Logo YSK Satu Keadilan

URGENT ACTION : Hentikan Kriminalisasi Terhadap Bambang Widjojanto

YAYASAN SATU KEADILAN & LEMBAGA BANTUAN HUKUM KEADILAN BOGOR RAYA

SERUAN MENDESAK

—————————————————————————————————————
INDONESIA: Hentikan Kriminalisasi Terhadap Bambang Widjojanto

ISU: Kriminalisasi terhadap Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) Human Rights Defender dan Anti Korupsi

—————————————————————————————————————

Bapak/Ibu/Rekan-rekan yang terhormat,

Apakah masih ingat dengan upaya kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto/BW oleh Bareskrim MabesPolri?

Bahwa upaya kriminalisasi yang telah dilakukan oleh penyidik Polri terlihat sangat jelas ketika Pimpinan KPK menetapkan Budi Gunawan (sebagai calon tunggal Kapolri) sebagai tersangka dugaan korupsi. Selain BW, penyidik Bareskrim Polri juga melakukan upaya kriminalisasi terhadap pegiat anti korupsi lainnya dalam waktu yang hamper bersamaan.

Kini kasus BW yang sarat dengan kejanggalan dalam prosesnya itu, pada 18 September 2015, perkaranya telah diserahkan oleh Bareskrim kepada Kejaksaan Agung melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Pelimpahan ini menunjukkan kriminalisasi terhadap BW terus berlanjut.

Berdasarkan Peraturan Kejaksaan mengenai SOP penanganan perkara tindak pidana umum, dalam waktu sekitar 2 minggu perkara akan segera dilimpahkan ke Pengadilan. Mengingat telah lewat waktu seminggu, diperkirakan minggu depan perkara BW akan segera dilimpahkan ke pengadilan. Dengan demikian penting bagi kita semua untuk mendorong dan menyerukan kepada otoritas hukum terkait untuk menghentikan kriminalisasi yang terus berlanjut kepada pegiat anti korupsi.

NARASI KASUS:

Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri menangkap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto pagi tadi, Jumat, 23 Januari 2015. Deputi Pencegahan KPK Johan Budi mengaku sekitar pukul 09.00 WIB dikontak ajudan Bambang. Sang ajudan, kata dia, menceritakan telah memperoleh info ada orang yang mengaku dari Bareskrim dan menangkap Bambang. “Posisi Bambang sedang antar anak sekolah di Depok. Setelah mengantar, dibawa orang itu. Kata ajudan itu dibawa ke Bareskrim,” ujar Johan, Jumat, 23 Januari 2015. (Baca: Wakil Ketua KPK Bambang W. Ditangkap Polisi)

Lalu Johan coba mengontak Kepala Bareskrim Budi Wiseso. Namun belum tersambung. Johan lalu mengontak Pelaksana Tugas Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti. “Saya kontak Badrodin bahwa tidak benar melakukan penangkapan. Bareskrim mengaku juga tidak ada,” ujarnya. (Baca: Johan: Polisi Mengaku Tidak Menangkap Bambang Widjojanto). Johan pun belum bisa menghubungi Bambang. “Saya kontak tidak sambung,” ujarnya. Johan terakhir kali bertemu Bambang tadi malam. Dia mengaku tak ada petunjuk atau tanda bahwa Bareskrim akan menangkap Bambang. (Baca: Bambang Widjojanto Jadi Tersangka Keterangan Palsu)

Bambang ditangkap Bareskrim Polri saat mengantar anaknya ke sekolah di Depok tadi pagi. Pihak Mabes Polri menyebutkan Bambang ditangkap karena telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemberian keterangan palsu saat sidang di Mahkamah Konstitusi. (Baca: Bambang Widjojanto, Mabes Kantongi 3 Barang Bukti). Saat itu, Bambang menjadi kuasa hukum dari salah satu calon kepala daerah Kota Waringin Barat pada 2010 lalu. Pihak Mabes membantah penangkapan Bambang merupakan aksi balas dendam Polri karena KPK telah menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan penerimaan gratifikasi.

Bahwa penangkapan yang dilakukan oleh penyidik Bareskrim tidak dilakukan sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) khususnya berkenaan dengan penangkapan dan penetapan tersangka. Penyidik tidak pernah melakukan pemanggilan terlebih dahulu kepada BW, namun langsung melakukan penangkapan dengan sewenang-wenang disaksikan oleh anak BW yang sedang diantar menuju ke sekolah. Padahal sebagaimana KUHAP dan Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, proses penangkapan harus disertai dengan surat penangkapan dengan didahului oleh pemberitahuan terlebih dahulu. Terlebih penangkapan sewenang-wenang dilakukan oleh penyidik Bareskrim setelah calon tunggal Kapolri ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

INFORMASI TAMBAHAN:

Bahwa pasca ditangkapnya BW, Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam tim kuasa hukum BW melakukan berbagai upaya diantaranya melaporkan penangkapan sewenang-wenang tersebut ke Komnas HAM, Ombudsman Republik Indonesia, dan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Dari advokasi yang sudah dilakukan terdapat kesimpulan bahwa kriminalisasi terhadap BW justru semakin berlanjut ke proses peradilan, sebagai berikut;

  1. Proses penanganan perkara BW bukanlah murni penegakan hukum: Waktu dijadikannya BW sebagai tersangka hanya beberapa hari setelah BW sebagai pimpinan KPK mengumumkan BG sebagai tersangka. Hal ini semakin terbukti melihat fakta bahwa berkas perkara BW sudah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Agung sejak bulan Mei, namun baru ditindaklanjuti oleh Bareskrim dengan penyerahan tersangka dan barang bukti pada pertengahan September. Tuduhan Bareskrim kepada BW diduga kuat dilakukan hanya sekedar untuk mencopot BW sebagai pimpinan KPK. Lambatnya dilakukan penyerahan tahap II diduga kuat sebagai upaya mengulur waktu penanganan perkara BW, setidaknya sampai benar-benar memastikan BW tidak dapat kembali menjadi wakil ketua KPK;
  2. Terdapat penambahan Pasal dalam surat panggilan penyerahan BW: Dalam surat panggilan, terdapat Pasal baru yang dituduhkan pada BW yaitu Pasal 266 KUHP. Sebelumnya dalam proses penyidikan BW sama sekali tidak pernah diperiksa dengan tuduhan Pasal 266 KUHP, namun saat berkas sudah lengkap dan akan diserahkan ke Kejaksaan Agung. Tuduhan Pasal 266 tiba-tiba muncul;
  3. Menambah panjang rangkaian kebohongan Bareskrim: Sejak awal bareskrim memproses BW, Bareskrim sesumbar memiliki bukti yang lebih dari cukup. Nyatanya, penyidikan Bareskrim berkali-kali dikembalikan oleh Kejaksaan Agung untuk dilengkapi. Tidak hanya itu, mantan Dirtipideksus Victor Simanjuntak justru menggantungkan penanganan perkara BW pada perkara lain (ZA), yang artinya ia sendiri masih ragu dengan hasil penyidikan Bareskrim;
  4. Perkara ZA gagal menjembatani kriminalisasi BW: Bareskrim berniat untuk menjadikan ZA sebagai penyambung keterlibatan BW. Namun fakta persidangan kasus ZA justru membuktikan ketidakprofesionalan penyidik dalam penyidikan perkara ZA. Saksi-saksi yang dihadirkan tidak ada yang membuktikan keterlibatan ZA, terlebih lagi keterlibatan BW. Hal ini diperkuat dengan putusan hakim yang tidak bulat (dissenting opinion), dan tidak sama sekali menyebut nama BW. Meskipun Penuntut Umum telah dengan curang memasukkan nama BW ke dalam dakwaan dan Tuntutan ZA sebagai “terdakwa dalam berkas perkara yang terpisah”. Padahal pada saat dakwaan dan tuntutan ZA perkara BW masih dalam penyidikan;
  5. Pembangkangan terhadap Rekomendasi ORI: Proses penanganan perkara BW telah dinyatakan Maladministrasi oleh ORI. Terhadap Maladministrasi tersebut ORI telah merekomendasikan untuk memeriksa dan memberi sanksi maladministrasi yang dilakukan Daniel Bolly Tifaona selaku penyidik dan Viktor E. Simanjuntak, namun sampai saat ini rekomendasi tersebut masih belum dijalankan;
  6. Pengabaian Temuan Komnas HAM: Komnas HAM telah menyampaikan temuannya terkait proses penanganan perkara BW, yaitu adanya penyalahgunaan kewenangan oleh Bareskrim, penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam penangkapan, proses penangkapan yang melanggar due process of law;
  7. Pengabaian Surat Peradi: Peradi telah menyampaikan sikap bahwa tindakan yang dilakukan oleh Polri bertentangan dengan MoU antara Peradi dengan Polri. Peradi mengungkapkan bahwa kasus BW adalah kasus pertama di mana Polri tidak mematuhi MoU tersebut;
  8. Menolak transparansi Penanganan Perkara melalui Forum Gelar Perkara Khusus: Sejak awal penanganan perkara, Bareskrim yang telah sesumbar memiliki bukti cukup diminta agar transparan melakukan penyidikan. TAKTIS telah meminta secara resmi adanya forum gelar perkara khusus sebagaimana di atur Peraturan Kapolri 14/2012, namun Bareskrim tidak pernah berani untuk membuka forum gelar perkara khusus tersebut sampai sekarang.

