan yang dikuasai di dalam politik. Demokrasi adalah sistem pemerintahan suatu negara berbasis kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara. Sistem demokrasi ini memiliki beberapa varian, namun terdapat bentuk dasar demokrasi yang keduanya menitikberatkan pada jaminan bagaimana keseluruhan badan/institusi warga yang memenuhi syara dapat melaksanakan kehendaknya. Bentuk pertama adalah demokrasi langsung, dimana warga yang bersangkutan memiliki jaminan berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan. Bentuk kedua adalah demokrasi perwakilan, dimana keseluruhan institusi/badan-badan demokrasi warga yang memenuhi syarat merupakan kekuasaan berdaulat yang dijalanlan secara tak langsung melalui wakil-wakil yang dipilih.

Demokrasi perwakilan, yang paling banyak digunakan di era modern, menjalankan prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga karakter lembaga negara yang independen dan berada dalam posisi yang setara. Kesetaraan dan independensi lembaga negara ini diperlukan dengan harapan bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip check and balances. Sistem ini mensyaratkan warga negaranya memiliki hak yang setara dalam pengambilan keputusan didalam pemerintahan.

Bukan monarki dan anarki, landasan filosofis UUD ’45 dan pasal 33 sebagai jalan demokrasi

Landasan filosifis dan historis dibentuknya Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Indonesia dibentuk untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu UUD. Sebagai sebuah konsekuensinya semua pihak terutama penyelenggara Negara (pemerintah dan lembaga Negara) harus taat dan patuh terhadap aturan yang terkandung dalam UUD tahun 1945.

Secara keseluruhan penulis tidak akan membahas pasal-perpasal dan bab perbab, hanya terbatas pada pasal 33 perihal Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, sebagai berikut;

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;

  • Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara;
  • Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
  • Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;

Makna yang tersirat dalam pasal ini sudah jelas Negara memiliki kewenangan penguasaan dalam mengelola cabang-cabang produksi termasuk bumi, air dan kekayaan alam dengan tujuan dan prinsip utama untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya untuk menguji apakah pelaksanaan dari mandate UUD ini dijalankan atau tidak, penulis akan mendeskripsikan secara sederhana melalui kebijakan dan tindakan pemerintah apakah sudah sejalan dengan UUD atau justru malah bertentangan terutama dalam konteks Sumber Daya Alam (SDA).

Pemerataan akses dan jaminan atas kontrol sumber daya (semestinya) dijamin UU

Pada 23 April 2014, di sisa Pemerintahannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 39 tahun 2014. Perpres ini mengatur ketentuan kriteria dan persyaratan bidang usaha yang dapat menjadi bidang penanaman modal (asing) termasuk seberapa besar porsi penguasaannya dalam bidang usaha tersebut. Keluarnya Perpres ini menimbulkan pertanyaan besar terkait argumentasi logis yang mendasari pemberlakuannya. Perpres ini disimpulkan sebagai bagian dari skenario monopoli kapital global yang berjalan di Indonesia dan telah diberlakukan dalam masa pemerintahan SBY, seperti; Agreement on Agriculture (AoA) paket WTO di Bali, pembangunan konektifitas area dan infrastruktur ala MP3EI, kerjasama sektor pertanian, infrastruktur, dan pajak dalam pertemuan G20. Kurniawan Sabar, Manager Kampanye Eknas WALHI menegaskan, “di Indonesia, pengelolaan SDA dan sektor usaha yang berhubungan dengan hajat hidup rakyat sangat bergantung dengan sistem ekonomi politik yang saat ini sedang berjalan.2

Sepanjang sepuluh tahun Pemerintah SBY memimpin Indonesia (2004 -2014), telah terjadi 1.391 konflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan areal konflik seluas 5.711.396 hektar, dimana terdapat lebih dari 926.700 kepala keluarga harus berhadapan dengan ketidakadilan disektor agraria dan mengalami konflik berkepanjangan. Berdasarkan sektor, terjadi sebanyak 536 konflik, bidang infrastruktur 515 konflik, sektor kehutanan 140 konflik, sektor tambang 90 konflik, sektor pertanian 23 konflik, pesisir-kelautan 6 konflik dan lain-lain. Ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat yang tengah berkonflik, tindakan intimidasi dan kriminalisasi, serta cara-cara represif oleh aparat kepolisian dan militer dalam penanganan konflik agraria yang melibatkan kelompok masyarakat petani dan komunitas adat telah mengakibatkan 1.354 orang ditahan, 553 mengalami luka-luka, 110 tertembak peluru aparat, serta tewasnya 70 orang di wilayah-wilayah konflik tersebut dan terus mengalami eskalasi peningkatan.3

