Cover_Video_Teplan - Yayasan Satu Keadilan

Pelindung jadi Penyamun – Korem 061 Suryakancana bukan Pengadilan

,

adalah video tentang peristiwa pengosongan paksa disertai tindakan kekerasan perumahan Badak Putih 2 (saat ini bernama Teplan, kec. Tanah Sareal Kota Bogor) oleh Korem 061 Suryakancana Bogor/ Kodim Bogor pada 26 Juli 2018. Akibat pengosongan paksa tersebut, 8 keluarga kehilangan tempat tinggal, sejumlah warga mengalami tindak kekerasan dan trauma terhadap anak-anak mereka. Selain itu, video ini juga menjabarkan status tanah-rumah warga Teplan dan perbedaan antara tanah Negara dan tanah Pemerintah.

untuk selengkapnya, sila klik Di sini

YSK mendukung terbentuknya forum lintas iman dan kepercayaan di Kabupaten Bogor

Yayasan Satu Keadilan (YSK) bersama Badan Sosial Lintas Agama Kabupaten Bogor (BASOLIA) dan Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) menggelar Forum Silaturahmi Umat Beragama hari ini Sabtu(18/8) di Joglo Keadilan, Parakan Salak, Kemang, Bogor. Mengambil tema Membangun Kesadaran Keberagaman, Memperkuat Fondasi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Kegiatan ini diharapkan mampu menjadi  salah satu cara meningkatkan toleransi antar umat beragama.

Ahmad Suhadi ketua BASOLIA kabupaten Bogor menuturkan kita lebih baik mencegah tindakan intoleransi.  Ia mengajak tokoh-tokoh agama supaya bisa menjaga umat dari tindakan intoleran. Sementara itu, Ketua Yayasan Satu Keadilan, Sugeng Teguh Santoso (STS) menyatakan, “Yayasan Satu Keadilan mempromosikan kesadaran bahwa memeluk agama merupakan hak setiap orang, kerekatan sosial dalam kebangsaan harus diperkuat”.Kami memang yayasan yang mempromosikkan satu persaudaraan di antara umat yang berbeda-beda agama. Ini merupakan mandat atau tugas yayasan”, tambahnya.

STS melanjutkan kita patut menjaga persatuan, supaya tidak timbul gesekan, agama sebagai satu keyakinan ataupun kepercayaan kita kedepankan aspek sosialnya yang bisa mempersatukan, jangan meruncingkan perbedaan dogmatisnya. Apalagi agama dikaitkan dengan politik. Keberadaan BASOLIA harus kita dukung. “BASOLIA mempunyai tujuan yang sama dengan mandat YSK maka kita fasilitasi“, ujar STS.

Dengan kehadiran pejabat dan perwakilan masing-masing organisasi keagamaan, kalau kita lihat normatifnya tidak ada yang menentang. Kalau ada yang menentang berarti mereka tidak cinta bangsa Indonesia“, tutupnya.

Kegiatan ini dihadiri puluhan peserta dari unsur pemerintahan dan organisasi keagamaan serta kepemudaan. Dari unsur pemerintahan Kesbangpol Kabupaten Bogor, Babinsa Kecamatan Kemang, Kapolsek Kemang, MWCNU Kemang dan beberapa organisasi lain. [Hari]

Malam Amal Peduli Lombok Feature Cover - Yayasan Satu Keadilan

Malam Amal Koalisi Masyarakat Sipil Galang Dana untuk Korban Gempa Lombok

,

Bogor – Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Yayasan Satu Keadilan (YSK), Solidaritas Perempuan, Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), Komunitas Imaginakal, dan Somasi NTB menggagas inisiatif kemanusiaan bagi korban gempa Lombok, NTB. Bantuan kemanusiaan ini dilakukan melalui aktivitas penggalangan dana “Malam Amal Peduli Lombok”. Pada malam itu, bertempat di Joglo Keadilan, beberapa barang laku dijual. Tak luput juga donasi yang bersumber dari hasil “ngamen” seniman Bogor dan Jakarta.

“Malam ini kami mengumpulkan uang sejumlah Rp. 4.648.000. Harapan kami, donasi pada malam ini dapat terus berlanjut pada hari-hari berikutnya,”

Guntur Siliwangi, Yayasan Satu Keadilan (12 Agustus 2018)

Gerakan peduli korban gempa Lombok tidak hanya akan berhenti pada malam amal saja. Koalisi berjanji akan meneruskan inisiatif mereka hingga Lebaran Idul Adha.

“Inisiatif baik ini kami sepakati untuk terus berlanjut, selain membuka peluang bagi banyak pihak yang terlibat berdonasi, juga menyebarkan semangat kebaikan untuk kemanusiaan,” ujarnya lebih lanjut.

