Diskusi Publik: Mitigasi Politik Identitas di Pilkada 2024

,

Bogor, 20 September 2024 – Yayasan Satu Keadilan, bekerja sama dengan Search Indonesia, mengadakan diskusi publik bertajuk “Mitigasi Politik Identitas di Pilkada 2024” pada Jumat, 20 September 2024, bertempat di Joglo Keadilan, Kemang, Kabupaten Bogor. Acara ini berlangsung mulai pukul 13.30 hingga 17.00 dan menghadirkan berbagai pemangku kepentingan terkait.

Diskusi ini bertujuan untuk membahas strategi mitigasi politik identitas yang berpotensi menimbulkan kerawanan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, terutama di Kota Bogor. Dengan menghadirkan narasumber kompeten, antara lain Sugeng Teguh Santoso (STS), anggota DPRD Kota Bogor, Firman Wijaya, komisioner Bawaslu Kota Bogor, serta Hasbullah, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bogor, diskusi ini berhasil menjadi wadah pertukaran ide dan solusi.

Sugeng Teguh Santoso dalam pemaparannya menyoroti pentingnya peran Pengawas Pemilu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mengidentifikasi dan memitigasi ujaran kebencian. “Kecepatan dan ketegasan Gakum dalam mengatasi isu-isu politik identitas sangat krusial. Untuk Kota Bogor, semua pasangan calon adalah muslim, sehingga menggunakan isu politik identitas sebagai alat pertarungan tidak beralasan,” ujar STS.

Firman Wijaya, dari Bawaslu Kota Bogor, menambahkan bahwa berdasarkan Indeks Kerawanan Pemilihan yang diluncurkan Bawaslu Provinsi Jawa Barat, Kota Bogor masuk dalam kategori kerawanan sedang. “Kami berkomitmen untuk menciptakan Pilkada yang lebih aman dan berkeadilan, dengan langkah-langkah mitigasi yang tepat,” katanya.

Sementara itu, Hasbullah, Ketua FKUB Kota Bogor, menekankan pentingnya membangun dialog antarpemeluk agama untuk menjaga kerukunan. “FKUB Kota Bogor selalu hadir dalam memberikan perspektif dialog. Ruang-ruang diskusi seperti ini perlu dibuka lebih luas, Majelis-Majelis Keagamaan yang berdiskusi dengan FKUB masih terbatas tapi semakin kesini FKUB Kota Bogor makin memperluas diskusinya termasuk dengan kelompok seperti Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI),” ujar Hasbullah.

Acara ini juga dihadiri oleh perwakilan berbagai organisasi masyarakat sipil di Kota Bogor, yang turut menyampaikan masukan dan berpartisipasi aktif dalam diskusi.

Dengan terselenggaranya diskusi ini, diharapkan strategi mitigasi yang efektif dapat diterapkan dalam menghadapi Pilkada 2024, sehingga pelaksanaannya dapat berjalan aman, damai, dan berkeadilan tanpa adanya isu politik identitas yang memecah belah masyarakat.

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
Yayasan Satu Keadilan
Email: info@satukeadilan.org

Siaran Pers : Hentikan Kriminalisasi Panji Gumilang dan Penggunaan Pasal Penodaan Agama

,
Polemik Pondok Pesantren Al-Zaytun dan pemimpinnya Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang yang mencuat ke publik sejak April 2023 memasuki babak baru. Senin, 3 Juli 2023, pengasuh Pondok Pesantren Al-Zaytun Panji Gumilang memenuhi panggilan Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri terkait laporan tindak pidana penodaan agama yang menggunakan pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.
Langkah kepolisian memproses laporan dengan delik penodaan agama terhadap Panji Gumilang sangat disayangkan. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengecam keras upaya kriminalisasi terhadap Panji Gumilang karena mempidanakan pandangan dan amalan keagamaan yang berbeda adalah melanggar hak dan kebebasan beragama atau berkeyakinan dan berkepercayaan.
Padahal, Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 menegaskan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Pola kriminalisasi terhadap terhadap pimpinan Al-Zaytun ini, menurut Muhammad Isnur, mirip dengan pola-pola kriminalisasi pada kasus-kasus penodaan agama sebelumnya. Mereka dihukum melalui proses pengadilan yang berdasarkan fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang disertai dengan mobilisasi dan tekanan massa.
Isnur mengkhawatirkan aparat pemerintah dan penegak hukum, baik di pusat maupun daerah, tidak melakukan pencegahan dan penegakan hukum secara adil dan optimal, sebagaimana terjadi dalam kasus kriminalisasi sebelumnya, ketika MUI sangat agresif dan massa diberikan tempat untuk mengintimidasi bahkan mengancam dengan kekerasan.
“Polisi harus menghentikan kriminalisasi terhadap Panji Gumilang. Ini pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius, karena terus berulang merampas hak dan kebebasan beragama yang dijamin konstitusi,” desak Isnur.
SETARA Institute juga mencatat bahwa penerapan pasal-pasal penodaan agama lebih tampak sebagai ‘peradilan’ oleh tekanan massa (trial by mob). Pasal-pasal penodaan agama adalah ketentuan hukum yang problematis, dengan unsur-unsur pidana yang kabur dan tidak memberikan kepastian hukum.
Padahal, pandangan dan ijtihad keagamaan Panji Gumilang adalah bentuk kebebasan beragama, berpendapat, dan berekspresi warga yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara.
“Kami menuntut pihak kepolisian untuk tidak tunduk pada tekanan massa dan kelompok keagamaan tertentu, seperti MUI, yang memberikan fatwa (pendapat) tunggal dan tertutup atas pemahaman keagamaan Panji Gumilang,” tegas Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan.
Sementara, Koordinator Nasional Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB) Angelique Maria Cuaca turut mendorong semua pihak, dari mulai masyarakat, tokoh agama, para politisi hingga aparat dan pemerintah, untuk menghormati pandangan keagamaan atau keyakinan dan kepercayaan beserta ekspresinya yang dilakukan secara damai dan tidak melanggar hak-hak warga lainnya.
Tidak hanya menuntut aparat hukum menghentikan kriminalisasi terhadap Panji Gumilang, Sobat KBB juga mengingatkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil untuk tidak membatasi dant menutup aktivitas Pondok Pesantren Al-Zaytun. Sebab, tanggung jawab negara adalah memfasilitasi kebebasan beragama. Maka, sambung Angelique, pasal penodaan agama harus dihapus.
“Hentikan kriminalisasi dan kekerasan atas nama agama. Dewasalah menyikapi perbedaan dengan saling menghormati untuk membangun kebersamaan dan kehidupan yang bermartabat, penuh damai, di Indonesia,” ajak Angelique Maria Cuaca.
Jakarta, 4 Juli 2023
Koalisi Anti Pasal Penodaan Agama
1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
2. Yayasan Satu Keadilan (YSK)
3. SETARA Institute
4. Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB)
5. Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK)
Narahubung:
1. Angelique Maria Cuaca
2. Muhammad Isnur