Selanjutnya absennya pengawasan pemerintah secara menyeluruh terhadap korporasi besar juga menuai masalah. Hal ini terlihat jelas dalam penerapan aturan pemurnian didalam negeri yang seharusnya telah dilakukan pada tahun 2014 berdasarkan UU No 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara, namun aturan ini mendapatkan penentangan dari PT. Freeport sebagai sebuah perusahaan tambang terbesar di Indonesia.4 Dampaknya terjadi ketimpangan dan ketidakadilan social yang dialami oleh masyarakat di wilayah Papua. Pemerintah Daerah Papua yang dekat dengan lokasi tambang PT Freeport adalah Kabupaten Timika, pertanyaannya dengan kehadiran PT Freeport apakah sudah memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat atau justru hanya mengeruk kekayaan alamnya saja tanpa adanya kontribusi yang positif dalam pelbagai sektor.

Penanganan Konflik SDA Belum Menyeluruh

Walaupun konflik dalam sector SDA terus menerus terjadi, hingga kini belum ada penyelesaian yang menyeluruh dari Pemerintah. Warisan negative pemerintahan yang lalu yang masih menyisakan persoalan harus segera diakhiri. Di rezim Pemerintahan SBY telah dibentuk Tim Khusus Penanganan Konflik SDA dengan melibatkan semua instansi Pemerintah yang diketuai oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Tim ini dibentuk tahun 2012 saat terjadi banyak konflik SDA yang mengakibatkan kerugian jiwa dan harta benda dalam konflik di Mesuji, Lampung dan wilayah Sumatera dan daerah lainnya. Namun sayangnya hingga kini belum ada hasil yang menyeluruh atas berbagai persoalan konflik. Pemerintah hanya sekadar merespos secara cepat saja setiap masalah yang terjadi tanpa didahului oleh konsep yang jelas dan terarah untuk mengurai konflik dan merekomendasikan arah kebijakan dan tindakan ke depan.

Respons Masyarakat, keculasan dan inkonsistensi peraturan perundangan

Karena ketiadaan keadilan sosial dan lambannya pemerintah dalam merespons persoalan maka masyarakat cenderung mengambil jalan sendiri untuk menyelesaikan persoalan. Mulai dari demonstrasi damai hingga berujung pada bentrok dengan aparat keamanan. Sebagai salah satu contoh masyarakat petani di Medan yang berupaya mengambil alih lahan dengan memblokir kendaraan berat milik perusahaan adalah bukti bahwa masyarakat sudah tidak mendapatkan saluran informasi dan penyelesaian yang jelas dari Pemerintah. Saluran formal yang disediakan tidak bisa menyelesaikan berbagai persoalan karena sikap Pemerintah yang cenderung memiliki keberpihakan kepada pemodal ketimbang mensejahterakan rakyat.

Sektor pertambangan adalah contoh paling buruk praktek demokrasi. Di dalam UU Minerba (pasal 10) jaminan partisipasi masyarakat agar didengarkan pendapatnya setidaknya sudah ada. UU itu mengatakan bahwa penetapan wilayah pertambangan dilaksanakan secara transparan, partisipatif dan bertanggung jawab secara terpadu dengan memperhatikan pendapat masyarakat dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya serta berwawasan lingkungan. Namun, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengaborsi partisipasi warga terdampak pertambangan dalam penetapan wilayah pertambangan seperti yang diwajibkan oleh UU Minerba dan telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No 32/PUU-VIII/2010.5

Keputusan itu telah membuat ‘kewajiban menyertakan pendapat masyarakat harus dibuktikan secara kongkret difasilitasi oleh pemerintah. Bukti kongkret tersebut dapat mencegah terjadinya konflik antar pelaku usaha pertambangan dengan masyarakat dan negara yang ada dalam Wilayah Pertambangan tersebut.” Padahal peran fasilitator ini tidak pernah atau sulit sekali dijalankan oleh pemerintah setempat. Ijin-ijin pertambangan yang dikeluarkan tidak melalui mekanisme konsultasi dengan warga dan warga terdampak.