Koalisi juga mengingatkan pemerintah agar terus melakukan upaya penanganan serius, terlepas penetapan status yang bencana masih skala daerah. Distribusi bantuan menjadi sorotan koalisi untuk dibenahi. Setidaknya, terdapat lebih dari 380 ribu warga tinggal di posko pengungsian.

Koalisi juga mengingatkan pemerintah agar terus melakukan upaya penanganan serius, terlepas penetapan status yang bencana masih skala daerah. Distribusi bantuan menjadi sorotan koalisi untuk dibenahi. Setidaknya, terdapat lebih dari 380 ribu warga tinggal di posko pengungsian.

“Dari laporan teman-teman di lapangan, bantuan belum merata dan menyentuh langsung kebutuhan pengungsi. Anak-anak dan perempuan selayaknya mendapat perhatian semua pihak, terutama pemerintah,” tutupnya.

Malam Amal Peduli Lombok.3
#
p style=”text-align:left”>Untuk informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi anggota Koalisi Peduli Lombok:

Yadi – Somasi NTB (0877 – 6562-5587)
Guntur Siliwangi – YSK (0817-9730-800)
Luviana – Indonesia untuk Kemanusian (0816-4809-844)
Dewi – Solidaritas Perempuan (0852-6024-1597)

Untuk link donasi lewat mekanisme lelang produk, silahkan mengunjungi akun Instagram:
@joglokeadilan
@satu_keadilan
@indonesiauntukkemanusiaan
@solidaritasperempuan

Hasil Malam Amal Peduli Lombok - Yayasan Satu Keadilan
Donasi Peduli Lombok – update per 13 Agustus, 16.00 WIB

Membedah Radikalisme Lewat Nobar Film “Mata Tertutup”

Ancaman nyata radikalisme di masyarakat mendapat perhatian khusus dari Yayasan Satu Keadilan (YSK). Salah satu upaya menangkal paham tersebut adalah dengan membangun kesadaran bersama, terutama generasi milenial.

Yayasan Satu Keadilan (YSK) melalui unit usaha kemandiriannya Joglo Kandang Sapi sukses menggelar acara nonton bareng dan diskusi film Mata Tertutup karya cinematograph, Garin Nugroho, pada Sabtu lalu (9/06/2018). Film ini yang mengisahkan tentang bagaimana Negara Islam Indonesia (NII) merekrut anggota baru mereka dan kondisi yang dialami oleh mereka yang direkrut, disimak dengan penuh antusias oleh para peserta nobar yang datang dari beragam kalangan masyakarat, baik kelompok pemuda, mahasiswa, organisasi seperti Gusdurian dan PMII Bogor. Hadir juga Fajar Riza Ul Haq (produser film Mata Tertutup) , Jajang C. Noer, yang memerani Asimah (ibu dari Aini, salah seorang perempuan yang menjadi anggota NII).

Pemutaran film dimulai pukul 16.00 wib dan selesai pukul 17.46 wib. Setelah menikmati hidangan berbuka puasa bersama, peserta diajak berdiskusi mengenai pesan-makna dalam film ini. Diskusi ini menghadirkan Fajar Riza ul Haq dan Jajang C. Noer sebagai narasumber dan dimoderatori oleh Jimmy Ginting.

“Melalui film ini kita akan menemukan fakta bagaimana sebuah paham dapat mengancam keragaman serta identitas kita sebagai bangsa. Meskipun diproduksi di tahun 2011, film masih relevan dengan kondisi kita sekarang,” papar Jimmy, Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Organisasi YSK.

“Mata Tertutup diproduksi tahun 2011, film ini berdasarkan kisah nyata”, tutur Fajar. Fajar menambahkan , ada beberapa faktor mempengaruhi pemuda tergabung pada gerakan radikalisme dan terorisme. Seperti dalam film Mata Tertutup,M. Dinu Imansyah (Jabir) masuk ke dalam jaringan terorisme karena faktor ekonomi. Jabir merupakan pemuda yang berasal dari keluarga miskin dan ingin membahagiakan ibunya.

Jajang C. Noer (pemeran Asimah) menekankan pentingnya kita berpikir rasional dalam menanggapi setiap hal yang terjadi disekitar kita. Disamping itu, Ia juga menandaskan betapa masih buruknya sistem pendidikan di Indonesia dan adanya kebutuhan untuk menyikapi hal tersebut bersama-sama.

Niko, perwakilan pemuda Gusdurian menekankan arti penting peran seorang ibu dalam mencegah anak-anak mereka terpapar paham radikalisme terorisme. Sementara Yolanda, salah seorang pegiat HAM, mendorong agar pemutaran dan diskusi film seperti “Mata Tertutup” perlu dilakukan di berbagai tempat dan mengutamakan kelompok muda sebagai pesertanya.