PRESS RELEASE Forum Masyarakat Sipil Cirebon Raya (FORMASINA)

PRESS RELEASE

Forum Masyarakat Sipil Cirebon Raya (FORMASINA)
PENANGKAPAN TERDUGA TERORIS DI TALUN CIREBON;

MENUNTUT URGENSI RENCANA AKSI DAERAH UNTUK PENANGGULANGAN AKSI KEKERASAN
BERBASIS EKTREMISME MELALUI AGENDA TERPADU PEMERINTAH DAN MASYARAKAT SIPIL

UNTUK REHABILITASI DAN REINTEGRASI

Cirebon, Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menangkap seorang terduga teroris di Desa Kubang, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Selasa (7/2/2023). Terduga teroris yang ditangkap berinisial AT, usianya 28 tahun dan diduga bagian dari afiliasi jaringan teroris Jamaah Islamiyah wilayah Sumatera Selatan. Informasi yang dihimpun, menyebutkan  AT ditangkap sekitar pukul 04.57 WIB di depan Gapura Balai Desa Kubang, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon. Penangkapan AT, yang diduga terlibat dalam aksi terorisme di Palembang, Sumatera Selatan dan telah ditetapkan sebagai orang dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Polri pada Desember 2021.

Penangkapan terduga teroris AT menambah daftar orang yang diduga terlibat aksi terorisme yang penangkapannya di lakukan di Cirebon Raya. Berdasarkan laporan analisa situasi reintegrasi dan rehabilitasi mantan pelaku kekerasan berbasis ekstremisme yang di terbitkan oleh Yayasan Satu Keadilan bersama Forum Masyarakat Sipil Cirebon Raya (FORMASINA) pada bulan Januari 2023 bahwa sampai tahun 2022 terdapat 60 warga Kota dan Kabupaten Cirebon terlibat dalam kasus terorisme yang ditangkap Densus 88. Mereka terlibat dalam berbagai aksi terorisme di Indonesia.  Syamsul Alam Agus, Sekretaris Yayasan Satu Keadilan mengungkapkan bahwa “pada semua kecamatan di Kota Cirebon terdapat warga yang terlibat dalam jaringan terorisme di berbagai daerah di Indonesia dan ditangkap Densus 88. Sementara di Kabupaten Cirebon, terdapat 17 kecamatan yang warganya terlibat dalam jaringan terorisme dan ditangkap Densus 88”. Pernyataan Alam tersebut termuat dalam dokumen laporan situasi analisa aksi kekerasan berbasis ekstremisme di Cirebon Raya (Januari, 2023) Marzuki Wahid, Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) membenarkan pernyataan di atas, bahwa “mereka memang terlibat dalam jaringan terorisme di sejumlah daerah di Indonesia, tetapi aksinya tidak selalu dilakukan di Cirebon. Cirebon dalam hal ini menjadi tempat persinggahan pelaku terorisme,” ungkap Marzuki wahid yang juga merupakan inisiator Forum Masyarakat Sipil Cirebon Raya (FORMASINA).

Merespons situasi ini dan tanpa bermaksud mendahului proses penyidikan yang tengah dilangsungkan oleh penyidik Densus 88 di Mabes Polri terhadap terduga teroris AT, FORMASINA berpendapat :

  1. Bahwa Cirebon Raya telah menjadi “wilayah aman” bagi mantan pelaku kekerasan berbasis ekstremisme di Indonesia melakukan persembunyian dan mengkonsolidasikan aksi kekerasan baru berbasis terorisme di Indonesia. Kesimpulan ini beralasan, mengingat aksi terorisme dan penindakan kepada orang yang diduga terlibat aksi terorisme terjadi di Cirebon Raya;
  2. Kesimpulan di atas diperkuat karena masih lemahnya peran aktif pemerintah dalam penanggulangan aksi kekerasan berbasis ekstremisme di Cirebon Raya. Meskipun telah ada kebijakan Pemerintah Kabupaten Cirebon melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) membentuk beberapa tim dalam upaya pencegahan terorisme dan konflik sosial di masyarakat, namun Pemerintah Kabupaten dan Kota Cirebon belum menjadikan Rencana Aksi Daerah (RAD) sebagai kebijakan prioritas dalam penanganan dan penanggulangan aksi kekerasan berbasis ekstremisme dan terorisme;
  3. Penangkapan terduga teroris AT yang berusia 28 Tahun, menunjukkan bahwa pelaku dan sasaran perekrutan jaringan teroris di Indonesia menyasar kelompok muda kedalam jaringan mereka.
  4. AT, terduga teroris yang ditangkap oleh Densus 88 di Talun, Cirebon pada 7 Februari 2023 merupakan Daftar Pencarian Orang (DPO) Densus 88 Mabes Polri atas aksi terorisme yang diduga terjadi di Palembang, Sumatera Selatan pada tahun 2021. Meskipun dengan status DPO, AT telah beradaptasi dan hidup tanpa mendapatkan kecurigaan di tengah masyarakat Cirebon yang plural dan dikenal dengan budaya toleransi yang kuat;
  5. Kondisi tersebut menunjukkan masih lemahnya sistem peringatan dini dan belum adanya
    formulasi yang efektif untuk mengidentifikasi ancaman terorisme dan kegiatan-kegiatan
    yang mengarah pada tindakan yang serupa dengan karakteristik perluasan jaringan aksi
    terorisme di lingkungan masyarakat.