Kasus pembangunan PT. Semen Indonesia Rembang juga demikian juga bermula dari buruknya saluran demokrasi antara warga pegunungan Kendeng, perusahaan dan pemerintah. Bahkan pihak akademik, seperti UGM, telah menyesalkan kesaksian ahli dari dua dosennya yang menyatakan tidak adanya dampak lingkungan dari berdirinya PT. SI.6 Telah lebih dari 300 hari warga menduduki areal perusahaan, sambil terus berupaya masuk dalam saluran-saluran demokrasi untuk didengarkan, namun warga kalah di pengadilan negeri Semarang.

Contoh lain adalah pembangunan projek raksasa MIFFE (Merauke Integrateed Food and Energy Estate) di Merauke, Papua yang telah berlangsung sekitar lima tahun belakangan. Di dalam tradisi Papua, masyarakat adat memiliki hak atas tanah nenek moyangnya atau tanah ulayat. Tidak ada sertifikat untuk jenis kepemilikan semacam itu. Tiap klan memiliki arealnya sendiri. Perusahaan pertama yang masuk seperti Medco memberikan warga desa uang sejumlah 300 juta tanpa konsultasi sebagai “Sertifikat Penghargaan” pada tahun 2009. Masyarakat setempat yang belum mengerti menganggapnya sebagai wujud persahabatan. Mereka tidak menyadari bahwa dengan cara itu mereka telah membebaskan tanah mereka untuk diserahkan pada perusahaan. praktek-prakten perampasan tanah dengan pola seperti ini terus terjadi. bahkan mereka juga menyetujui kompensasi Rp. 2500 per kubik meter kayu di atas lahan tersebut, harga yang sama sekali tidak setara dibanding ketika mereka menjual sendiri.7

Sejak itu dibantu lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan komunitas warga kampung, masyarakat mulai mengorganisir diri dalam bentuk protes dan sosialisasi. Namun tekanan, ancaman dan tuduhan separatisme menjadi senjata meredam protes warga. Pada kasus lain, ancaman tentara lebih eksplisit. Jika kita masih ingat cara perusahaan perkebunan mendapatkan lahan di Sumatra pada zaman Suharto, yang mengancam orang yang dianggap komunis, MIFEE juga demikian. Dari sinilah perusahaan MIFEE disebut-sebut telah melakukan politisasi atas penolakan warga, dengan mengancam akan dituduh dah diperlakukan sebagai separatis OPM. Kekerasan yang dilakukan oleh tentara serta tekanan yang diberikan pada siapa saja yang dituduh sebagai anggota OPM di Papua Barat sudah diketahui oleh banyak orang. Hal itu sudah dianggap cukup menyebarkan kecemasan. Tuduhan semacam itu telah disebarkan oleh konsesi dari salah satu perusahaan besar kelapa sawit, dimana para pengawalnya terdiri dari para anggota Kopassus. Dalam kasus lain baru-baru ini PT Mayora membuat kepanikan di Kampung Yowid dengan membuat tuduhan serupa. Ketika para perempuan dan anak-anak sedang bersiap untuk mengungsi ke hutan, para tetua desa merasa mereka tidak punya pilihan lain selain menandatangani surat yang sudah disiapkan oleh PT Mayora dihadapan mereka.8

Kesimpulan

Dari berbagai catatan singkat di atas beberapa kesimpulan yang mesti dielaborasi lebih jauh adalah:

  1. Proses demokratisasi di Indonesia dan yang paling tampak tertinggal terhambat adalah di sektor agraria dan sumber daya alama.
  2. Lemahnya perlindungan negara dan ketiadaan jaminan bagi partisipasi warga untuk melakukan kontrol atas investasi membawa dampak buruk bagi kemajuan demokrasi sendiri.
  3. Bentuk-bentuk tindakan “main hakim sendiri” yang dilakukan warga, atau aksi-aksi langsung di luar prosedur demokrasi perwakilan adalah ekses dari tidak berjalannya saluran demokrasi, di satu sisi, dan berkembangnya kajian alternatif terkait demokrasi langsung di sisi yang lain.
  4. Pasal 33 adalah jalan tengah yang paling demokratis untuk menunjukkan tanggung jawab sosial negara dalam menyelesaikan berbagai persoalan hak-hak kewarganegaraan dalam bidang SDA, terlebih dalam konteks kebijakan SDA dikuasai oleh monarki korporasi
  5. Program-program Nawacita pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, khususnya Nawacita ke-29 dan ke-710 tidak akan punya makna tanpa perluasan akses dan jaminan atas kontrol SDA ke tangan warga, setidaknya melalui pasal 33. Dalam hal ini pengawasan terhadap insitusi dan aparatus keamanan sangat diperlukan, karena akuntabilitas dan reformasi institusi kemiliteran adalah syarat mutlak perbesaran partisipasi warga, penegakan HAM, penegakan hukum, untuk kesejahteraan sosial.
  6. Ekses-ekses kebudayaan politik monarki dalam oligarki politik dan ekonomi harus dihentikan. Kembali demokrasi adalah saranan kontrolnya. Anarki hanyalah utopia, yang dapat merugikan jika dijalankan oleh komunitas warga/masyarakat tanpa negara hadir sebagai fasilitator berbagai kepentingan yang ada saat ini, dan pelindung kepentingan mayoritas dan kepentingan yang paling rentan/lemah.

