Diskusi Publik: Mitigasi Politik Identitas di Pilkada 2024

,

Bogor, 20 September 2024 – Yayasan Satu Keadilan, bekerja sama dengan Search Indonesia, mengadakan diskusi publik bertajuk “Mitigasi Politik Identitas di Pilkada 2024” pada Jumat, 20 September 2024, bertempat di Joglo Keadilan, Kemang, Kabupaten Bogor. Acara ini berlangsung mulai pukul 13.30 hingga 17.00 dan menghadirkan berbagai pemangku kepentingan terkait.

Diskusi ini bertujuan untuk membahas strategi mitigasi politik identitas yang berpotensi menimbulkan kerawanan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, terutama di Kota Bogor. Dengan menghadirkan narasumber kompeten, antara lain Sugeng Teguh Santoso (STS), anggota DPRD Kota Bogor, Firman Wijaya, komisioner Bawaslu Kota Bogor, serta Hasbullah, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bogor, diskusi ini berhasil menjadi wadah pertukaran ide dan solusi.

Sugeng Teguh Santoso dalam pemaparannya menyoroti pentingnya peran Pengawas Pemilu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mengidentifikasi dan memitigasi ujaran kebencian. “Kecepatan dan ketegasan Gakum dalam mengatasi isu-isu politik identitas sangat krusial. Untuk Kota Bogor, semua pasangan calon adalah muslim, sehingga menggunakan isu politik identitas sebagai alat pertarungan tidak beralasan,” ujar STS.

Firman Wijaya, dari Bawaslu Kota Bogor, menambahkan bahwa berdasarkan Indeks Kerawanan Pemilihan yang diluncurkan Bawaslu Provinsi Jawa Barat, Kota Bogor masuk dalam kategori kerawanan sedang. “Kami berkomitmen untuk menciptakan Pilkada yang lebih aman dan berkeadilan, dengan langkah-langkah mitigasi yang tepat,” katanya.

Sementara itu, Hasbullah, Ketua FKUB Kota Bogor, menekankan pentingnya membangun dialog antarpemeluk agama untuk menjaga kerukunan. “FKUB Kota Bogor selalu hadir dalam memberikan perspektif dialog. Ruang-ruang diskusi seperti ini perlu dibuka lebih luas, Majelis-Majelis Keagamaan yang berdiskusi dengan FKUB masih terbatas tapi semakin kesini FKUB Kota Bogor makin memperluas diskusinya termasuk dengan kelompok seperti Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI),” ujar Hasbullah.

Acara ini juga dihadiri oleh perwakilan berbagai organisasi masyarakat sipil di Kota Bogor, yang turut menyampaikan masukan dan berpartisipasi aktif dalam diskusi.

Dengan terselenggaranya diskusi ini, diharapkan strategi mitigasi yang efektif dapat diterapkan dalam menghadapi Pilkada 2024, sehingga pelaksanaannya dapat berjalan aman, damai, dan berkeadilan tanpa adanya isu politik identitas yang memecah belah masyarakat.

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
Yayasan Satu Keadilan
Email: info@satukeadilan.org

Balada Konflik MIAH yang Tak Kunjung Usai

,

METROPOLITAN.id – pembangunan masjid Imam Ahmad Bin Hambal atau yang biasa disebut MIAH di Jalan Kolonel Achmad Syam, Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor hingga saat ini tak kunjung terealisasi.

Hal itu lantaran Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor di bawah kepemimpinan Wali Kota Bima Arya meminta pembangunan MIAH dihentikan sementara, sebab dianggap memiliki potensi konflik sosial. Hal itu seiring dengan adanya penolak dari beberapa pihak.

Bahkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUBKota Bogor tak bisa berbuat banyak atas penghentian pembangunan rumah ibadah tersebut.

FKUB tidak dimasukkan dalam tim penanganan konflik sosial yang dibentuk oleh Wali Kota di kasus MIAH, meski begitu saat ini FKUB mengambil peran walaupun tidak dimasukkan tim,” kata Ketua FKUB Kota Bogor Hasbulloh.

Menurut dia, dalam menyikapi persoalan pembangunan MIAH, FKUB kerap melakukan cipta kondisi kerukunan di lingkungan masyarakat dan penguatan peran tokoh masyarakat dalam menyelesaikan persoalan pembangunan MIAH.

Hasbulloh menilai jika penghentian pembangunan MIAH bukan berdasarkan konflik keagmaan, melainkan konflik sosial seperti yang telah ditetapkan oleh Pemkot Bogor beberapa waktu lalu. Bahkan ia mengklaim saat ini tidak ada konflik keagamaan yang terjadi di Kota Bogor.

“Potensi konflik Keagamaan di Kota Bogor semakin rendah, karena dipicu peningkatan Indeks Kerukunan Umat Beragama di Kota Bogor. Apalagi DNA masyarakat Kota Bogor adalah masyarakat yang toleran,” kata dia.

Menurut Hasbulloh, dari beberapa kejadian yang muncul di Indonesia sedikitnya ada tiga pemicu terjadinya konflik keagamaan. Yang pertama adalah pada urusan penyiaran agama, atau mengajak orang lain dalam agama tertentu, biasanya konflik terjadi ketika adanya hate speech (ujaran kebencian,red).

Lalu yang kedua dipicu aliran keagamaan, ketika suatu masyarakat tertentu sudah terbangun suatu tradisi keagamaan dengan corak aliran tertentu, kemudian ada datang pihak lain yang membawa tradisi dan doktrin yang berbeda, maka hal tersebut bisa menjadi pemicu konflik.

“Ketiga adalah terkait dengan pendirian rumah ibadah, dimana ketika ada rencana pembangunan rumah ibadah dan tidak terkomunikasikan dengan baik kepada masyarakat dan tokoh agama setempat maka akan menjadi pemicu konflik,” ujar Hasbulloh.

Penghentian pembangunan MIAH pun tak luput dari peran Wali Kota Bogor Bima Arya. Beberapa waktu lalu, Bima Arya menyebutkan jika pihaknya telah berkomunikasi dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kota Bogor dan melakukan pemantauan di lapangan. Dari hasil tersebut pihaknya mencermati ada potensi konflik sosial yang sangat besar terkait pembangunan MIAH.

“Forkopimda atas persetujuan DPRD, menyepakati, menetapkan status konflik di lokasi tersebut. Sehingga melakukan langkah-langkah yang terukur untuk menghentikan semua kegiatan dan mengikhtiarkan terjadinya islah, musyawarah untuk mufakat,” kata Bima Arya.

Ia menjelaskan jika langkah penetapan status konflik sosial berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Tak hanya itu, menurut dia, Forkopimda juga terus mengupayakan mediasi dengan semua elemen masyarakat agar persoalan ini selesai. Sehingga warga bisa menerima, pihak pengurus masjid juga bisa berkomunikasi dengan baik dengan warga.

Sementara itu, Herly Hermawan, kuasa hukum yang mewakili pengurus MIAH menerangkan jauh sebelum adanya keputusan Wali Kota Bogor Bima Arya yang meminta penghentikan pembangunan MIAH dengan menetapkan konfik sosial, MIAH sudah berdiri sejak tahun 2001 berdasarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang resmi dan sah yang diterbitkan oleh Walikota Bogor Nomor 645.8/SK.151 Diskim Tahun 2001 tanggal 14 Mei 2001.

Lalu pada 2016 pengurus MIAH kembali mengajukan izin untuk melakukan perluasan dan renovasi bangunan, setelah memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku maka Walikota melalui Kepada Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DBMPTSP) Kota Bogor menerbitkan IMB dengan No. 645.8/264-DPMRTSP Tahun 2016, 29 September 2016.

“Selama 15 tahun berdiri tidak pernah ada penolakan dari masyarakat atau terjadinya konflik sosial di area MIAH,” kata Herly.

Dalam perjalanan renovasi MIAH, Herly menduga ada sejumlah pihak yang mendesak Wali Kota Bogor Bima Arya untuk menghentikan proses pembangunan. Atas desakan tersebut Bima Arya membekukan IMB atau produk hukum yang sebelumnya telah diterbitkannya. Geram dengan tindak tanduk Bima Arya, pengurus MIAH akhir mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung dan memenangkannya.

Tak sampai disitu, usai gugatan yang pertama Pemkot Bogor pun kembali mengeluarkan surat pencabutan IMB atas pembangunan MIAH. Namun hal tersebut digugat kembali di PTUN dan pengurus MIAH kembali memenangkan gugatannya.

“Terkait PTUN itu adalah pembangunan masjid karena persoalan IMB itu harus dipisahkan dengan pemahaman. Sekarang yang ditolak itu pemahamannya, silakan jalur hukum yang digunakan dong,” kata Herly.

“Menolak pembangunan masjid itu pidana, kecuali kalau MIAH ini sudah ditetapkan sebagai ajaran aliran sesat dan itu harus ke pengadilan yang menyatakan itu,” sambung dia.

Usai kalah di PTUN Bandung, lanjut Herly, Pemkot Bogor hingga saat ini belum menjalankan putusan pengdalian meski putusan tersebut telah inkracht atau berkekuatan hukum tetap. Bahkan putusan pengadilan tersebut kini diperkuat surat dari Menteri Sekretariat Negara yang meminta agar Kementerian Dalam Negeri memerintahkan Pemkot Bogor untuk menjalankan putusan pengadilan.

Herly juga menyebutkan jika Pemkot Bogor keliru dalam menyematkan konflik sosial dalam proses pembangunan MIAH. Sebab menurut dia, penyematan statsus konflik sosial kepada suatu wilayah ketika terjadinya kontak fisik antara pihak-pihak yang berseteru lalu terjadi eskalasi.

“Kalau pun ada penyematan status konflik sosial, Pemkot Bogor mempunyai waktu 90 hari untuk menyelesaiaknnya. Dan selama 90 hari itu tiak ada upaya dari Pemkot Bogor mengajak duduk bersama,” ujar Herly.