Dalam film tersebut banyak praktik cinta yang dimunculkan seperti praktik cinta Asimah kepada Aini. Seorang ibu kepada anaknya. “Banyak faktor yang mempengaruhi pemuda masuk ke jaringan terorisme namun semua itu bisa dicegah dengan cinta”, ungkap Jimmy menutup diskusi.

pertemuan KBB - Yayasan Satu Keadilan

YSK Bersama ANBTI Gelar Sosialiasi Program Penanganan Kasus-Kasus KBB

pertemuan KBB - Yayasan Satu Keadilan

Parung, 9 Juni 2018 – Yayasan Satu Keadilan (YSK) memulai kick off program penyusunan standar operational procedure (SOP) penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Program yang diusung merupakan kolaborasi bersama Aliansi Nasional Bineka Tunggal Ika (ANBTI). Sosialisasi awal program melibatkan komunitas umat lintas agama serta lembaga Ombudsman wilayah Jakarta Raya. Program direncanakan akan memberi fokus kerja pada 3 wilayah, yaitu Bogor, Bekasi, dan Depok.

“Sosialisasi hari ini menjadi penting agar seluruh stakeholder, termasuk komunitas umat beragama dapat memahami mengapa SOP penanganan kasus sewajarnya menjadi perhatian bersama,” ujar Kristian Feran, Kepala Operasional YSK.

Lebih lanjut, YSK memaparkan bagaimana strategi program akan dijalankan. Diharapkan, tujuan akhir program ini dapat membantu para pihak berkepentingan, utamanya pemerintah dan aparat penegak hukum mampu secara holistik menyikapi kasus-kasus KBB skala lokal. Selain lahirnya SOP penanganan kasus, sinergitas seluruh pihak semakin kuat.

“Bukan hanya lahirnya SOP, tetapi seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan ini mampu membangun relasi kerjasama yang baik agar punya pengaruh positif terhadap upaya kita membangun situasi ber-toleransi antar umat beragama,” urai Syamsul Agus Alam, Sekretaris Yayasan.

Berbagai tanggapan dan masukan atas rencana program datang dari para pihak yang berkesempatan hadir. Salah satunya menyoroti tentang penjelasan lebih lengkap terkait titik-titik strategis fokus wilayah kerja.

“Saya ingin memberi pemikiran tentang titik-titik yang menjadi prioritas, misal, Bogor Utara. Agama banyak di sana, dan rentan terhadap Ahmadiyah. Kemudian Jonggol Cileungsi, dan Bogor Barat,” ungkap Ahmad Suhadi, penggerak Kampung Damai, Kabupaten Bogor.

Sambutan baik juga diungkapkan oleh Teguh P. Nugroho, Ketua perwakilan Ombudsman wilayah Jakarta Raya. Optimalisasi kerjasama lembaga serta komunitas diharapkan mampu menjadi solusi apabila terjadi dugaan praktik tidak baik atas hak beragama dan berkeyakinan.

“Ombudsman berfungsi koreksional atas tindakan pemerintah. Adanya pelaporan akan lebih efektif untuk kami tindak lanjuti. Mohon melaporkan tindakan yang terindikasi sewenang-wenang oleh aparat negara,” tegasnya.[]

Training HRD.0618 - Yayasan Satu Keadilan

Membangun Sistem Keamanan bagi Pembela Hak Asasi Manusia di Kalimantan Utara

Pada tanggal 2-4 Juni 2018, telah dilaksanakan pelatihan Peningkatan Kapasitas Staf dan Jaringan LALINGKA di Kalimantan Utara dalam Pengelolaan Keamanan Diri dan Organisasi. Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan perwakilan dari 3 (tiga) organisasi; yakni Lembaga Advokasi Lingkungan Hidup Kalimantan Utara (LALINGKA), Perkumpulan Lintas Hijau (PLH) Kalimantan Utara, dan Yayasan Pionir Bulungan, sebagai peserta pelatihan. Peserta yang berjumlah 10 orang tersebut terdiri dari 6 (enam) laki-laki dan 4 (empat) perempuan. Kegiatan yang berlangsung selama 3 (tiga) hari tersebut difasilitasi oleh Syamsul Alam Agus dan Kristian Feran dari Yayasan Satu Keadilan (YSK).

Training HRD.0618 - Yayasan Satu Keadilan

Di hari pertama, fasilitator memberikan materi-materi tentang definisi dan prinsip-prinsip Pembela HAM. Setelah itu peserta diajak mengidentifikasi resiko, kerentanan, ancaman dan kapasitas Pembela HAM. Penekanan materi pada sesi ini adalah bahwa semua Pembela HAM penting untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuannya dalam mengidentifikasi ancaman dan kerentanan yang dimilikinya, untuk meminimalkan risiko yang akan dihadapi, sebagai konsekuensi dari aktifitas pembelaan HAM yang dilakukannya. Bahwa Pembela HAM, baik secara individu maupun secara bersama-sama sebagai sebuah organisasi, penting merumuskan sebuah instrument perlindungan, yang wajib disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing, agar bisa dioperasionalkan dalam aktifitas pembelaannya sehari-hari.