1. Penulis adalah Ketua Yayasan Satu Keadilan dan Pendiri Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH-KBR) sebuah organisasi social yang fokus dalam mendorong penegakan Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Selain itu penulis juga adalah sebagai advokat dan Wakil Ketua Umum pada Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)
2. Lihat: http://www.walhi.or.id/di-akhir-masa-pemerintahan-sby-mengeluarkan-kebijakan-yang-menguatkan-monopoli-pemodal.html
3. Lihat : http://www.walhi.or.id/penyelesaian-konflik-agraria-wajib-jadi-prioritas-jokowi-jk.html
4. Lihat : http://www.walhi.or.id/publikasi/httpwww-walhi-or-idpublikasimenagih-janji-menuntut-perubahan?portfolioID=780
5. Lihat: http://www.walhi.or.id/partisipasi-warga-terdampak-pertambangan-diaborsi-jelang-rezim-lelang-wilayah-pertambangan.html
6. Lihat: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/604186-wakil-rektor-ugm-tegur-2-dosen-soal-kesaksian-di-pengadilan
7. lihat: https://awasmifee.potager.org/?p=632
8. Lihat: https://awasmifee.potager.org/?p=632&lang=id
9. “Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.”
10. “Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

sugeng teguh santoso1 - Yayasan Satu Keadiilan

Menelaah Kesiapan Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean

Oleh, Sugeng Teguh Santoso, S.H.
pada diksusi bersama serikat buruh di Bogor pada 11 Mei 2015

Pendahuluan

Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Pemerintah Indonesia harus memiliki kesiapan yang komprehensif dalam pelbagai sektor. Semangat MEA yang akan membangun sebuah system baru perekonomian di Kawasan Asean melalui perdagangan bebas antar Negara anggota Asean tentunya bisa memberikan dampak positif dan negative bagi rakyat. Dalam menghadapi MEA bagaimana peran Pemerintah (Pusat dan Daerah)?

MEA adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN dengan sebuah konsep sistem ekonomi perdagangan bebas antara Negara-negara anggota Asean yang telah menyepakati perjanjian MEA atau ASEAN Economic Community (AEC). Perjanjian ini telah dihasilkan dari proses yang panjang dimulai dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Kuala Lumpur tahun 1997 yang menghasilkan sebuah keputusan untuk mengubah ASEAN menjadi kawasan yang stabil, makmur, dan sangat kompetitif dengan perkembangan ekonomi yang adil, dan mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi. Tahun 2003 dalam KTT lanjutan di Bali pemimpin ASEAN menyatakan bahwa MEA akan menjadi tujuan dari integrasi ekonomi regional  pada tahun 2020. Kemudian dilanjutkan dengan Pertemuan Menteri Ekonomi negara ASEAN pada 2006 di Malaysia, yang menghasilkan keputusan untuk memajukan MEA dengan capaian yang jelas. Terakhir pada KTT ASEAN ke-12 tahun 2007 ditegaskan kembali komitmen pemimpin ASEAN untuk mempercepat pembentukan Komunitas ASEAN tahun 2015. Dengan demikian tahun inilah yang menentukan bagi Pemerintah dalam menghadapi MEA.

Sebagai sebuah kontribusi pemikiran dalam menghadapi MEA, penulis akan memaparkan melalui pendekatan HAM sebagai sebuah pijakan utama yang harus dijadikan pondasi oleh Pemerintah dalam membuat kebijakan dan mengimplementasikan kebijakannya. Hal ini penting dilakukan oleh Pemerintah untuk menjalankan kewajiban Konsitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (3) UUD Tahun 1945; ““Perlindungan, Pemajuan, Penegakan, dan Pemenuhan Hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara terutama Pemerintah.”