Imbas dari rangkain peristiwa tersebut proses pembangunan MIAH menjadi mangkrak, kondisi di proyek pun menjadi terbengkalai usai lokasi tersebut di segel oleh petugas Satpol PP Kota Bogor.

Dengan terhambatnya proses pembangunan MIAH, Herly menyebutkan saat ini jamaah yang sebelumnya kerap beribadah atau melakukan kajian keagamaan di MIAH kini harus berpencar-pencar. Bahkan kajian-kajian keagamaan yang menjadi agenda rutin kini dialihkan menjadi via digital.

“Kalau kita menimba ilmu kan dimana saja, pasca kejadian ini teman-teman ada yang ikut kajian dimana-dimana bahkan sampai keluar Bogor,” ungkapnya.

Sebelumnya, dalam Rapat Koordinasi Nasional di Sentul International Convention Center (SICC) Presiden Jokowi mengingatkan kepala daerah agar berhati-hati mengambil keputusan untuk melarang pembangunan rumah ibadah. Sebab, umat beragama memiliki kebebasan untuk beribadah dan beragama.

Kebebasan memeluk agama dan beribadah ini bahkan telah dijamin oleh konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 29 Ayat 2. Konstitusi ini, kata Jokowi, tidak boleh kalah oleh sebuah kesepakatan. Salah satu kesepakatan yang mungkin muncul, misalnya, sepakat tidak boleh memberi izin membangun rumah ibadah bagi pemeluk agama tertentu.

 

“Konstitusi tidak boleh kalah dengan kesepakatan. Dalam rapat FKUB misalnya, sepakat tidak memperbolehkan membangun tempat ibadah. Hati-hati loh, konstitusi kita, hati-hati, menjamin itu,” ujar Jokowi.

Ia mengingatkan agar semua kepala daerah mematuhi konstitusi tersebut, utamanya ketika menerbitkan instruksi setingkat wali kota atau bupati.

“Ada peraturan wali kota, atau ada instruksi bupati. Hati-hati loh, kita semua harus tahu masalah ini. Konstitusi kita memberikan kebebasan beragama dan beribadah,” ungkapnya.

Penyesalan Surip yang Ikut Menyerang Markas Jemaat Ahmadiyah

,

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Ada beberapa hal menarik pada acara religious tolerance roundtable discussion yang digelar Yayasan Satu Keadilan bersama Search for Commonground bertema ‘Mengurai Problematika Pembangunan Rumah Ibadah Dan Hak Untuk Beribadah Di Bogor Raya dan Depok’ Rabu 22 Februari 2023 pekan lalu.

Diskusi itu menampilkan Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan dan Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama RI Wawan Djunaedi sebagai narasumber.

Acara diskusi dihadiri sejumlah kelompok masyarakat. Ada juga dari warga Jemaat Ahmadiyah.

Pada sesi tanya jawab salah seorang peserta diskusi yakni Surip yang berasal dari Desa Jampang Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor menyampaikan permohonan maaf kepada Jemaat Ahmadiyah.

Apa alasannya?

Dalam penuturannya, Surip mengaku menjadi salah satu massa yang ikut menyerang Kampus Mubarak di Desa Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, yang merupakan markas Jemaat Ahmadiyah. Seingat Surip penyerangan dilakukan pada tahun 1995.

“Jadi kalau di sini (forum diskusi, -red) ada yang Ahmadiyah saya mohon maaf karena waktu itu saya enggak tahu. Pokoknya ada info kalau Ahmadiyah itu naik haji di Kampus Mubarak, ada nabinya di situ (Kampus Mubarak) kita serang,” ucap Surip meminta maaf di forum diskusi.

Usai diskusi saya menyempatkan mewawancari Surip.

Surip mengatakan pada tahun 1995 di hari Jumat dia dan sejumlah massa menyerang Kampus Mubarak. Surip mengaku terprovokasi.

“Di Kampus Mubarak ada nabi muhammad, di situ (Kampus Mubarak) mereka naik haji. Kami jalan kaki dari Jampang semua ke Kampus Mubarak. Yang namanya spontan begitu orang ikut ya ikut aja,” ujar Surip seraya mengingat kejadian waktu itu.

Dalam diskusi itu, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kemenag RI Wawan Djunaedi sebagai narasumber juga membedah 12 butir pernyataan Jemaat Ahmadiyah yang dikeluarkan PB JAI tahun 2008.

12 Butir Pernyataan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yakni

  1. Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan mengucapkan dua kalimah syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah SAW, yaitu Asyhaduanlaailaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasullulah, artinya: aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah.
  2. Sejak semula kami warga jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah Khatamun Nabiyyin (nabi penutup).
  3. Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita dan peringatan serta pengemban mubasysyirat, pendiri dan pemimpin jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW.
  4. Untuk memperjelas bahwa kata Rasulullah dalam 10 syarat bai’at yang harus dibaca oleh setiap calon anggota jemaat Ahmadiyah bahwa yang dimaksud adalah nabi Muhammad SAW, maka kami mencantumkan kata Muhammad di depan kata Rasulullah.
  5. Kami warga Ahmadiyah meyakini bahwa:a. Tidak ada wahyu syariat setelah Al-Quranul Karim yang diturunkan kepada nabi Muhammad.

    b. Al-Quran dan sunnah nabi Muhammad SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani.

  6. Buku Tadzkirah bukanlah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat (1908).
  7. Kami warga jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata maupun perbuatan.
  8. Kami warga jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan menyebut Masjid yang kami bangun dengan nama Masjid Ahmadiyah.
  9. Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang dibangun dan dikelola oleh jemaat Ahmadiyah selalu terbuka untuk seluruh umat Islam dari golongan manapun
  10. Kami warga jemaat Ahmadiyah sebagai muslim melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama dan mendaftarkan perkara perceraian dan perkara lainnya berkenaan dengan itu ke kantor Pengadilan Agama sesuai dengan perundang-undangan.
  11. Kami warga jemaat Ahmadiyah akan terus meningkatkan silaturahim dan bekerja sama dengan seluruh kelompok/golongan umat Islam dan masyarakat dalam perkhidmatan sosial kemasyarakat untuk kemajuan Islam, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  12. Dengan penjelasan ini, kami pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengharapkan agar warga Jemaat Ahmadiyah khususnya dan umat Islam umumnya serta masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat ukhuwah Islamiyah, serta persatuan dan kesatuan bangsa.

Jakarta, 14 Januari 2008

PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia

 

 

Usai diskusi itu, Surip mengaku kaget. Ternyata Jemaat Ahmadiyah tidak seperti yang dia bayangkan sebelumnya.

“Yang saya pahami waktu itu, Ahmadiyah itu nabi Muhammad nya di Kampus Mubarak. Tapi setelah ikut diskusi kok jauh (beda) banget gitu hlo. Kalau begitu saya bersalah dong. Makanya saya cari tadi ada enggak orang Ahmadiyah di sini,” terang Surip.

Surip merasa berdosa karena telah salah paham soal Jemaat Ahmadiyah.

“Tadi saya merasa berdosa. Sekian tahun kan saya gak pernah tahu ceritanya Ahmadiyah. Sekarang saya sudah ikut Banser NU. Pokoknya saya baru denger di sini kok begini Ahmadiyah gitu aja saya langsung spontan nyari Ahmadiyah bahwa dulu saya bersalah. Makanya saya minta maaf,” terang Surip. [] Hari

Mereka Bukan Intoleran! Memahami Cara Berpikir Ukhti-Ukhti Aktivis Dakwah Kampus Pakai Kacamata Identitas

,

Sekumpulan ukhti—sebutan bagi para muslimah aktivis dakwah kampus—tampak ceria dan bersemangat, kendati panas terik matahari menyengat mereka.

Selama tiga hari (8, 10, dan 11 Maret 2023) di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), mereka menggelar kampanye “Gerakan Menutup Aurat (Gemar)”. Ini merupakan program kerja tahunan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di kampus-kampus negeri se-Indonesia.

Sebagaimana namanya, kampanye ini dilakukan untuk memberi edukasi terkait pentingnya menutup aurat bagi para Muslimah. Agar menarik perhatian, berbagai games dan hadiah seperti seperti jilbabgamis, dan kaos kaki gratis telah disiapkan.

Semua orang bisa mengikuti acara ini. Syaratnya hanya satu, yaitu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh panitia mengenai “apa itu aurat, dan kenapa kita (Muslimah) diwajibkan untuk menutup aurat?”

Persis seperti ekspektasi saya, teman-teman perempuan yang tertarik dengan kegiatan ini adalah mereka yang semuanya sudah berjilbab. Dengan mudah mereka menjawab pertanyaan tentang aurat sebagai bagian tubuh yang harus ditutupi.

Dan, alasan kenapa aurat wajib ditutupi oleh seorang Muslimah, mereka menyebut untuk menaati perintah Allah, menghindari dosa, dan melindungi tubuh perempuan dari tatapan/perbuatan melecehkan.

Ketika dua pertanyaan itu dianggap terlalu mudah dijawab, ukhti-ukhti panitia biasanya akan memberikan pertanyaan lanjutan seperti, “apakah kamu punya teman yang belum menutup aurat?”; “Menurut kamu kenapa mereka belum menutup aurat?”; dan “apa yang kamu lakukan sebagai teman untuk mengingatkan mereka agar mau menutup aurat?”

Berbeda dengan dua pertanyaan awal yang bisa dengan mudah dijawab karena membicarakan tentang keyakinan diri sendiri, untuk menjawab tiga pertanyaan lanjutan ini menjadi cukup sulit karena melibatkan keyakinan dan pilihan orang lain.

Kampanye Gerakan Menutup Aurat (Gemar) dari perspektif para ukhti atau perempuan muslim lain yang sudah menutup aurat/berjilbab (in-group/insider) adalah sebuah kegiatan dakwah yang penting untuk ‘saling mengingatkan’ sesama muslim terkait ‘kewajiban’ mereka.