Penyampaian materi di hari pertama menerapkan metode interaktif dan observasi, yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian peserta terhadap risiko dan ancaman keamanan dalam aktifitas pembelaan HAM. Selain itu proses observasi juga dibutuhkan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk intervensi perlindungan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing organisasi. Diakhir hari pertama, fasilitator memfasilitasi pemutaran film The Burning Season: The Chico Mendes Story.

Proses fasilitasi di hari kedua dimulai dengan sesi review materi hari pertama dan brainstorming tentang kesadaran dan kebutuhan peserta akan intervensi perlindungan keamanan. Setelah review, Fasilitator menyampaikan materi tentang bagian-bagian apa saja dalam SOP yang sebaiknya diatur dalam bekerja. Ruang lingkup penyusunan SOP keamanan pada pokoknya terdiri dari tiga dasar: Pertama, merumuskan konsep dasar mengenai risiko dari masing-masing individu di dalam organisasi, dan risiko dari masing-masing organisasi di dalam jaringan advokasi, yang melibatkan organisasi lainnya. Risiko dan ancaman pada dasarnya tidak hanya menyerang fisik Pembela HAM, tapi juga menyerang psikis. Misalnya tingkat kerentanan psikologis individu dalam hubungannya dengan individu lain dalam organisasi, maupun pihak ketiga di luar organisasi, misalnya komunitas dampingan, juga harus menjadi pertimbangan dalam penyusunan SOP. Kedua, Kerangka menyeluruh tentang pengelolaan keamanan beserta tahapan-tahapannya. Ketiga, usulan bertindak dalam merespon pengaduan bagi Pembela HAM. Atau yang dikenal dengan strategi mitigasi.

Fasilitator menyampaikan tentang pentingnya melakukan penilaian risiko, penilaian ancaman, dan penilaian terhadap kelemahan dan kapasitas, dan bagaimana cara dan tahapan-tahapan melakukannya. Termasuk hal-hal apa saja yang perlu dinilai dan siapa saja yang akan mempengaruhi dan akan terdampak dari penilaian yang dilakukan. Peristiwa keamanan juga penting menjadi bacaan organisasi untuk menentukan tindakan/respon apa yang harus dilakukan.

Setelah pemaparan materi, Peserta diminta untuk berpraktik menyusun desain SOP masing-masing organisasinya dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip keamanan. Praktikum dilakukan sampai hari ketiga. Di akhir hari ketiga fasilitator memberikan feedback terhadap desain SOP yang telah disiapkan oleh masing-masing peserta. Keseluruhan kegiatan ditutup dengan perumusan Rencana Tindak Lanjut (RTL) untuk masing-masing organisasi dan antar organisasi.

Seluruh peserta yang terlibat pada dasarnya merasa terbantu dengan kegiatan pelatihan tersebut. “Training HRD sangat membantu LALINGKA dalam kerja-kerja Advokasi LALINGKA yang memiliki resiko tinggi. LALINGKA akan segera menyusun keamanan lembaga agar secepatnya dapat diterapkan oleh seluruh anggota dalam aktivitas sehari-hari”kata Ketua LALINGKA.

Salah satu Staf Yayasan Pionir Bulungan yang terlibat juga menyampaikan bahwa kegiatan ini sangat membantu organisasi dalam menyusun standar keamanan lembaga untuk mendukung kerja advokasi yang dilakukan.

Namun karena belum seluruh anggota dari 3 organisasi terlibat dalam kegiatan pelatihan, ada harapan yang disampaikan oleh salah satu peserta dari Perkumpulan Lintas Hijau (PLH). Menurutnya “Pelatihan ini sangat menarik. Akan lebih baik lagi jika seluruh anggota dari 3 organisasi bisa mengikuti pelatihan HRD itu.” [KF]

Diskusi Publik Menguji Keadilan Publik - Yayasan Satu Keadilan

Diskusi Publik: Menguji Keadilan Publik Dalam Pasal 156a KUHP

Sejarah lahirnya Pasal 156a KUHP, adalah sejarah diskriminasi, penyingkiran, dan penundukkan kelompok minoritas agama dan kepercayaan. Pasal ini lahir, salah satunya disebabkan oleh terbitnya Penpres 1/PNPS Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang kemudian menjadi undang-undang. Puluhan orang telah dipenjara karenanya. “Setidaknya, saat ini ada 6 (enam) orang yang sedang menjalani proses hukum dan mendekam dijeruji besi. 3 (tiga) orang Millah Abraham, Andrew Handoko Putra di Solo, Ahok di Jakarta, dan Otto Rajasa di Balikpapan”, kata Sugeng Teguh Santoso, S.H., Ketua Yayasan Satu Keadilan dalam acara Diskusi Publik, dengan tema, Menguji Keadilan Publik Dalam Pasal 156a KUHP, di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat (Rabu, 24/05/2017).