FORMASINA merekomendasikan :

  1. Kepada masyarakat di Cirebon Raya untuk tetap merawat lingkungan sosial yang damai dan tidak mudah terprovokasi atas aksi dan penindakan kepada orang yang diduga sebagai pelaku kekerasan berbasis ekstremisme/teroris;
  2. FORMASINA mendesak pemerintah Kota dan Kabupaten Cirebon untuk segera memprioritaskan penanganan dan penanggulangan aksi kekerasan berbasis ekstremisme/terorisme dengan menetapkan kebijakan Rencana Aksi Daerah (RAD) sebagai kebijakan prioritas;
  3. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88 melalui INDENSOS (Identifikasi Sosial) untuk memaksimalkan peran dan tanggung jawabnya dalam penanganan reintegrasi dan rehabilitasi bagi mantan pelaku kekerasan berbasis ekstremisme melalui kerjasama dengan pemerintah daerah Cirebon dan Masyarakat Sipil untuk memperkuat ketahanan (resiliensi) masyarakat Cirebon menghadapi aksi dan upaya penindakan pelaku terorisme;
  4. Mendukung Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE), FORMASINA menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil di Cirebon untuk bekerjasama dalam penanganan aksi kekerasan berbasis ekstremisme melalui pendekatan transformasi konflik, yaitu cara penanganan masalah yang hendak mengubah konflik yang destruktif menjadi konstruktif, dengan menitikberatkan pada kerja kolaborasi pencarian masalah atau penyelesaian masalah.
  5. FORMASINA mendukung pendekatan dengan wacana keamanan manusia (human security), yaitu konsep keamanan individu dan masyarakat di mana nilainya untuk kesejahteraan hidup seluruh manusia ke dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi mantan pelaku kekerasan berbasis ekstremisme. Konsep keamanan manusia menitikberatkan pada cara; konsepsi pembangunan, perdamaian, kerjasama berdasarkan keadilan dan peran yang semakin besar bagi masyarakat sipil. Demikian release ini kami sampaikan atas respons situasi yang terjadi.

 

Cirebon, 9 Februari 2023.
Narahubung :
– Syamsul Alam Agus, 08118889083

– Marzuki Wahid, 081222235012

 

Tentang FORMASINA:
Pada tanggal 12 Januari 2023, Organisasi Masyarakat Sipil, Akademisi dan Jurnalis di Cirebon Raya Mendeklarasikan komitmennya untuk mengurangi peluang mantan narapidana terorisme/pelaku kekerasan yang berbasis ekstremisme mengulangi perilaku kekerasan ekstremismenya di masa mendatang dan mampu kembali menjadi anggota masyarakat.
Pembentukan Forum Masyarakat Sipil Cirebon Raya untuk Rehabilitasi dan Reintegrasi Mantan Pelaku Kekerasan Berbasis Ekstremisme dipandu oleh tujuan dan prinsip penghormatan hak asasi manusia, itikad baik dalam pemenuhan kewajiban oleh negara, dan peran aktif masyarakat dalam menciptakan kerukunan dan perdamaian. Anggota Forum Masyarakat Sipil Cirebon Raya (FORMASINA) : Yayasan Satu Keadilan (YSK), Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), Fatayat NU Kabupaten Cirebon, Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Inspiration House Cirebon, PELITA Perdamaian, Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Cirebon, Fahmina Institute, IPPNU Kabupaten Cirebon, Nasyiatul Aisyiyah Kabupaten Cirebon, PC ANSOR Kabupaten Cirebon, JABAR Bergerak Kota Cirebon, LESBUMI Kabupaten Cirebon, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cirebon, Umat Ramah Indonesia, Women Crisis Center (WCC) Mawar Balqis, Komunitas GUSDURian Cirebon, Gerak Puan UGJ, Jurnalis.

KOMPAK KBB: “Bupati Kabupaten Bogor harus memastikan jaminan penghormatan dan perlindungan Jemaat HKBP Bethlehem untuk Beribadah.”

Dalam Rapat Koordinasi Nasional Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah se-Indonesia Tahun 2023 hari selasa tanggal 17 Januari 2023 Presiden Jokowi menyampaikan kepada Bupati dan Walikota menyoal kebebasan beragama dan beribadah sebagaimana kami Kutip dari Detik.com, yakni “Kemudian ini mumpung juga ketemu bupati dan walikota. Mengenai kebebasan beribadah dan kebebasan beragama. Ini hati-hati. Ini yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, dan Konghucu, hati-hati. Ini memiliki hak yang sama dalam beribadah. Memiliki hak yang sama dalam hal kebebasan beragama dan beribadah,” selain itu Presiden Jokowi juga menyampaikan bahwa “beragama dan beribadah itu dijamin oleh konstitusi. Dia meminta agar tiap kepala daerah memahami ini. Jokowi tak ingin konstitusi dikalahkan oleh kesepakatan.” selain itu Presiden Jokowi juga menyampaikan kepada Dandim, Kapolres, Kapolda dan Pangdam, “… Ini harus ngerti. Dandim, kapolres, kapolda, pangdam harus ngerti ini, kejari-kejati. Jangan sampai yang namanya konstitusi itu kalah oleh kesepakatan. Konstitusi tidak boleh kalah dengan kesepakatan,” Pernyataan Presiden Jokowi dalam pidatonya menyampaikan pesan kuat bahwa Pemerintah Daerah dan jajarannya serta Forkompimda untuk menjamin peribadatan seluruh warga negara dari latar belakang agama agama apapun, terutama agama minoritas, sesuai dengan ketentuan Konstitusi Negara. Namun demikian, tampaknya Presiden Jokowi kurang cermat bahwa berbagai persoalan terkait dengan larangan peribadatan dan penolakan tempat ibadah salah satunya karena dampak dari peraturan yang tidak kompatibel dengan HAM seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (PBM) tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. Regulasi tersebut dalam implementasinya sangat membatasi dan melahirkan praktik praktik pembatasan kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia, bahkan tak jarang mendorong terjadinya tindakan diskriminasi, permusuhan sampai kekerasan. Oleh karena itu, Presiden Jokowi harus memberikan perhatian serius terhadap PBM ini dan memerintahkan kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri untuk mencabut Peraturan Bersama tersebut.

 

Kebebasan beragama/berkeyakinan sebagaimana dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mewajibkan Negara untuk menghormati dan melindungi hak warga negara dalam memanifestasikan agama di dalam hal pengajaran, praktik, beribadah dan melaksanakan ibadah. Berkaitan dengan Pidato Presiden Jokowi tersebut di atas, pernyataan verbal tersebut menjadi tidak berarti apa-apa jika masih terdapat pelarangan Beribadah oleh negara dan aktor non negara, seperti yang dialami oleh Jemaat HKBP Betlehem (Pos Parmingguan) di Batu Gede, Desa Cilebut Barat, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang dilarang melakukan ibadah Natal pada 24 dan 25 Desember 2022 oleh warga sekitar karena alasan ibadah dilakukan di Rumah salah satu Jemaat. Setelah pelarangan oleh warga tersebut Jemaat HKBP Betlehem kehilangan hak atas rasa aman dalam melaksanakan Ibadah dan berpindah-pindah tempat sampai dengan sekarang untuk melakukan ibadah.
Berdasarkan hal tersebut KOMPAK KBB mendesak:

  1. Bupati Kabupaten Bogor memastikan penghormatan dan perlindungan Jemaat HKBP Betlehem untuk beribadah dan melaksanakan Ibadah dan membangun rumah ibadah serta memastikan jaminan ketidak-berulangan (guarantees of non-repetition);
  2. Bupati Kabupaten Bogor memerintahkan kepada Jajaran dibawahnya untuk tidak membuat kesepakatan dan/atau rekomendasi yang melarang dan/atau membatasi Hak Jemaat HKBP Bethlehem untuk beribadah dan melaksanakan Ibadah;
  3. Kepala Kepolisian Resor Kabupaten Bogor memastikan jaminan rasa aman kepada Jemaat HKBP Betlehem ketika melakukan ibadah kapan dan dimanapun.