Kampanye ini dianggap bersifat harmless karena dilakukan sama sekali tanpa paksaan. Para ukhti mengajukan pertanyaan, bermain games, dan membagi-bagikan hadiah hanya pada teman-teman perempuan yang mendatangi stand mereka.

Sifat kampanye ini tentu akan jadi berbeda (harmful) jika dilakukan dengan paksaan dan melibatkan stigma/asumsi-asumsi bahwa mereka yang tidak berjilbab adalah perempuan-perempuan yang mengalami degradasi iman, terjerumus pergaulan bebas, atau menyengaja ingin menjadi perempuan nakal, dan oleh karenanya mereka harus dipaksakan untuk menggunakan jilbab sebagai bentuk pertaubatan seperti yang tergambar dalam konten-konten Zavilda TV.

Dari perspektif out-group, kegiatan yang dianggap ‘harmless’ ini dibaca secara berbeda. Ada yang bersikap biasa saja karena merasa kegiatan ini tidak terlalu relevan. Ada juga yang merasa sebal karena kampanye-kampanye seperti ini dianggap berusaha mengurusi pilihan seseorang.

Meskipun begitu, rupanya ada juga yang merasa logika kegiatan ini cukup jenaka. Kegiatan membagi-bagikan jilbab, gamis, dan kaos kaki secara gratis seakan-akan mengasumsikan bahwa seseorang belum menutup aurat karena tidak mampu untuk membeli barang-barang tersebut.

Bagi perempuan yang tidak menjadikan identitas agama sebagai identitas utama (out-group), jilbab adalah simbol keagamaan yang tidak serta merta menjadi satu-satunya penanda keimanan seseorang.

Keputusan untuk berjilbab adalah pilihan personal. Setiap individu memiliki agensi dan otoritas diri untuk menentukan sendiri preferensi-preferensi yang mereka miliki dalam berpenampilan.

Karena itu, upaya untuk memengaruhi bahkan memaksa untuk berjilbab di luar kehendak diri dianggap sebagai bentuk superioritas dan penghakiman bahwa bahwa perempuan yang belum berjilbab tidak lebih baik dibandingkan dengan mereka yang berjilbab.

Pemikiran bahwa jilbab adalah sebuah pilihan sama sekali berbeda dengan apa yang diyakini oleh para ukhti yang melakukan kampanye “Gemar” tersebut. Bagi mereka yang menjadikan identitas agama sebagai identitas utama—atau bahkan identitas tunggal—jilbab bukan sekadar simbol keagamaan yang bisa dipilih/tidak dipilih, tapi menyangkut iman dan tingkat kepatuhan terhadap Tuhan.

Jilbab adalah sesuatu yang sangat prinsipil dan tidak dapat dinegosiasikan. Oleh karenanya, mereka merasa berkewajiban untuk mendakwahkan kewajiban berjilbab kepada perempuan-perempuan di luar mereka yang masih belum memahami kewajiban ini.

‘Kacamata Identitas’ dan Pandangan atas Dunia

Dominic J. Packer dan Jay Van Bavel adalah professor psikologi Lehigh University. Mereka menulis sebuah buku berjudul “The Power of Us: Harnessing Our Shared Identities to Improve Performance, Increase Cooperation, and Promote Social Harmony” (2021).

Dalam buku tersebut Dominic dan Jay menjelaskan bagaimana identitas bekerja. Katanya, ketika individu mengadopsi sebuah identitas, individu tersebut diibaratkan sedang menggunakan sepasang kacamata yang memfilter pandangan-pandangan mereka terhadap dunia.

Kaca mata ini, menurut Dominic dan Jay, menentukan apa yang penting untuk dilihat dan apa yang aman untuk diabaikan. Sesekali, kacamata ini akan membantu kita super fokus hingga melakukan zoom in jika apa yang dilihat adalah sesuatu yang sangat penting. Di saat bersamaan, ia akan melakukan zoom out bahkan membuat pandangan kita blur jika yang kita lihat adalah sesuatu yang tidak penting.

Yang menjadi filter dalam kacamata tersebut adalah kebiasaan, budaya, dan pemikiran anggota kelompok identitas yang kita pilih. Sebagai contoh, dalam melihat persoalan jilbab, para ukhti menggunakan kacamata mereka sebagai seorang “Muslimah”.

Menurut kacamata tersebut, jilbab adalah hal yang sangat penting sehingga mereka melakukan zoom in pada segala hal yang berhubungan dengan jilbab bagi seorang perempuan. Di saat bersamaan, mereka juga sedang melakukan zoom out pada masalah-masalah lain yang bukan merupakan perhatian kelompok mereka seperti isu-isu feminisme/konsen/pilihan personal.

Sampai sini terlihat jelas mengapa terdapat cara pandang yang kontras terkait jilbab antara para ukhti dengan perempuan-perempuan muslim di luar kelompok mereka. Perbedaan kelompok tempat mereka berada (yang menjadi filter ‘kacamata identitas’) membuat mereka berbeda pandangan meskipun keduanya memiliki identitas sebagai pemeluk agama yang sama.

Memang, tidak ada yang sepenuhnya benar atau sepenuhnya salah terkait hal ini. Identitas secara alamiah sering menempatkan kepentingan kelompok (in-group) bertentangan dengan kepentingan orang lain (out-group).

Terakhir, Dominic dan Jay menyoroti terkait ragam identitas berbeda yang dimiliki oleh setiap individu. Ragam identitas ini yang membuat manusia menjadi sangat kompleks ketika memandang dunia karena cara pandang mereka akan berubah bergantung pada kacamata identitas mana yang sedang mereka gunakan.

Para ukhti LDK IPB dan perempuan non-ukhti mungkin berbeda pandangan terhadap jilbab, tetapi sebagai sesama mahasiswa IPB, saya yakin mereka sependapat mengenai kampus IPB sebagai peringkat 3 kampus terbaik di Indonesia versi Webometrics dibandingkan peringkat 5 versi QS World University Ranking.

Identitas Keagamaan Mengarah Gerakan Kekerasan?

Dalam konteks anak muda di Indonesia, agama dianggap sebagai salah satu identitas paling penting bagi diri mereka. Hal ini dikuatkan oleh riset yang dilakukan oleh USAID melalui proyek Harmoni yang berjudul “Pathways of Resilience to Violent Extremism (VE) in Indonesian Higher Education” (2023). Juga, oleh riset IDN Research Institute berjudul “Indonesia Gen Z dan Millenial Report” (2022).

Dua riset tersebut menunjukan bahwa agama adalah hal yang penting bagi anak-anak muda di Indonesia. Agama disebut bukan hanya menjadi petunjuk tetapi juga memberikan makna bagi kehidupan mereka.

Ketika agama dianggap sebagai identitas yang penting, banyak anak-anak muda di Indonesia menggunakan kacamata identitas agama dalam melihat dunia. Dalam riset-riset terkait tingkat intoleransi, anak-anak muda dengan kacamata agama ini dinilai berdasarkan cara mereka merespons kelompok-kelompok agama di luar mereka: apakah mereka bersikap memusuhi atau merasa bisa co-eksisten satu sama lain.

Ketika anak muda menyatakan ketidaksetujuan dengan kelompok berbeda agama (misalnya, tidak setuju mengucapkan selamat natal), sering kali mereka dengan mudah dianggap ‘tidak suka atau malah memusuhi’ kelompok berbeda, tanpa menginterogasi terlebih dahulu filter kacamata identitas yang mereka punya.

Menurut saya, kesimpulan itu cukup gegabah dan bermasalah karena ketidaksetujuan terhadap ucapan selamat natal tersebut bisa jadi diakibatkan oleh, pertama, budaya komunitas yang terlalu homogen; kedua, pengajaran dari lingkungan (orang dewasa) yang terlalu banyak curiga; dan ketiga, ketiadaan ruang perjumpaan dengan kelompok berbeda agama.

Tiga hal itu adalah ‘filter’ yang tidak dibuat secara sengaja oleh anak-anak muda, melainkan terbentuk dari kelompok ingroup yang mereka ada di dalamnya. Dengan kata lain, kita terkadang terlalu cepat mengambil kesimpulan jika ketidaksepakatan atas satu hal langsung dihukumi sebagai sikap tidak suka atau bahkan memusuhi.

Ada satu hal menarik yang saya tangkap ketika membahas tentang identitas keagamaan anak muda di Indonesia. Dalam topik ini, yang selalu berusaha untuk ditelusuri adalah tingkat penerimaan kelompok agama yang satu terhadap kelompok agama lainnya.

Tapi sebagai informasi, dari pengalaman saya melakukan wawancara dengan beberapa anak muda yang terlibat dalam gerakan ekstremisme kekerasan, yang lebih mendorong anak muda untuk terlibat dengan gerakan ekstremis kekerasan sebenernya bukan perasaan benci atau tidak suka terhadap kelompok yang berbeda agama.

Beberapa anak muda yang terlibat dalam gerakan ekstremisme justru disebabkan oleh keinginan untuk memperkuat identitas keagamaan atau memperkuat nilai-nilai ingroup dan perasaan solidaritas terhadap kelompok muslim yang mendapatkan penindasan.

Perempuan muda inisial (N) misalnya, tertarik menjadi pendukung ISIS karena ia merasa bisa menjadi muslimah yang paripurna jika hijrah ke Suriah. Sementara itu, laki-laki muda inisial (F), (I), (T), dan (A), tertarik bergabung dengan ISIS karena merasa ISIS berjuang atas nama agama.

Lebih jauh (I), anak muda asal Banyumas memutuskan untuk menjadi pelaku kekerasan (lone wolf terrorism) didorong oleh kekecewaannya terhadap kelompok islam arus utama di Indonesia yang dianggap tidak berbuat apa-apa untuk membantu saudara muslim yang tertindas di Suriah.

