Patung-patung yang Menakutkan

Saya merasa nyaman ketika saya bersama dengan perbedaan ini. Merasa terbentuk menjadi manusia

Awal mula saya menginjak gereja saya merasa takut, karena melihat banyak patung-patung yang sebelumnya belum pernah saya temui,  hanya saja lihat di televisi. Saya salah satu dari keluarga dan di lingkungan yang  intoleran, di mana saya tidak diperkenalkan dari kecil dengan perbedaan keyakinan, pemahaman-pemahaman ras, suku dan agama.

Sebelumnya saya mengikuti forum/komunitas yang belum saya pernah ikuti. Dalam forum tersebut cukup menarik membahas toleransi dan kemanusian, setelah itu saya diberikan pemahaman dasar mengenai Kristen,  ternyata dijelaskan bahwasannya Kristen ada 2,  yaitu Protestan dan Katolik. Saya benar-benar dijelaskan sambil memikirkan, hingga saya mengenal sedikit-sedikit Katolik itu apa dan Protestan itu bagaimana.

Ketika saya memposting kegiatan ke sosial media,  saya berteman dengan banyak teman yang intoleran, sehingga banyak sekali hujatan.  Cacian, makian, hinaan, yang lebih parahnya saya dibilang murtad, dan saya diberikan dalil mengenai barang siapa menyerupai suatu kaum,  maka dia kaum tersebut.  Dan saya sebagai orang awam dengan pengetahuan agama yang minim, banyak yang melabel saya hingga membully langsung maupun di sosial media.

Komentar buruk juga datang dari keluarga saya. Mereka melihat postingan saya di whatsapp dan facebook, mereka berkomentar yang tidak mengenakan hati.   Ketika saya ketemu langsung pulang ke rumah, orang tua saya menegur dan mengomeli saya. Yang lebih menyakitkan perkataan orang tua saya adalah saat mereka menganggap sebelah mata dengan yang beda. Mungkin ini salah satu kekhawatiran orang tua saya dan mengawasi anaknya untuk bergaul.  Tetapi sekali saya memberi pemahaman terhadap orang tua saya, tetapi di hadapan orang tua saya, saya tetap salah.

Hari demi hari saya selalu memikirkan omongan yang dilontarkan pada saya mengenai orang Kristen. Saya malah akan tetap mencari tahu, lalu saya gabung di komunitas lintas agama di Bogor. Saya berinteraksi langsung dengan setiap waktu bertemu dengan tokoh-tokoh pemuka agama di kota Bogor. Saya terus belajar memahami, terus mencari tahu, ternyata dengan apa yang dibicarakan oleh orang tua maupun teman-teman saya itu salah.

Malah saya merasa nyaman ketika saya bersama dengan perbedaan ini.  Merasa terbentuk menjadi manusia yang tidak dengki yang menganggap yang berbeda itu jelek di mata saya.  Maupun keluarga serta di lingkungan.

Sampai saat ini pun saya masih merasa di lingkungan orang yang intoleran, yang di mana setiap saya mengikuti kegiatan antar iman selalu mereka mengumpat.   Bahkan sosial media keluarga saya, saya block sehingga mereka tidak bisa melihat kegiatan saya selama ini, karena saya percaya di dalam keluarga pun perbedaan pemahamaan pasti ada saja. Saya tidak mempermasalahkan perbedaan pemahaman dan cara mereka menyikapi dan memahaminya.

Refleksi yang saya dapatkan selama ini dengan orang-orang yang berbeda keyakinan, saya merasa saling mengasihi, menghargai menghormati antar sesama manusia.

Tentang Penulis:
Hanifatullah Azzahra, seorang mahasiswa di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Keingintahuannya tentang perbedaan dan toleransi membuat ia ikut dalam pelatihan Penggerak Perdamaian. Karena baginya,  hal yang lebih penting dari kehidupan adalah saling mengasihi dan tidak memandang perbedaan. Sekarang, Hani menambah aktivitas positifnya lewat komunitas Gerakan Penggerak Perdamaian.