Hormat kami,
KOMPAK KBB

Teo Reffelsen (LBH Jakarta), Syera Anggreini Buntara (SETARA Institute), Thowik (SEJUK) Angelique Tjoa (Sobat KBB), M. Isnur (YLBHI), Syamsul Alam Agus (Yayasan Satu Keadilan), Ardi Manto (IMPARSIAL)

Forum Masyarakat Sipil Cirebon Dorong Rehabilitasi dan Reintegrasi Mantan Pelaku Kasus Terorisme

CIREBON– Dalam isu ekstremisme dan terorisme, Cirebon disebut-sebut sebagai zona merah. Ini karena sangking banyaknya teroris berasal dari Cirebon dan teroris tertangkap di wilayah Cirebon. Mereka juga terhubung dengan jaringan teroris nasional dan internasional.

Hasil kajian mutakhir yang disusun oleh Yayasan Satu Keadilan, sampai 2022 ini terdapat 60 warga Kota dan Kabupaten Cirebon yang terlibat dalam kasus terorisme dan ditangkap Densus 88. Maraknya kasus terorisme dan banyaknya warga Cirebon yang ditangkap Densus 88 menyebabkan Cirebon disebut sebagai zona merah radikalisme agama.

Sebagai kota wali, tentu saja hal ini sangat ironis. Sebab, ajaran toleransi yang sudah diwariskan sejak lama oleh Sunan Gunung Jati menjadi tereduksi oleh peristiwa intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme.

Imron Rosyadi, Bupati Kabupaten Cirebon, mengakui bahwa isu radikalisme dan ekstremisme masih menjadi persoalan dan tantangan yang harus dituntaskan. Hal ini disampaikan Bupati saat perwakilan dari Forum Organisasi Masyarakat Sipil Cirebon, Yayasan Satu Keadilan (YSK) Bogor, dan Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) melakukan audiensi pada Kamis, 12 Januari 2023 di Pendopo Bupati Jln. Kartini Cirebon.

Pada kesempatan itu, Bupati juga menyampaikan perlunya keterlibatan banyak pihak, termasuk dari elemen masyarakat sipil untuk menuntaskan ekstremisme, rehabilitasi dan reintegrasi mantan pelaku kasus terorisme.

Pada hari yang sama (12/1/23), Yayasan Satu Keadilan (YSK) juga mempertemukan sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) se-Cirebon Raya yang peduli dengan isu ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Pertemuan ini diikuti oleh 17 OMS. Di antaranya adalah Fahmina Institute, Lesbumi Cirebon, Umah Ramah, WCC Balqis, Fatayat NU Cirebon, Koalisi Perempuan Indonesia, GP Ansor Cirebon, PSGA IAIN Cirebon, Inspiration House, Pelita Perdamaian, Pemuda Muhammadiyah Cirebon, IPPNU Cirebon, Nasyiatul Aisyiah Cirebon, Forum Jabar Bergerak, GMNI, Gusdurian, Gerak Puan UGJ, dan ISIF Cirebon.

Pertemuan ini selain mendiskusikan hasil analisis situasi terkini Cirebon terkait ekstremisme dan tantangan serta peluang rehabilitasi dan reintegrasi mantan pelaku kasus terorisme, juga menyepakati pembentukan Forum Organisasi Masyarakat Sipil Cirebon untuk Rehabilitasi dan Reintegrasi.

Hadir sebagai narasumber dalam pertemuan ini adalah Marzuki Rais dari Fahmina Institute. “Upaya pencegahan ekstremisme dan radikalisme di Cirebon telah banyak dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil, namun inisiasi yang serius untuk rehabilitasi dan reintegrasi mantan pelaku kasus terorisme belum banyak dilakukan. Densus 88 dan BNPT telah melakukannya dalam pendekatan sosial ekonomi dan keamanan,” kata Marzuki Rais.

“Forum Organisasi Masyarakat Sipil Cirebon yang terbentuk hari ini dimaksudkan untuk memperkuat secara kolektif dan sinergis gerakan OMS yang secara parsial telah melakukan gerakan pada isu spesifik pada kecamatan masing-masing,” sambung Syamsul Alam Agus, Sekretaris YSK, pada pertemuan tersebut.

Forum OMS Cirebon juga sudah menyepakati deklarasi, visi, misi, dan kode perilaku yang harus ditaati oleh semua anggota Forum. Agenda utamanya selain mengadakan pertemuan rutin dengan Pemerintah Daerah, menginisiasi payung hukum rehabilitasi dan reintegrasi, juga memperkuat kapasitas Forum dalam isu rehabilitasi, reintegrasi, dan mitigasi risiko keamanan.

Agenda ini disambut baik oleh Bupati Cirebon Imron Rosyadi. “Jika perlu pertemuan di Pendopo Bupati, silakan. Pemerintah membuka diri untuk kerja sama dengan Organisasi Masyarakat Sipil. Pemerintah tidak bisa bekerja sendirian dalam menanggulangi ekstremisme, radikalisme, dan terorisme,” pungkasnya.[]

Narahubung:
1. Nurul Bahrul Ulum, HP/WA: 081111124117
2. Nafida Inarotul Huda, HP/WA: 081219965095

Pemerintah Kota Cilegon Harus Hentikan Praktik diskriminasi dan Memastikan Pemenuhan Hak Asasi Manusia Bagi Setiap Warga Negara!

,

Sebagaimana diketahui, Rabu (7/9/2022), sekelompok warga yang mengidentifikasi diri
sebagai Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon melakukan aksi penolakan
pembangunan gereja HKBP Maranatha di Lingkungan Cikuasa, Kel. Geram, Kec. Grogol,
Kota Cilegon, Banten. Mereka menuntut Wali Kota Cilegon melarang pendirian rumah
ibadah selain masjid berdasarkan Surat Keputusan Bupati Serang Nomor
189/Huk/SK/1975.

Wali Kota Cilegon, Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Sanuji Pentamerta justru memberi
dukungan penolakan dengan ikut menandatangani bentangan kain dari massa aksi. Ini
adalah penolakan yang ke-5 sejak tahun 2006. Yayasan Satu Keadilan mengecam sikap
intoleran Pemkot Cilegon yang membatasi hak setiap warga negara untuk menikmati hak
dasarnya beribadah berdasarkan agama dan kepercayaannya.