Jadi alih-alih didorong oleh kebencian, ketertarikan terhadap gerakan ekstremisme kekerasan yang muncul dalam diri anak-anak muda justru lebih berdasar pada ‘kepedulian’ yang dimanfaatkan/dimanipulasi sedemikian rupa oleh kelompok ekstremisme kekerasan untuk memperoleh dukungan.

Setelah memahami pentingnya identitas keagamaan, cara kacamata identitas bekerja pada anak-anak muda, serta bagaimana kelompok ekstremisme kekerasan memanfaatkan identitas ini untuk memperoleh dukungan dari mereka, maka semakin penting rasanya untuk menemukan identitas di luar agama yang dapat mendamaikan perbedaan sekaligus bisa mengarahkan solidaritas dan kepedulian kelompok (in-group) dari yang awalnya eksklusif menjadi inklusif.

Mengawal Pemilu Berkualitas: Menolak Politisasi Identitas

Menyongsong perhelatan pesta demokrasi tahun 2024, politisasi identitas masih menjadi salah satu tantangan dalam demokrasi di Indonesia. Tidak hanya di Indonesia peningkatan politik identitas juga
dimainkan oleh para politisi di dunia, seperti di era pemerintah Donald Trump di Amerika dan Narendra Modi di India yang terbukti ampuh memancing emosi massa. Sebagaimana kita ketahui, ketika identitas agama, etnis dan ras dijadikan sebagai narasi politik, akan sangat mengancam demokrasi dan kerukunan umat beragama.

Sisa politisasi identitas pada Pemilu 2014, dan puncaknya Pilkada DKI 2017, serta Pilpres 2019, bak api dalam sekam akan selalu menjadi potensi yang mengancam kebangsaan dan kebhinekaan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sebagai pelaksana dan pengawas pemilu, memformulasikan instrumen peraturan untuk membendung dan mengatasi politisasi identitas. Pasal 280 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sudah dengan tegas mengatur tentang pelarangan politik identitas, ujaran kebencian atas dasar SARA, dan pelarangan penggunaan tempatibadah. Disambut pula dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang setidaknya tercatat telah 5 kali menyampaikan penegasan pelarangan dan penolakan terhadap politik identitas pada Pemilu 2024. Alih-alih hanya sebagai pernyataan semu dan preseden buruk, namun, harus dikawal demi terwujudnya pemilu yang berkualitas, yang mengedepankan semangat kebangsaan.

Oleh karena itu, peran dari masyarakat sipil sebagai salah satu kekuatan politik, sudah selayaknya tidak
hanya diposisikan sebagai pihak di “luar pagar” (outsider). Inisiatif “Deklarasi Pemilu Damai, Bersih dan
Demokratis” yang dihasilkan oleh jaringan masyarakat sipil dalam “Kemah Titik Temu” (Bogor, 13-14
Februari 2023) adalah ikhtiar penting dalam membangun diskursus pemilu yang berkualitas, tanpa politisasi identitas. Dengan ini, masyarakat sipil merumuskan 9 (sembilan) sikap untuk mengawal pelaksanaan Pemilu 2024:

  1. Menuntut pemerintah pusat agar memastikan Pemilu 2024 terlaksana sesuai agenda yang telah
    dirancang oleh KPU.
  2. Menolak segala bentuk politisasi identitas dan SARA, serta aksi-aksi lain yang dapat mereduksi
    semangat kebhinekaan dan kebangsaan.
  3. Mengajak semua pihak untuk menjadikan Pemilu 2024 sebagai momentum untuk meneguhkan
    nilai-nilai inklusivitas dan kesetaraan, tanpa diskriminasi atas dasar apapun.
  4. Menuntut pemerintah mencegah dan menindak segala bentuk politisasi identitas yang berpotensi
    mengintimidasi, dan mempersekusi golongan tertentu. Pelaksanaan Pemilu 2024 harus tunduk dan patuh pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
  5. Menjamin hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta hak atas rasa aman dengan
    menciptakan ruang aman bagi kelompok masyarakat sipil, pers, minoritas etnis, agama dan gender.
  6. Menolak setiap bentuk eksploitasi perempuan sebagai objek kampanye politik dalam meraih suara
    pemilih.
  7. Menuntut KPU dan Bawaslu melaksanakan pemilu secara independen, demokratis, berintegritas,
    dan menjunjung tinggi semangat HAM serta keberagaman.
  8. Menyerukan kepada masyarakat sipil untuk berpartisipasi aktif dalam mendorong terselenggaranya pemilu yang damai, bersih, dan demokratis.
  9. Menagih janji pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menyelenggarakan pemilu 2024 yang
    bebas dari politisasi identitas.

Bogor, 14 Februari 2023

Dentiara D.S
Alam Raya Bahagia Bogor

M. Hilman
PPDI Kota Bogor

Muhammad Isnur
YLBHI

Agus Safrudinnur
GUSDURIAN BOGOR

Eva Sibarani
HKBP Betlehem Cilebut

Halili Hasan
SETARA Institute

Syamsul Alam Agus
Yayasan Satu Keadilan

Susan
KOPEL Jabodetabek

Nan Sumiroy
L.C.K

Angelique Maria Cuaca
Pelita Padang

Ael
YIFoS Indonesia

Ade Firmansyah
JAI Depok

Saraswati
Penghayat Kapribaden

Surti Handayani
PPMAN

Venolia
WCC Mawar Balqis

Puja Monica Rahayu
Gerpuan UGJ

Pepiks Griff

KUUB

Nabil Ali
SOBAT KBB

Dawes Benny Sitompul
HKBP Betlehem Cilebut

Ataul Wahab K
AMSA

Hendrikus M S
Gereja Tulang Kuning

Thowik
SEJUK

Darius Leka
ISKA

M. Isrofil
Komunitas Taring Babi

Zevinus Sema
JPIC Semplak

Evelin Cabuy
Peace Leader

Anisa
Pejuang Waktu

Marsel
PGI-S Kota Depok

Indah Dianita
Metamorfosis

Retno Lestari
MLKI

Naditya
Queer Camp

Nur Eki F
Muhammadiyah

Agus Hadi Luthfiansyah
PUI

Ahmad Masihudin
PB JAI

Fatimahtuzahro
Buper Joglo
Bangkongrean

Balada Mida, Muslimah yang Gerilya Bantu Dirikan Gereja

,

Ilustrasi Indepth Penolakan Gereja di Cilegon. tirto.id/Fuad

 

Menebalkan kuping, menguatkan hati, mengeraskan tekad, atas nama kemanusiaan, Mida menerabas sekat-sekat perbedaan, demi perjuangkan berdirinya gereja.

tirto.id – Bagi Mida Sahada, soal keimanan adalah urusan individu. Ia percaya bahwa iman tak mungkin goyah hanya karena membantu sesama manusia kendati beda keyakinan. Dan ia membuktikannya sendiri.

Sepanjang Juni hingga Agustus tahun lalu, perempuan 46 tahun itu punya tugas yang krusial: membantu kumpulkan tanda tangan warga yang mendukung pendirian sebuah gereja di Kelurahan Mampang, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok.

Ia mendapat jatah untuk menggalang dukungan dari pintu ke pintu di empat dari tujuh Rukun Tetangga (RT). Ke rumah-rumah warga, Mida harus menjelaskan dengan lengkap maksud dan tujuan, rencana lokasi, hingga aturan pendirian rumah ibadah.

Di atas kertas, ada nama, alamat serta tanda tangan yang harus diteken warga jika ikut mendukung. Termasuk juga fotokopi atau foto KTP.

Apa yang dilakukan Mida adalah amanat Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 tahun 2006 [pdf]—dikenal dengan SKB 2 Menteri—soal pendirian rumah ibadat.

Dalam aturan itu, ada beberapa syarat jika ingin mendirikan rumah ibadah: 90 tanda tangan dari jemaat pengguna rumah ibadat, 60 tanda tangan dari warga sekitar lokasi pembangunan, serta mendapat rekomendasi dari Kementerian Agama Kantor Wilayah (Kemenag Kanwil) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Setelahnya, baru kepala daerah bisa memberikan izin.

Untuk sampai di tahap FKUB dan Kemenag Kanwil, syarat tanda tangan tersebut harus melewati struktur birokrasi mulai dari Ketua RT dan Ketua RW sebagai pengantar dan Lurah atau Kepala Desa sebagai pengesah.

Saat awal turun ke lapangan, Mida sengaja terlebih dahulu datang ke wilayah tempat keluarga besarnya tinggal. Ia ketuk pintu ke pintu. Kata dia, mayoritas keluarga besarnya ikut mendukung dan meneken tanda tangan. “Ini urusan agama masing-masing. Toh, mereka juga enggak ganggu kita,” kata Mida, meniru ucapan sebagian besar keluarganya,

Ia bercerita kepada Tirto, ada dari keluarga yang mendukung pendirian gereja namun menolak tanda tangan tanpa memberi alasan. Namun Mida merasa perlu menghargai keputusan itu. “Enggak ada paksaan,” katanya, Minggu (29/1/2023) lalu.

Setelahnya, Mida terus lanjut datang dari pintu ke pintu wilayah lainnya. Pengalamannya sebagai anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kelurahan Mampang bikin Mida terbiasa datang ke rumah-rumah warga. Ia bisa melakukan pemetaan awal mana warga yang sekira mudah diajak bicara dan pikirannya terbuka. Pemetaan itu jadi pertimbangan untuk menentukan prioritas warga yang didatangi terlebih dahulu.

“Walau akhirnya enggak sesuai perkiraan. Sangat dinamis. Yang saya kira awalnya akan mendukung, malah menolak,” katanya.

“Benar-benar sulit diprediksi. Door to door antara Pemilu dengan pendirian gereja ini sangat berbeda.”

Mida mengaku tugasnya tak berjalan dengan mulus. Ada sejumlah warga yang tak setuju dengan adanya gereja, warga yang setuju tapi emoh ikut tanda tangan, hingga warga yang setuju dan tanda tangan namun diintimidasi oleh orang-orang menolak sejak awal.

