Patung-patung yang Menakutkan
“Saya merasa nyaman ketika saya bersama dengan perbedaan ini. Merasa terbentuk menjadi manusia”
Awal mula saya menginjak gereja saya merasa takut, karena melihat banyak patung-patung yang sebelumnya belum pernah saya temui, hanya saja lihat di televisi. Saya salah satu dari keluarga dan di lingkungan yang intoleran, di mana saya tidak diperkenalkan dari kecil dengan perbedaan keyakinan, pemahaman-pemahaman ras, suku dan agama.
Sebelumnya saya mengikuti forum/komunitas yang belum saya pernah ikuti. Dalam forum tersebut cukup menarik membahas toleransi dan kemanusian, setelah itu saya diberikan pemahaman dasar mengenai Kristen, ternyata dijelaskan bahwasannya Kristen ada 2, yaitu Protestan dan Katolik. Saya benar-benar dijelaskan sambil memikirkan, hingga saya mengenal sedikit-sedikit Katolik itu apa dan Protestan itu bagaimana.
Ketika saya memposting kegiatan ke sosial media, saya berteman dengan banyak teman yang intoleran, sehingga banyak sekali hujatan. Cacian, makian, hinaan, yang lebih parahnya saya dibilang murtad, dan saya diberikan dalil mengenai barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia kaum tersebut. Dan saya sebagai orang awam dengan pengetahuan agama yang minim, banyak yang melabel saya hingga membully langsung maupun di sosial media.
Komentar buruk juga datang dari keluarga saya. Mereka melihat postingan saya di whatsapp dan facebook, mereka berkomentar yang tidak mengenakan hati. Ketika saya ketemu langsung pulang ke rumah, orang tua saya menegur dan mengomeli saya. Yang lebih menyakitkan perkataan orang tua saya adalah saat mereka menganggap sebelah mata dengan yang beda. Mungkin ini salah satu kekhawatiran orang tua saya dan mengawasi anaknya untuk bergaul. Tetapi sekali saya memberi pemahaman terhadap orang tua saya, tetapi di hadapan orang tua saya, saya tetap salah.
Hari demi hari saya selalu memikirkan omongan yang dilontarkan pada saya mengenai orang Kristen. Saya malah akan tetap mencari tahu, lalu saya gabung di komunitas lintas agama di Bogor. Saya berinteraksi langsung dengan setiap waktu bertemu dengan tokoh-tokoh pemuka agama di kota Bogor. Saya terus belajar memahami, terus mencari tahu, ternyata dengan apa yang dibicarakan oleh orang tua maupun teman-teman saya itu salah.
Malah saya merasa nyaman ketika saya bersama dengan perbedaan ini. Merasa terbentuk menjadi manusia yang tidak dengki yang menganggap yang berbeda itu jelek di mata saya. Maupun keluarga serta di lingkungan.
Sampai saat ini pun saya masih merasa di lingkungan orang yang intoleran, yang di mana setiap saya mengikuti kegiatan antar iman selalu mereka mengumpat. Bahkan sosial media keluarga saya, saya block sehingga mereka tidak bisa melihat kegiatan saya selama ini, karena saya percaya di dalam keluarga pun perbedaan pemahamaan pasti ada saja. Saya tidak mempermasalahkan perbedaan pemahaman dan cara mereka menyikapi dan memahaminya.
Refleksi yang saya dapatkan selama ini dengan orang-orang yang berbeda keyakinan, saya merasa saling mengasihi, menghargai menghormati antar sesama manusia.
Tentang Penulis:
Hanifatullah Azzahra, seorang mahasiswa di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Keingintahuannya tentang perbedaan dan toleransi membuat ia ikut dalam pelatihan Penggerak Perdamaian. Karena baginya, hal yang lebih penting dari kehidupan adalah saling mengasihi dan tidak memandang perbedaan. Sekarang, Hani menambah aktivitas positifnya lewat komunitas Gerakan Penggerak Perdamaian.