Kearifan Lokal Sunda Wiwitan : Menghargai Alam, Leluhur dan Syukur Tuhan YME

,

Bogor : Penganut Sunda wiwitan Bogor masih memegang tatanan tradisi budaya yang berlangsung sejak nenek moyang leluhur kesundaan.Sejumlah tradisi budaya juga menjadi salah satu ciri masyarakat kesundaan dalam penganut budaya Sunda wiwitan di Bogor.Salah satu tradisi yang masih menjadi aktivitas kehidupan sehari-hari ialah nyuguh atau sedekah bumi yang berlangsung di hampir semua penganut Sunda wiwitan termasuk di Bogor.

Salah seorang penganut Sunda wiwitan di Bogor Dewi Awang mengungkapkan tradisi nyuguh ini menjadi salah satu ritual dalam menghargai alam leluhur dan berdoa kepada Tuhan yang maha esa agar dikaruniai berkah dan anugerah dalam kehidupan.

“Bentuk rasa syukur atas nikmat yang sudah diberikan ini tercermin dalam tradisi nyuguh sedekah bumi yang berlangsung dengan adanya tata cara sederhana baik di rumah ataupun di berbagai tempat lainnya,” ungkapnya.

Dirinya menjelaskan tradisi nyuguh ini berlangsung hampir setiap minggu terutama di hari Senin dan Kamis karena sudah berlangsung sejak turun-temurun leluhur yang mengajarkan berbagai kearifan lokal untuk rasa syukur kepada alam. Isi suguhan juga menyesuaikan dengan kemampuan seseorang dalam memberikan sedekah bumi sehingga tidak ada aturan baku tentang yang harus dilakukan dalam tradisi tersebut namun yang lebih terpenting adalah doa kepada Tuhan yang maha esa kepada leluhur untuk mewujudkan rasa syukur atas alam yang indah dan lestari.

“Tradisi ini akan terus diturunkan kepada anak dan cucunya karena banyak kandungan nilai kebaikan dalam sejumlah kegiatan Sunda wiwitan seperti nyuguh sehingga harus dapat dimengerti dari generasi muda dengan tidak memaksakan secara utuh apa yang menjadi pemikiran namun secara bertahap sesuai umur dan kondisi seseorang,” paparnya.  Dalam menjalankan kegiatannya sudah wiwitan juga banyak berkolaborasi dengan berbagai yayasan dan organisasi kemasyarakatan lainnya agar menyampaikan pesan untuk tetap menjaga alam kelestarian lingkungan dengan menghargai dan menghormati leluhur.

Ketua umum Salaka Nagara Cakti Shinta Mayangsari memandang kegiatan Sunda wiwitan secara keseluruhan mengandung budaya tradisi dan adat istiadat sehingga menjadi salah satu bentuk kearifan lokal dengan nilai toleransi keberagaman yang ada di tatar Pasundan termasuk di Bogor dalam berbagai ritual termasuk suguhan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing individu baik di dalam atau di luar penghayatan tersebut. Masyarakat Sunda wiwitan memang menyadari adanya pro dan kontra di tengah masyarakat terkait berbagai kegiatan yang dilakukan sehingga mereka lebih memilih untuk tidak terlalu membuka diri terutama dalam mewujudkan atau mengimplementasikan rasa syukur mereka kepada tuhan yang maha esa dan doa kepada leluhur untuk menghargai alam sekitar, sehingga semangat bertoleransi dapat tercapai.

“Banyak penganut Sunda wiwitan yang cenderung untuk menutup diri bahkan lebih memilih untuk melakukan ritual di dalam rumah sehingga terbatas untuk lingkungan keluarga dan kelompok masyarakat karena masih banyak yang secara bersama-sama melakukan kegiatan seperti di sekitaran gunung salak halimun meski mereka tidak tinggal atau menetap di kawasan tersebut,” katanya.

Pandangan terhadap penganut Sunda wiwitan juga pendapat berbagai komentar dari masyarakat alim ulama bahkan pemerintah. Ketua MUI kota Bogor KH. TB Muhidin memandang kearifan lokal di Indonesia sudah berlangsung secara turun temurun bahkan di belahan dunia lain tidak dapat ditemui dan hanya khusus ada di nusantara.

“Dalam melakukan kearifan lokal tersebut tentunya harus tetap berpegangan terhadap ajaran agama sehingga tidak menyimpang dari apa yang menjadi tuntunan dalam menyembah dan tidak menyekutukan atau menduakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam kegiatan, namun justru tetap berpegang dan berdoa untuk mengharapkan berkah karunia kepada sang pencipta,” katanya

Dari pemerintah dari pusat hingga daerah juga memandang kearifan lokal sebagai bagian dari Hasanah keanekaragaman ajaran ageman yang berada di nusantara sudah berlangsung sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Jejak literatur ke sundaan memang sudah ada sejak kerajaan Siliwangi Pajajaran dengan adanya berbagai raja dalam tatar Pasundan yang juga mengajarkan tentang budi pekerti nilai keluhuran yang mendarah daging sebagai kearifan lokal Sunda.