“Ada intimidasi. Salah satunya saudara saya. Setelah ikut tanda tangan, ia mendapat intimidasi. Ditekan untuk tarik dukungan. Tapi akhirnya enggak dicabut. Tetap mendukung,” katanya. “Beberapa warga ikhlas tanda tangan, tanpa kami paksa.”

Sepanjang menggalang dukungan untuk pendirian gereja, tak jarang Mida mendengar suara sumbang dari tetangga dan kolega. Sejumlah warga mencibir aksi Mida yang totalitas membantu perizinan pendirian gereja. Bahkan, dirinya juga pernah dituding menerima sejumlah uang.

Suatu hari, ada seorang warga bertanya ke Mida. “Kok, Bu Mida mau berteman sama mereka [jemaat gereja]?” kata Mida meniru.

“Memangnya salah? Mereka enggak ganggu agama saya. Mereka tahu saya orang Islam. Hormati agama saya juga. Masa enggak boleh berteman dengan beda agama?” balasnya.

Suara sumbang dan sindiran juga datang di dunia maya. Mida tergabung dalam sebuah group WhatsApp berisi warga dan tokoh masyarakat di Kelurahan Mampang. Sejumlah warga menyindir kerja-kerja Mida.

“Sudah tahu orangnya kan yang mintain KTP? Itu kok bego banget mau bantu orang Kristen.”

“Hati-hati tuh dimintai KTP nanti buat pinjol.”

“Nanti buat kristenisasi.”

“Saya pikir, kalau mereka [jemaat gereja] mau kristenisasi, yang ada saya duluan yang masuk. Saya sudah kenal mereka lama, puluhan tahun, tapi saya tetap dengan keyakinan saya. Saya masih sholat. Mereka kadang-kadang malah ingetin saya sholat,” kata Mida dengan sedikit nada kesal.

“Saya biarkan mereka [orang-orang di group WhatsApp]. Nanti juga diem sendiri.”

“Saya harus kuat kuping, kuat hati, dan kuat mental.”

Minoritas Sulit Bangun Rumah Ibadah

Pengalaman Mida bisa jadi hanya gambaran kecil dari banyaknya kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KKB) yang terjadi sepanjang 2022.

Dalam laporan tahunannya yang dirilis 31 Januari lalu, SETARA Institute mencatat setidaknya ada 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang 2022. Dari angka itu, 168 tindakan dilakukan oleh penyelenggara negara, sedangkan 165 tindakan dilakukan oleh sipil.

Tindakan yang dilakukan sipil paling banyak dilakukan oleh warga (94 tindakan), individu (30 tindakan), ormas keagamaan (16 tindakan), MUI (16 tindakan), dan Forum Kerukunan Umat Beragama/FKUB (10 tindakan).

Lebih spesifik lagi, ada enam tindakan terbanyak yang dilakukan sipil: penolakan pendirian tempat ibadah (38 tindakan), intoleransi (37 tindakan), pelaporan penodaan agama (17 tindakan), pelarangan ibadah (15 tindakan), penolakan ceramah (14 tindakan), dan perusakan tempat ibadah (7 tindakan).

Dalam laporan yang yang sama, SETARA Institute mencatat pelanggaran KBB paling banyak dialami oleh individu (41 peristiwa), warga (34 peristiwa), umat Kristiani (33 peristiwa; 30 peristiwa dialami umat Kristen dan 3 peristiwa dialami umat Katolik), pengusaha (19 peristiwa), pelajar (13 peristiwa), umat Islam (12 peristiwa), umat Buddha (7 peristiwa), Jemaat Ahmadiyah Indonesia (6 peristiwa), dan penghayat kepercayaan (6 peristiwa).

Itu artinya, ragam hal yang dialami oleh Mida juga dialami oleh banyak individu lainnya di banyak daerah di Indonesia.

Di sisi lain, praktik buruk perlakuan diskriminatif masyarakat di sebuah wilayah bisa jadi merupakan cermin dari wajah dari para pemegang kuasa di sana. Selama ini, Depok memang kota yang cukup bermasalah.

Kota itu selalu masuk deretan peringkat anjlok dalam riset Indeks Kota Toleran yang dibikin oleh SETARA Institute selama lima kali: nomor enam dari bawah pada 2015, 2017 serta 2018, merosot ke nomor tiga dari bawah pada 2020, dan berada di paling bawah pada 2021 lalu. Riset tersebut digarap berbasis kebijakan pemerintah dan ucapan pejabat setempat untuk menjadi tolok ukur toleran atau tidaknya sebuah kota.

SETARA Institute juga mengambil satu kesimpulan umum dari lima edisi riset tersebut: “Hal yang menarik dari sirkulasi 10 kota terendah pada lima kali penilaian IKT adalah fakta bahwa kota-kota yang berhasil keluar dari jeratan intoleransi adalah kota-kota dengan tingkat urbanisme dan metropolisme tinggi.”

Sayang, fenomena itu tidak terjadi di Depok—kota yang menjadi salah satu wilayah penyangga DKI Jakarta dengan arus mobilitas yang tinggi.

Secara umum, sulitnya mendirikan rumah ibadah bagi kelompok minoritas di Indonesia memang bukan barang baru. Apalagi, di banyak kasus, pelakunya adalah pejabat atau pemegang otoritas di wilayah itu sendiri.

Semisal kasus di Kota Cilegon, Banten, yang diliput secara mendalam oleh Tirto. Kami menemukan ada dua jemaat Kristen di sana—HKBP Maranatha dan Gereja Baptis Indonesia—yang sudah menyelesaikan syarat-syarat aturan tanda tangan untuk mendirikan rumah ibadah, toh, akhirnya tak kunjung dapat izin dari otoritas setempat karena tekanan warga yang menolak.

Bahkan, di Jawa Barat sendiri, ada kasus pencabutan IMB rumah ibadah milik Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor oleh otoritas karena desakan mayoritas yang menolak. Akhirnya, aturan SKB 2 Menteri soal pendirian rumah ibadah bukan lagi perkara penyelesaian administratif, tapi perkara mayoritas-minoritas.

Di sisi lain, Pemerintah Kota Depok sendiri sangat mudah mendapat IMB pendirian masjid agung yang akan menggusur SD Negeri 1 Pondok Cina. Padahal, dalam temuan laporan mendalam Tirto pada Desember lalu, mereka belum menyelesaikan ragam syarat administratif tanda tangan sebagai amanat aturan SKB 2 Menteri.

Kepala Daerah di Balik Pelarangan

Presiden Joko Widodo sendiri mengakui masalah itu. Dalam Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda di Sentul, Jawa Barat, pada 17 Januari lalu, ia menyindir para kepala daerah yang melarang kegiatan dan pendirian rumah ibadah bagi non-muslim.

Ia menemukan sejumlah kasus di mana kepala daerah berkongsi dengan FKUB untuk melarang pendirian rumah ibadah, alih-alih memberikan rasa aman dan perlindungan kepada kelompok minoritas. Jokowi tak membeberkan siapa saja kepala daerah itu.

“Sekali lagi ini dijamin oleh konstitusi. Dandim, kapolres, kapolda, pangdam harus ngerti ini. Kejari, kejati jangan sampai yang namanya konstitusi itu kalah oleh kesepakatan,” kata Jokowi.

“Hati-hati lho konstitusi kita menjamin itu. Ada peraturan wali kota atau ada instruksi bupati, hati-hati kita semua harus tahu masalah ini. Konstitusi kita itu memberikan kebebasan beragama dan beribadah.”

Namun, di sisi lain Jokowi mengklaim masalah pelarangan beribadah dan pembangunan rumah ibadah hanya terjadi di beberapa kota atau kabupaten saja.

“Meskipun hanya 1, 2, 3 kota atau kabupaten, tapi hati-hati mengenai ini karena saya lihat masih terjadi. Kadang-kadang saya berpikir sesusah itu kah orang yang akan beribadah? Sedih kalau kita mendengarnya,” tutup Jokowi.

Padahal, kasus pelarangan pendirian rumah ibadah lebih besar dari yang diklaim Jokowi. Direktur Riset SETARA Institute, Halili Hasan, bilang bahwa situasi faktual persoalan peribadatan dan pendirian tempat ibadah di Indonesia lebih serius dari apa yang disampaikan oleh Presiden, terutama dari sisi intensitas dan skalanya.

Data longitudinal SETARA Institute sepanjang 2007-2022 menunjukkan, telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah dalam satu setengah dekade terakhir.

“Gangguan tersebut mencakup pembubaran dan menolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya. Seluruh gangguan tersebut menimpa kelompok minoritas, baik dalam relasi eksternal maupun internal agama,” kata Halili.

Oleh karena itu, salah satu desakan paling kencang dilontar masyarakat sipil—salah satunya Amnesty Internasional Indonesia—untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan mencabut SKB 2 Menteri yang dianggap jadi biang praktik diskriminatif bagi kelompok minoritas.

Keinginan Mida membantu para jemaat bukan datang ruang kosong. Mida menyaksikan sendiri bagaimana para jemaat gereja selama ini selalu aktif dalam kegiatan sosial di masyarakat dan tak pernah pilah-pilih.

Oleh karena itu, Mida sangat menyayangkan jika ada sejumlah pihak yang masih menolak pendirian gereja, bahkan sampai mengintimidasi warga yang mendukung. Padahal, kegiatan jemaat gereja itu selama ini tak pernah mengganggu warga sekitar.

“Mereka hanya mau aman ibadah di tempat mereka sendiri. Mereka enggak minta duit orang lain untuk bangun rumah ibadah.”

Artikel ini telah tayang di Tirto.id. Baca selengkapnya di artikel “Balada Mida, Muslimah yang Gerilya Bantu Dirikan Gereja”, https://tirto.id/gBPJ

Sejumlah Riset Sebut Anak Muda Indonesia Itu Intoleran, Saya Justru Menemukan Sebaliknya

,

Tidak sedikit berita dan riset yang menyebutkan bahwa banyak anak-anak muda di Indonesia memiliki kecenderungan intoleran dan bahkan radikal. Benarkah demikian?