NU ku Bukan Garis Lurus

Tetapi ada yang berbeda dari training di YSK ini, karena pertama kali saya mengenal dan paham apa itu Ahmadiyah dan bagaimana lingkup keseharian Ahmadiyah. Hasilnya jauh dari yang saya bayangkan sebelumnya. Karena bagi saya, bagimu kepercayaanmu, bagiku kau saudaraku.

Menanggapi berita yg beredar di media sosial bahwasanya dengan mengatasnamakan NU yg bergaris lurus mereka menyerang dan membullying seorang Kyai Besar Pimpinan NU yg sebenarnya saat ini.

Tindakan mereka tidak menunjukan toleransi kebebasan beragama, seperti halnya mereka menyerang kelompok yang tidak melaksanakan ibadah puasa bulan ramadhan, sweeping tempat-tempat yg mereka anggap melanggar agama dengan kekerasan fisik maupun secara ekstremis.

Tindakan kelompok ini menunjukan bahwasanya mereka ingin negara kita ini menjadi negara Khilafah yg anti agama selain Islam, kelompok ini mengharamkan masuk gereja dan tempat ibadah lainnya selain masjid yg di gunakan untuk ibadah orang muslim.

Padahal sebenarnya di NU sendiri benar-benar menjunjung tinggi sikap toleransi, berdampingan langsung dengan umat beragama lainnya untuk membangun dan menjaga keutuhan NKRI.

Dikutip dari salah satu dawuh seorang Kyai dan ulama besar alm. KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) pernah berkata, “Kalau kau masih terganggu imanmu ketika berada di dalam Gereja, Maka imanmu yg bermasalah

Pengalaman saya mengenal dunia toleransi sudah saya rasakan dan dapatkan, mulai dari saya mengikuti training perdamaian di Peacegen.id CommondGround.id kemudian di Yayasan Satu Keadilan (YSK), tetapi ada yang berbeda dari training di YSK ini, karena pertama kali saya mengenal dan paham apa itu Ahmadiyah dan bagaimana lingkup keseharian Ahmadiyah. Hasilnya jauh dari yang saya bayangkan sebelumnya. Karena bagi saya, bagimu kepercayaanmu, bagiku kau saudaraku.

Tentang Penulis:
Zaenal Abidin, tinggal di Cirebon dan kuliah di Universitas Swadaya Gunung Jati. Sebagai seorang muda yang aktif di Gusdurian, ia ingin menebar perdamaian lewat media sosial maupun secara langsung. Sekarang, Zaenal menambah aktivitas positifnya lewat komunitas Gerakan Penggerak Perdamaian.

Apa Indahnya Dunia Tanpa Cinta?

Dari sini saya belajar, bahwa manusia yang diciptakan Tuhan memiliki berbagai macam warna yg seharusnya dijaga agar tidak memudar dan memaksa disatukan dengan warna lainnya. Sebab bukankah pelangi terlihat lebih indah dengan warna-warninya dibanding dengan satu warna saja?

Apa indahnya pelangi kalau hanya satu warna? Apa indahnya bumi kalau tanpa cinta? Hal itu yg secara pribadi dapat saya simpulkan dari kegiatan ini. “Pelatihan Penggerak Perdamaian: GENERASI MUDA SEBAGAI PIONIR PERDAMAIAN” yang diselenggarakan oleh Yayasan Satu Keadilan bersama Paritas Institute dan didukung oleh Search for Common Ground Indonesia yang dilaksanakan dari hari Jumat, 11 Oktober 2019 sampai dengan Minggu, 13 Oktober 2019 di Joglo Keadilan, Kemang – Kabupaten Bogor.

Begitu banyak hal yang saya dapatkan di sini; wawasan baru oleh pembicara dari berbagai macam organisasi maupun komunitas, teman-teman baru dari berbagai suku maupun latar belakang berbeda, narasumber lintas agama maupun lintas iman, pandangan-pandangan baru dari perspektif yang selama ini belum saya dalami dan refleksi sedikit dari sekian banyak keanekaragaman budaya Indonesia.