SARAN TINDAKAN:

Silakan menulis kepada Pemerintah Indonesia di bawah ini, dalam hal ini karena proses penyelidikan-penyidikan hingga dilimpahkannya perkara ke Pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum sarat dengan praktik kejanggalan dengan mengabaikan fakta-fakta hukum dari Komisi Negara Independen (Komnas HAM dan Ombudsman Republik Indonesia) serta organisasi profesi Advokat (PERADI).

Untuk mendukung seruan ini, silakan mengirimkan surat seperti contoh dibawah ini:

Kepada YTH, _________________,

INDONESIA: HENTIKAN KRIMINALISASI TERHADAP BAMBANG WIDJOJANTO

Nama korban : Bambang Widjojanto (Pimpinan KPK non-aktif)

Nama pelaku : Bereskrim Polri

Waktu kejadian : 23 Januari 2015

Tempat kejadian : Depok, Jawa Barat dan Jakarta

Saya menulis untuk menyuarakan keprihatinan saya yang mendalam atas upaya kriminalisasi yang terus berlanjut terhadap BW (pimpinan KPK non-aktif) yang sedang menangani berbagai kasus korupsi yang besar, salah satunya di tubuh Kepolisian. Bahwa dengan ditetapkannya salah satu petinggi Polri yang saat itu dijadikan calon tunggal Kapolri yang kemudian ditetapkan tersangka oleh KPK berujung pada kriminalisasi terhadap Pimpinan KPK oleh Penyidik Bareskrim Polri.

Bahwa sebagaimana informasi yang saya dapatkan dari Yayasan Satu Keadilan dan Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya serta informasi melalui media lainnya yang pada pokoknya menyatakan BW ditangkap secara sewenang-wenang saat mengantarkan anaknya ke sekolah pada 23 Januari 2015. Proses penangkapan tidak sesuai dengan KUHAP dan Peraturan Kapolri tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana serta mengabaikan HAM.

Bahwa pasca penangkapan sewenang-wenang dilakukan rekan-rekan BW baik diinternal KPK dan public kesulitan untuk mengakses dimana keberasaan BW karena penyidik Bareskrim tidak transparan dalam melakukan penangkapan. Alasan Bareskrim yang telah menetapkan BW sebagai tersangka adalah karena BW telah diduga melakukan tindak pidana mempengaruhi saksi untuk memberikan keterangan palsu ketika BW menjadi kuasa hukum salah satu calon Kepala Daerah di Mahkamah Konstitusi tahun 2010 silam.

Bahwa terhadap perkara BW terus berlanjut di Bareskrim menuju ke Kejaksaan dan saat ini prosesnya telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk disidangkan. Hal ini tentunya membuat saya dan public jadi bertanya-tanya. Kenapa proses yang penuh dengan sarat kejanggalan justru perkaranya berjalan cepat, lalu bagaimana dengan perkara yang lain? Banyak masayarakat membuat pengaduan dan laporan kepada Polri, namun perkaranya berjalan lamban.

Bahwa sebagaimana hasil dari rekomendasi lembaga Negara independen; Komnas HAM dan Ombudsman yang sudah menyampaikan fakta kejanggalan atas proses hukum BW serta rekomendasi PERADI yang menyatakan bahwa terhadap perkara tuduhan mempengaruhi saksi untuk memberikan keterangan palsu berdasarkan kode etik PERADI tidak terbukti. Berdasarkan hal tersebut saya menyerukan kepada pihak-pihak di bawah ini untuk:

Menghentikan Kriminalisasi terhadap BW dan pegiat anti korupsi lainnya;
Mendukung upaya pemberantasan korupsi oleh KPK;

Saya berharap untuk respon yang efektif dan positif dalam hal ini.

Hormat saya,

————————————————–

KIRIMKAN SURAT ANDA KE:

  1. Presiden Republik Indonesia:
    Kementerian Sekretariat Negara
    Jl. Veteran No. 17 – 18 Jakarta Pusat 10110
    Tlp. (021) 3845627
  2. Jaksa Agung Republik Indonesia :
    Bapak HM. Prasetyo
    Jl. Sultan Hasanuddin No. 1Kebayoran Baru Jakarta Selatan
    Telp./ Fax +62 21 722 1269
    E-mail : humas_puspenkum@yahoo.co.uk
  3. Ketua Mahkamah Agung :
    MAHKAMAH AGUNG RI. JL. MEDAN MERDEKA UTARA NO. 9 -13.
    Telp. +62 21 3843348, 3810350, 3457661
    Jakarta 10110
  4. Pelapor Khusus Pembela HAM – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia – RI
    Ibu. Siti Noerlaila
    Jl. Latuharhari No. 4 B, Menteng, Jakarta Pusat
    Telp : +62-21-3925230
    Email : snlaila_damar@yahoo.com; pengaduan@komnasham.go.id

Terima kasih.

Yayasan Satu Keadilan dan Lembaga Bantuan Hukum Bogor Raya (LBH KBR)

Alamat :

Yayasan Satu Keadilan
Cibinong City Centre Bolok D No. 10
Jl. Tegar Beriman No. 1 Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Telp : +62 21 29577443
Email : office@satukeadilan.org
Website : www.satukeadilan.org

 

Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBHKBR)
Graha Keadilan
Jl. Parakan Salak No. 1 Desa Kemang, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
Telp. +62 251-7537738
Email : lbhkbr@satukeadilan.org

Logo YSK Satu Keadilan

Mengecam Brutalitas Polisi Dalam Penanganan Unjuk Rasa Menolak Kenaikan BBM di Makassar

Yayasan Satu Keadilan menyampaikan rasa keprihatinan yang mendalam dan mengutuk keras brutalitas aparat Kepolisian (Brimob) di Makasar, Sulawesi Selatan terhadap mahasiswa yang sedang melakukan unjuk rasa menolak kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan jurnalis yang sedang meliput jalannya unjuk rasa (Kamis, 13 November 2014).

Dalam catatan kami setidaknya sudah tujuh jurnalis yang teridentifikasi mengalami kekerasan. Satu di antaranya, yakni Waldy dari Metro TV, mengalami luka robek dan pendarahan di bagian kepala kiri depan. Ia terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit. Enam wartawan lainnya masing-masing Iqbal Lubis (Koran Tempo), dan Ikrar Assegaf (Celebes TV), Asep (Rakyat Sulsel), Zulkarnain “Aco” (TV One), Rifki (Celebes Online), serta Fadly (media online kampus) juga mengalami tindak kekerasan. Mereka dianiaya dengan cara ditendang, ditinju, dijambak. Tidak hanya itu, polisi juga merampas peralatan kerja jurnalis seperti kamera dan memory card.

Perlu kami sampaikan aksi brutalitas aparat Kepolisian sudah terus terjadi dan terus berulang terutama dalam penanganan unjuk rasa; unjuk rasa mahasiswa dan unjuk rasa petani dibeberapa darerah. Sikap dan perilaku yang brutal tidak sama sekali mencerminkan profesionalitas anggota Kepolisian dalam menjalankan kewenangannya sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan serangkaian Peraturan Kapolri terkait.

Ketika aksi brutal terus menjadi pilihan dalam setiap penanganan unjuk rasa, justru kami bertanya-tanya apakah Polri memahami tugas dan kewenangannya yang sudah dituangkan dalam berbagai aturan internal kepolisian dan Peraturan Kapolri?