Menyoal isu ini, saya merangkum setidaknya 12 riset yang membahas keberagamaan anak-anak muda dan bagaimana mereka menanggapi keberagaman.

Saya menemukan banyak informasi menarik sekaligus pelik (aneh, rumit, tidak biasa) mengenai klaim tingkat intoleransi di kalangan anak muda yang disebut cukup tinggi ini.

Sejauh yang saya ketahui, riset paling awal (dan paling banyak dikutip) mengenai cara beragama anak-anak muda di Indonesia dilakukan tahun 2010-2011 oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) dan Maarif Institute.

Temuan riset ini menyebutkan bahwa anak muda memiliki pemahaman agama yang cukup keras karena hampir 50% siswa SMA di daerah Jakarta dan sekitarnya yang menjadi responden mereka mendukung penggunaan cara-cara ‘garis keras’ dalam menangani konflik agama.

LaKIP dan Maarif Institute juga menyoroti bagaimana paham radikal memengaruhi anak-anak muda melalui institusi pendidikan (kampus dan sekolah).

Bergser ke tahun 2016, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menguatkan temuan LaKIP dengan menyebutkan bahwa anak muda di indonesia memang semakin intoleran. Menurut LIPI, kelompok garis keras bukan hanya masuk ke dalam institusi pendidikan, tetapi mulai mengambil ‘kontrol’ di kampus-kampus negeri ternama di Indonesia.

Selanjutnya, pada tahun 2017 Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta dan Wahid Institute lagi-lagi juga menemukan simpulan yang hampir sama. Dalam riset ini diketahui 43.88% anak SMA yang menjadi responden survei cenderung mendukung intoleransi, 6.56% di antaranya bahkan mendukung radikalisme keagamaan.

Lagi dan lagi, tahun 2018 CONVEY menemukan bahwa 51.1% anak-anak muda responden mereka juga cenderung intoleran, dan 58.5% cenderung radikal (hampir 10x lebih besar dibandingkan temuan PPIM).

Di tahun yang sama, Alvara Research Center merilis temuan yang lebih mengejutkan. Dalam survei yang mereka lakukan terhadap 4.200 mahasiswa dan anak SMA, disebutkan bahwa 25% responden siap untuk berjihad (perang bersenjata) dan menegakkan khilafah.

Dari 12 riset yang saya rangkum, hanya ada dua riset yang melihat anak muda sebenarnya toleran. Pertama, dilakukan oleh INFID melalui riset berjudul “Sikap dan Pandangan Generasi Z dan Millenial di Indonesia terhadap Toleransi, Kebhinekaan, dan Kebebasan Beragama (2021)”.

Kedua, oleh IDN Research Media melalui laporan tahunan mereka mengenai “Indonesia Gen Z dan Milennial report 2022”. Dalam riset-riset ini disebutkan bahwa mayoritas anak muda di Indonesia memiliki toleransi yang tinggi, mendukung pembangunan tempat ibadah untuk minoritas, dan menyetujui bahwa apa pun agama yang dimiliki seseorang, mereka berhak memiliki hak yang sama.

Mendudukkan Intoleransi Pada Anak Muda

Toleransi menurut KBBI didefinisikan sebagai sifat atau sikap yang menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Sebaliknya, intoleransi adalah bentuk kontras dari toleransi, yaitu sifat atau sikap yang menentang (menghalangi, atau mengganggu orang lain) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Dalam riset-riset mengenai tingkat intoleransi anak muda, tidak banyak dibahas mengenai sifat/sikap/perilaku apa sebenarnya yang membuat anak muda terbilang intoleran. Apakah mereka merundung, menolak untuk bergaul, dan mengisolasi kelompok yang berbeda? Atau jangan-jangan ‘sekadar’ tidak mengucapkan selamat pada hari keagamaan kelompok yang berbeda?

Label intoleran—apalagi radikal—adalah label yang buruk dan menghasilkan banyak stigma. Ketika label tersebut dilekatkan pada anak-anak muda, terkesan bahwa mereka memusuhi, membenci, dan tidak ingin hidup berdampingan kelompok yang berbeda agama.

“Musuh”, apalagi “Benci” adalah ekspresi ketidaksukaan yang sangat kuat. Sesuatu yang saya yakini tidak merepresentasikan hubungan yang dimiliki anak-anak muda di Indonesia meskipun mereka memiliki perbedaan agama.

Membela Anak-Anak Muda

Di sini terdapat tiga hal yang laik untuk diperdebatkan terkait kesimpulan yang mendudukan anak muda dengan kecenderungan intoleransi di Indonesia.

Pertama, penggunaan metode survei yang dilakukan untuk mencari data. Tanpa bermaksud untuk menggugurkan temuan yang didapatkan dalam riset-riset terdahulu, saya pikir penggunaan survei sebagai metode untuk mengukur tingkat intoleransi pada anak-anak muda saat ini perlu diragukan untuk mendapatkan kesimpulan yang valid.

Selain karena pernyataan sikap yang diukur dengan angka sulit menjadi cerminan nyata perasaan responden, pertanyaan survei yang sifatnya close-ended juga sering kali berisi pertanyaan-pertanyaan yang bias, penuh kepentingan, dan tidak fair.

Dan, yang paling tricky dari survei tersebut adalah pengisian survei yang tidak dapat dipastikan dilakukan secara serius (sering kali orang malas mengisi survei), jika orang mengisi survei dengan jawaban yang asal, maka kesimpulan yang ditarik dari survei tersebut dapat menjadi kacau/tidak representatif.

Kedua, berbagai penjelasan yang diberikan terkait alasan mengapa anak muda menjadi intoleran biasanya menyangkut hal-hal struktural, atau bahkan kultural. Misalnya adalah menguatnya ajaran Islam konservatif di lingkungan kampus dan sekolah, serta faktor pengajaran yang diberikan oleh guru dan orang tua.

Jika demikian maka yang perlu menjadi catatan dan evaluasi mestinya adalah orang dewasa (guru dan orang tua), alih-alih anak-anak muda yang hanya mewarisi sifat dan sikap ekskulsif terhadap kelompok keagamaan lain.

Orang-orang dewasa itulah yang seharusnya mendapatkan label intoleran dan mereka juga yang seharusnya segera mendapatkan intervensi agar tidak lagi menyebarkan pengaruh buruk terhadap generasi yang lebih muda.

Ketiga, argumen paling penting yang saya ajukan adalah, mengapa dalam setiap survei terkait tingkat intoleransi anak-anak muda, agama—yang jelas sangat prinsipil, zero sum—selalu ditonjolkan sebagai identitas tunggal anak-anak muda tersebut?

Atau, kenapa dalam riset-riset tersebut tidak ada upaya untuk menginterogasi identitas lain yang dimiliki anak muda? Identitas yang sebenarnya adalah titik temu antara mereka dengan kelompok yang berbeda agama/keyakinan.

Ketika agama menjadi identitas tunggal, perbedaan dihukumi sebagai sebuah kesalahan. Akhirnya, yang terlihat adalah (orang-orang yang berbeda ini) seolah-olah bermusuhan, seperti “tidak bisa didamaikan”, seperti mustahil untuk dapat hidup berdampingan.

Padahal, manusia adalah entitas yang multi identitas. Manusia menjadi makhluk yang unik karena masing-masing dari mereka memiliki beragam identitas/afiliasi/keanggotaan dalam suatu komunitas secara simultan.

Keragaman identitas yang dimiliki manusia itulah yang pada gilirannya menciptakan kesadaran bahwa tidak ada satu orang pun yang persis sama, tetapi juga tidak akan ada yang sepenuhnya berbeda.

Dalam pengertian ini, identitas manusia pada dasarnya tidaklah monolitik. Maka ketika membahas isu (in)toleransi, asumsi dasar yang mendudukkan anak muda dengan identitas tunggal—apalagi menyeragamkan bahwa identitas tertentu adalah identitas utama yang mereka punya—menjadi tidak relevan.

Saya pikir, generalisasi identitas keagamaan sebagai identitas tunggal itulah yang kerap bermasalah ketika dihadapkan dengan dinamika anak muda yang justru memiliki ragam preferensi kultural dan selera di tengah dunia yang semakin terkoneksi seperti hari ini.

 

Artikel ini telah tayang di islami.co dengan judul Sejumlah Riset Sebut Anak Muda Intoleran, Saya Justru Menemukan Sebaliknya

Wujud Nyata Bhinneka Tunggal Ika dalam Bingkai Cap Go Meh

,

METROPOLITAN.id – Cap Go Meh yang merupakan salah satu rangkaian ritual keagamaan bagi penganut keyakinan Tionghoa, namun menjadi hal berbeda ketika Cap Go Meh dihelat di Kota Bogor.

Perhelatan Cap Go Meh di Kota Bogor diubah menjadi simbol keberagaman antar umat beragama. Ratusan orang dari berbagai ras, suku dan agama ikut ambil bagian untuk menyukseskan perhelatan Cap Go Meh tersebut.

“Konsep yang diusung tetap bertemakan budaya, karena ini menjadi keunggulakan kita dibanding daerah lainnya yang menggelar perayaan yang sama,” kata Ketua Panitia Bogor Street Festival Cap Go Meh 2023, Arifin Himawan.

Cap Go Meh di Kota Bogor ini tidak membawa misi agama ataupun ritual, tetapi lebih kepada seni dan budaya,” sambung dia.

Untuk perhelatan Cap Go Meh sendiri tak semua kota di Indonesia bisa mendapatkan dukungan dari masyarakat ataupun pemerintah daerahnya. Ya, tak seperti Kota Bogor yang kerap mendapat lampu hijau atau restu dari berbagai pihak, bahkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) ikut ambil bagian dalam suksesi Cap Go Meh tersebut.