Wakil gubernur Jawa barat UU Ruzanul Ulum dalam sebuah bincang pagi di RRI Bogor, Senin (24/10/2022) menjelaskan pembinaan terhadap kearifan lokal terus berlangsung sehingga ada rasa memiliki dan kecintaan terhadap apa yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di tatar Pasundan.

“Namun kecintaan terhadap budaya lokal ini jangan membawa primordialisme sehingga menganggap budaya dan tradisi dari daerah lain di Indonesia menjadi perbedaan namun harus menjadi perekat seperti yang tercantum dalam pilar bangsa Indonesia bhinneka tunggal Ika,” tandasnya.

Nilai toleransi ajaran Sunda wiwitan juga terus berkembang seiring kemajuan zaman di era teknologi modern sehingga banyak sentuhan kekinian yang menjadi implementasi dalam berkegiatan namun semua tetap berpegangan pada nilai luhur kearifan lokal dari tatar Pasundan yang sudah berlangsung sejak turun-temurun.

 

Artikel ini telah tayang di rri.co.id  dengan judul Kearifan Lokal Sunda Wiwitan : Menghargai Alam, Leluhur dan Syukur Tuhan YME

Sunda Wiwitan dalam Era Modernisasi Bertoleransi

,

Bogor, Tatar Pasundan di Jawa Barat dengan berbagai nilai luhur Keagungan Ilahi berkat alam semesta panorama keindahan relung gunung lembah dan dataran menghijau menjadikan salah satu bagian Tuhan dalam memberikan rahmat bagi semesta alam.

Masyarakat Tatar Pasundan hidup dalam berbagai sendi kehidupan multidimensi multienis dan budaya karena sudah terjadi akulturasi sejak zaman Kerajaan Siliwangi.

Penganut Sunda Wiwitan juga terus berkembang mengikuti pesatnya kemajuan teknologi dan Era digitalisasi yang menuntut mereka terus beradaptasi dengan lingkungan.

Emang saat ini penganut Sunda Wiwitan di Jawa Barat khususnya di Bogor sudah tidak terlalu banyak hanya segelintir kecil dari masyarakat yang masih Memegang teguh ageman kearifan lokal dari nenek moyang.

Keluarga Dewi Awang yang berada di kawasan Kedung Halang Bogor Utara Kota Bogor menjadi bagian kecil penganut Sunda Wiwitan yang masih mempertahankan jati diri Tatar Pasundan dengan berbagai kearifan lokal dan petuah bijak dari leluhur Tatar Pasundan.

Saat RRI menemui Dewi Awang, Sabtu (2/10/2022) tingkah laku Sunda Wiwitan memang sudah sangat terlihat dengan pakaian kebaya dan berbagai ornamen yang mencirikan masyarakat kesundaan.

Dalam kehidupannya Dewi Awang bersama keluarga sudah menganut dan menjalani nilai Sunda Wiwitan sejak dalam kandungan dengan adanya petuah bijak dari sang kakek nenek yang tetap bertahan hingga saat ini.

“Saya Dewi Awang penganut Sunda Wiwitan sejak lahir dengan keturunan kakek sebagai dalang dan nenek sebagai pemberi ajaran agama kepada anak cucunya, ageman Sunda Wiwitan akan bertahan hingga hayat,” tuturnya.

Berbagai sumber kehidupan yang terus berlangsung hingga saat ini dengan adanya kegiatan yang sudah ada sejak nenek kakeknya memberikan ajaran Sunda Wiwitan seperti suguhan kepada alam semesta dengan berbagai hasil bumi untuk menghargai Ibu Pertiwi.

Kegiatan Sunda Wiwitan juga berjalan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tingkah laku Ambu Dewi Awang dan keluarga juga berpatokan terhadap nilai luhur Tatar Pasundan dengan berbagai keramahan dan keelokan tutur kata sifat dan cara berpikir.

“Kami masih memegang tingkah laku yang sudah berlangsung dari zaman nenek moyang leluhur Sunda Wiwitan seperti nyuguh nah nyuguh ini dengan berbagai perangkat hasil bumi tergantung keperluan dan kemampuan dari seseorang namun yang terpenting adalah upaya melestarikan ageman yang sudah berlangsung berabad-abad silam,” ungkapnya.

Saat ini dirinya masih berkeyakinan bahwa ada tiga unsur yang harus dipegang dalam kehidupan mengabdi untuk Tuhan Yang Maha Esa, berbakti mengayomi kepada sesama manusia dan mencintai tanah air bumi alam semesta sebagai bagian dari kehidupan Insan di dunia.

“Kita memegang ageman mengabdi untuk Tuhan Yang Maha Esa alam semesta alam dan manusia tiga unsur dalam kehidupan yang harus Selaras untuk bisa menjadi Pengabdian sepanjang hidupku,” katanya.

Dalam ajaran penghayatan Sunda Wiwitan memang sudah ada beberapa literatur yang bersentuhan langsung dengan nilai kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi resmi meneken Peraturan Presiden Nomor 114 Tahun 2022 tentang Strategi Kebudayaan. Salah satu yang diatur adalah jaminan atas hak kelompok penghayat kepercayaan dalam urusan pemajuan kebudayaan.