Sebagaimana data yang dihimpun oleh tim YSK, Di Cilegon terdapat 382 masjid, 287
musala, dan 3 vihara. Namun gereja tidak bisa berdiri. Padahal komposisi penduduk
berdasarkan agama, ada 6.763 Kristen, 1753 Katolik, 218 Hindu, Buddha 1640, dan 7
lainnya (Provinsi Banten Dalam Angka 2021). Seharusnya dengan jumlah umat Kristiani
yang sesuai data itu, kebutuhan tempat ibadah di suatu kota hendaklah disediakan. Sama
hal nya dengan mesjid dan musholla yang tersebar di setiap titik kota.

Kenyataannya sebanyak 3.903 orang jemaat HKBP Maranatha Cilegon setiap Minggu harus
menumpang beribadah ke HKBP Serang yang berjarak kira-kira 16 sampai 40 km, dengan
lama tempuh sekitar kurang lebih 1 jam. Hal itu rutin dilakukan sejak 15 tahun yang lalu
ketika ijin pertama pembangunan gereja mereka diajukan.

Penolakan HKBP Maranatha bukanlah satu-satunya kasus yang terjadi di Cilegon.
Sebelumnya Pemkot Cilegon juga telah 5 kali menolak pengajuan izin Gereja Baptis
Indonesia Cilegon (sejak tahun 1995). Gereja Kristen Indonesia (GKI) Cilegon yang
jemaatnya 1.300-an jiwa sejak tahun 2000 juga sulit membangun gereja. Lalu di tahun
2020, Pemkot melarang pelaksanaan ibadah Rabu Abu di gedung Serbaguna Katolik Stasi
St. Mikael.

Perjuangan untuk mendirikan rumah ibadah seringkali dihadapkan dengan Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang
Pendirian Rumah Ibadah. Hal ini yang menyebabkan perjuangan untuk mendirikan rumah
ibadah melalui proses yang berbelit dan panjang.

Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyebutkan: “Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya”. Lalu, Pasal 29 Ayat 2 berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”.

Jaminan itu juga termuat dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Di sana disebutkan bahwa “Setiap
orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup
kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya
sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain,
dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaannya
dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.”

Praktik diskriminasi sebagaimana disampaikan di atas dan berdasarkan instrumen dan
kepastian hukum yang berlaku di Indonesia, maka kami mendesak:

1. Pemerintah kota Cilegon harus segera menerbitkan izin pendirian tempat ibadah
kepada setiap warga negara, tak terkecuali karena latar belakang agama atau
kepercayaannya;
2. Kemendagri bersikap tegas terhadap tindakan Pemkot Cilegon yang mencederai Hak
Asasi Manusia khususnya dalam kebebasan berkeyakinan dan beragama;
3. Kemenag merevisi Peraturan Bersama (Perber) 2 Menteri 2006 tentang Pendirian
Rumah Ibadah. Perlu adanya konsistensi pengaturan terkait agama antara pemerintah
pusat dan daerah sehingga ke depan akan mempermudah koordinasi dan mekanisme
penyelesaian masalah yang timbul di lapangan.
4. FKUB Kota Cilegon harus bersikap arif dan tidak membedakan-bedakan pemeluk agama
yang memiliki hak sebagai warga negara. FKUB Kota Cilegon harus segera menjalankan
mandatori untuk melakukan mediasi konflik kepada warga yang pro dan kontra atas
pembangunan rumaha ibadah tersebut.

Demikian release ini kami sampaikan untuk disiarkan.
14 September 2022
Hormat Kami,
Yayasan Satu Keadilan,

Penyegelan Baru Mesjid Al Hidayah Menegaskan Sikap Intoleransi Pemkot Depok

Pemerintah Kota Depok kembali melakukan pembaruan penyegelan rumah ibadah, masjid Al-Hidayah di Sawangan, Depok (22/10). Surat pemberitahuan disampaikan oleh Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Depok, N Lienda Ratnanurdianny, S.H, M.Hum, perihal Pemberitahuan penggantian Papan Penghentian Kegiatan/Segel.

Dalam surat pemberitahuan yang diterima pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Cabang Depok pada tanggal 21 Oktober 2021, berdalil bahwa papan pengehentian kegiatan/segel yang di pasang di area Masjid Al Hidayah di Jl. Raya Muchtar, RT 003/007, Kelurahan Sawangan Baru, Kecamatan Sawangan, Kota Depok, dalam kondisi rusak dan tulisannya pudar.

Sebagaimana diketahui, pada tahun 2011, Pemerintah Kota Depok mengeluarkan Peraturan Walikota No. 09 Tahun 2011 tentang larangan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Depok yang kemudian diikuti terbitnya surat perintah Walikota Depok No. 300/130 1-SatPolPP pada tanggal 22 Februari 2017. Meskipun ditentang, Pemerintah Kota Depok terus melakukan pembaruan segel rumah ibadah, Masjid Al-Hidayah. Penyegelan Mesjid Al-Hidayah dipimpin oleh Kabid Penegakan Hukum Peraturan Daerah, Satpol PP Kota Depok, Taufiqurakhman, S.Ag. MM, juga yang juga disaksikan oleh Lurah Sawangan dan sejumlah anggota MUI Depok.

Sudah lebih 10 tahun hak-hak dasar warga negara, Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Depok terus dikebiri, penyegelan masjid Al-Hidayah yang telah memenuhi syarat hukum pendirian rumah ibadah tersebut justru diabaikan dengan dasar SKB 3 Menteri 2008, Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 dan Peraturan Walikota Depok No. 9 Tahun 2011.

Yayasan Satu Keadilan berpandangan bahwa pembaruan segel rumah ibadah di Masjid Al- Hidayah merupakan tindakan inkonstitusional dan melanggar hak asasi manusia.

“Penyegelan mesjid Al Hidayah harusnya dievaluasi dan ditinjau kembali oleh Walikota Depok, mengingat konteks kebangsaan, khususnya terkait dengan pengakuan keberagaman warga negara telah ditegaskan dalam forum-forum internasional oleh Presiden Joko Widodo. Selain itu, SKB 3 Menteri Tahun 2008 telah memantik konflik di masyarakat”, sebut Syamsul Alam Agus, Sekretaris Yayasan Satu Keadilan.

Presiden Joko Widodo pada dasarnya telah menaruh perhatian atas kondisi faktual tersebut. Berdekatan dengan Hari Toleransi Internasional, pada 15 November 2020, dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-37 di Vietnam, melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Presiden Joko Widodo menyampaikan tentang pentingnya toleransi. Presiden prihatin lantaran masih terus terjadinya intoleransi beragama dan kekerasan atas nama agama, sehingga jika dibiarkan akan mencabik harmoni dan menyuburkan radikalisme dan ekstremisme.