Bahwa potensi persoalan-persoalan yang akan dihadapi secara nyata dalam menghadapi MEA adalah; pertama, para pekerja/buruh (industry, property, tani, Pekerja Rumah Tangga/PRT, Migran, pelaku usaha kecil dan menengah, home industry dan pengrajin local dan pekerja dalam sector lainnya) apakah sudah dipersiapkan? Kedua, tingkat jaminan kesejahteraan para pekerja/buruh apakah sudah sesuai dengan standar? Ketiga, bagaimana upaya Pemerintah dalam memberikan jaminan untuk pekerja dan? Keempat bagaimana tanggungjawab korporasi (Asing dan Nasional)? Setidaknya 4 (empat) hal tersebut yang menjadi pilar persoalan yang akan dihadapi dalam MEA.

Kesiapan Pekerja

Kesiapan para pekerja dalam menghadapi MEA merupakan persoalan yang krusial karena akan ada persaingan yang kompetitif dari pekerja Negara-negara anggota ASEAN lainnya jika tidak ada persiapan yang mumpuni. Pekerja Indonesia sendiri sudah melakukan migrasi ke Negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam, sesuai data pada Bank Indonesia yang dimulai dari tahun 2010-2013 meningkat setiap tahunnya, terutama di Malaysia angka tenaga Indonesia mencapai 2,064-2,121 (ribuan orang) peringkat kedua Singapura dan ketiga Brunei Darussalam.[2] Tenaga Kerja Indoensia disejumlah Negara ASEAN sudah mencapai puluhan ribu saat ini yang bekerja pada sector perkebunan, domestic dan sector lainnya.

Migrasi yang dilakukan pekerja Indonesia di Negara ASEAN diakibatkan karena tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan yang tinggi. Angka kemiskinan ditahun 2014 mencapai 10,96 % dengan jumlah 27,73 juta jiwa.[3] Sementara itu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2014 jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,24 juta orang.[4] Sedangkan investasi langsung dari Negara ASEAN di Indonesia berdasarkan data pada Bank Indonesia berada ditingkat teratas adalah Singapura, Malaysia dan Thailand.[5] Sumber (BPS : 2014).

Posisi ekonomi Indonesia di ASEAN berdasarkan pada data yang dipaparkan oleh World Economic Forum (WEF) 2011, daya saing Indonesia di dunia berada di posisi ke 46.  Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara Asean lainnya Singapura yang berada di urutan kedua, Malaysia urutan ke 21 dan Thailand di urutan ke 39.  Indonesia sendiri pada level ASEAN berada diurutan ke-4. [6] Secara ekonomi Indonesia sendiri berada diururan ke-4 ditambah lagi dengan tingkat pengangguran yang masih tinggi dan jaminan kesejahteraan para pekerja yang masih tergolong minim, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) pekerja yang minim, dan daya saing produk dalam negeri yang masih timpang di kawasan ASEAN. Hal tersebut adalah tantangan paling esensial/mendasar bagi Pemerintah dan pekerja serta pelaku usaha local, jika tidak maka Indonesia hanya akan jadi pasar bagi Negara ASEAN lainnya.

Kesiapan Pemerintah dan Pekerja meliputi; perlindungan dan proteksi dari pemerintah terhadap produksi local (dalam negeri) supaya terhindar dari persaingan yang tidak sehat antar pelaku usaha Negara ASEAN lainnya. Perlindungan bagi tenaga kerja baik dari dalam maupun luar negeri menjadi prioritas utama Pemerintah. Ancaman yang nyata sebagaimana pekerja Indonesia di Malaysia, yang telah mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi (disiksa, dianiaya dan perlakuan kejam lainnya) dari majikan dalam sector domestic hingga berujung pada ancaman pidana berupa hukuman mati terhadap 200 tenaga kerja.[7] Pemeirntah juga harus hadir dalam memfasilitasi pekerja dengan pengusaha berdasarkan kebijakan yang sesuai dengan standar HAM.