Pria yang akrab disapa Ahim ini juga mengungkapkan, dalam perhelatan Cap Go Meh nanti pihaknya ingin menyampaikan pesan keberagaman. Sebab acara yang melibat ribuan orang itu tak mungkin berjalan sukses tanpa kehadiran panitia dari latar belakang berbeda seperti ras, suku dan agama.

Apalagi jika melihat dari pengalaman sebelumnya, setiap perhelatan Cap Go Meh selalu dimulai dengan doa secara bergantian dari enam agama secara terbuka di depan publik. Hal itu dianggap menjadi pengingat, meski berbeda-beda tetapi tetap sama.

Arifin juga tak memungkiri jika Cap Go Meh adalah kebudayaan orang Tionghoa. Namun menurut dia, orang Tionghoa hanya memiliki kebudayaan dalam Cap Go Meh itu adalah barongsai, liong dan joli (patung dewa yang ditandu).

“Saat perhelatan posisi barong, liong dan joli itu ada di belakangkarena yang kita utamakan adalah seni dan budaya,” papar Arifin.

Sementara itu, Walikota Bogor, Bima Arya menyebut Bogor Street Festival Cap Go Meh 2023 sebagai simbol keberagaman dan keberkahan ekonomi.

Hal itu diungkapkan Bima Arya saat menghadiri acara pembukaan bazaar yang merupakan rangkaian dari Bogor Street Festival Cap Go Meh 2023 yang berlangsung di Vihara Dhanagun, belum lama ini.

“Selain keberkahan dalam hal ekonomi, ini juga menjadi simbol kebersamaan, di sini itu yang paling penting bahwa titik ini adalah simbol keberagaman, tidak saja bagi Kota Bogor tapi Indonesia,” kata Bima Arya.

Soal keberkahan ekonomi yang dimaksud Bima Arya adalah ketika perhelatan Cap Go Meh sedikitnya 50 ribu sampai 100 ribu orang akan hadir melihat festival tersebut. Diprediksi masing-masing orang akan berbelanja minimal Rp50,000, sehingga perputaran uang dengan jumlah perkiraan masyarakat yang datang mencapai Rp5 Miliar.

Dengan kondisi tersebut, Bima Arya menilai bahwa perhelatan Cap Go Meh memiliki berkah cukup banyak.

“Belum lagi kalau kita bicara hotel-hotel ya, hotel-hotel sudah penuh ya jadi agak sulit gitu, jadi ini kan berkahnya banyak sekali,” kata Bima Arya.

Terpisah, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bogor Hasbullah menyebutkan bahwa Cap Go Meh di Kota Bogor menjadi wujud nyata Bhinneka Tunggal Ika.

Ia menyebutkan Cap Go Meh sering memunculkan tema-tema keberagaman dan persatuan. Hal tersebut dianggap menjadi simbol di mana masyarakat Kota Bogor bisa melihat sejauh mana kolaborasi antar suku, ras dan agama untuk menjadikan budaya sebagai bahasa persatuan dan juga tetap menghormati satu sama lain.

“Dalam perhelatan ini saya meminta agar mensosialisasikan tempat-tempat penting. Ya, salah satunya tempat ibadah,” ujar Hasbullah.

Ia menyebutkan pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat pun tersampaikan dalam perhelatan Cap Go Meh ini.

Hal itu terlihat dari komposisi kepanitiaan dari berbagai suku, ras dan agama. Kemudian, dari segi penampilan pun tidak hanya penampilan dari etnis Tionghoa tetapi dari daerah lain atau budaya lain ikut ditampilkan.

“Dari sisi keagamaan juga sama pembukaan acara Cap Go Meh dilakukan doa lintas agama, jadi nanti para tokoh dari masing-masing agama akan memimpin doa dengan tata cara dan keyakinannya secara bergantian,” kata dia.

 

Hasbullah juga melihat tema besar dari Cap Go Meh kali ini adalah Bhinneka Tunggal Ika jadi keberagaman dan persatuan menjadi pesan yang akan disampaikan oleh kepanitiaan secara kuat. Ia berharap pesan tersebut dapat dirasakan oleh para pengisi acara dan pengunjung yang hadir.
(Imam)

 

Artikel ini telah tayang di Metropolitan.id dengan judul Wujud Nyata Bhinneka Tunggal Ika dalam Bingkai Cap Go Meh

Jemaat HKBP Betlehem Cilebut: Harapan Kami Cuma Satu, Bisa Beribadah dengan Damai

,

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta kepada kepala daerah dan Forkopimda agar berhati-hati terkait dengan kebebasan beribadah dan kebebasan beragama melahirkan sebuah harapan bagi jemaat HKBP Betlehem di Desa Cilebut Barat, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor yang hingga saat ini belum memiliki rumah ibadah tetap.

Jemaat HKBP Betlehem Desa Cilebut Barat beribadah dengan cara berpindah tempat. Dari satu rumah jemaat ke rumah jemaat lain setiap minggunya. Keadaan ini dirasakan warga jemaat HKBP Betlehem Cilebut sejak bulan Juli 2022 atau sejak adanya penolakan ibadah oleh warga sekitar rumah ibadah mereka di Batu Gede. Puncaknya, Jemaat HKBP Betlehem Cilebut dilarang menggelar ibadah Natal pada 24 dan 25 Desember 2022 oleh warga sekitar karena alasan ibadah dilakukan di rumah salah satu jemaat. Videonya pun viral. Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang diinstruksikan Presiden Jokowi.

“Kemudian ini mumpung juga ketemu bupati dan wali kota. Mengenai kebebasan beribadah dan kebebasan beragama. Ini hati-hati. Ini yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, dan Konghucu, hati-hati. Ini memiliki hak yang sama dalam beribadah,” ujar Jokowi pada acara Rakornas bersama Kepala Daerah dan Forkopimda se-Indonesia di Sentul International Convention Center (SICC), Selasa 17 Januari 2023.

Selain itu, Presiden Jokowi juga menyampaikan bahwa beragama dan beribadah dijamin oleh konstitusi. Dia meminta agar tiap kepala daerah memahami ini. Jokowi tak ingin konstitusi dikalahkan oleh kesepakatan.

“Ini harus ngerti. Dandim, Kapolres, Kapolda, Pangdam harus ngerti ini, Kejari-Kejati. Jangan sampai yang namanya konstitusi itu kalah oleh kesepakatan. Konstitusi tidak boleh kalah dengan kesepakatan,” tegas Jokowi.

Bagaimana realitas di masyarakat? Pada kenyataanya, instruksi Presiden Jokowi belum diterjemahkan dengan baik oleh bupati, camat, kepala desa dan Forkopimda Kabupaten Bogor.

Dalam pernyataannya kepada Bogor Kita, Penatua HKBP Betlehem Cilebut (Parmingguan), Sauth Sihombing menyatakan bahwa instruksi Presiden Jokowi tersebut merupakan sebuah dorongan dan motivasi baginya. Dia pun sangat berharap instruksi Jokowi itu bisa direalisasikan oleh bupati, camat, kepala desa, sehingga hal-hal yang berhubungan dengan kebebasan beragama menjadi sesuatu yang bisa dijalankan sehingga tidak ada pelarangan ibadah oleh warga maupun aktor negara.

“(Natal 2022) Kami tidak diperkenankan menjalankan ibadah dengan alasan bahwa rumah tidak boleh dijadikan sebagai tempat ibadah dan dalam video tersebut jelas sekali adanya anggapan bahwa ibadah tidak sah jika dilakukan di rumah, padahal ibadah itu lebih cenderung secara pribadi kita terhadap sang pencipta,” terang Sauth Sihombing.

Sauth Sihombing menerangkan bahwa kejadian di HKBP Betlehem Cilebut pada saat perayaan Natal 2022 merupakan letupan atau bom waktu yang memang sebelumnya sudah terjadi penolakan terhadap ibadah yang dilakukan di rumah yang ada di Batu Gede, Desa Cilebut Barat, Kecamatan Sukaraja diawali di bulan Juli 2022 warga membuat spanduk pelarangan ibadah.

“Di dalam spanduk tersebut, mereka mengatakan bahwa menolak keras rumah dijadikan sebagai tempat ibadah. Dan dalam hal itu, tempat ibadah yang kami tempati saat ini memang masih kami kontrak selama tiga tahun dari tahun 2021 sampai dengan September 2023 ini. Selama 2 tahun sebelumnya, kami boleh beribadah di situ tetapi semenjak bulan Juli 2022 atau semenjak adanya penolakan dan spanduk mereka tidak mengizinkan kami beribadah,” terang Sauth Sihombing.

Dikatakan Sauth Sihombing, semenjak bulan Juli 2022, pihaknya sudah beribadah dari rumah ke rumah jemaat yang menurutnya sangat tidak nyaman bagi jemaat.

“Video viral yang terjadi itu sebenarnya karena kami merasa bahwa perayaan Natal sebagai perayaan besar umat kristiani yang tentunya sangat banyak jemaah yang akan beribadah di hari Natal. Sehingga kami merasa bahwa rumah tempat tinggal jemaah yang ukurannya sangat kecil tidak mungkin menampung jumlah jemaah yang pada perayaan Natal biasanya besar,” terang dia.

Jemaat HKBP Betlehem Cilebut memiliki jemaat sebanyak 95 KK dengan jumlah 358 jiwa. Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (PBM) tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah jumlah tersebut cukup untuk mendirikan rumah ibadah. Namun perlu mendapat dukungan dari 60 orang di sekitar lokasi dan disahkan lurah atau kepala desa.

“Sehingga tempat yang 6 bulan tidak kami tempati kami mohon kepada kepala desa agar kiranya kami diperkenankan untuk melakukan perayaan ibadah Natal 25 Desember 2022 yang memang kebetulan bertepatan pada saat itu hari minggu. Surat kami tujukan kepada kepala desa tetapi jawaban yang kami terima melalui RW 07 yang ditandatangani oleh tokoh agama tokoh masyarakat RTRW termasuk kepala desa menolak keras agar kiranya tidak ada ibadah perayaan Natal di tempat yang kami kontrak saat ini sehingga terjadilah video viral yang kita sama sama lihat dan itu apa adanya,” ujar Sauth Sihombing.