Diskusi Publik Menguji Keadilan Publik - Yayasan Satu Keadilan

Diskusi publik tersebut, dihadiri antara lain, mahasiswa, pegiat HAM, akademisi dan praktisi, dengan narasumber: Usman Hamid, S.H., M.Phil., (Direktur Amnesty Internasional Indonesia), Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H. (akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Ismail Hasani (Direktur Setara Institut) dan Siti Aminah Tardi (The Indonesian Legal Resource Center/ILRC).

Pemenjaraan para pelanggar, selalu berjalan beriringan dengan tekanan masa. Penegakan hukum, kemudian terkesan untuk memenuhi tuntutan masa. Hukum menjadi pelayan kepentingan politik. Para pelanggar yang dijerat dengan delik penistaan/penodaan agama, sejatinya adalah korban. Delik itu lahir dari ruang yang “busuk”. Ruang diskriminatif dan penundukkan.

Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi catatan dalam diskursus publik tersebut, yakni:

Pertama, delik penistaan/penodaan agama, telah menghambat kebebasan bereskpresi. Orang-orang dilarang berpikir. Dilarang melakukan tafsir. Penafsiran, menjadi otoritas negara.

Kedua, delik penistaan/penodaan agama adalah pasal karet sehingga penerapannya, sangat bergantung pada selera atau kepentingan politik penegak hukum atau penguasa.

Ketiga, delik penistaan/penodaan agama, berpotensi menjadi ancaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara-bangsa yang multikulturalisme. Yang saling menghargai dan menerima perbedaan, sebagai anugerah mutlak dari Tuhan Yang Maha Esa.

Keempat, perlu pemahaman dan kesadaran bersama dari semua elemen bangsa terutama pemerintah dan penegak hukum untuk kembali menelaah penggunaan Pasal 156a KUHP termasuk di dalam revisi KUHP yang sedang berjalan sehingga kehidupan beragama dalam konteks berbangsa dan bernegara tetap berpedoman pada Pancasila dan UUD Tahun 1945.

Ditengah semua pihak mulai fasih bicara HAM, delik penistaan/penodaan agama, adalah barang usang yang sudah tidak kontekstual.[]

meme penghinaan presiden - Yayasan Satu Keadilan

Pasal Penghinaan Presiden, Ancaman Terhadap Demokrasi dan HAM

Pakar hukum Jimly Asshiddiqie tak setuju dengan usulan pemerintah yang ingin menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden. Jimly menilai, menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dengan dalih presiden adalah lembaga negara tak masuk akal.

“Lambang itu sudah diatur sendiri pada Pasal 36. Lambang negara kan Garuda. Jadi itu teori feodal yang menganggap presiden lambang negara,” kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi, yang ikut membatalkan pasal-pasal karet tersebut pada tahun 2006, dalam Fokus Group Discussion yang diselenggarakan oleh Desk Pembela HAM Komnas HAM, Kamis (19/8).

Dalam kesempatan itu, Jimly menceritakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal penghinaan presiden pada 2006 lalu mendapat pujian dari Dewan HAM PBB.

Indonesia dinilai telah membuat dua langkah lebih maju dari banyak negara lain, termasuk Belanda, Belgia dan Swedia. Sebab, di negara-negara tersebut pasal penghinaan presiden masih ada sekalipun pada prakteknya tidak lagi digunakan.

Dulu, ucap Jimly, warga di Eropa yang tidak membungkuk saat melihat foto presiden atau raja bisa dikenakan pasal penghinaan. Namun, saat ini dalam hampir semua aksi unjuk rasa warga kerap membakar dan menginjak foto presiden. Kendati demikian, presiden tidak merasa terhina. “Tingkat peradaban berdemokrasi seperti itu, sehingga pasal penghinaan kepala negara itu meski masih ada tidak pernah dipakai lagi,” katanya.

Oleh karenanya, pada waktu itu MK menganggap pasal penghinaan pada presiden sudah tidak relevan lagi. Lagipula, sambung Jimly, apabila presiden merasa dihina, maka yang merasa dihina adalah presiden sebagai individu, bukan institusi presiden.

Sebab, sebagai sebuah lembaga, insitusi presiden tidak memiliki perasaan. Karenanya, lembaga presiden tidak bisa merasa dihina.