Minimnya Kesejahteraan Pekerja

Tingkat kesejahteraan pekerja saat ini berdasarkan upah nominal masih tergolong rendah. [8] Terlebih ada sebagian Peraturan yang dibuat lebih memguntungkan pihak investor, sehingga upah yang minim (tidak sesuai standar UMR), jaminan kesejahteraan yang minim, asuransi kerja yang tidak jelas, adanya kriminalisasi, pembatasan dan pemberangusan terhadap Sarikat Pekerja masih terjadi di beberapa tempat. Hal tersebut mendesak diselesaikan terlebih dahulu. Secara khusus upah Minumum Kabupaten Bogor (UMK) hanya naik 15,51 persen dari Rp 2.242.240 menjadi Rp 2.590.000 & Kota Bogor hanya naik 13 persen dari Rp 2.352.350 menjadi Rp 2.658.155. [9] Di sisi yang lain upah pada buruh Tani pada tahun 2014 juga mengalami penurunan.[10]

Dengan posisi upah kerja sebagaimana di atas tentunya masih jauh dari apa yang diharapkan oleh pekerja karena tidak bisa menjawab persoalan standar kebutuhan pekerja; sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan sosial. Beban hidup keluarga dari upah tidak sekadar soal makan, namun jaminan kesejahteraan yang paling mendasar sebagaimana kewajiban Pemerintah dalam UUD 1945 “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (pasal 27 ayat 2) dan “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” (pasal 28D ayat 2)

Peran dan Tanggungjawab Pemerintah

Peran dan tanggungjawab Negara terhadap hak dan jaminan pekerja sebagai warga Negara sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD Tahun 1945 harus diimplementasikan menjadi nyata. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah memiliki program prioritas dalam membangun perekonomian masyarakat secara mandiri melalui “Nawa Cita”. Pada poin program Nawa Cita ke-7 dinyatakan )”Kami akan mewujudkan Kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.” Dengan demikian kesiapan dalam menyongsong MEA yang tidak akan lama lagi dimulai harus dimulai dengan lebih serius saat ini.

Dalam perspektif hukum, kebijakan Indonesia yang mengikatkan diri pada MEA merupakan sebuah perjanjian internasional yang menjadi kewenangan dari Presiden sebagaimana UU No 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Namun setiap kesepakatan dan perjanjian yang dibuat bersama Negara lain dalam bentuk bilateral dan kawasan (ASEAN) tidak boleh mengesampingkan UUD tahun 1945 dan HAM. Indonesia mengikatkan diri pada MEA berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2014 tentang Pengesahan Protocol to Amend Certain ASEAN Economic Agreements Related to Trade in Goods (Protokol untuk Mengubah Perjanjian Ekonomi ASEAN Tertentu terkait Perdagangan Barang).

Didalam Peraturan ini terdapat dua pasal yang mengikat secara hukum (legaly Binding) dan menjadi kewajiban bagi Indonesia sebagai negara anggota ASEAN, sebagai berikut ; “Negara-negara Anggota wajib menyelenggarakan perundingan-perundingan yang diarahkan untuk mempercepat komitmen-komitmen Negara-Negara Anggota terkait dengan produk-produk TIK, layanan TIK dan penanaman modal berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN, Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN di bidang Jasa, dan Persetujuan Penanaman Modal Menyeluruh ASEAN.” (pasal 2) dan “1. Setiap Negara Anggota wajib menghapuskan bea Impor pada produk-produk Sektor Integrasi Prioritas sesuai dengan Pasal 19(2)(a)(i) dan Pasal 19(2)(c) sesuai Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN.” (pasal 3)

Dua pasal dalam peraturan ini sudah tentu wajib dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dan Negara-negara ASEAN lainnya yang telah mengikatkan diri pada MEA. Pengaturan tentang percepatan, penanaman modal dan penghapusan bea impor pada produk yang ada disektor integrasi prioritas. Selain itu Pemerintah juga harus mentransformasikan secara utuh spirit dari MEA yang memiliki gagasan yang visioner dengan bermuara pada pemerataan dan keadilan ekonomi serta mengurangi kemiskinan di kawasan ASEAN. Terlebih tingkat kemiskinan di Indonesia relative tinggi karena tingkat pengangguran yang terus bertambah. Pemerintah harus mempertimbangkan masukan serius dari pendahulunya, Presiden B.J. Habibie yang memberikan masukan kepada Pemerintahan saat ini untuk menyediakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi generasi muda.[11]

Tiga kewajiban Pemerintah terhadap HAM; Menghormati, berarti mengharuskan negara untuk menghindari tindakan-tindakan intervensi negara terhadap HAM. Melindungi berarti mengharuskan negara mengambil kewajiban positifnya untuk menghindari pelanggaran HAM. Memenuhi berarti mewajibkan negara mengambil langkah-langkah efektif (admisnitrasi, yudisial dan non-yudisial) untuk pemenuhan atas HAM. Ketiga hal tersebut menjadi 3 (tiga) kewajiban utama yang harus menjadi tanggungjawab negara terutama Pemerintah dalam persoalan HAM atau dikenal dengan trias of state obligation sehingga tanggungjawab dalam persoalan HAM secara menyeluruh dan utama ada pada negara.