Justru dengan adanya perilaku dan sikap brutal menunjukkan kelemahan didalam institusi internal Polri dalam hal pembinaan personil Polri. Kemana Pimpinan Satuan Kewilayahan Polri (Kapolda dan Kapolresta) dan beberapa jajaran seperti Propam (profesi Pengamanan) atau Provos? yang selalu hadir dalam mengawal unjuk rasa.

Bahwa tindakan brutalitas Kepolisian melanggar berbagai ketentuan hukum dan HAM, sebagai berikut;

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahu 1945, khusunya pasal 28 E ayat (3) dan 28 F perihal hak warga Negara untuk berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat;
  2. Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang HAM khususnya pada pasal 15 dan pasal 25;
  3. Undang-Undang No 2 tahun 2002 tentang Polri khususnya pada pasal 13 huruf c, pasal 19 ayat (1) dan (2);
  4. Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers;
  5. Kovenan Internasional Hak-hak sipil dan politik yang sudah diratifikasi ke dalam UU No 12 tahun 2005 khususnya pada pasal 13 huruf c, pasal 19 ayat (1) dan (2);
  6. Peraturan Pemerintah Indonesia No 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri khususnya pada pasal 3, 4,5 dan 6;
  7. Peraturan Kapolri No 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara RI;
  8. Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara RI;
  9. Tidak memperhatikan Peraturan Kapolri Nomor 16 tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa; Perkap No 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam tindakan Kepolisian;
  10. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

Bahwa berdasarkan hal tersebut, LBH Keadilan Bogor Raya mendorong Kapolri dan pihak terkait untuk melakukan langkah-langkah yang efektif untuk mencegah terjadinya brutalitas anggota Polri dalam penanganan unjuk rasa, sebagai berikut;

  1. Kapolri Harus Segera Mengambil tindakan hukum dengan segera memproses secara hukum (pidana dan admisnitrasi) atas anggota Polisi yang melakukan kekerasan, sebagaimana yang dilakukan oleh TNI-AU ketika ada pimpinannya melakukan kekerasan terhadap jurnalis juga diproses secara hukum;
  2. Kapolri harus mengevaluasi secara konstruktif dan komprehensif (pembinaan dan pemahaman tugas serta kewenangan Polri) kepada seluruh jajaran Polresta Makasar dan Kapolda Makasar sebagai akibat dari insiden kekerasan yang dilakukan aparat Kepolisian Makasar (Brimob) agar tidak terulang kembali dimasa depan;
  3. Kapolri harus memberikan surat keputusan yang ditujukan kepada Seluruh Satuan Kewilayahan Polri di seluruh Indonesia perihal semua anggota Polri berkewajiban menaati semua UU Polri,
  4. Peraturan Kapolri dan UU terkait dengan penanganan unjuk rasa serta UU Pers;
  5. Komisi III DPR RI harus segera mengevaluasi kinerja Polri dalam penanganna unjuk rasa;
  6. Komisi Kepolisian harus segera mengambil langkah preventif dengan memberikan masukan yang komprehensif kepada Kapolri secara khusus dalam penanganan unjuk rasa;
  7. Komnas HAM harus segera melakukan investigasi atas insiden kekerasan oleh Polri di Makasar dalam menangani unjuk rasa mahasiswa dengan melakukan kekerasan terhadap jurnalis,
  8. Komnas HAM juga harus melakukan penyelidikan pro-justisia (penyelidikan untuk kepentingan proses hukum) dengan menggunakan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM karena kekerasan oleh Polri sudah sering terjadi.

Demikian pernyataan sikap ini disampaikan.

 

Bogor, 15 November 2014

Yayasan Satu Keadilan

Syamsul Alam Agus
Sekretaris

16 Tahun Tragedi Semanggi I: Presiden, Pilihlah Jaksa Agung Bermental Baja

Peringatan 16 Tahun Peristiwa Pelanggaran HAM Semanggi I

Kami atas nama mahasiswa menyampaikan rasa keprihatinan yang mendalam atas mandeknya proses hukum bagi penanganan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat dalam peristiwa Semanggi I (13-15 November 1998). Memasuki tahun ke-16 peristiwa tersebut masih menyisakan pekerjaan rumah yang besar bagi Pemerintahan Baru Joko widodo-Jusuf Kalla (JKW-JK) yang saat ini tengah memimpin Pemerintahan dengan berkomitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat salah atunya adalah terhadap Peristiwa Semanggi I. Namun sejauh mana komitmen itu bisa diwujudkan oleh JKW-JK?

Peristiwa Semanggi I terjadi ketika seluruh mahasiswa di Jakarta melakukan aksi demonstrasi menolak Sidang Istimewa DPR-MPR yang dinilai inkonstitusional dan syarat dengan kepentingan Orde Baru. Kemudian aparat keamanan (ABRI) merespons secara represif dengan melakukan penembakan ke arah demonstrasi damai mahasiswa tepatnya di Jalan Semanggi (depan Kampus Atmajaya) sehingga 18 orang meninggal, termasuk 4 orang mahasiswa lainnya seperti BR Norma Irmawan (Wawan) – mahasiswa Univ. Atma Jaya, Sigit Prasetyo – mahasiswa YAI, Tedy Mardani – mahasiswa ITI, Muzamil Joko Purwanto – mahasiswa UI, Engkus Kusnaedi – mahasiswa Unija, dan Heru Sudibyo – mahasiswa STIE Rawamangun.

Kekecewaan atas penanganan peristiwa ini terjadi pada tahun 2001, ketika Pansus DPR yang masih bagian dari Orde Baru menyatakan tidak ada pelangaran HAM berat dalam peristiwa Semanggi I. Selanjutnya pada tahun 2002, Komnas HAM melakukan penyelidikan atas peristiwa tersebut, hasilnya Komnas HAM menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II

dan berkas hasil penyelidikannya diserahkan kepada Jaksa Agung untuk ditindak lanjuti ke tahap penyidikan. Penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM telah meruntuhkan argumentasi DPR, sebagaimana UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hanya Komnas HAM lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyatakan adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa tertentu, bukan DPR.

Hingga kini penanganan kasus Semanggi I dan kasus pelanggaran HAM berat lainnya terhenti di tangan Jaksa Agung dengan alasan terhadap peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II pelakunya sudah diadili melalui Pengadilan Militer. Hal tersebut adalah alasan yang menyesatkan publik, perlu dipahami bahwa dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I 1998 dan Semanggi II 1999 adalah peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam UU No 26 Tahun 2000. Untuk mengadili kejahatan tersebut adalah menggunakan yurisdiksi Pengadilan HAM, bukan Pengadilan Militer karena kejahatan yang telah dilakukan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Terhadap kejahatan ini tidak mengenal istilah kadaluarsa sehingga menjadi kewajiban hukum bagi Negara terutama Pemerintah untuk memastikan proses hukum berjalan hingga pelakunya dihukum seberat-beratnya sebagai bentuk pembelajaran agar peristiwa tersebut tidak terulang di masa depan.

Sebagai langkah awal komitmen JKW-JK, Presiden harus memilih Jaksa Agung yang bermental baja dan pemberani sehingga sumbatan atas penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat bisa segera dituntaskan. Presiden memiliki kewajiban hukum untuk memerintahkan atau memberikan instruksi kepada Jaksa Agung untuk segera memulai penyidikan. Komitmen JKW-JK terhadap persoalan HAM harus dibuktikan dengan dipilihnya Jaksa Agung yang memiliki rekam jejak yang kontributif dalam penegakan hukum dan HAM. Pada akhirnya kami bertanya kepada Presiden JKW, Pak Presiden berani ngga tuntaskan kasus Semanggi?

Jakarta, 13 November 2014

Senat Pengabdian Masyarakat Universitas Atma Jaya, Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBHKBR), Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK),
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Investigasi Chevron - Yayasan Satu Keadilan

LBH KBR: Laporan Awal Pengamatan Lapangan di Area Operasi Chevron Geothermal Salak

AUDIT HAM: SYARAT UNTUK MEMASTIKAN PROYEK CHEVRON GEOTHERMAL SALAK, Ltd SESUAI DENGAN KEBIJAKAN BISNIS DAN HAK ASASI MANUSIA

Investigasi Chevron - Yayasan Satu Keadilan

Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBHKBR) menyerukan untuk segera dilakukan audit hak asasi manusia terkait dengan pelaksanaan kegiatan proyek Chevron Geothermal Salak, Ltd (CGS). Audit HAM ini sangat mendesak dilakukan mengingat masyarakat memiliki hak atas informasi mengenai kegiatan sesungguhnya yang sedang dan akan dilakukan CGS serta dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar dalam perspektif ekologi, sosial, budaya dan ekonomi.