Terkait dengan pembaruan penyegelan rumah ibadah di masjid Al-Hidayah Sawangan, Depok pada Jumat, 22 Oktober 2021, Yayasan Satu Keadilan mendesak kepada Walikota Depok, untuk :

  1. Meninjau kembali Peraturan Walikota Depok No. 09 Tahun 2011 tentang larangan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Depok. Setelah 10 tahun terbitnya Peraturan Walikota Depok tersebut telah membatasi hak dasar warga negara untuk beragama, berkeyakinan dan melaksanakan ibadah berdasarkan keyakinannya. Selain itu, dengan berlakunya peraturan Walikota Depok tersebut telah menjadi pemantik horizontal, konflik antar warga yang menyebabkan melemahnya kohesi sosial warga yang berbeda keyakinan;
  2. Dalam proses pemasangan baru papan penyegelan di Masjid Al-Hidayah Depok dilakukan secara showforce, Satpol PP menyertakan sekitar 50 orang yang berorasi menyebarkan kebencian terhadap Jemaat Ahmadiyah dalam orasi-orasinya. Ikut sertanya sejumlah massa intoleran, menegaskan bahwa Pemerintah Depok telah berupaya memperluas penolakan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan dasar kebencian;
  3. Sikap Walikota Depok yang enggan mengavaluasi kebijakan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Depok telah menegaskan Pemerintah Kota Depok tunduk dan melanggengkan praktik intolerasi;
  4. Kepada Presiden Joko Widodo, untuk segera memerintahkan Menteri Agama,
  5. Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri untuk mengevaluasi Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Tahun 2008 tentang tentang Perintah Terhadap Penganut Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Berdasarkan pemantauan, SKB 3 Menteri Tahun 2008 telah menjadi pijakan dasar bagi pemerintah daerah menerbitkan peraturan daerah yang intoleran yang kemudian memicu tindakan destruktif terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Yayasan Satu Keadilan berpandangan, untuk mewujudkan toleransi di satu kota penting adanya komitmen pemerintah yang kuat yang tercermin mulai dari kebijakan, pelaksanaan hingga dukungan terhadap budaya harmoni dan saling menghormati perbedaan dan hak-hak asasi di tengah warganya.

Selain itu, pemerintah daerah, khususnya kota yang heterogenitas sosio-kulturalnya lebih tinggi dibandingkan kabupaten merupakan kantung masyarakat (social enclaves) dituntut untuk memainkan peran positif sebagai representasi negara dalam wajahnya yang lebih spesifik dan partikular.

Bogor, 22 Oktober 2021

Yayasan Satu Keadilan

Kontak narasumber: Syamsul Alam Agus, 08118889083

Pidana dalam Kasus Jerinx Tidak Tepat, Kepolisian Harus Segera Hentikan Penyidikan

Pernyataan Pers Aliansi Masyarakat Sipil
Pidana dalam Kasus Jerinx Tidak Tepat, Kepolisian Harus Segera Hentikan Penyidikan

Rabu, 12 Agustus 2020, Jerinx, pemilik akun IG @jrxsid menurut pemberitaan sejumlah kanal media online resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan atas dugaan pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan/atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai ujaran kebencian dan pencemaran nama baik. 

Jerinx dilaporkan oleh IDI wilayah Bali atas postingannya yang menyebut IDI sebagai “kacung WHO” karena mewajibkan dilakukannya rapid test. Kami berpendapat, penggunaan pasal pidana UU ITE untuk menjerat Jerinx atas postingan yang dibuatnya ini tidaklah tepat. Lebih lanjut, penahanan yang dikenakan terhadapnya tidaklah perlu untuk dilakukan dan cenderung dipaksakan.

Adapun pernyataan Jerinx terhadap penanganan COVID-19 yang kontraproduktif perlu menjadi pemicu untuk menghadirkan diskursus publik yang lebih sehat, ketimbang menggunakan jalur kriminalisasi melalui instrumen UU ITE.

Penggunaan Pasal 28 ayat (2) untuk menjerat Jerinx atas postingan yang dibuatnya jelas tidaklah tepat dan menyalahi makna dari ketentuan tersebut. Ketentuan tersebut pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk menjerat ekspresi-ekspresi yang termasuk ke dalam kategori incitement to hatred/violence/discriminate atau penghasutan untuk melakukan suatu tindakan kebencian/kekerasan/diskriminasi berdasarkan SARA. 

Elemen penting dalam ketentuan itu yakni “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Niat menjadi satu komponen yang paling penting untuk membedakan antara ekspresi yang sah (legitimate expression) dengan ekspresi yang termasuk ke dalam ujaran kebencian.

Menurut pandangan kami, ekspresi yang disampaikan oleh Jerinx di dalam postingan Instagramnya tersebut, yang merujuk kepada IDI sebagai “kacung WHO” sangat jauh untuk dapat dikatakan memenuhi unsur ini. Lebih jauh, untuk dapat mengetahui apakah sebuah ekspresi masuk kualifikasi sebagai penyebaran ujaran kebencian, terlebih dahulu harus dilihat:

(1) Konteks di dalam ekspresi; (2) Posisi dan status individu yang menyampaikan ekspresi tersebut; (3) Niat dari penyampaian ekspresi untuk mengadvokasikan kebencian dan menghasut; (4) Kekuatan muatan dari ekspresi; (5) Jangkauan dan dampak dari ekspresi terhadap audiens; dan (6) Kemungkinan dan potensi bahaya yang mengancam atas disampaikan ekspresi. 

Rentannya penyalahgunaan pasal incitement to hatred ini, mengharuskan aparat penegak hukum untuk lebih berhati-hati dalam menilai suatu ekspresi memiliki muatan bahaya (harmful) serius, sehingga dapat dipidana. Sedangkan dalam peristiwa ini, kualifikasi bahaya tersebut belum terpenuhi.Tidak hanya penggunaan Pasal 28 ayat (2) UU ITE terhadap Jerinx yang tidak tepat, penggunaan Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik juga sama sekali tidak berdasar. Pasal 27 ayat (3) dalam penerapannya haruslah mengacu kepada ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mengatur mengenai pencemaran terhadap individu.

Artinya, pasal tersebut hanya dapat dikenakan terhadap pencemaran yang ditujukan terhadap orang perseorangan, bukan terhadap institusi ataupun badan hukum. Pasal 27 ayat (3) KUHP pun merupakan delik aduan absolut yang artinya individu yang dicemarkan itu sendiri yang harus melaporkan perbuatan pidana terhadapnya dan bukan perwakilannya.