Tidak hanya menegakkan hak, tapi juga memfasilitasi keterlibatan masyarakat adat, komunitas tradisi, dan penghayat kepercayaan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Salah seorang Budayawan Tatar Pasundan Dian Rahadian juga mengaku bahwa kearifan lokal dalam Sunda Wiwitan tidak bertentangan dengan Pancasila bahkan kearifan dan kebijakan yang sudah ada sejak nenek moyang leluhur juga menguatkan dari nilai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

“Pelaksanaan kehidupan sehari-hari penganut Sunda Wiwitan di Bogor sudah mencerminkan nilai Pancasila karena banyak kebajikan yang tercermin sekaligus Memegang teguh nilai NKRI dan Pancasila sebagai landasan bertingkah laku selaras dengan kearifan lokal mereka,” tandasnya.

Sementara itu salah seorang Budayawan dan Kurator Seni Budaya Sunda RM. Ramli J Sasmita (Dewo) mengungkapkan banyak literasi tentang Sunda Wiwitan yang masih bertahan hingga saat ini dan relevan untuk dijalani.

Nilai dalam bertoleransi juga ada dalam ageman Sunda Wiwitan dengan saling menghargai dan saling menghormati antar anak manusia umat beragama alam semesta sehingga kehidupan harmonis dapat tercapai.

“Pada dasarnya Sunda Wiwitan memang sudah bersinergi dengan Tuhan alam dan manusia sehingga nilai toleransi sudah berkembang sejak berabad-abad yang lalu dan hingga saat ini harus tetap dipertahankan sehingga Indonesia juga mempunyai keberagaman penganut keyakinan lokal seperti Sunda Wiwitan,”

Bahkan dirinya memberikan wejangan agar penganut Sunda Wiwitan mampu bertahan dalam era modernisasi tentunya dengan beradaptasi sesuai dengan majunya zaman sehingga tidak menutup diri dengan aktualisasi dunia luar namun dapat bersinergi dan saling menguatkan sehingga Sunda Wiwitan dapat bertahan di tengah arus informasi digitalisasi dan modernisasi.

“Penganut Sunda Wiwitan harus bisa beradaptasi dengan modernisasi dan tetap menanamkan nilai toleransi sehingga di era digitalisasi dan informasi ini mereka harus tetap eksis memegang ageman leluhur sekaligus berbaur di tengah masyarakat modern,” katanya.

Dalam hal ini Sunda Wiwitan juga menjadi bagian dari keanekaragaman Hasanah kearifan lokal budaya dan tingkah laku dari masyarakat asli Indonesia sehingga harus dapat menjadi salah satu perekat NKRI dalam mewujudkan masyarakat beradab berbudaya dan sejahtera.

Penganut Sunda Wiwitan akan terus berjalan sesuai koridor ageman yang sudah ada sejak zaman nenek moyang yang akan dipertahankan hingga akhir hayat.

Artikel ini telah tayang di rri.co.id  dengan judul Sunda Wiwitan dalam Era Modernisasi Bertoleransi.

YSK dan FKUB Jalin Kerja Sama Promosikan Keberagaman dan Toleransi di Kota Bogor

,

BOGOR, Yayasan Satu Keadilan (YSK) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bogor jalin kerja sama mempromosikan keberagaman dan toleransi di Kota Bogor.

Deklarasi kerja sama tersebut ditandai dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) oleh Ketua FKUB, Hasbullah dan Ketua YSK Sugeng Teguh Santoso di Gereja Katedral Bogor, Kecamatan Bogor Tengah pada Kamis (18/8).

Ketua FKUB Kota Bogor, Hasbullah mengatakan kerja sama ini dilakukan untuk mewujudkan Kota Bogor sebagai Kota Ramah HAM. Untuk mencapai itu ia menilai perlu membangun ruang-ruang inklusif bagi setiap warga negara dengan keragaman agama dan kepercayaan yang dianutnya.

“Perjanjian kerjasama ini juga bertujuan untuk mewujudkan sinergi dan optimalisasi agenda YSK dan FKUB Kota Bogor dalam mempromosikan keberagaman dan toleransi beragama dan berkepercayaan di Kota Bogor,” imbuhnya.

Ruang lingkup kerja sama tersebut meliputi pertukaran data dan informasi mengenai permasalahan pemenuhan HAM khususnya terkait dengan hak atas kebebasan memeluk agama dan hak untuk melakukan ibadah.

Lingkup selanjutnya yakni mengenai koordinasi untuk merumuskan bersama resolusi konfllik bagi masyarakat akibat konflik atas perbedaan pandangan terkait dengan hak kebebasan memeluk agama serta pelaksanaan Ibadahnya

“Kemudian mengenai penanganan dan penyelesaian masalah kebebasan beragama kepercayaan yang terjadi di Kota Bogor. Selanjutnya memberikan pendidikan dan penyuluhan kepada organisasi keagamaan mengenai hak asasi manusia,” tutur Hasbullah

Ruang lingkup selanjutnya yakni melakukan kampanye publik mengenai perlindungan hukum dan pemenuhan hak memeluk agama dan kepercayaan serta pelaksanaan ibadah.

Serta melakukan pengembangan kapasitas organisasi atau lembaga dalam melaksanakan mandat perlindungan dan pemenuhan hak atas kebebasan beragama dan berkepercayaan.