Beruntung sekali disini saya mendapat kesempatan bisa tinggal dan hidup bersama di lingkungan yang multikultural. Berkesempatan langsung berdiskusi dengan orang-orang dari Timur, para aktivis, berbagi pengalaman stigma sampai stereotype yang sering melekat, berkunjung dan menemui langsung tokoh-tokoh lintas agama di Gereja Santo Ignatius Loyola dan tokoh-tokoh lintas iman di Kampus Mubarak Jemaat Ahmadiyah Indonesia, sampai dengan menyaksikan sendiri ritual Sunda Wiwitan salah satu budaya adat Indonesia yg membuat bulu kuduk merinding.

Dari sini saya belajar, bahwa manusia yang diciptakan Tuhan memiliki berbagai macam “warna” yg seharusnya dijaga agar tidak memudar dan memaksa disatukan dengan “warna” lainnya. Sebab bukankah pelangi terlihat lebih indah dengan warna-warninya dibanding dengan satu warna saja? Percayalah, perbedaan itu ada bukan untuk dipukul tapi untuk dirangkul. Mari, bersama-sama kita #MerangkaiDamai membuat #DamaiSejakDini demi #KeadilanUntukSemua.

Sebab kita butuh lebih banyak cinta agar kekerasan tidak menjadi budaya

Tentang Penulis:
Fenty Silkprida, seorang mahasiswa Bakrie University dan aktif di Foreign Policy Community of Indonesia. Di desanya, Fenty aktif di BPD & Karang Taruna. Harapannya sederhana, ingin memelihara suasana damai dan toleransi di desanya. Sekarang, Fenty menambah aktivitas positifnya lewat komunitas Gerakan Penggerak Perdamaian.

Haram tidak ya? Dosa Tidak Ya?

Disini aku memahami dan mengerti kita semua berbeda dan pasti berbeda. Aku tidak bisa memaksa mereka mengikuti apa yang aku mau dan mereka juga tidak bisa memaksakan aku mengikuti apa yang mereka mau. Ya cukup saling menghargai aja sih kuncinya.

Instagram mempertemukan ku dengan Yayasan Satu Keadilan. Awalnya submit karena iseng aja, ternyata diterima untuk mengikuti kegiatan ini. Ini yayasan apa ya? Nanti di brainwash ga ya? Semua pertanyaan kayak bermunculan gitu aja. Coba cari di internet ya ada sih tentang Yayasan Satu Keadilan tapi kan semua bisa ada di internet. Akhirnya nekat lah datang dengan bismillah karena ini merupakan pengalaman pertama training yang Yayasan/komunitas penyelenggaranya aku ga pernah dengar sebelumnya.

Setelah mengikuti training, wah ternyata semuanya benar-benar baru buat aku. Hari pertama training tentang materi-materi yang membuka rasa dan hati tentang perbedaan. Hari kedua kami visit ke tempat ibadah yang lagi-lagi ini pertama kali untuk ku.

‘Gereja’ kata yang selama ini tertanam di pikiran ku haram rasanya untuk menginjakkan kaki di sana. Awal memasuki gereja rasanya takut dosa ga ya, ini haram ga ya tapi aku rasa penasaran akhirnya mengalahkan rasa takut tadi. Aku masuk kesana dan ini memang tempat ibadah biasa, sama seperti masjid tempat kami orang Islam beribadah.

Setelahnya kami mengunjungi Ahmadiyah, aliran agama Islam yang katanya di diskriminasi karena ajarannya yang sesat. Bahkan aku yang Islam dari kecil, baru pertama kali mendengar aliran ini. Menurut ku ini cukup ekstrim karena kami sama-sama Islam tapi paham atau keyakinan dasar yang cukup penting tentang ‘Imam Mahdi’ kami bisa berbeda. Aku masih belum bisa mengerti mengapa kami bisa berbeda.