Tentu saja menjadi tidak masuk akal kemudian, ketika institusi yang harus diwakili oleh seseorang menggunakan ketentuan ini. Dalam kasus Jerinx, pencemaran nama baik yang dilaporkan adalah pencemaran terhadap institusi IDI. Oleh karenanya, secara otomatis Pasal 27 ayat (3) UU ITE sama sekali tidak dapat diterapkan terhadapnya.

Atas penangkapan dan penetapan Jerinx sebagai tersangka ini, kami mengingatkan kembali agar Aparat Penegak Hukum berhati-hati dalam menerapkan UU ITE. Kejaksaan sebagai “Dominus Litis” yang memiliki kewenangan untuk menuntut perkara ini, harus dengan tegas menolak perkara, sebab pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat Jerinx ini jelaslah tidak sesuai dengan maksud pembentukannya dan terlihat sangat dipaksakan hanya untuk memenuhi sentimen punitif dari masyarakat.

Tidak hanya itu, penahanan yang dilakukan terhadap Jerinx oleh Kepolisian bukanlah langkah yang tepat untuk diambil, terlebih di masa pandemi Covid-19 ini, dimana seluruh pihak di dalam sistem peradilan pidana sedang berusaha keras mengurangi jumlah tahanan dari dalam fasilitas penahanan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19 di dalam fasilitas.

Meskipun pasal yang digunakan untuk menjerat Jerinx ancamannya lebih dari 5 (lima) tahun, namun demikian Kepolisian yang memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan harus dapat melihat urgensi dari pelaksanaan upaya paksa ini dengan lebih baik. Terlebih, pasal yang diancamkan kepada Jerinx, sama sekali tidak melibatkan adanya kekerasan, yang seharusnya menjadi bahan pemikiran bagi Kepolisian untuk tidak memprioritaskan penahanan terhadapnya.

Berdasarkan hal tersebut, kami mendesak sejumlah hal berikut ini:

1. Kepolisian untuk menghentikan penyidikan perkara ini, mengingat tidak terpenuhinya sejumlah unsur pidana sebagaimana dijelaskan di atas.

2. Segera mengeluarkan Jerinx dari tahanan. Penahanan Jerinx dapat menjadi gambaran tidak pekanya penyidik terhadap kondisi pandemi Covid-19 yang saat ini juga menjadi persoalan di tempat-tempat penahanan.

3. Kejaksaan apabila perkara ini tidak dihentikan penyidikannya, sebagai dominus litis, menolak melakukan penuntutan karena tidak layaknya perkara ini untuk diajukan ke persidangan.

4. Aparat penegak hukum untuk lebih hati-hati menggunakan ketentuan di dalam UU ITE dan menerapkannya dengan ketat sesuai dengan batasan-batasan yang sudah ditentukan.

5. Pemerintah dan DPR untuk segera memprioritaskan perubahan kembali UU ITE, melihat UU ITE masih belum tepat sasaran dan penggunaanya cenderung eksesif.

Jakarta, 13 Agustus 2020

Aliansi Masyarakat Sipil
ICJR, Elsam, PIL-NET, IJRS, HRWG, DebtWatch Indonesia, IMPARSIAL, PBHI, YLBHI, LBH Pers, Greenpeace Indonesia, PSHK, Indonesia for Global Justice, Yayasan Satu Keadilan, ICEL, LeIP, LBH Masyarakat, WALHI, Amnesty Internasional Indonesia

Walikota Bogor Selaku Penjamin Penangguhan Penahanan Tersangka Korupsi Menujukkan Rendahnya Komitmen Pemberantasan Korupsi

Walikota Bogor Selaku Penjamin Penangguhan Penahanan Tersangka Korupsi Menujukkan Rendahnya Komitmen Pemberantasan Korupsi

Yayasan Satu Keadilan menyayangkan keputusan Walikota Bogor, Bima Arya memberikan jaminan penangguhan penahanan terhadap 5 (lima) tersangka kasus korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang saat ini dilangsungkan penyidikannya oleh Kejaksaan Negeri Kota Bogor. Surat permohonan penangguhan penahanan tersebut dituangkan dalam surat resmi Walikota Bogor bernomor 180/2633-Hukham tertanggal 27 Juli 2020. Keputusan Walikota Bogor selaku penjamin tidak hanya mencederai rasa keadilan masyarakat namun keputusan tersebut menujukkan rendahnya komitmen dalam mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi.

Ketua Yayasan satu Keadilan, Sugeng Teguh Santoso, S.H mengecam tindakan Walikota Bogor, Bima Arya sebagai penjamin penangguhan penahanan 5 (lima) dari 6 (enam) orang tersangka kasus korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah di Kota Bogor.

“Apa yang dilakukan Walikota itu tidak patut dicontoh. Sebagai pejabat publik, seharusnya bisa menunjukkan komitmen dalam mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi. Bukannya malah bertindak sebagai penjamin penangguhan penahanan terhadap tersangka korupsi”. Ujar Sugeng.

Karenanya, Sugeng memandang tindakan sebagai penjamin tersebut sudah menjadi tolok ukur kemunduran aparat pemerintahan dalam memerangi korupsi.

Sebagaimana publik ketahui, saat ini Kejaksaan Negeri Kota Bogor menahan enam tersangka dugaan korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), 5 (lima) orang diantaranya berstatus Aparat Sipil Negara (ASN). Kelima tersangka merupakan ASN yang menjabat sebagai ketua Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) di tingkat kecamatan, sedangkan satu tersangka lainnya adalah penyedia jasa percetakan naskah soal ujian tengah semester (UTS), ujian akhir semester (UAS), try out, ujian kenaikan kelas, dan ujian sekolah.

Usai resmi ditahan, keenamnya menjalani penahanan selama 20 hari di rumah tahanan Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Paledang Kota Bogor. Keenamnya terlibat kasus dugaan penyimpangan dana BOS untuk Sekolah Dasar (SD) se-Kota Bogor Tahun Anggaran 2017, 2018 dan 2019. Sesuai dengan penghitungan dari Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, akibat kejahatan tersebut negara telah dirugikan sebesar Rp. 17.189.919.828,-.

Saat proses penyidikan berlangsung, Walikota Bogor, Bima Arya melayangkan surat permohonan penangguhan penahanan atasnama lima orang tersangka yang berstatus ASN kepada Kepala Kejaksaan Negeri Kota Bogor yang tengah menyelidiki kasus tersebut.