Selanjutnya arus tenaga kerja Negara-negara ASEAN lainnya dalam sector perdagangan dan lainnya akan terus bertambah di Indonesia. Dengan demikian Pemerintah harus memastikan jaminan-jaminan bagi tenaga kerja dalam pelbagai sektor (industri, domestik, migran dan pelaku usaha kecil menengah) sehingga para pekerja Indonesia bisa bersaing dengan kualitas yang handal dan profesional. Kemudian kebijakan-kebijakan dan peraturan yang tidak sejalan dengan kepentingan Negara sebagaimana UUD tahun 1945 dan HAM serta merugikan pekerja harus direvisi dan dievaluasi secara korektif. Perusahaan-perusahaan baik local, nasional dan internasional harus dipastikan tunduk pada Konsitusi Indonesia.

Peran dan Tanggungjawab Perusahaan

Lahirnya korporasi tidak terlepas dari buah kolaborasi dan resiprokalitas yang dinamis. Dalam perkembangan modernitas, korporasi menjelma menjadi salah satu aktor pembangunan yang genuine. Sekalipun dalam capaiannya diakui lebih menitikberatkan aspek kepentingan para pemilik modal, namun disadari terdapat relasi yang kuat antara kepentingan korporasi dengan taraf kemajuan kualitas kehidupan masyarakat.

Dalam perjalanannya kekuatan korporasi cukup besar bahkan bisa mendominasi sebuah kebijakan negara dengan sokongannya melalui proses Pemilu yang demokratis. Terlebih perusahaan-perusahaan raksasa atau dikenal dengan korporasi Trans Nasional telah menggeser kekuasaan negara yang berdaulat sehingga mengecilkan dan melemahkan kewajiban dasar negara terhadap warganya. Hal tersebut diperparah dengan adanya praktik suap yang “akut” sehingga laku birokrasi pemerintah tunduk pada petuah korporasi. Akibatnya banyak pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan oleh negara melalui aparatusnya karena keberpihakan negara kepada korporasi sehingga mengabaikan HAM. Selain itu berdasarkan laporan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebutkan perilaku korupsi berupa penyuapan (bribery) banyak dilakukan oleh kalangan pengusaha besar dari negara-negara maju, persepsi selama ini bahwa korupsi hanya menjadi masalah negara berkembang sama sekali tidak berdasar. [12] Sejatinya jaminan HAM adalah sebagai pilar utama negara demokrasi. Dalam konteks inilah lahir sebuah penajaman konsep bisnis & HAM yang bertujuan mendorong peran negara dalam perlindungan dan mendorong perusahaan memberikan penghormatan terhadap HAM.

Memahami tanggujawab perusahaan terhadap perusahaan setidaknya ada 3 (tiga) pilar bisnis dan HAM berdasarkan prinsip Prof. John Ruggie. Tahun 2005. John Ruggie merupakan salah satu pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diberikan mandat oleh Sekjend PBB sebagai pelapor khusus untuk bisnis dan HAM, kemudian pada tahun 2011 ia menyerahkan laporan kepada sidang PBB hinggga akhirnya disahkan menjadi prinsip-prinsip panduan sebagai praktek standar global bisnis dan HAM yang diharapkan diikuti oleh negara dan perusahaan. Tiga pilar tersebut antara lain; Kewajiban negara untuk Melindungi Hak Asasi Manusia, Tanggung Jawab Perusahaan untuk Menghormati Hak Asasi Manusia dan Akses yang lebih luas untuk pemulihan korban yang terkait dengan kegiatan usaha perusahaan. Ketiga pilar ini harus dijadikan prinsip oleh Negara dan perusahaan.