Dalam catatan Yayasan Satu Keadilan, “pasal-pasal karet pembungkam” suara kritis Pembela HAM itu banyak diberlakukan di era pemerintahan Megawati Soekarno Putri hingga pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono, para pembela hak asasi manusia yang mengkritik kebijakan pemerintah kerap mendapatkan tuduhan dan pemidanaan.

Pasal Penghinaan Kepada Presiden dan wakilnya sebelumnya diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana [KUHP] pada pasal 134, 136 bis, dan 137. Pasal 134 menyebutkan bahwa penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus ribu rupiah. Pada 2006, keberadaan pasal-pasal tersebut telah dibatalkan melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-IV/2006. Sebelum dibatalkannya pasal tersebut, setidaknya YSK mencatat 7 (tujuh) aktivis menjadi korban dari penerapan pasal tersebut. Di era baru Pemerintahan Joko Widodo, seorang pedagang sate bernama Muhammad Arsad dijerat pasal penghinaan terhadap presiden, pasal 310 dan 311 KUHP, pasal 156 dan 157 KUHP, pasal 27, 45, 32, 35, 36, 51 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Arsyad di tahan dan di interogasi penyidik Reskrim mabes Polri setelah membuli Presiden Joko Widodo di account facebooknya pada masa pemilu presiden 2014 yang lalu.

Dari beberapa kasus-kasus yang menimpa Pembela HAM di beberapa rezim pemerintahan menunjukkan bagaimana “pasal-pasal karet” itu terus menjadi ancaman bagi Pembela HAM dalam melakukan aktifitasnya mengawasi kebijakan pemerintahan.[ad]

kesaksian mantan anggota gafatar - Yayasan Satu keadilan

Tim Hukum : Negara Telantarkan Ribuan Eks Gafatar

,

Lebih dari 5.000 jiwa anggota eks Gafatar nasibnya terlunta-lunta. Pemerintah hanya memberikan janji-janji kosong. Sementara harta benda warga eks Gafatar sudah habis dihancurkan oleh pengusiran sistematis dari Pulau Kalimantan yang melibatkan aparat negara. Kini mereka pun mengalami kesulitan dalam membangun kembali masa depannya. Selain karena diskriminasi yang tidak putus dari aparat pemerintahan, masyarakat juga terus menstigma dan tidak menerima keberadaan warga eks Gafatar.

Demikian disampaikan salah satu mantan pengurus Gafatar Jefry (35) ketika mengadukan diskriminasi yang terus dialami anggota-anggota eks Gafatar di Komnas HAM, Kamis (2/6), bersama Tim Kuasa Hukum.

“Apa yang kami kerjakan di Mempawah, Singkawang, Ella dan Bengkayang hanya bertani dan beternak. Menjadikan Kalimantan sebagai lumbung ketahanan pangan Indonesia. Itu cara kami mengabdi pada ibu pertiwi. Tapi kami malah diusir paksa dan diperlakukan seperti teroris,” ungkap Jefry di depan Ketua Komnas HAM M. Imdadun Rahmat.

Pelanggaran HAM nyata

Ia juga sangat menyesalkan tidak hadirnya negara paska pengusiran paksa. Bahkan janji Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa yang akan memberikan jaminan hidup perhari perjiwa sebesar 10.000 tidak kunjung terealisasi.

“Negara tidak peduli nasib kami yang sekarang tidak bisa beraktivitas normal seperti masyarakat lainnya dalam memenuhi hidup. Sebab, kami terus dicurigai masyarakat. Ketika di antara kami dikembalikan ke kampung halaman masing-masing, aparat pemerintah mengumumkan kepada masyarakat sambil melekatkan stigma kepada kami, layaknya teroris yang harus dijauhi. Kami juga dipaksa beribadah sesuai dengan agama yang resmi,” protes Jefry yang pernah menjabat sebagai Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Jawa Barat Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara (NKTN) yang lebih sering disebut sebagai eks Gafatar.

Asfinawati selaku Tim Kuasa Hukum tiga mantan elit Gafatar (Ahmad Mushadeq, Mahful Muis Tumanurung, dan Andri Cahya) yang ditahan di Mabes Polri meminta Komnas HAM untuk mendesak kepolisian segera membebaskan mereka.

“Penahanan terhadap ketiganya tidak sah karena tidak ada alasan hukum yang membenarkan penangkapan ini. Pemidanaan terhadap ketiganya oleh kepolisian melanggar hukum karena tidak mempedulikan proses yang tersurat dalam UU No. 1/PNPS/1965 dan SKB dari UU tersebut,” tegas Asfin.