Setelah acara penandatangan MoU ini kemudian dilanjutkan dengan kegiatan deklarasi rumah ibadah ramah anak dan disabilitas serta diskusi lintas iman sebagai bentuk respon dalam merawat nilai-nilai toleransi dan kerukunan beragama serta ruang inklusif di Kota Bogor.

Walikota Bogor, Bima Arya mengapresiasi kerja sama antara YSK dan FKUB Kota Bogor ini, menurutnya pemerintah tidak bisa berjalan sendiri dalam mempromosikan toleransi dan keberagaman butuh dukungan dari masyarakat. “Kita harus bergandengan tangan dalam mempromosikan keberagaman dan toleransi di Kota Bogor,” tegasnya.

 

Artikel ini telah tayang di radarbogor.id dengan judul YSK dan FKUB Jalin Kerja Sama Promosikan Keberagaman dan Toleransi di Kota Bogor

Penganut Islam Syiah, Pengungsi Asal Afghanistan yang Hidup Bersama Warga Puncak

, ,

CISARUA. Genap 10 tahun, Tahir Asad tinggal di Desa Batulayang, Cisarua, Kabupaten Bogor. Kondisi konflik di negaranya, Afghanistan, membuat pria berumur 35 tahun itu terpaksa pergi dari tanah kelahirannya demi menyelamatkan diri.

Tahir tidak sendiri di kawasan Puncak itu. Dia bersama komunitas pengungsi lainnya bertahan hidup dari kiriman uang sanak keluarga maupun bantuan dari Badan PBB untuk pengungsi, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).

Statusnya sebagai pengungsi cukup berat. Apalagi dengan kepercayaannya yang merupakan Islam Syiah. Berbeda dengan mayoritas penganut agama Islam di Indonesia.

Meski begitu, seiring waktu Tahir bersama penduduk setempat saling memahami perbedaan tersebut. Tahir pun tidak jarang ikut salat berjemaah di masjid.

“Syiah dan Sunni tidak ada beda, semua sama, salat pun sama,” kata Tahir saat ditemui Radar Bogor, beberapa waktu lalu.

Dia punya pribadi yang ramah. Kemampuan bahasa Indonesianya cukup fasih untuk sekadar dipahami. Saat ditemui, ia pun tengah sibuk merenovasi rumah belajar yang dia bangun sejak 2017 lalu.

Dari ceritanya, Tahir cukup moderat. Tidak menyalahkan, juga tidak merasa paling benar dengan keyakinannya. Menurutnya, perbedaan tidak menjadi alasan untuk tidak hidup berdampingan. Selama bisa memahami satu sama lain, semua dapat hidup dengan penuh kebaikan.

“Warga sini tahu saya Syiah, tapi tidak apa-apa. Saya senang mereka mau terima. Salat di masjid, saya boleh, tapi tidak boleh di depan. Saya di belakang orang Sunni, tidak apa,” tuturnya.

Kerukunan pengungsi dengan penduduk setempat diamini Kepala Desa Batulayang, Iwan Setiawan. Ia juga membenarkan banyaknya pengungsi yang berkeyakinan Islam Syiah.

“Untuk di masjid, tidak ada larangan bagi mereka (pengungsi), selama bisa mengikuti kebiasaan dan budaya di kita, tidak juga mensiarkan kepercayaan mereka,” kata Iwan.

Selama pengungsi dapat saling menjaga kerukunan dan tidak menimbulkan konflik, ia bersama warga pun menerima keberadaan para pengungsi atas dasar Hak Asasi Manusia (HAM).

Terpisah, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor, KH Ahmad Mukri Aji menuturkan, meski Islam di Indonesia tidak menjadikan Syiah sebagai rujukan aliran, namun Ahlussunnah wal Jamaah mengajarkan hidup berjamaah, tidak terpecah dan menghindari konflik sosial.

“Dari aspek kemanusiaan, saya kira sah-sah saja membantu mereka, apalagi penduduk setempat kembali kepada ajaran Islam yang tidak mengenal konflik, tidak mengenal perbedaan pandangan,” tutur Mukri Aji.

Dia pun bersama pimpinan daerah berharap, pengungsi dapat beradaptasi dan menyesuaikan dengan Indonesia yang memiliki perbedaan adat istiadat dengan negara asalnya.

“Bukan untuk saling merendahkan, apalagi merasa paling benar dengan apa yang dia percaya. Kita ingin menjaga persatuan dan kesatuan yang sudah bagus ini,” tandasnya.(*)

 

Artikel ini telah tayang di radarbogor.id dengan judul Penganut islam syiah, Pengungsi asal Afganistan yang hidup bersama warga Puncak,

Urun Rembug Desa: Menuju Desa yang Damai, Inklusi dan Partisipatif

,

Jakarta, 26 Agustus 2019 – Uni Eropa bekerja sama dengan Search for Common Ground, IDEA dan Forum CSO, dan didukung oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia mempersembahkan acara Urun Rembug Desa, pada hari Senin tanggal 26 Agustus 2019 di Jakarta. Dengan mengusung tema “Menuju Desa yang Damai, Inklusif dan Partisipatif”, Urun Rembug Desa adalah pertemuan untuk berbagai praktik-praktik yang baik dari Program Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Sensitif Gender yang dilaksanakan di Kabupaten Tabanan (Bali) dan Kabupaten Bogor (Jawa Barat). Acara ini juga dihadiri oleh perwakilan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan penyelenggara komunitas dari berbagai daerah di Indonesia dalam rangka berbagi pengalaman dalam mengadvokasi pembangunan desa yang inklusif.