Disini aku memahami dan mengerti kita semua berbeda dan pasti berbeda. Aku tidak bisa memaksa mereka mengikuti apa yang aku mau dan mereka juga tidak bisa memaksakan aku mengikuti apa yang mereka mau. Ya cukup saling menghargai aja sih kuncinya.

Tentang Penulis:
Putri Nurul Ulfa, kuliah di STIE Triguna Bogor, melalui media sosial dan temannya, ia ikut pelatihan Penggerak Perdamaian dengan harapan ingin berkontribusi untuk perdamaian dunia khususnya di Bogor. Sekarang, Putri menambah aktivitas positifnya lewat komunitas Gerakan Penggerak Perdamaian.

Datang dan Jumpai Perbedaan

Dengan perbedaan bukan berarti memperburuk keadaan. Dengan adanya pandangan Ahmadiyah sendiri, kita harus melakukan diskusi yang lebih intens. Untuk menyatukan semua pemikiran kita tentang islam itu sendiri. Jangan hanya karena perbedaan kita menjadi bercerai-berai. Saling menghargai lah satu sama lain.

Gereja merupakan tempat ibadah untuk umat yang beragama Kristen. Saya yang beragama Islam tentu saja penasaran dengan ibadah mereka seperti apa. Walaupun beberapa keluarga saya juga beragama Kristen tapi saya belum pernah ke gereja.

Saya yang sudah berada di lingkungan yang memang dasarnya banyak perbedaan merasa biasa saja. Dan lebih saling menghargai satu sama lain. Kemarin, saya pertama kali ke gereja dan Romo banyak menjelaskan sedikit banyak tentang Kristen (terutama Katolik) merasa bahwa mereka semua benar-benar menjalankan ibadahnya dengan tulus. Ada juga peraturan-peraturan yg didalamnya sama halnya dengan Islam. Yang intinya menurut saya semua agama itu sama, hal membedakan adalah cara beribadah dan beberapa peraturan yang berbeda.

Lalu, kemarin juga berkunjung ke Ahmadiyah. Saya juga baru pertama kali mendengar dan mengetahui ternyata di Islam pun selain Muhammadiyah dan NU ada yang namanya Islam Ahmadiyah. Saya kemudian search di google tentang Ahmadiyah ini, tapi kebanyakan menyatakan bahwa Ahmadiyah itu menyesatkan. Mereka percaya bahwa setelah Nabi Muhammad masih ada lagi Nabi setelahnya. Tapi, dari paparan kemarin, menurut saya mereka itu tidak percaya bahwa ada nabi setelah Nabi Muhammad. Menurut mereka bahwa ada seseorang yang meneruskan ajaran Nabi Muhammad, dan mereka mempercayai orang itu atau yang biasa disebut sebagai Mujaddid. Dan mereka tidak menganggap bahwa ada nabi setelah Nabi Muhammad. Menurut mereka, di Ahmadiyah sudah ada Mujaddid sedangkan di Islam yang lain belum ada atau masih menunggu. Dan memang benar di Ahmadiyah sendiri menurut saya berbeda dengan Islam yang lain.

Nah justru perbedaan itulah yang akan menyatukan kita. Dengan perbedaan bukan berarti memperburuk keadaan. Dengan adanya pandangan Ahmadiyah sendiri, kita harus melakukan diskusi yang lebih intens. Untuk menyatukan semua pemikiran kita tentang islam itu sendiri. Jangan hanya karena perbedaan kita menjadi bercerai-berai. Saling menghargai lah satu sama lain.

Tentang Penulis:
Winda Saputri, seorang mahasiswa di Institut Pertanian Bogor yang saat ini aktif di Rumah Millenials. Winda mengikuti pelatihan Penggerak Perdamaian karena ingin merasakan bagaimana rasanya tinggal di lingkungan yang multikultural dan tentu saja untuk menyuarakan perdamaian lewat hastag #Damaisejakdini. Sekarang, Winda menambah aktivitas positifnya lewat komunitas Gerakan Penggerak Perdamaian.