Selain kepolisian menabrak dua instrumen di atas, lanjut Asfin, kepolisian juga melanggar fair trial atau peradilan yang jujur dan adil. Mantan Direktur LBH Jakarta periode 2006-2009 ini menegaskan, “Kepolisian tidak merujuk pada Putusan MK yang mengharuskan penahanan terhadap tersangka dengan minimal dua alat bukti yang cukup yang dijelaskan oleh penyidik kepada tersangka dan kuasa hukumnya. Kepolisian juga lalai karena satu hari setelah ketiga eks Gafatar ditangkap, mereka tidak diperiksa.”

Berangkat dari pengaduan itulah Imdadun Rahmat akan mengagendakan perumusan tindakan yang akan diambil Komnas HAM. Pengaduan ini juga akan diperkuat hasil pemantauan yang telah dilakukan Komnas HAM.

“Telah terjadi bentuk-bentuk pelanggaran HAM dalam kasus pengusiran warga eks Gafatar,” tegasnya memberi kesimpulan.

Nasib berat perempuan eks Gafatar

Setelah mengadukan pelanggaran-pelanggaran HAM kepada Ketua Komnas HAM, beberapa warga eks Gafatar kembali mengadukan diskriminasi yang mereka alami ke Komnas Perempuan. Kepada Ketua Komnas Perempuan Azriana dan Komisioner lainnya, Saur Tumiur Situmorang dan Adriana Venny Aryani, salah seorang saksi dan eks Gafatar Bunda Ida (40) mengadukan kondisi yang lebih tragis dialami anak-anak dan perempuan. Situasi penuh intimidasi, kekerasan, dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami warga eks Gafatar membuat perempuan dan anak-anak sulit menghapus trauma. Beberapa di antara mereka sampai sekarang masih menangis.

“Anak-anak dan perempuan mengalami langsung dari mulai proses pengusiran paksa oleh RT, RW, Lurah, Camat, Babinsa hingga Bupati, kemudian harus melihat pembakaran tempat tinggal baru mereka, menyaksikan pula tentara yang marah-marah sambil mengokang senjata laras panjang di Bekangdam XII Tanjungpura Kalimantan Barat, sampai cara-cara tidak manusiawi mengangkut kami ke kendaraan-kendaraan untuk dipindah ke pengungsian demi pengungsian,” kisah Bunda Ida yang dalam kepengurusan juga menjabat DPD Jawa Barat Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara.

Karena ketidakmampuan negara melindungi warga eks Gafatar, terutama kalangan perempuan, ibu hamil dan anak-anak balita, Ida menceritakan bahwa dari pengungsi Kalimantan Timur ada anak berusia 2,5 tahun meninggal dunia karena tidak tahan selama proses pengusiran yang terus berpindah-pindah. Ada perempuan yang keguguran, ada pula yang melahirkan lebih cepat dari waktu normal karena stres. Anak-anak dan ibu hamil ikut mengonsumsi makanan tidak sehat yang dimasak dengan tidak bersih dan menunya dari hari ke hari selalu sama: mie dan sarden. Akibatnya banyak di antara mereka yang sakit.

Selain trauma yang terus membayangi warga eks gafatar, mereka juga dihantui nasib dan masa depan yang sangat berat. Sebab, di banyak tempat warga eks Gafatar dipersulit mengurus administrasi kependudukan (Adminduk) seperti KTP dan dokumen-dokumen resmi lainnya. Hal tersebut mempersulit mereka sebagai warga negara dalam mengakses hak-hak ekonomi, sosial, kesehatan, dan sebagainya.

“Bagaimana mungkin bisa membuat KTP dan surat-surat resmi lainnya, saya saja ketika pulang tidak diakui sebagai warga tempat saya berasal oleh RT, RW, dan kelurahan,” tutur Rahmat Sunjaya (26) yang pernah menjadi koordinator wilayah Jawa Barat dan kini terpaksa mengosongkan dan meninggalkan rumahnya di Cirebon.

Ia dan istrinya harus menyiasati hidup keluarganya agar bisa bertahan, yang ketika pengusiran terjadi mereka baru sebulan dikaruniai seorang bayi. Sementara selama di pengungsian, Dinas Sosial memberikan susu, pampers dan roti yang kadaluarsa dan tidak mungkin dikonsumsi.

Begitupun aset-aset bergerak dan tidak bergerak milik eks Gafatar yang mereka tinggalkan di Kalimantan tidak bisa atau sangat sulit diambil. Ada yang hancur karena dibakar. Ada pula hilang dijarah. Padahal nilainya tidak sedikit. Rahmat yang mengkoordinir satu kelompok dari beberapa wilayah Jawa Barat saja telah mengucurkan 1 sampai 1,5 milyar yang dibawa ke Mempawah sebagai modal untuk membangun hidup mereka dari awal.