Selama beberapa tahun ini, Uni Eropa dan Indonesia telah dengan sukses bekerja sama untuk mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif, mendukung masyarakat sipil, memajukan sistem pemerintahan yang baik, perlindungan lingkungan hidup, penanganan dampak perubahan iklim, mendorong pendidikan dasar, dan pencegahan penyakit. Salah satu elemen penting dalam kerja sama bilateral ini adalah kerjasama dengan masyarakat sipil dalam pemajuan hak asasi manusia, demokrasi, kesetaraan gender, pembangunan ekonomi, dan isu-isu pembangunan lainnya.

Salah satu inisiatif yang dilakukan oleh Uni Eropa adalah program Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Sensitif Gender, yang merupakan sebuah program yang mendukung pembangunan yang inklusif di Indonesia dan pelaksanaan Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa.

Dalam pidatonya, Bapak Charles-Michel Geurts, Kuasa Usaha Delegasi Uni Eropa di Indonesia menekankan pentingnya kerjasama pemerintah dan masyarakat sipil untuk memastikan bahwa dana desa dapat menjangkau seluruh penduduk di desa dan agar dana desa diutamakan untuk memberikan pelayanan maksimal – memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang ditinggalkan, yang juga merupakan janji utama dari Agenda 2030 Pembangunan Berkelanjutan.

Melalui kerjasama dengan Search for Common Ground, Forum CSO dan IDEA, program Uni Eropa ini telah menciptakan 54 Penyelenggara Komunitas (COs) dari 18 desa di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Tabanan. Forum CSO terdiri dari 9 lembaga swadaya masyarakat yang telah melaksanakan program ini dan mendorong masyarakat untuk terlibat secara konstruktif dalam proses penganggaran yang responsif gender.

“Dari aspek hukum dan formal, partisipasi adalah bagian dari proses pembangunan suatu negara, walaupun pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat menjadi sangat penting untuk menjamin bahwa pembangunan dapat mencapai hasil yang setara dan berkelanjutan, dan berkontribusi pada perubahan sosial dan memberdayakan masyarakat. Melalui dukungan dari Uni Eropa terhadap beberapa lembaga masyarakat sipil di Bogor dan Bali, tingkat partisipasi masyarakat terus membaik dalam perencanaan dan pembangunan di tingkat desa. Keterlibatan semacam ini juga mengurangi praktik-praktik diskriminasi yang dipercaya sebagai hal yang penting dalam pembentukan karakter desa dan masyarakat yang inklusif,” sebagaimana dijelaskan oleh Syamsul Alam Agus, Sekretaris Yayasan Satu Keadilan yang merupakan anggota dari Forum CSO.

Kemudian, program yang berlangsung selama 3 tahun ini juga telah menjangkau masyarakat Indonesia yang ada di 300 desa melalui diseminasi informasi tentang hasil audit sosial dan hak-hak masyarakat melalui program radio, papan-papan pengumuman desa dan media komunikasi lainnya.

“Dana Desa telah membuka ruang bagi banyak desa untuk merespon dan mencegah terjadinya konflik di tingkat desa, termasuk konflik yang disebabkan oleh ketidak transparan pemerintah dan ketidakadilan sosial. Tujuan dari program Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Sensitif Gender yang didukung oleh Uni Eropa adalah untuk membentuk desa yang damai, inklusif dan partisipatif, yang membuat program ini sangat relevan dalam mendukung pelaksanaan UU Desa dan Dana Desa,” demikian disebutkan oleh Direktur Penanganan Daerah Pasca Konflik Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Bapak Hasrul Edyar.

Temuan-temuan penting dari pelaksanaan program ini telah disebarluaskan melalui radio yang mendiskusikan tentang hal-hal seperti Pelaksanaan Dana Desa untuk Pencegahan Konflik; Kepemimpinan Perempuan dalam Pembangunan Desa: praktik-praktik baik dari berbagai desa; dan Transparansi Anggaran: Upaya untuk Mencegah Konflik Kekerasan.

Urun Rembug Desa juga melaksanakan pertunjukan-pertunjukan dan pameran yang diselenggarakan oleh Forum CSO dan Campaign ID. Bentuk dukungan penuh Campaign terhadap pemberdayaan desa tidak hanya dilakukan melalui kerja sama dalam mewujudkan Urun Rembug Desa. Sebagai langkah nyata lainnya, Campaign juga memfasilitasi masyarakat untuk memberikan dukungan melalui aplikasi Campaign. Dalam aplikasi tersebut, tersedia sembilan tantangan dalam beragam isu, seperti lingkungan, pemberdayaan perempuan, kesehatan, ekonomi, dan komunikasi. Jumlah aksi masyarakat di tantangan tersebut kemudian akan ditukar menjadi dana untuk pembangunan dan pemberdayaan desa binaan setiap CSO. Video yang menggambarkan tentang kegiatan-kegiatan inovatif yang didukung oleh program Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Sensitif Gender juga dipertontonkan kepada para peserta.