Sakramen Pengakuan Dosa, Sebuah Keberuntungan

Saya kira tidak mudah mengungkapkan dosa atau permasalahan hidup, apalagi bagi orang-orang yang tidak mudah mempercayai orang lain untuk dijadikan sebagai tempat mencurahkan isi hati

Sudah 3 hari saya mengikuti pelatihan Penggerak Perdamaian di Bogor. Di hari kedua, yaitu tanggal 13 Oktober 2019, kami melakukan kunjungan ke dua rumah ibadah; gereja Katolik St. Ignatius Loyola dan Masjid milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Ini bukan kali pertama saya berkunjung di kedua rumah ibadah tersebut. Saya biasa mengunjungi gereja, bahkan pernah mengikuti perayaan Natal. Begitu juga dengan masjid. Saya muslim, dan memasuki masjid adalah hal yang biasa bagi saya; yang membedakan adalah masjid yang saya kunjungi kemarin merupakan milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Berkunjung ke rumah ibadah milik JAI juga bukan merupakan kunjungan pertama saya. Saya pernah berkunjung ke rumah ibadah JAI di Tasik, Kuningan, dan juga Cirebon; kota di mana saya dilahirkan dan bertempat tinggal.

Tetapi, selalu ada yang berbeda pada setiap kunjungan. Ada satu hal yang paling menarik hati saya kemarin, yaitu ketika kunjungan di Gereja Katolik St. Ignatius Loyola di Semplak Bogor. Salah satu teman saya menanyakan mengenai pengakuan dosa, yang kemudian dijelaskan oleh Romo Anton. Betapa terkejutnya saya karena ternyata pemahaman saya mengenai pengakuan dosa selama ini salah. Saya berpikir bahwa pengakuan dosa dilakukan umat Katolik dengan merenung di gereja seperti itikaf, lalu mengungkapkannya dalam hati kepada Tuhan. Ternyata, pengakuan dosa dilakukan umat Katolik dengan bercerita [menyampaikan pengakuannya] kepada Pastor.

Proses pengakuan dosa yang seperti itu membuat saya bertepuk tangan dalam hati; betapa beruntungnya umat katolik dengan adanya sakramen pengakuan dosa.

Kekaguman ini muncul mungkin karena saya berkuliah di Jurusan Bimbingan dan Konseling. Saya membayangkan proses pengakuan dosa dengan proses konseling yang dilakukan oleh seorang konselor dan kliennya. Sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa betapa beruntungnya umat Katolik dengan sakramen pengakuan dosanya. Saya kira tidak mudah mengungkapkan dosa atau permasalahan hidup, apalagi bagi orang-orang yang tidak mudah mempercayai orang lain untuk dijadikan sebagai tempat mencurahkan isi hati. Sakramen pengakuan dosa, saya kira bisa menjadi salah satu ruang bagi setiap umat Katolik untuk bisa mencurahkan permasalahan hidupnya, tanpa mengkhawatirkan permasalahannya akan terbongkar. Karena seorang Pastor tidak boleh menceritakan apa yang sudah diceritakan umatnya kepada siapapun, bahkan untuk keperluan hukum sekalipun.

Terakhir (baca: sekali lagi) betapa beruntungnya umat Katolik dengan sakramen pengakuan dosanya.

Tentang Penulis:
Zariqoh Ainnayah Silviah biasa dipanggil dengan Iqo, seorang mahasiswa di IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Selain aktif di Sofi Institute, Iqo juga menyibukkan diri di WCC Mawar Balqis dan Forum Diskusi Djalan Juang. Iqo mengikuti pelatihan Penggerak Perdamaian karena ia merasa masifnya penyebaran konten-konten negatif di media sosial dan di lingkungan sosial masyarakat yang harus sudah mulai diseimbangkan dengan narasi-narsi perdamaian dan toleransi. Sekarang, Iqo menambah aktivitas positifnya lewat komunitas Gerakan Penggerak Perdamaian.