Tanggungjawab utama Perusahaan (Lokal, Nasional dan Internasional) adalah menghindari pelanggaran HAM dengan tidak melakukan pelanggaran terhadap hukum dan HAM nasional dan internasional dan memangani dampak HAM yang telah dirugikan oleh Perusahaan berupa pemulihan yang efektif. Untuk menjalankan tanggungjawab utamanya “penghormatan terhadap HAM”, perusahaan harus melakukan langkah-langkah yang bijak, sebagai berikut; pertama,membangun komitmen perusahaan terhadap HAM yang berarti semua kebijakan internal perusahaan dan berbagai SOP lainnya tidak boleh melanggar HAM dan aturan hukum nasional. Kedua, dengan melakukan uji tuntas; mengidentifikasi, mencegah, mengurangi dampak hak asasi manusia dan proses ini mencakup penilaian dampak HAM yang ada saat ini dan berpotensi untuk timbul; mengintegrasikan dan mengambil tindakan terhadap temuan; pelacakan umpan balik, dan mengkomunikasikan bagaimana dampak negatif telah diatasi. Ketiga, memiliki mekanisme pemulihan yang efektif atas dampak yang merugikan masyarakat.

Kesimpulan

Berdasarkan hal tersbut penting bagi Negara terutama Pemerintah dalam mempersiapkan Indonesia menuju MEA dengan cepat dan terarah. Namun persoalan utama; pengangguran, angka kemiskinan yang masih tinggi dan tingkat kesejahteraan buruh yang masih minim serta kebijakan yang masih diskriminatif terhadap buruh harus segera mendapatkan prioritas penyelesaian baik kebijakan pada tingkat nasional maupun daerah. Pemerintah juga harus memastikan jaminan-jaminan bagi tenaga kerja dalam pelbagai sektor (industri, domestik, migran dan pelaku usaha kecil menengah, petani dan pekerja lainnya) sehingga para pekerja Indonesia bisa bersaing dengan kualitas yang handal dan professional untuk menjaga wibawa dan martabat Negara.

Hal tersebut mendesak dilakukan dengan segera oleh Pemerintah, jika tidak maka Indonesia hanya akan jadi penonton dalam kompetisi perdagangan bebas ASEAN melalui MEA dan pasar bagi Negara-negara ASEAN lainnya. Sebagai langkah awal bisa dilakukan dengan mereview seluruh kebijakan tentang ketenagakerjaan untuk disinkronisasi dan direvisi agar sejalan dengan penghormatan terhadap HAM. Negara tidak boleh diintervensi oleh Perusahaan local, nasional dan internasional. Selain review, Pemerintah juga bisa mulai menyusun skema kerja yang jelas berkenaan dengan persiapan menuju MEA dengan skema yang berbasiskan persoalan nyata dan yang terus terjadi dalam dunia perdagangan dan tenaga kerja. Tanpa itu MEA tidak akan menghasilkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia!


[1] Penulis adalah Ketua Yayasan Satu Keadilan dan Pendiri Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH-KBR) sebuah organisasi social yang fokus dalam mendorong penegakan Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Selain itu penulis juga adalah sebagai advokat dan Wakil Ketua Umum pada Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)
[2] Lihat : http://www.bi.go.id/seki/tabel/TABEL5_30.pdf diakses pada 7 Mei 2015
[3] Lihat : http://www.bps.go.id/website/brs_ind/brsInd-20150415113748.pdf diakses pada 7 Mei 2015
[4] Lihat : http://nasional.kontan.co.id/news/jumlah-pengangguran-terbuka-indonesia-724-juta diakses pada 6 Mei 2015
[5] Lihat : http://www.bi.go.id/seki/tabel/TABEL5_33.pdf
[6] Lihat : http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/13/05/24/mnadgu-indonesia-hanya-menduduki-peringkat-empat-di-asean diakses pada 7 Mei 2015
[7] Lihat : http://www.antaranews.com/berita/482423/sekitar-200-tki-terancam-hukuman-mati-di-malaysia diakses pada 7 Mei 2015
[8] Lihat : http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1436
[9] Lihat : http://regional.kompas.com/read/2014/11/22/07020041/Ini.UMK.Jawa.Barat.2015 diakses pada 7 Mei 2015
[10] Lihat : http://finansial.bisnis.com/read/20141001/9/261721/upah-buruh-tani-terperosok-ke-level-terendah diakses pada 7 Mei 2015
[11] DIsampaikan dalam acara dengan tema Mata Najwa on Stage yang kali ini bertema “Suara Anak Negeri” menghadirkan BJ Habibie sebagai tamu utama pada 29 April 2015 di Universitas Indonesia
[12] Lihat : http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2014-12-03/laporan-oecd-sebut-perilaku-korupsi-melilit-negara-maju/1395497, http://news.detik.com/read/2014/12/03/104102/2766184/1513/laporan-oecd-sebut-perilaku-korupsi-melilit-negara-maju diakses pada 7 Mei 2015