——

Tentang Uni Eropa

Uni Eropa adalah kesatuan ekonomi dan politik yang unik antara 28 Negara Anggota. Bersama-sama, mereka telah membangun zona yang stabil, berlandaskan demokrasi dan pembangunan berkelanjutan sambil mempertahankan keanekaragaman budaya, toleransi dan kebebasan individu. Pada tahun 2012, Uni Eropa dianugerahi Penghargaan Nobel Perdamaian karena upayanya dalam menjunjung perdamaian, rekonsiliasi, demokrasi dan hak asasi manusia di Eropa. Uni Eropa adalah blok perdagangan terbesar di dunia; dan merupakan sumber dan tujuan investasi langsung asing terbesar di dunia. Secara kolektif, Uni Eropa dan Negara-negara Anggotanya adalah donor terbesar untuk Bantuan Pengembangan Resmi (ODA) dengan menyediakan lebih dari setengah ODA secara global.

Tentang Forum CSO

Forum CSO terdiri dari 9 lembaga swadaya masyarakat yang melaksanakan program Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Sensitif Gender, suatu program yang didanai oleh Uni Eropa. Program Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Sensitif Gender bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penyelenggara komunitas (COs) di Bogor (Jawa Barat) dan Tabanan (Bali) dalam proses penganggaran publik agar menjadi sensitif gender dan sensitif terhadap kaum minoritas. Program ini juga bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, termasuk perempuan dan minoritas dan pemimpin-pemimpin desa untuk terlibat secara konstruktif dalam proses penganggaran publik yang sensitif gender dan sensitif terhadap minoritas.

Implementasi dari program ini telah membawa bersama lembaga masyarakat sipil, pemerintah daerah, dan masyarakat desa di 18 desa dan menjangkau lebih dari seribu penerima manfaat.

——

Anggota Forum CSO:

Bali:
FITRA Jawa Timur
Jaringan Radio Komunitas Indonesia
Kunti Bhakti

Bogor:
Aliansi Bhinneka Tunggal Ika
Jaringan Radio Komunitas Jawa Barat
Metamorfosis
PEKA Indonesia
Relawan Kesehatan Masyarakat
Yayasan Satu Keadilan

——

Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi:

Perwakilan Forum CSO:
Syamsul Alam Agus – Yayasan Satu Keadilan
Telepon: +08118889083
Email: duael@satukeadilan.org

Memaknai Bulan Suci Ramadhan 1440 H; Berdiskusi dan Berbuka Puasa Bersama Kelompok Disabilitas dan Perempuan Bogor

Di dalam sebuah bangunan kayu bernuansa Jawa kuno di Kabupaten Bogor, duduk sekitar seratus orang dari berbagai latar belakang mendengarkan dengan seksama kisah seorang ibu paruh baya yang bercerita mengenai pengalamannya selama ini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di desanya. Ia bercerita sambil menitikan air mata karena perjuangannya selama ini dianggap menyalahi kodratnya sebagai seorang perempuan. Perempuan seharusnya duduk manis dirumah, memasak dan melayani suami, selayaknya nasehat orang tua Jawa zaman dulu agar para istri memperhatikan urusan “dapur, sumur dan kasur”. Rupanya ibu tersebut sedih dianggap terlalu ambisius sebagai seorang perempuan. Tak jarang cibiran datang dari kaum perempuan sendiri, padahal Ia selama ini berjuang agar perempuan bisa setara dengan laki-laki.

Kisah ibu tersebut hanyalah salah satu dari kisah-kisah yang disampaikan oleh masyarakat di Joglo Keadilan, sebuah ruang yang disediakan oleh Yayasan Satu Keadilan sebagai wadah untuk berekspresi.

Ibu tersebut bercerita bukan tanpa sebab. Hari itu (18/05/2019), Yayasan Satu Keadilan mengadakan acara buka bersama dengan komunitas dampingan untuk memperat tali silaturahmi. Tidak hanya itu, momen bulan Ramadan 1440 H / 2019 M ini, bagi Yayasan Satu Keadilan adalah momen tepat untuk berbagi ilmu, pengalaman dan belajar bersama melalui diskusi tentang perempuan dan media, dengan menghadirkan Luviana (aktivis perempuan dan produser film) dan Nuraini (aktivis perempuan) sebagai pemantik diskusi hangat menjelang berbuka bersama.

Diskusi dan berbuka di Joglo Keadilan, Jl. Parakan Salak No. 1, ini diramaikan oleh kelompok Disabilitas Bogor, komunitas perempuan dari desa dampingan Yayasan Satu Keadilan, Barisan Perempuan Bogor, Rumah Kreatif Penghuni Kolong, Komunitas Perempuan Desa Damai, dan sejumlah jaringan NGO.[]

 

Paralegal bukan Parabegal

Foto bersama peserta usai diskusi publik. (doc. ILRC)

Sebelum lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum, istilah paralegal tidak ditemukan satu pun dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun biasanya definisi paralegal adalah orang awam yang tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum, tetapi mempunyai keterampilan hukum setelah menjalani pembekalan yang diberikan oleh organisasi hukum/hak asasi manusia. Pengakuan atas peran mereka dalam memberikan bantuan hukum hanya berasal dari komunitasnya sendiri.