Selain itu, sebagai rangkaian proses audit HAM terhadap Chevron, LBHKBR juga mendesak untuk dilakukan legal audit atau lazim dikenal dengan istilah Legal Due Diligence (LDD). LDD dimaksudkan sebagai kegiatan pemeriksaan secara seksama dari segi hukum terkait dengan status hukum (legalitas) keberadaan Chevron dengan tidak mengecualikan pemeriksaan tingkat ketaatan Chevron terhadap Kebijakan bisnis dan hak asasi manusia (HAM) serta ketaatan terhadap instrumen-instrumen hukum di Indonesia, tempat dimana Chevron tengah melakukan eksplorasi atau ekploitasi energy panas bumi .

Chevron Corporation adalah salah satu perusahaan energy terintegrasi terbesar di dunia. Chevron berkantor pusat di San Ramon, California dan mengelola bisnis di lebih dari 180 negara, termasuk di Indonesia. Salah satu proyek yang di operasikan Chevron adalah geothermal di area Gunung Salak. Informasi yang dikumpukan oleh LBHKBR, PLTP Salak yang dioperasikan oleh Chevron Geothermal Salak, Ltd menempati lahan kurang lebih seluas 200an Ha, dari 10.000 Ha luasan yang tercantum dalam kontrak eksplorasi, yang berada di dalamkawasan TNGHS. Area itu terletak pada tiga Kecamatan dan berada di dua Kabupaten yang berpusat di Kecamatan Kalapanunggal dan Kabandungan Kabupaten Sukabumi, dan juga Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor.

Berdasarkan Informasi, saat ini Chevron tengah melakukan eksplorasi dan juga eksploitasi sebanyak 69 sumur panas bumi. 4 sumur berada di wilayah adminstrasi Kabupaten Sukabumi, dan 65 lainnya berada di wilayah administrasi Kabupaten Bogor.

Chevron Geothermal Salak, Ltd sendiri telah beroperasi di Gunung Salak sejak tahun 1994, menggunakan mekanisme Kontrak Operasi Bersama (KOB) dengan PT. Pertamina, dengan kapasitas operasi PLTP sebesar 377 MWe (disampaikan oleh Prasasti Asandhimitra, Team Manager Communication, Chevron Geothermal Salak Ltd., Kompas, Sabtu (30/3/2013).

Seperti diketahui, sebelum di alih fungsikan dan dikelola oleh perum perhutani, hutan Gunung Halimun Salak yang saat ini menjadi area bisnis Chevron berfungsi sebagai hutan produksi.

Pada tanggal 29 Agustus 2014, LBHKBR telah melakukan kunjungan lapangan untuk mengkonfirmasi beberapa masalah yang dikeluhkan oleh masyarakat Desa Ciasihan Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor. Permasalahan ini juga telah di publikasikan sejumlah media massa di Kota/Kabupaten Bogor terkait dengan dugaan dampak beroperasinya proyek geothermal di wilayah Gunung Salak.

Perwakilan LBHKBR telah mendatangani lokasi Bendungan Ciparay yang menjadi tempat aliran air dari sungai Cikuluwung Herang yang berada di area operasi Chevron Geothermal Salak, Ltd. Lokasi Bendungan Ciparay sendiri mengarah ke Kampung Legok Raina Desa Ciasihan Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor.

Selain di lokasi Bendungan Ciparay, tim LBHKBR juga mengunjungi lokasi operasi Chevron Geothermal Salak yang berada di area Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Dari pengamatan awal di lokasi tersebut, LBHKBR temukan fakta-fakta sebagai berikut:

  1. Bahwa bangunan Bendungan Ciparay tidak terawat sehingga menimbulkan luapan air tidak pada daerah aliran yang telah tersedia. Akibatnya, debit air yang mengaliri sawah-sawah penduduk di Kampung Legok Raina Desa Ciasihan Kecamatan Pamijahan mengalami penurunan;
  2. Kunjungan di lokasi sungai Cikuluwung Herang di Area Operasi CGS terdapat konstruksi bangunan beton bertingkat yang melintang di dasar dan dinding sungai. Penjelasan lisan dari staf perwakilan CGS bahwa bangunan tersebut adalah turap air yang berfungsi mengelola air dan selanjutnya akan dialirkan untuk (salah satunya) mendinginkan mesin pengeboran milik CGS. Meskipun di yakini oleh CGS bahwa bangunan turap air tersbut tidak mempengaruhi debit air yang di manfaatkan oleh masyarakat, namun perlu pengujian lebih lanjut untuk memastikan bahwa beroperasinya CGS di area tersebut tidak mempengaruhi debit dan kualitas air yang di manfaatkan masyarakat sekitar, mengingat bangunan turap yang dimasud membendung air yang mengalir kearah Bendungan Ciparay;
  3. Informasi lainnya, bahwa Satuan Khusus Angkatan Darat TNI (Kopassus) yang melakukan latihan rutin di area beroperasinya CGS tersebut juga memanfaatkan air sungai Cikuluwung untuk menunjang pelaksanaan latihan.
    Bahwa area operasi CGS yang berada di wilayah TNGHS telah menyebabkan akses masyarakat di sekitar terbatas. Sebelum keberadaan CGS di area tersebut, masyarakat di Kabupaten Bogor dapat bebas menggunakan jalan alternatif menuju Kabupaten Sukabumi.

Pengamatan LBHKBR, jalan masyarakat yang menghubungkan kearah daearah wisata Curug Luhur (tinggi) tidak dapat lagi digunakan oleh masyarakat.

Curug Luhur adalah lokasi wisata yang paling sering di datangi oleh masyarakat Kabupaten Bogor. Setelah ditetapkannya area operasi Chevron sebagai obyek vital nasional dimana sistem pengamanannya diatur berdasarkan Kepres No. 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional. Sejak itu pula akses masyarakat terbatasi di sekitar areal hutan lindung.

LBHKBR menduga pembatasan akses masyarakat tersebut juga berdampak pada pelaksanaan ritual kebudayaan/kepercayaan masyarakat setempat yang sangat tergantung pada alam.

Atas temuan awal tersebut, LBH KBR mendesak kepada pemerintah untuk segera melakukan audit HAM untuk memastikan dampak yang mungkin ditimbulkan atas beroperasinya CGS di Gunung Salak terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar dalam perspektif ekologi, sosial, budaya dan ekonomi.

Penting dan mendesak untuk dilakukannya legal audit sebagai pemeriksaan secara seksama dari segi hukum terkait dengan status hukum (legalitas) keberadaan Chevron dengan tidak mengecualikan pemeriksaan tingkat ketaatan Chevron terhadap Kebijakan bisnis dan hak asasi manusia (HAM) serta ketaatan terhadap instrumen-instrumen hukum di Indonesia. Praktek buruk dari penerapan dan lemahnya pengawasan atas kebijakan adalah korupsi dan persekongkolan antara pejabat Negara pengambil kebijakan dengan pihak perusahaan sehingga dapat menjadi awal dari pelanggaran HAM itu sendiri.

LBHKBR mengingatkan bahwa isu hak asasi manusia dan bisnis telah menjadi kebijakan global yang permanen sejak tahun 1990-an. Perkembangan ini telah meningkatkan kesadaran sosial atas dampak bisnis pada isu hak asasi manusia. Hal ini juga telah menjadi perhatian serius Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Kerangka dari rekomenasi ini di dasarkan pada tiga pilar. Pertama, adalah tugas Negara untuk melindungi masyarakat atas pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan bisnis, melalui kebijakan yang tepat, regulasi, dan ajudikasi. Kedua, adalah tanggungjawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia, yang berarti bahwa perusahaan bisnis harus bertindak dengan due diligence untuk tidak melanggar hak orang lain serta harus mengatasi dampak buruk dimana mereka terlibat. Ketiga, adalah kebutuhan untuk akses yang lebih besar oleh masyarakat yang menjadi korban untuk dilakukan pemulihan yang efektif, baik yudisial dan non-yudisial.

Tiga pilar diatas merupakan komponen penting dan saling berkaitan dengan tindakan pencegahan dan perbaikan: tugas Negara untuk melindungi karena terletak di bagian paling inti dari rezim hak asasi manusia, sedangkan tanggungjawab perusahaan untuk hormat karena masyarakat adalah dasar harapan dari bisnis itu sendiri.