Sejak kejadian video viral tersebut, Sauth Sihombing mengatakan sudah dilakukan beberapa kali pendekatan baik itu pendekatan dengan kepala desa kecamatan dan juga sudah dimediasi oleh Bakesbangpol dan FKUB.

“Tetapi, hasil akhirnya  kami tetap tidak boleh melakukan peribadatan di tempat yang kami kontrak. Sehingga terakhir kali ibadah di situ yang diizinkan adalah pada tanggal 31 Desember 2022 dan 1 Januari 2023. Setelah itu, kami tidak diperkenankan lagi beribadah di tempat tersebut dengan alasan bahwa tempat tersebut sudah ada kesepakatan. Padahal, bapak Jokowi jelas mengatakan bahwa tidak boleh hal apapun kesepakatan berhubungan dengan kebebasan beribadah dan beragama menjalankan ibadah di atas konstitusi,” terang Sauth Sihombing.

Dalam hal ini, lanjut Sauth Sihombing, sehingga sejak tanggal 8 Januari 2023 sampai dengan minggu kemarin tanggal 22 Januari 2023, peribadatan jemaat HKBP Betlehem Cilebut dilakukan dari rumah ke rumah,dari satu jemaat ke jemaat yang lain.

“Yang tentunya berada di wilayah Kecamatan Sukaraja secara khusus di Desa Cilebut Barat dan Cilebut Timur. Banyak hal yang membuat ketika ibadah dilakukan di rumah rumah sering kali terdapat beberapa kendala yang pertama adalah karena berpindah pindah sering kali jemaat yang akan beribadah itu sangat sulit menjangkau tempat tersebut. Bahkan kadang mereka kadang tidak menemukan lokasi yang mengakibatkan mereka batal menjalankan ibadah,” ujar Sauth Sihombing.

“Kedua kami sangat prihatin terhadap anak anak dan lansia yang mana mereka dalam kondisinya itu sangat sangat tidak memungkinkan mereka untuk melakukan ibadah yang berpindah pindah. Dan tentunya juga bagi pemilik rumah yang tentunya rumahnya sangat tidak mungkin jadi kami seadanya saja sesuai dengan luas rumahnya. Terkadang kami harus melakukan ibadah di dalam, di luar di garasi, supaya bisa memberikan tempat bagi jemaat yang akan beribadah,” sambung Sauth Sihombing.

Sauth Sihombing menambahkan pihaknya merasa was was karena beribadah dilakukan di rumah-rumah jemaat.

“Harapan kami cuma satu, beribadah dengan damai, dengan khusyu, sehingga kami dapat menghadap Sang Pencipta dengan suasana hati dan kenyamanan,” ujar Sauth Sihombing.

Sebagai penatua, Sauth Sihombing berharap instruksi yang sudah disampaikan oleh Jokowi bisa direalisasikan oleh baik oleh kepala daerah bupati, camat dan kepala desa.

“Tentunya harapan saya agar kiranya kami bisa difasilitasi sesuai dengan apa yang disampaikan oleh bapak Jokowi dan di dalam peraturan itu dengan jumlah kami yang 95 KK 358 jiwa agar kiranya kami difasilitasi memiliki tempat ibadah, yang mungkin dalam jangka pendek atau jangka menengahnya kami ada tempat ibadah yang bersifat menetap sementara. Dan tentunya ada proses perizinan yang diberikan oleh bupati camat kepala desa atau lurah sehingga kami bisa dengan nyaman beribadah”.

“Itu harapan kami dalam jangka pendek dan jangka menengah. Sehingga kami beribadah bisa dengan tenang tanpa harus berpindah pindah”.

Untuk jangka panjangnya, kata Sauth, Cilebut merupakan wilayah pengembangan sangat banyak sekali perumahan perumahan baru di Cilebut yang tentunya akan banyak warga baru. Dan ini kemungkinan akan menambah jumlah jemaat.

“Maka itu, saya selaku penatua sangat berharap sekali agar kiranya kami bisa difasilitasi baik itu tempat ibadah yang menetap sementara maupun tempat ibadah menetap tetap, artinya ada proses perizinan kepada kami kalau kami harus membangun gereja yang tentunya ini akan membutuhkan baik itu tempat dana dan sebagainya,” tutur Sauth Sihombing.

Sauth Sihombing berharap kepada Kepala Desa Cilebut Barat, Camat Sukaraja dan Bupati Kabupaten Bogor bisa memfasilitasi jemaat HKBP Cilebut untuk beribadah.

Sementara Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Bogor, Bambang W Tawekal menerangkan bahwa pada prinsipnya Pemerintah Kabupaten Bogor senantiasa memberikan fasilitasi warga masyarakatnya untuk beribadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing dan senantiasa menjamin kebebasan beragama dan beribadah untuk warga.

“Pelaksanaan beribadah dan pendirian tempat beribadah adalah dua hal yang berbeda. Dalam hal pendirian rumah ibadah untuk mewujudkan kenyamanan dan kerukunan umat beragama, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama/Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah,” terang Bambang W. Tawekal.

Bambang menambahkan Pemerintah Kabupaten Bogor bersama FKUB di beberapa tempat telah banyak memfasilitasi permohonan pendirian rumah ibadah. “Terakhir fasilitasi permohonan tempat ibadah di Desa Gunungsindur dan Desa Pabuaran Kecamatan Gunungsindur,” tutupnya. [] Hari

 

Artikel ini telah tayang di bogor-kita.com dengan judul Jemaat HKBP Betlehem Cilebut: Harapan Kami Cuma Satu, Bisa Beribadah dengan Damai

Pemkab Bogor menjamin kebebasan beragama dan ibadah

,

Cibinong Kabupaten Bogor (ANTARA) – Pemerintah Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menjamin kebebasan beragama dan ibadah di daerahnya sesuai yang diamanatkan Presiden Joko Widodo dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) kepala daerah se-Indonesia beberapa waktu lalu.

“Pemerintah juga terus berupaya menyamakan misi, langkah, dan strategi dalam menjaga toleransi kerukunan beragama di Kabupaten Bogor,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Bogor, Iwan Setiawan di Cibinong, Bogor, Selasa.

Ia mengajak semua pihak turut menjaga kerukunan antar umat beragama di daerahnya. Karena, menurutnya penyadaran soal sikap saling menghargai di tengah keberagaman perlu terus digaungkan.

Ia menyebutkan bahwa antarumat beragama yang diwakili oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan beberapa lembaga dan organisasi lainnya telah sepakat untuk terus mewujudkan kerukunan umat beragama.

“Kita juga beberapa kali menggelar forum lewat Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) dengan berbagai pihak seperti FKUB, Kemenag, pemeluk agama dan lainnya untuk meningkatkan peran dan eksistensi berbagai elemen masyarakat untuk menjaga perdamaian, kebersamaan dan persatuan bangsa di tengah keberagaman,” katanya.

Ia mengatakan, semua pihak harus bersinergi dan aktif mendorong terciptanya kerukunan antar umat beragama. Komunikasi yang baik menjadi sangat penting agar ketika muncul isu-isu yang bersifat sensitif bisa diselesaikan dengan segera.

“Jadi ketika ada dinamika, semua bergerak cepat agar isu sensitif tidak melebar kemana-mana, kita koordinasi dengan kepolisian dan pihak-pihak terkait. Intinya, kita harus sama-sama menjaga dan saling menghormati. Harapannya tumbuh kondisi sosial kemasyarakatan yang damai serta kondusif,. Karena setiap pemeluk agama juga dilindungi dengan Undang-undang,” kata Iwan Setiawan.

Sementara itu Bambang W Tawekal dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Bogor menyebutkan bahwa pihaknya telah menindaklanjuti arahan Presiden dalam Rakornas dengan menggagas pertemuan pihak-pihak terkait antarumat beragama.

“Ya sudah ditindaklanjuti. Pada prinsipnya, semua berpedoman pada ketentuan aturan yang berlaku, termasuk di dalamnya pembahasan-pembahasan di FKUB sebagai mitra strategis pemerintah untuk ikut membantu terwujudnya kerukunan umat beragama,” katanya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo saat Rakornas kepala daerah se-Indonesia di Sentul International Convention Center (SICC) Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (17/1), mengingatkan kepala daerah agar bisa menjamin kebebasan beragama dan beribadah seluruh umat beragama. Jokowi menegaskan kebebasan beragama dijamin konstitusi.

“Kemudian ini mumpung juga ketemu bupati wali kota, mengenai kebebasan beribadah dan kebebasan beragama, ini hati-hati, ini yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, Konghucu hati-hati. Ini memiliki hak yang sama dalam beribadah, memiliki hak yang sama dalam hal kebebasan beragama dan beribadah, hati-hati,” katanya saat membuka Rakornas Kepala Daerah dan FKPD se-Indonesia di Bogor.

Presiden mengatakan beragama dan beribadah di Indonesia dijamin oleh konstitusi. Dia meminta seluruh aparat penegak hukum mengerti kebebasan beragama dan beribadah.

“Beragama dan beribadah itu dijamin oleh konstitusi kita, dijamin oleh UUD 1945 Pasal 29 ayat 2. Sekali lagi dijamin oleh konstitusi. Ini harus ngerti Dandim, Kapolres, Kapolda, Pangdam, harus ngerti ini, Kejari, Kejati. Jangan sampai yang namanya konstitusi itu kalah oleh kesepakatan. Konstitusi tidak boleh kalah dengan kesepakatan,” demikian Presiden Jokowi.

Pewarta: M Fikri Setiawan
Uploader : Naryo
COPYRIGHT © ANTARA 2023
Artikel ini telah tayang di megapolitan.antaranews.com dengan judul Pemkab Bogor menjamin kebebasan beragama dan ibadah
© Copyright - Yayasan Satu Keadilan