Kemudian setelah Undang-Undang Bantuan Hukum lahir, peran paralegal sejalan dengan peran Advokat dalam memberikan bantuan hukum pro bono (bantuan hukum secara cuma-cuma) bagi masyarakat marjinal dan kelompok rentan. Dalam kerja-kerjanya, paralegal berada di bawah bimbingan seorang pengacara dan terdaftar di sebuah organisasi bantuan hukum.

Kerja paralegal tidak bisa dipandang sebelah mata. Peran paralegal sangat dibutuhkan terutama di daerah karena banyak daerah di Indonesia yang tidak punya pengacara untuk membantu kasus hukum warga. Namun, karena istilah paralegal masih terbilang baru serta kurangnya sosialisasi, belum banyak masyarakat yang mengetahui apa itu paralegal. Masyarakat umumnya lebih memilih meminta bantuan ke RT/RW atau kepada perangkat kampung/desa/adat ketika menghadapi suatu masalah hukum. Hal ini yang kemudian melatarbelakangi The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) dalam melakukan penelitian tentang “Persepesi Masyarakat Pencari Keadilan tentang Peran Paralegal dalam Pemenuhan Akses Keadilan Melalui Hak Bantuan Hukum”.

Pada tanggal 15 Mei 2019, bertempat di Hotel Grand Cemara, Jakarta Pusat, ILRC menyelenggarakan Diskusi Publik Diseminasi atas hasil penelitiannya tersebut. ILRC turut mengundang Yayasan Satu Keadilan beserta 47 (empat puluh tujuh) lembaga bantuan hukum serta lembaga terkait untuk berdiskusi.

Meskipun sebagian responden (74%) tidak mengetahui mengenai paralegal, responden yang pernah mendapatkan layanan bantuan hukum dari paralegal, menyatakan bahwa mereka memiliki tingkat kepuasan tinggi atas layanan yang telah diberikan paralegal. Dalam layanan itu, mereka jadi mengetahui hak-haknya, mereka dibantu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya, dan mereka mudah memahami saran yang diberikan. Bagi meraka, layanan yang paling bermanfaat adalah penyadaran hak (41%), nasihat individual (27%), bantuan hukum (17%), dan penyelesaian sengketa alternatif (15%).

Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kebutuhan hukum masyarakat terhadap pemenuhan akses keadilan melalui hak bantuan hukum, meliputi hukum keluarga, masalah pertanahan, hukum pidana, dokumen kependudukan, dan hukum perburuhan.

Siti Aminah dalam presentasinya yang berjudul “Paralegal Bukan Parabegal”, mengungkapkan bahwa paralegal seharusnya memberikan bantuan hukum/jasa hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Namun, belakangan muncul istilah “parabegal” yang merujuk pada paralegal yang melakukan pemerasan pada para pencari keadilan atau untuk mencari keuntungan dari kasus hukum yang ada di dalam masyarakat. Munculnya istilah ini menjadi kekhawatiran terutama terhadap peran dan fungsi paralegal yang tidak terkontrol, khususnya di wilayah-wilayah pedesaan. Hal ini tentunya bertentangan dengan tujuan awal pengakuan paralegal sebagai pemberi bantuan hukum.

Untuk itu dalam rekomendasinya, para peneliti memaparkan bahwa paralegal perlu mendapatkan peningkatan kapasitas untuk masalah-masalah hukum yang lebih spesifik. Perlunya sosialisasi yang meliputi kriteria, ruang lingkup, kode etik paralegal dan kewajiban monitoring dan supervisi Organisasi Bantuan Hukum terhadap paralegal. Selain itu, penyediaan informasi hukum berbasiskan teknologi harus mudah dan sederhana untuk dapat dibagi dalam platform media sosial dan perpesanan, audio visual dan yang mampu menjawab masalah-masalah keseharian dengan dasar hukumnya.

Rumah Warga Dikosongkan, LBH KBR Gugat Presiden hingga Panglima TNI

LEAD.co.id | Warga Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor melalui Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH KBR) mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Kota Bogor terkait pengosongan Rumah Dinas yang dilakukan Korem 061/SK (26/7/2018) lalu. Terkait itu, Pembela Umum LBH KBR, Sugeng Teguh Santoso menuntut, senilai Rp. 1 T (satu triliun).

“Kami mengajukan gugatan materiil dan inmateriil. Dimana gugatan materiil sebesar Rp 9 juta dan immateriil sebesar Rp 1 triliun,” ungkap Sugeng saat mengajukan gugatan di Jl. Pengadilan No.10, Pabaton, Kec. Bogor Tengah, Kota Bogor, Rabu (15/5/2019).

Menurutnya, tindakan pengosongan paksa oleh TNI AD (Korem) 061 Suryakencana terhadap tempat tinggal warga bernama Ramli, di daerah Kedung Badak – Kota Bogor (28/5) tanpa adanya Putusan Pengadilan. “Korem juga tidak mampu menunjukkan bukti kepemilikan atas tanah tersebut,” lanjut Sugeng.