Upaya perbaikan paling terpadu sekalipun tidak dapat mencegah semua penyalahgunaan tanpa disertai dengan pengawasan yang melibatkan publik.

Demikian release ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya di ucapkan terimaksih

 

LBH KEADILAN BOGOR RAYA

Sugeng Teguh Santoso, S.H. (Pembela Umum) HP. 08158931782

Syamsul Alam Agus (Pembela Umum) HP. 08118889083

LBH KBR: Putusan Sela Majelis Hakim PN Bogor Syarat dengan Pelanggaran Hukum dan Kode Etik

Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya pada tanggal 27 Oktober 2014 telah melaporkan majelis hakim pada Pengadilan Negeri (PN) Bogor yang mengadili perkara 67/Pdt.G/2014/PN.Bgr atas dugaan pelanggaran hukum dan kode etik hakim melalui Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY RI).

Pengaduan ini didasari oleh adanya kejanggalan dalam putusan sela Pada tanggal 22 Oktober 2014. Bahwa majelis hakim mengabulkan permohonan provisi Pihak Amaroosa, dengan amar putusan yang pada pokoknya menyatakan bahwa Majelis Hakim mengabulkan sebagian permohonan priovisi Penggugat (PT Aramanda) agar semua kegiatan sehubungan dengan pelaksanaan putusan akta pandading (akta perdamaian) dihentikan dengan pertimbangan Majelis Hakim karena penggugat mempersoalkan keabsahan akta perdamaian, yang mana saat ini salinan dari putusan tersebut belum dapat kami peroleh dengan dasar masih perlu dirapihkan beberapa hal oleh panitera.

Bahwa putusan akta perdamaian merupakan sebuah terobosan hukum karena didalamnya terdapat rekomendasi pembentukan Tim Bersama yang terdiri dari pemerintah kota Bogor, unsur masyarakat dan ahli (akademisi) untuk melakukan koreksi berupa kajian dan analisa atas perijinan Hotel Amarossa. Dalam hal ini Pemerintah Kota Bogor memberikan pengakuan bahwa terdapat pelanggaran dalam pembangunan hotel tersebut yang terungkap dalam akta perdamaian. Oleh karenanya kami khawatir jika Pengadilan Negeri Bogor memberikan keputusan yang lain dan mementahkan putusan sebelumnya justru bersebrangan dengan upaya dalam mendorong pemerintahan yang bersih yang saat ini sedang dilakukan oleh Walikota Bogor.

Praktik “kotor” (penyimpangan dan pelanggaran aturan) dalam perijinan bangunan di Kota Bogor yang sudah berlangsung harus dihentikan. Putusan akta perdamaian merupakan sebuah pijakan dalam melakukan koreksi secara komprehensif. Terlebih pengadilan merupakan benteng terakhir bagi para pencari keadilan sehingga putusan yang sudah memenuhi rasa keadilan public tidak boleh dimentahkan melalui Pengadilan Negeri yang sama yang memutus perkara ini. Pengadilan Negeri Bogor terutama Majelis Hakim yang menanangi perkara harus independen dan memberikan putusan yang sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang bersih dalam hal penataan tata ruang dan perijinan di Kota Bogor.

Berdasarkan hal tersebut, demi menjaga kemuliaan dan martabat hakim, kami mendorong Komisi Yudisial untuk ;

  1. Melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran hukum dan kode etik atas Putusan sela yang telah dikeluarkan oleh Majelis Hakim yang menangani perkara sebagaimana telah diuraikan di atas;
  2. Melakukan pemantauan atas proses sidang yang tengah berjalan di Pengadilan Negeri Kota Bogor yang saat ini akan memasuki proses pembuktian untuk menjaga independensi dan kewibawaan hakim agar tidak memihak pada kekuatan pemodal yang telah merugikan publik dalam pendirian bangunan Hotel Amarossa. Pemantauan ini penting sebagai pintu masuk bagi Komisi Yudisial dalam mengoreksi dan mengevaluasi kinerja secara korektif atas hakim pada Pengadilan Negeri Bogor.
    Demikian kami sampaikan.

 

Bogor, 28 Oktober 2014

Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya
Prasetyo Utomo, S.H – (085641438423)
Muhammad Daud Berueh, S.H – (081287821830)

LBH KBR - Yayasan Satu Keadilan

LBH KBR: Masukan Kebijakan Pembangunan Sentral Parkir Terpadu di Kota Bogor

Parkir Terpadu Sebagai Solusi Konstruktif Atasi Kemacetan di Kota Bogor

Pendahuluan

Dengan ditetapkannya Kota Bogor sebagai Kota dengan tingkat paling rawan macet di Indonesia telah menunjukkan adanya kesemrautan dalam penataan transportasi di Kota Bogor. Berdasarkan volume capacity ratio (VCR) yang disampaikan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Kementerian Perhubungan, Kota Bogor menempati urutan dua yakni 0,86 dengan kecepatan kendaraan 15,32 km per jam (kompas.com, 21 Oktober 2014; Ini Tiga Kota Paling Rawan Macet di Indonesia). Oleh karenanya hal tersebut penting mendapatkan respons yang serius dari Pemerintah Kota Bogor.

Persoalan kemacetan sudah menjadi masalah yang “akut” dan kerap terjadi di Kota-Kota besar. Mengatasi persoalan ini dibutuhkan sinergisasi dan kerjasama yang intensif antar instansi baik Pemerintah maupun non-Pemerintah serta melibatkan partisipasi publik yang lebih luas dengan diinisiasi oleh Walikota sebagai Kepala Pemerintahan Kota Bogor. Terlebih Kota Bogor merupakan kota penyangga yang jaraknya sangat dekat dengan Ibu Kota Negara, Jakarta. Sehingga cara penanganannya dibutuhkan penanganan yang luar biasa exceptional handling.

Berdasarkan hal tersebut, Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH-KBR) bermaksud menyampaikan masukan kepada Walikota Bogor sebagai Kepala Pemerintahan di Kota Bogor untuk mengambil langkah-langkah yang konstruktif dan komprehensif guna mengatasi kemacetan di Kota Bogor. Sebagai masukan awal kami sampaikan beberapa pertimbangan dengan harapan Walikota Bogor mengeluarkan kebijakan Pembangunan Parkir Terpadu.

Penyebab Kemacetan

Jika dilihat secara sederhana memang sangat mudah untuk mengetahui penyebab kemacetan. Misalnya pertama, penataan transportasi publik yang tidak teratur sehingga alat transportasi menjadi penyebab utama penyumbang kemacetan. Kedua, banyaknya swalayan dan pusat perbelanjaan serta bangunan hotel yang sangat berdekatan jaraknya sehingga keluar-masuk kendaraan dapat menyebabkan laju kendaraan menjadi pelan. Ketiga, volume kendaraan yang padat pada jam-jam tertentu, biasanya pada jam masuk kantor, istirahat siang dan jam pulang kantor atau sore hari. Keempat, banyaknya kendaraan yang parkir disembarang tempat dengan tidak mengindahkan marka jalan, biasanya kondisi tempat parkir yang sudah disediakan sudah penuh sehingga tidak mampu menampung tingginya kendaraan yang parkir.

Keempat hal tersebut setidak-tidaknya menjadi penyebab utama kemacetan yang terjadi di Kota-Kota besar. Dengan demikian penanganan yang khusus dan luar biasa sangat diperlukan guna mengatasi dan meminimalisir kemacetan. Kecepatan kendaraan dengan 15,32 km per jam yang terjadi di Kota Bogor sudah menunjukkan angka kecepatan yang tidak rasional. Jika tidak dicarikan solusi yang tepat maka kemungkinan ke depan laju kecepatan kendaraan akan semakin berkurang.

Dampak Kemacetan

Dengan adanya kemacetan yang luar biasa, dapat berdampak negative dan menghambat laju pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang sedang berjalan di Kota Bogor serta merugikan public sebagai pengguna jalan. Sebagai contoh dampak tersebut adalah; hak public untuk mengakses pendidikan dan pekerjaan menjadi terabaikan karena kemacetan di jalan membuat public menjadi lelah, jarak tempuh dari suatu tempat menuju ke tempat lainnya menjadi panjang, kebutuhan hak-hak dasar ekonomi masyarakat menjadi terganggu karena barang-barang yang menjadi kebutuhan dasar public tidak datang tepat waktu, menghambat hak public yang sedang membutuhkan waktu yang cepat karena sedang sakit dan/atau mau melahirkan menuju ke rumah sakit dan lingkungan menjadi tidak bersih karena polusi yang timbulkan oleh banyaknya kendaraan bermotor dalam posisi macet.