Teruntuk Diriku Sosok Baru yang Membuka Diri Untuk Menerima Perbedaan

Saat sesi Visit ke Jemaat Ahmadiah Bogor, saya merasa bahagia. Disambut dengan hangat, disuguhi makan dan minum. Bapak Saeful selaku pemateri dari Jemaat Ahmadiah mengatakan Bahwa Ahmadiah bukanlah Agama baru tapi Ahmadiah merupakan sebuah Organisasi Islam Seperti NU dan Muhammadiyah. Sedang dilingkungan saya tinggal masih ada yang menganggap Ahmadiyah sesat.

Panggil saja saya Dede, bukan nama sebenarnya. Saya perempuan berusia 24 tahun. Awal perjumpaan dengan perbedaan dimulai sejak akhir tahun 2015, disaat saya sedang menginap di rumah nenek bersama teman. Saat itu paman mengajak kami berbincang tentang agama. Itu kali pertama saya merasa kaget dengan penjelasan dakwah yang paman sampaikan.

Kali kedua terjadi pada beberapa bulan kemudian. Paman meminta saya untuk bertemu. Ia dan bersama temannya mendatangi  saya di rumah. Pertemuan tersebut ia namakan ‘dakwah untuk hijrah ke jalan yang benar’. Saya dan Bapak saya diminta untuk membuka Al-Quran dan terjemahnya sesuai yang ia minta. Kemudian ia mengatakan, “Islam kami belum sempurna karena belum bersyahadat”. Debat sengit pun terjadi antara paman dan Bapak. Menurut paman, Islam yang sempurna itu ketika sudah bersyahadat disertai saksi dari mereka, tercatat tanggal dan bersedia mengikuti kajian ilmu agama bersama mereka. Sedangkan menurut Bapak, syahadat itu cukup diyakini dengan hati dan dilakukan dengan perbuatan.

Hasil pertemuan tersebut membuat saya menganggap paman sesat. Sementara paman menganggap saya dan bapak termasuk islam yang belum sempurna (kafir).  Menurutnya, amal ibadah yang saya lakukan seumur hidup ini akan sia-sia. Meskipun saya sudah rajin ibadah dan berbakti pada orangtua. Sejak saat itulah saya marah pada Tuhan dan paman. Saya merasa resah, dan mencari jalan untuk mengenal perbedaan. Menyibukkan diri dengan berbagai organisasi kampus dan yayasan sosial.

Tahun 2019 ini saya mengikuti pelatihan Penggerak Perdamaian, yang diselenggarakan oleh Yayasan Satu Keadilan dan Paritas Institute. Informasi kegiatan saya dapat dari teman dan dia menyarankan saya untuk mengikutinya. Pelatihan diselenggarakan selama 3 hari, dari tanggal 11 hingga 13 Oktober 2019, di Joglo Keadilan.

Saat sesi Visit ke Jemaat Ahmadiah Bogor, saya merasa bahagia. Disambut dengan hangat, disuguhi makan dan minum. Kemudian kami masuk pada sesi ruang dialog untuk mengenal Jemaat Ahmadiah secara langsung. Bapak Saeful selaku pemateri dari Jemaat Ahmadiah mengatakan Bahwa Ahmadiah bukanlah Agama baru tapi Ahmadiah merupakan sebuah Organisasi Islam Seperti NU dan Muhammadiyah. Sedang dilingkungan saya tinggal masih ada yang menganggap “Ahmadiyah sesat”. Kemudian kami diajak berkeliling ruangan perpustakaan, dan sholat Magrib berjamaah.

Kunjungan tersebut membawa saya mengingat 4 tahun lalu. Di mana saat paman menyampaikan dakwah dan meminta saya bersyahadat padanya. Ia sempat melontarkan “Anak IAIN jurusan dakwah kok gini”. Hingga saya merasa sedih dan tersudutkan. Perbedaan membuat kami saling tersinggung, hilangnya rasa nyaman, muncul ego merasa paling benar. Hingga menciptakan jarak di keluarga besar.