Atas hal itu, Ramli melalui LBH KBR mendaftarkan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa kepada Para Tergugat antara lain Presiden Republik Indonesia, Panglima TNI, Pangdam III Siliwangi, Danrem 061 Suryakencana dan BPN Kota Bogor senilai Rp 1 Triliun.

Sementara itu, Kepala Penerangan Korem 061/Suryakencana (Kapenrem 061/SK) Mayor Inf. Ermansyah mengatakan, gugatan hukum “sah-sah saja” bagi setiap warga negara Republik Indonesia. “Ini negara hukum jadi silakan saja melakukan gugatan hukum oleh saudara Ramli,” ungkap Kapenrem kepada KM di kantor Korem 061/SK siang ini.

“Yang jelas Korem 061/SK menjalankan langkah-langkah dalam pengosongan untuk mengamankan dan menertibkan aset milik negara yang diperuntukan untuk TNI Angkatan Darat,” tambah Kapenrem.

Menurutkan Kapenrem, dalam aturan TNI AD dalam menempati rumah dinas AD, di seluruh Indonesia hanya anggota aktif, orang tua. “Untuk anak tidak bisa menempatinya,” tambah Ermansyah.

“Ya untuk anak yang menempati harus menyerahkan kepada negara. Jadi dalam hal ini kami Korem 061/SK, Kodim, Koramil, serta Kodam Siliwangi, hanya mengamankan aset negara. Dalam pembuktian kepemilikan tersebut TNI AD jelas memiliki bukti dari kepemilikan aset negara tersebut,” pungkas Kapenrem. (AP)


Sumber : lead.co.id

FGD KBB-KOMPER - Yayasan Satu Keadilan

Forum Diskusi Terbatas Kebijakan Pendirian Rumah Ibadah dan Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan dalam Konteks Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

FGD KBB-KOMPER - Yayasan Satu Keadilan

Kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) khususnya forum internum merupakan hak individu yang tidak bisa ditunda pemenuhannya (nonderogable rights). Hak atas KBB mendapat jaminan untuk dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara, sebagaimana termaktub di dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yaitu “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Meskipun telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar, hingga saat ini hak atas KBB masih menjadi problem utama HAM di Indonesia, salah satunya adalah hak untuk mendirikan rumah ibadah.

Permasalahan tempat ibadah semakin serius karena pada level struktural, aturan tentang pendirian rumah ibadah, yakni Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 9 dan 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat belum efektif dalam menjembatani perselisihan-perselisihan yang terjadi. Bahkan beberapa ketentuan dalam aturan ini menimbulkan masalah, karena substansi yang multitafsir atau kurang jelas, misalnya tentang kewajiban Pemerintah Daerah memfasilitasi pendirian rumah ibadah yang ditafsirkan berbeda-beda di berbagai daerah.

Berlarut-larutnya penyelesaian beberapa kasus pelanggaran hak atas KBB di Indonesia juga diakibatkan oleh adanya kecenderungan saling lempar tanggungjawab antara pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Kecenderungan ini telah mengakibatkan ketidakpastian penyelesaian serta terus terabaikannya hak-hak korban pelanggaran hak atas KBB.

Di sisi lain, perempuan rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi atas dasar agama/keyakinan. Adanya hambatan untuk mendirikan rumah ibadah menyebabkan para perempuan tidak bisa menjalan ibadahnya dengan tenang. Beberapa dampak yang dicatat oleh Komnas Perempuan antara lain tidak bisa beribadah di tempat ibadah, tidak bisa khusyu’ dan dalam beribadah, dibayang-bayangi rasa takut dan cemas akan adanya serangan dan persekusi, khawatir akan adanya pengusiran, dan berpindah-pindah tempat beribadah. Para perempuan juga khawatir akan dikucilkan oleh masyarakat, tidak bisa beraktivitas sosial, ikut arisan, bahkan berjuang untuk mempertahankan hidup, pergulatan batin dan keluarga karena harus terus memberikan penjelasan kepada anak-anak mereka tentang kenapa mereka tidak bisa beribadah di tempat ibadah yang semestinya.

Berangkat dari permasalahan tersebut, pada tanggal 23 April 2019, Komnas Perempuan bersama dengan Komnas HAM, Ombudsman RI, Kementerian Dalam Negeri, Puslitbang Kementerian Agama, Jamaah Ahmadiyah Indonesia, GKI Yasmin, Yayasan Satu Keadilan, Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, PUSAD Paramadina,  mengadakan Forum Diskusi Terbatas mengenai Kebijakan Pendirian Rumah Ibadah dan Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan dalam Konteks Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

Tujuan dari Forum Diskusi Terbatas ini adalah melakukan kajian komprehensif terkait dengan regulasi mengenai pendirian rumah ibadah, dan mendiskusikan masukan-masukan dan peluang dari pelaksanaan PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, dan mendapatkan masukan-masukan mengenai peran FKUB sebagaimana diatur dalam PBM tersebut.

Berdasarkan hasil diskusi yang tersebut, berbagai kelompok/jaringan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan merekomendasikan untuk mengkaji ulang tugas dan peran FKUB sebagaimana yang tercantum dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, mengembangkan sinergi peran antara Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri, mencari best practice dalam menyelesaikan konflik pendirian rumah ibadah, membuat program berbasis kerukunan agama yang strategis.[]