Dasar Hukum Kebijakan Sentral Parkir Terpadu

Bahwa masukan ini disampaikan oleh LBH-KBR didasari oleh pertimbangan-pertimbangan sebagai berukut;

Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945, secara khusus diatur dalam;

  • Pasal 28 C ayat 2: “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan hak-nya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”
  • Pasal 28 H ayat (1): “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”
  • Pasal 28 I ayat (4): ”Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab Negara terutama Pemerintah”

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, secara khusus diatur dalam;

  • Pasal 9 ayat (3): “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”
  • Pasal 11: “Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak”

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

  • Pasal 1 angka 15 : “Parkir adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya”
  • Pasal 3 huruf a perihal tujuan lalu lintas dan angkutan jalan : ”terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa”
  • Pasal 5 ayat (1): ”Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh Pemerintah”

Rekomendasi

Berdasarkan dengan pertimbangan-pertimbangan tersbut, LBHKBR memberikan masukan kepada Walikota Bogor untuk membuat kebijakan dengan menerapkan system sentral parkir terpadu, adapun proses dan tahapannya disampaikan sebagai berikut;

Pertama, mengeluarkan Kebijakan tata ruang perihal sentral parkir terpadu dengan pilihan lokasi yang strategis, terjangkau, ramah lingkungan dan aman sehingga publik merasa nyaman ketika memarkirkan kendaraannya di Sentral parkir terpadu;

Kedua, pengelolaan sentral parkir terpadu sepenuhnya dikelola oleh Pemerintah Kota Bogor. Harapanya memudahkan dalam pengendalian dan pengawasan sehingga transparansi dan akuntabilitasnya bisa terjaga;

Ketiga, bahwa melalui sentral parkir terpadu Pemerintah Kota Bogor akan mendapatkan masukan bagi penghasilan keuangan daerah sehingga sangat memudahkan dilakukannya pengawasan terkait dengan kebijakan transportasi Kota Bogor;

Keempat, melakukan koordinasi yang intensif dengan Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya, Polisi Lalu Lintas dan instansi terkait lainnya dalam merespons kondisi lalu lintas yang sudah mengalami kemacetan yang luar biasa. Hal ini bisa dilakukan dengan mengeleluarkan kebijakan khusus misalnya rekayasa lalu lintas pada hari-hari tertentu yang tingkat volume kendaraanya sangat tinggi;

Kelima, melibatkan partisipasi publik termasuk ahli dalam merancang dan mengelola sentral parkir terpadu. Hal tersebut penting sebagai sebuah prasyarat utama keberhasilan dengan mengedepankan partisipasi publik dan mendorong tata kelola pemerintahan yang bersih.

 

Bogor, 23 Oktober 2014
Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya

Prasetyo Utomo, S.H.

LBH KBR - Yayasan Satu Keadilan

LBH KBR: Aksi Damai Mahasiswa Menolak UU Pilkada Berujung Kriminalisasi Oleh Polresta Bogor

Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH-KBR) bersama Koalisi Masyarakat (KOMA Bogor) mengecam keras dan prihatin atas tindakan pembubaran paksa disertai dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Kota (Polresta) Bogor saat menangani unjuk rasa damai mahasiswa yang menolak Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 26 September 2014.

Perlu kami sampaikan bahwa aksi damai oleh sekitar 30 mahasiswa dari Universitas Pakuan, Universitas Paramadina dan Universitas Pertahanan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat (KOMA) yang dilakukan di Jl Utama Baranangsiang Bogor adalah sebagai bentuk akumulasi dari kekecewaan mahasiswa akibat disahkannya UU Pilkada. Bahwa dampak dari disahkannya UU Pilkada, hak warga Negara untuk memilih Kepala Daerahnya masing-masing secara langsung (Gubernur, Bupati/Walikota) diamputasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). UU ini telah mengembalikan sistem demokratisasi kembali ke era Otoritarian (Orde Baru) sehingga semua kelompok masyarakat sipil hingga Gubernur, Bupati/Walikota menolak pengesahan UU tersebut.

Bahwa berdasarkan keterangan dari mahasiswa dan saksi-saksi yang menjadi korban didapatkan beberapa fakta kekerasan yang dilakukan oleh Polresta Bogor saat membubarkan paksa aksi mahasiswa; pemukulan, penamparan, pernyataan kasar “kotor” dari anggota Polisi dan tindakan merendahkan martabat manusia lainnya.

Bahwa berdasarkan keterangan korban sebagaimana fakta-fakta tersebut di atas telah menunjukkan bahwa anggota Polresta telah bertindak arogan dengan membubarkan paksa aksi mahasiswa disertai dengan pemukulan, penamparan, intimidasi

dan mengaluarkan kata-kata “kotor” yang tidak pantas disampaikan oleh anggota Polisi sebagai pelindung dan pengayom msyarakat. Selanjutnya pembubaran paksa aksi mahasiswa tersebut Polrersta Bogor tidak menggunakan Standar Operasional Prosedur (SOP) Polri dalam penanganan aksi sebagaimana mestinya.

Oleh karenanya tindakan pembubaran paksa aksi mahasiswa disertai dengan tindak kekerasan (pemukulan, penamparan dan intimidasi serta mengaluarkan kata-kata “kotor”) bagian dari pelanggaran HAM dan bertentangan dengan UUD Tahun 1945, UU Polri, Peraturan Kapolri serta aturan hukum yang berlaku.

Sejatinya Tugas dan Kewenangan Polri sebagaimana Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kemudian dipertegas kembali dalam Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, namun tidak dijadikan dasar pertimbangan oleh Polri dalam menjalankan tugasnya, terutama dalam pembubaran paksa aksi damai mahasiswa.

Berdasarkan hal tersebut kami mendorong kepada instansi atau lembaga negara terkait untuk melakukan langkah-langkah yang efektif, melakukan koreksi atas penanganan unjuk rasa yang masih menggunakan pola represif dalam penangannya, sebagai berikut;

  1. Mendorong Kapolri agar memberikan instruksi kepada seluruh anggota Polri (Polda, Polres dan Polsek) untuk menghormati dan melindungi setiap warga negara yang sedang menjalankan aktifitas kewarganegaraannya; untuk berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat sebagaimana yang telah dijamin dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan perundang-undangan lainnya;
  2. Mendorong Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri untuk menindak tegas anggota Polri (Polresta Bogor) yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum atas peristiwa pembubaran
    paksa aksi mahasiswa;
  3. Mendorong Kapolresta Bogor sebagai atasan langsung dari anggota Polresta agar menindak secara tegas sesuai aturan hukum yang berlaku, karena tindakan pembubaran paksa aksi mahasiswa yang disertai dengan tindak kekerasan telah mencoreng citra Kepolisan RI yang sedang berusaha keras untuk memperbaiki citranya di hadapan public;
  4. Mendorong Komisi Kepolisian Nasional melakukan evaluasi atas pola penanganan unjuk rasa yang terus mengedepankan tindakan represif dengan mengesampingkan tindakan pencegahan yang jelas merupakan bentuk pelangaran serius terhadap SOP Polri;
  5. Mendorong Komnas HAM RI untuk melakukan investigasi terkait dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oeh anggota Polresta Bogor yang melakukan pembubaran paksa disertai tindak kekerasan terhadap mahasiswa.

 

Bogor, 13 Oktober 2014

Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH KBR)

Koalisi Masyarakat (KOMA Bogor)

LBH KBR - Yayasan Satu Keadilan

LBHKBR: Surat Terbuka – Protes Atas Tindakan Kekerasan Polisi Terhadap Aksi Damai Mahasiswa di Kota Bogor

Melalui surat ini, Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH-KBR) prihatin atas tindakan pembubaran paksa disertai dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Kota (Polresta) Bogor saat menangani unjuk rasa damai mahasiswa dalam menolak Undang-Undang Pemilihan Kepada Daerah (UU Pilkada) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 26 September 2014.