Dalam konteks hak asasi manusia, Yayasan Satu Keadilan berpandangan bahwa para tersangka memiliki hak untuk mengajukan penangguhan penahanan sebagaimana dijamin oleh Konstitusi dan Peraturan perundang-undangan. Namun, kami menilai surat permohonan pengajuan penangguhan penahanan yang ditandatangani oleh Walikota Bogor selaku penjamin tidak menujukkan ciri kepemimpinan yang memiliki komitmen kuat mewujudkan good and clean governance dengan diimbangi komitmen pemerintah untuk menegakan hukum, khususnya perang melawan tindak pidana korupsi.

Yayasan Satu Keadilan mendukung Kejaksaan Negeri Kota Bogor untuk menolak permohonan penangguhan penahan tersangka yang diajukan oleh Walikota Bogor, Bima Arya. Tindakan Walikota Bogor sebagai penjamin menangguhan penahanan kelima tersangka korupsi dana BOS telah melukai rasa keadilan masyarakat.

“Dengan bertindak seperti ini, pejabat sebagai penjamin malah akan menjadi sorotan publik. Bahkan tidak dipungkiri publik akan membuat pandangan berbeda atau bahkan negatif kepada pejabat”. Ujar Sugeng.

Kami juga megingatkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Kota Bogor untuk patuh pada surat Jaksa Agung RI tentang optimalisasi pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan ditengah upaya mencegah Penyebaran covid-19 point (6) mempertimbangkan untuk memberikan pengalihan/penangguhan penahanan dengan mempedomani ketentuan Pasal 21 dan Pasal 22 KUHAP dan setelah melalui konsultasi dengan pimpinan satuan kerja.

Yayasan Satu Keadilan mendorong Walikota Bogor untuk membenahi sistem pengawasan penyaluran dan pemanfaatan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di Kota Bogor dengan memperkuat sistem pengawasan terpadu dan partisipatif. Walikota Bogor melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk meninjau kembali keberadaan Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S), Wadah yang seharusnya menjadi kunci dan sebagai konektor dalam menangani masalah pendidikan malah berfungsi sebaliknya. Menambah ruwet dunia pendidikan dengan peluang praktik korupsi.

Demikian siaran pers ini disampaikan sebagai pandangan kami atas dukungan penegakan hukum melawan praktik korupsi dana BOS di Kota Bogor.

Bogor, 3 Agustus 2020
Yayasan Satu Keadilan

Narahubung :
Sugeng Teguh Santoso, S.H. 08158931782

Covid-19: Pembebasan narapidana harus mencakup tahanan dan warga binaan dalam kasus pasal makar Papua

Kami mengapresiasi langkah Pemerintah untuk membebaskan para narapidana, terutama narapidana anak, melalui sistem asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas. Akan tetapi, kami juga mendesak Pemerintah untuk bersikap adil dan tidak diskriminatif dalam menerapkan keputusan ini.

Narapidana, tahanan serta yang dipenjarakan atas tuduhan makar dan atas tindakan mengekspresikan opininya secara damai harus dibebaskan tanpa syarat.

Pemidanaan terhadap mereka juga adalah pemidanaan yang dipaksakan. Mereka berhak mendapatkan hak atas kesehatan. Sehingga sudah seharusnya untuk tujuan perlindungan kesehatan dan pertimbangan rasa keadilan, mereka semua harus dibebaskan tanpa syarat.

Ditambah lagi, potensi penularan Covid-19 di penjara sangat rentan, dibawa oleh petugas lapas yang berjaga dan berinteraksi dengan para narapidana. Belum lagi tidak ada jaminan mereka dapat mengakses air bersih, sabun, hand sanitizer, masker dan kebutuhan lain yang diperlukan untuk mencegah penularan virus.

Dengan pembebasan ini, para narapidana, paling tidak, bisa melakukan social distancing dan melakukan mitigasi terhadap dirinya sendiri karena hampir seluruh penjara dan lapas di Indonesia sudah melebihi daya tampung, overcrowded.

Sementara mereka yang masih berada di dalam tahanan harus mendapat akses pada layanan kesehatan, termasuk akses untuk mendapatkan tes dan upaya pencegahan yang memadai. Yang terpenting, segala keputusan mengenai strategi penanganan penyebaran Covid-19 harus mematuhi aturan HAM internasional.

Latar Belakang

Awal pekan ini, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM memutuskan untuk membebaskan 30.000 narapidana dewasa hingga anak untuk mencegah penyebaran Covid-19. Pembebasan tersebut dilakukan melalui proses asimilasi dan integrasi berupa pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat, khususnya bagi narapidana yang masa 2/3 pidananya jatuh tanggal 1 April 2020 hingga 31 Desember 2020.

Dalam keputusan tersebut, pertimbangan Pemerintah dalam melakukan pembebasan itu adalah tingginya tingkat hunian di lapas, lembaga pembinaan khusus anak dan rumah tahanan, sehingga mereka rentan tertular virus corona.

Hak atas kesehatan dijamin dalam Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) yang menyebut bahwa “pencegahan, perawatan dan pengendalian epidemi, endemik, penyakit akibat kerja dan penyakit lainnya” merupakan bagian dari hak atas kesehatan.

Dalam konteks pandemi Covid-19, kewajiban negara termasuk memastikan bahwa tindakan preventif, peralatan, layanan dan informasi tersedia dan dapat diakses oleh semua orang. Di dalam hak atas kesehatan ini pula, alat-alat, fasilitas dan layanan kesehatan harus tersedia dalam jumlah yang cukup; dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi; menghormati etika medis; serta sesuai secara ilmiah dan medis dan berkualitas baik. Alat dan layanan kesehatan harus dapat diakses oleh semua, terutama oleh kelompok yang paling rentan atau terpinggirkan dalam masyarakat; dalam jangkauan fisik yang aman untuk semua komunitas tanpa terkecuali; dan terjangkau untuk semua serta seraya tetap memperhatikan kebutuhan khusus karena gender, usia, disabilitas. Hak tersebut juga mencakup aksesibilitas informasi terkait kesehatan.

Jakarta, 2 April 2020

Amnesty International Indonesia
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Asia Justice and Rights (AJAR)
Yayasan Satu Keadilan
Ikatan Keluarga Korban untuk Orang Hilang (IKOHI)
Yayasan Perlindungan Insani Indonesia
Greenpeace Indonesia
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua)
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH)
Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia Papua
Elsham Papua
ALDP
LBH Cenderawasih
SKPKC Fransiskan Papua
Kontras Papua
LBH Papua Barat
Perkumpulan Belantara papua
PapuaItuKita
LBH Jakarta
LBH Pers
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
ICJR
Federasi KontraS
Tapol, UK
Gereja komunitas Anugerah Reformed Baptist Salemba
SKP Keuskupan Agung Merauke