Menuntut negara

Dengan seluruh pengaduan yang dibuat warga eks Gafatar, Asfinawati mendorong Komnas Perempuan dan Komnas HAM untuk: Pertama, segera menuntut negara menjamin dan memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan (ECOSOC Rights) warga eks Gafatar yang selama ini terampas. Terutama kepada Komnas HAM diharapkan menjadi fasilitator untuk mengembalikan aset-aset, baik bergerak maupun yang tidak bergerak, milik warga eks Gafatar yang ditinggalkan di Kalimantan. Kedua, mengingatkan negara bertanggung jawab memberikan pemulihan psikologis atas trauma yang sangat berat menimpa warga eks Gafatar, terutama kalangan perempuan dan anak-anak. Ketiga, menuntut Kemendagri menginstruksikan bawahannya agar mempermudah pelayanan terhadap warga eks Gafatar dalam pembuatan KTP atau Adminduk. Menghapus diskriminasi pelayanan publik. Keempat, segera menghentikan dan menindak aparat-aparat atau pejabat pemerintahan yang mendorong masyarakat stigmatisasi warga eks Gafatar.

Di penghujung pengaduan, Tim Kuasa Hukum eks Gafatar Febionesta meminta Komnas Perempuan dan Komnas HAM secepatnya bertindak agar kepolisian segera membebaskan Ahmad Mushadeq, Mahful Muis Tumanurung, dan Andri Cahya. Hal tersebut dengan mempertimbangkan nasib keluarganya, terutama anak-anak dan istri. Mahful mempunyai 7 anak yang masih kecil-kecil. Anak terbesar berusia 12 tahun. Andri juga mempunyai dua anak. Yang besar baru berusia 10 tahun. (Thowik SEJUK)

Kontak:

Asfinawati (08128218930);
Fati Lazira (085275371525); Febionesta (087870636308),
Atika (081383399078);
Syamsul Alam Agus (08118889083); Ainul (085277008689)
Imdadun Rahmat: Ketua Komnas HAM (08159548906)
Azriana: Ketua Komnas Perempuan (0811672441)

Cara Tuntut Negara Tegakkan Kebebasan Beragama

Tujuan utama pemantauan dan pendokumentasian kebebasan beragama dan berkepercayaan (KBB) adalah untuk memastikan kewajiban negara dalam melindungi dan memenuhi hak-hak beragama warganya berjalan sesuai dengan ketentuan Konstitusi dan HAM.

Demikian disampaikan Syamsul Alam Agus dari Yayasan Satu Keadilan dalam Training Komunikasi, Dokumentasi dan Advokasi KBB yang digelar Komunitas Peace Maker Kupang (KOMPAK) dan Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Sobat KBB) di Ima Hotel Kupang (28/2/2016).

Aktivis yang sebelumnya bergiat di KontraS ini menaruh harapan agar para peserta yang terdiri dari para korban dan pendamping kelompok minoritas agama, keyakinan, LGBT, dan disabilitas dari Nusa Tenggara Timur (NTT) agar akhir tahun 2016 ini sudah mulai ada laporan pemantauan di wilayah mereka, terutama terkait kinerja Walikota Kupang.

Penting untuk memantau apakah Walikota Kupang yang baru saja mendapat penghargaan kebebasan beragama dan berkeyakinan dari Komnas HAM menerapkan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan prinsip perlindungan dan pemenuhan hak-hak beragama warganya,” tantangnya.

Sementara penggerak Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) wilayah Yogyakarta Agnes Dwi Rusjiyati mendorong peserta training yang berasal dari wilayah NTT agar mengawasi setiap kebijakan diskriminatif dan pelanggararan KBB dengan dokumentasi dan data-data yang lengkap.

Belajar dari kasus KBB di Gunung Kidul, Yogyakarta, hasil pemantauan dan pendokumentasian yang kami lakukan secara benar dan lengkap dapat mengubah kebijakan diskriminatif pada kasus penutupan gereja Pantekosta yang akhirnya di awal tahun 2015 dibuka kembali segelnya oleh Bupati karena kami menyodorkan dokumentasi pelanggaran pemerintah terhadap hak-hak pendirian rumah ibadah yang tidak bisa dibantah,” demikian Agnes membagikan kisah sukses itu sambil memberikan teori pendokumentasian KBB kepada para peserta training yang digelar 27-29 Februari 2016.

Bagi para peserta, keterlibatan mereka selama tiga hari training itu merupakan kesempatan yang sangat membantu dan memudahkan mereka bergerak mengadvokasi isu KBB di lapangan.

Materi-materi yang saya dapat selama tiga hari menjadi bekal yang baik untuk dibagikan kepada teman-teman di daerah saya untuk memulai pemantauan dan pendokumentasian yang lebih baik dan benar,” ujar Yanti salah seorang peserta dari Atambua. [Thowik-SEJUK]