Perlu kami sampaikan bahwa aksi damai oleh sekitar 30 mahasiswa dari Universitas Pakuan, Universitas Paramadina dan Universitas Pertahanan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat (KOMA) yang dilakukan di Jl Utama Baranangsiang Bogor adalah sebagai bentuk akumulasi dari kekecewaan mahasiswa akibat disahkannya UU Pilkada. Bahwa dampak dari disahkannya UU Pilkada, hak warga Negara untuk memilih Kepala Daerahnya masing-masing secara langsung (Gubernur, Bupati/Walikota) diamputasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). UU ini telah mengembalikan sistem demokratisasi kembali ke era Otoritarian (Orde Baru) sehingga semua kelompok masyarakat sipil hingga Gubernur, Bupati/Walikota menolak pengesahan UU tersebut.

Bahwa berdasarkan keterangan dari mahasiswa dan saksi-saksi yang menjadi korban didapatkan beberapa fakta kekerasan yang dilakukan oleh Polresta Bogor saat membubarkan paksa aksi mahasiswa, sebagai berikut;

  1. Bahwa aksi damai menolak UU Pilkada telah diberitahukan oleh salah satu perwakilan mahasiswa kepada Anggota Intel Polresta Bogor pada 10 Oktober 2014;
  2. Bahwa aksi dilakukan pada hari Sabtu/tanggal 11 Oktober pkl 11.30 Wib dengan terlebih dahulu sebagian mahasiswa berkumpul di Tugu Kujang Bogor;
  3. Bahwa ketika mahasiswa mulai melakukan aksi sekitar 5 menit dengan posisi membentang spanduk penolakan UU Pilkada pada ¾ bahu jalan tiba-tiba satu Anggota Polisi turun dari mobil tanpa penyataan apapun langsung mendorong paksa mahasiswa kemudian dikuti oleh sekitar 15 kendaraan (sepeda motor) Polisi, dua motor langsung menabrak barisan aksi mahasiswa yang mengenai salah satu mahasiswa hingga jatuh yang berakibat pada paha kaki salah satu mahasiswa tersebut terluka;
  4. Bahwa terjadi dorong-dorongan antara mahasiswa dan anggota Polisi disertai dengan pemukulan terhadap mahasiswa sebagian Polisi melakukan pemukulan dengan menggunakan helm, saat dorong-dorongan terjadi salah satu anggota Polisi tanpa ada pernyataan apapun melakukan penembakan ke udara sebanyak 3 (tiga) kali;
  5. Bahwa setelah pembubaran paksa dilakukan 4 (empat) mahasiswa ditangkap dengan dua kendaraan yang terpisah. Tiga mahasiswa sebelum dimasukan kedalam mobil pick up Polisi disertai dengan tindakan kekerasan dengan pemukulan, penendangan dan kata-kata kasar “anjing” dan pernyataan kasar lainnya sebelum dipindahkan ke mobil truck Polisi. Hal yang sama juga dialami oleh satu mahasiswa yang ditangkap dengan mobil terpisah dengan dipukul terlebih dahulu sebelum dimasukan ke dalam mobil avanza disertai dengan penodongan senjata api ke arah mahasiswa;
  6. Bahwa sepanjang pejalanan dari lokasi aksi menuju ke kantor Polresta Bogor keempat mahasiswa kembali mendapatkan tindak kekerasan berupa pemukulan dan penamparan disertai dengan kata-kata kotor dan arogan; “lo kuliah dimana sih”, “ayo kita berkelahi, lepas baju kita sama-sama sipil, “baru semester 1 sudah aksi, lo mau jadi copet/maling”, “lo habis bersetubuh yah dengan pacar lo semalam”;
  7. Bahwa sesampainya di Kantor Polresta keempat mahasiswa dimintai keterangan oleh penyidik Polresta terkait aksi yang dilakukan;
  8. Bahwa sekitar pkl 17.00 wib mahasiswa diperbolehkan pulang untuk divisum akibat luka oleh tindak kekerasan anggota Polisi saat membubarkan paksa aksi mahasiswa;

Bahwa berdasarkan keterangan korban sebagaimana fakta-fakta tersebut di atas telah menunjukkan bahwa anggota Polresta telah bertindak arogan dengan membubarkan paksa aksi mahasiswa disertai dengan pemukulan, penamparan, intimidasi dan mengaluarkan kata-kata “kotor” yang tidak pantas disampaikan oleh anggota Polisi sebagai pelindung dan pengayom msyarakat. Selanjutnya pembubaran paksa aksi mahasiswa tersebut Polrersta Bogor tidak menggunakan Standar Operasional Prosedur (SOP) Polri dalam penanganan aksi sebagaimana mestinya.

Oleh karenanya tindakan pembubaran paksa aksi mahasiswa disertai dengan tindak kekerasan (pemukulan, penamparan dan intimidasi serta mengaluarkan kata-kata “kotor”) bagian dari pelanggaran HAM dan bertentangan dengan UUD Tahun 1945, UU Polri, Peraturan Kapolri serta aturan hukum yang berlaku, sebagai berikut;

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya pada Pasal 28 E ayat (3) dan 28 F perihal hak warga negara untuk berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat;
  2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM khususnya pada Pasal 15 dan Pasal 25;
  3. Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi ke dalam UU No 12 Tahun 2005 khususnya pada Pasal 19 dan pasal 21;
  4. Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia khususnya pada Pasal 13 huruf c, Pasal 19 ayat (1) dan (2);
  5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia khususnya pada Pasal 3, 4, 5 dan Pasal 6;
  6. Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  7. Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  8. Tidak memperhatikan PERKAP No 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa; PERKAP No 1 Tahun 2009 tentangn Penggunaan Kekuatan dalam tindakan Kepolisian; PERKAP No 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas dan Ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru-Hara;

Sejatinya Tugas dan Kewenangan Polri sebagaimana Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kemudian dipertegas kembali dalam Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, namun tidak dijadikan dasar pertimbangan oleh Polri dalam menjalankan tugasnya, terutama dalam pembubaran paksa aksi damai mahasiswa.

Dengan berbagai persoalan di atas sejalan dengan temuan dari Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa Penegak hukum Indonesia banyak yang tidak memahami hak sipil dan politik dan tidak memahami konstitusi Indonesia. Tindakan pembubaran paksa disertai dengan tindak kekerasan telah menciderai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No 39 Tahun 1999 dan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi ke dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2005.

Berdasarkan hal tersebut kami mendorong kepada Kapolresta Bogor sebagai atasan langsung untuk melakukan langkah-langkah yang efektif dan melakukan koreksi atas penanganan unjuk rasa yang masih menggunakan pola represif dalam penangannya, sebagai berikut;

  1. Menindak secara tegas sesuai aturan hukum atas anggota Polresta yang telah melakukan tindak kekerasan terhadap mahasiswa, karena tindakan pembubaran paksa aksi mahasiswa yang disertai dengan tindak kekerasan telah mencoreng citra Kepolisan RI yang sedang berusaha untuk memperbaiki citranya di hadapan publik;
  2. Melakukan evaluasi yang komprehensif kepada seluruh jajaran Polresta Bogor dalam penanganan unjuk rasa dengan mengedepankan lanngkah-langkah yang preventif dengan tetap mengedepankan HAM sebagaimana UUD Tahun 1945, UU Polri, UU 39/1999 tentang HAM dan Peraturan Kapolri agar peristiwa tersebut tidak terulang kembali di masa depan.

Demikian kami sampaikan. Persoalan ini penting untuk segera ditindak lanjuti agar ke depan segenap Kepolisian Negara Republik Indonesia semakin profesional dan menghormati HAM dalam menjalankan tugasnya sehingga cita-cita Polri dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 Tentang Polri) bisa terwujud menjadi nyata.

Bogor, 12 Oktober 2014
Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya,

Prasetyo Utomo, SH.
Pembela Umum

 

Tembusan :

  1. Kapolda Jawa Barat
  2. Kapolri
  3. Kepala Divisi Propam Polri
  4. Irwasum Polri
  5. Komisi Kepolisian Nasional RI
  6. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI
  7. Komisi III DPR RI
  8. Arsip
pembubaran paksa aksi mahasiswa oleh polresta bogor - Yayasan Satu Keadilan

LBH KBR: Mengecam Tindakan Kekerasan Polresta Bogor Terhadap Aksi Damai Mahasiswa

Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH-KBR) mengecam tindakan pembubaran paksa disertai dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Kota (Polresta) Bogor saat menangani unjuk rasa damai mahasiswa dalam menolak Undang-Undang Pemilihan Kepada Daerah (UU Pilkada) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 26 September 2014.