Gelisah dan takut menggerogoti hari-hari saya. Pertanyaan, mengapa Tuhan mengizinkan situasi tersebut terjadi pada saya, membuat saya merasa kacau.  Lalu saya mencoba menepis semua ketakutan dan kegelisahan dengan cara melawan ajakan paman untuk bersyahadat padanya. Kemudian saya membangun keberanian untuk mencari Islam itu apa? agama itu apa? Segala upaya saya lakukan. Dari mulai membuka diri dengan membawa telinga dan hati kemana-mana. Saya mendatangi rumah ibadah dan berinteraksi dengan berbagai orang yang berbeda agama. Setiap hari saya belajar menjadi pendengar yang baik bagi semua orang. Tidak memandang agama maupun orientasi seksual.

Hingga saya menemukan makna saat selesai mengikuti pelatihan Penggerak Perdamaian, bahwa perdamaian dalam menjalani hidup diperlukan oleh seluruh manusia. Sebelum menjadi penggerak perdamaian berdamailah dengan diri sendiri, sesuai pesan bang Miqdad [salah satu fasilitator pelatihan] saat mengisi materi. Kemudian bukalah hati untuk menerima perbedaan meskipun bukan hal yang mudah. Namun, dengan mendidik diri sendiri menjadi sosok baru dengan menerima perbedaan membuat saya dapat berdamai dengan diri sendiri, keluarga dan berbagai perbedaan yang ada di dunia ini.

Penulis: Nama disamarkan atas permintaan si penulis.

Puisi-Puisi Penggerak Perdamaian Bogor

Fase berikutnya kukuatkan diri,
kemampuan ku tak cukup berikan bukti,
tapi dewa dan tuhan tepat berada di dua sisi,
mereka berkata, ”lalaui mereka”,
lupakan semua posisi,

cari sensasi agar ku dapat ilham,
tetap saja, yang lain pura pura tidak tau hanya diam,
mereka memandang seperti algojo kejam,
ampun,! aku hanya si rambut panjang berbaju kusam,

tukar jiwa mu dengan ku,
dan coba kau rasakan alunan lagu sedihku,
sempurna,!
mereka mungkin tak lagi melirik mu,
cari pintu keluar dunia, lari terlunta untuk menjauh,

sssttt, siapa yang perduli,
lemparkan semua, kesenangan itu hanya ilusi,
dulu kupunya cita cita, dan tetap saja mimpi,
ini singkat, akurat kucapai semua sendiri,

jangan dibawa khawatir,
disaat mereka hanya mencibir,
mungkin langit murka amukan petir,
ku hanya perlu nafas, lanjutkan semua ke garis akhir

Distorsi

Bukanlah sensasi
Ini hanya sebuah alur
Sebuah proses yang terbalur

Seketika membias
Saraf-saraf yang terlepas
Meminta untuk pulang
Meski akhirnya menyimpang

Penyimpangan
Bukanlah pemutarbalikkan
Hanya sebuah perubahan
Akan sepuing peristiwa

Umpama cahaya
Yang menembus serat-serat kaca
Terbelokkan perlahan
Terkalahkan oleh bayangan

Seperti itulah jiwa
Apa yang terlihat
Ternyata hanya muslihat
Lantas di mana kebenaran?

Kebenaran hanya dapat
Dilihat dari sisi yang lain
Terkadang harus meluncur
Melintasi ruang-ruang imajinasi

Begitu kontras
Dengan paradoksnya
Namun begitulah realitanya
Semua itu hanya utopia

Inilah dunia distorsi
Tempat berkumpulnya aspirasi
Sarat akan hegemoni
Ekspresi serta ambisi

Tentang Penulis:
Ayi Wahyudi, pujangga muda yang sedang kuliah di Universitas Pakuan Bogor. Walaupun mengambil kejuruan teknik, Ayi suka menulis puisi, dan baginya dengan Damai semua akan indah.
instagram penulis: @alm.ayiwahyudi