Perlu kami sampaikan bahwa aksi damai oleh sekitar 30 mahasiswa dari Universitas Pakuan, Universitas Paramadina dan Universitas Pertahanan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat yang dilakukan di Jl Utama Baranangsiang adalah sebagai bentuk akumulasi dari kekecewaan mahasiswa akibat disahkannya UU Pilkada. Bahwa dampak dari disahkannya UU Pilkada, hak warga Negara untuk memilih Kepala Daerahnya masing-masing secara langsung (Gubernur, Bupati/Walikota) diamputasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). UU ini telah mengembalikan sistem demokratisasi kembali ke era Otoritarian (Orde Baru) sehingga semua kelompok masyarakat sipil hingga Gubernur, Bupati/Walikota menolak pengesahan UU tersebut.

Bahwa berdasarkan keterangan dari mahasiswa dan saksi-saksi yang menjadi korban didapatkan beberapa fakta kekerasan yang dilakukan oleh Polresta Bogor saat membubarkan paksa aksi mahasiswa, sebagai berikut;

Bahwa aksi damai menolak UU Pilkada telah diberitahukan oleh salah satu perwakilan mahasiswa kepada Anggota Intel Polresta Bogor pada 10 Oktober 2014;

  1. Bahwa aksi dilakukan pada hari Sabtu/tanggal 11 Oktober pkl 11.30 Wib dengan terlebih dahulu sebagian mahasiswa berkumpul di Tugu Kujang Bogor;
  2. Bahwa ketika mahasiswa mulai melakukan aksi sekitar 5 menit dengan posisi membentang spanduk penolakan UU Pilkada pada ¾ bahu jalan tol tiba-tiba satu Anggota Polisi turun dari mobil tanpa penyataan apapun langsung mendorong paksa mahasiswa kemudian dikuti oleh sekitar 15 kendaraan (sepeda motor) Polisi, dua motor langsung menabrak barisan aksi mahasiswa yang mengenai salah satu mahasiswa hingga jatuh yang berakibat pada paha kaki salah satu mahasiswa tersebut terluka;
  3. Bahwa terjadi dorong-dorongan antara mahasiswa dan anggota Polisi disertai dengan pemukulan terhadap mahasiswa sebagian Polisi melakukan pemukulan dengan menggunakan helm, saat dorong-dorongan terjadi salah satu anggota Polisi tanpa ada pernyataan apapun melakukan penembakan ke udara sebanyak 3 (tiga) kali;
  4. Bahwa setelah pembubaran paksa dilakukan 4 (empat) mahasiswa ditangkap dengan dua kendaraan yang terpisah. Tiga mahasiswa sebelum dimasukan kedalam mobil pick up Polisi disertai dengan tindakan kekerasan dengan pemukulan, penendangan dan kata-kata kasar “anjing” dan pernyataan kasar lainnya sebelum dipindahkan ke mobil truck Polisi. Hal yang sama juga dialami oleh satu mahasiswa yang ditangkap dengan mobil terpisah dengan dipukul terlebih dahulu sebelum dimasukan ke dalam mobil avanza disertai dengan penodongan senjata api ke arah mahasiswa;
  5. Bahwa sepanjang pejalanan dari lokasi aksi (jalan Tol) ke kantor Polresta Bogor keempat mahasiswa kembali mendapatkan tindak kekerasan berupa pemukulan dan penamparan disertai dengan kata-kata kotor dan arogan; “lo kuliah dimana sih”, “ayo kita berkelahi, lepas baju kita sama-sama sipil, “baru semester 1 sudah aksi, lo mau jadi copet/maling”, “lo habis bersetubuh yah dengan pacar lo semalam”;
  6. Bahwa sesampainya di Kantor Polresta keempat mahasiswa dimintai keterangan oleh penyidik Polresta terkait aksi yang dilakukan;
  7. Bahwa sekitar pkl 17.00 wib mahasiswa diperbolehkan pulang untuk divisum akibat luka oleh tindak kekerasan anggota Polisi saat membubarkan paksa aksi mahasiswa;

Bahwa berdasarkan keterangan korban sebagaimana fakta-fakta tersebut di atas telah menunjukkan bahwa anggota Polresta telah bertindak arogan dengan membubarkan paksa aksi mahasiswa disertai dengan pemukulan, penamparan, intimidasi dan mengaluarkan kata-kata “kotor” yang tidak pantas disampaikan oleh anggota Polisi sebagai pelindung dan pengayom msyarakat. Selanjutnya pembubaran paksa aksi mahasiswa tersebut Polrersta Bogor tidak menggunakan Standar Operasional Prosedur (SOP) Polri dalam penanganan aksi sebagaimana mestinya.

Oleh karenanya tindakan pembubaran paksa aksi mahasiswa disertai dengan tindak kekerasan (pemukulan, penamparan dan intimidasi serta mengaluarkan kata-kata “kotor”) bagian dari pelanggaran HAM dan bertentangan dengan UUD Tahun 1945, UU Polri, Peraturan Kapolri serta aturan hukum yang berlaku, sebagai berikut;

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya pada Pasal 28 E ayat (3) dan 28 F perihal hak warga negara untuk berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat;
  2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM khususnya pada Pasal 15 dan Pasal 25;
  3. Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi ke dalam UU No 12 Tahun 2005 khususnya pada Pasal 19 dan pasal 21;
  4. Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia khususnya pada Pasal 13 huruf c, Pasal 19 ayat (1) dan (2);
  5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia khususnya pada Pasal 3, 4, 5 dan Pasal 6;
  6. Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  7. Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  8. Tidak memperhatikan PERKAP No 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa; PERKAP No 1 Tahun 2009 tentangn Penggunaan Kekuatan dalam tindakan Kepolisian; PERKAP No 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas dan Ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru- -Hara;

Sejatinya Tugas dan Kewenangan Polri sebagaimana Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kemudian dipertegas kembali dalam Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, namun tidak dijadikan dasar pertimbangan oleh Polri dalam menjalankan tugasnya, terutama dalam pembubaran paksa aksi damai mahasiswa.

Dengan berbagai persoalan di atas sejalan dengan temuan dari Komite HAM PBB yang menyatakan bahwa Penegak hukum Indonesia banyak yang tidak memahami hak sipil dan politik dan tidak memahami konstitusi Indonesia. Tindakan pembubaran paksa disertai dengan tindak kekerasan telah menciderai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No 39 Tahun 1999 dan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi ke dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2005.

Berdasarkan hal tersebut kami mendorong kepada instansi atau lembaga negara terkait untuk melakukan langkah-langkah yang efektif, melakukan koreksi atas penanganan unjuk rasa yang masih menggunakan pola represif dalam penangannya, sebagai berikut;

  1. Mendorong Kapolri agar memberikan instruksi kepada seluruh anggota Polri (Polda, Polres dan Polsek) untuk menghormati dan melindungi setiap warga negara yang sedang menjalankan aktifitas kewarganegaraannya; untuk berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat sebagaimana yang telah dijamin dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan perundang-undangan lainnya;
  2. Mendorong Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri untuk menindak tegas anggota Polri (Polresta Bogor) yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum atas peristiwa pembubaran
    paksa aksi mahasiswa;
  3. Mendorong Kapolresta Bogor sebagai atasan langsung dari anggota Polresta agar menindak secara tegas sesuai aturan hukum yang berlaku, karena tindakan pembubaran paksa aksi mahasiswa yang disertai dengan tindak kekerasan telah mencoreng citra Kepolisan RI yang sedang berusaha keras untuk memperbaiki citranya di hadapan publik;
  4. Mendorong Komisi Kepolisian Nasional melakukan evaluasi atas pola penanganan unjuk rasa yang terus mengedepankan tindakan represif dengan mengesampingkan tindakan pencegahan yang jelas merupakan bentuk pelangaran serius terhadap SOP Polri;
  5. Mendorong Komnas HAM RI untuk melakukan investigasi terkait dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota Polresta Bogor yang melakukan pembubaran paksa disertai tindak kekerasan terhadap mahasiswa.

Demikian kami sampaikan. Persoalan ini penting untuk segera ditindak lanjuti agar ke depan segenap Kepolisian Negara Republik Indonesia semakin profesional dan menghormati HAM dalam menjalankan tugasnya sehingga cita-cita Polri dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 Tentang Polri) bisa terwujud menjadi nyata.

 

Bogor, 12 Oktober 2014

Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH-KBR)