Pemkab Bogor ingin tularkan konsep “Desa Toleransi Beragama” di Pabuaran

,

Para tokoh masyarakat di Desa Pabuaran, Kecamatan Gunungsindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (ANTARA/HO-Humas Pemkab Bogor)

Kabupaten Bogor (ANTARA) – Pemerintah Kabupaten Bogor, Jawa Barat, melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) ingin menularkan konsep Desa Toleransi Beragama yang sejauh ini sudah diterapkan di Desa Pabuaran, Gunungsindur, Bogor.

“Kita sudah usulkan (Desa Toleransi Beragama) ke tingkat provinsi dan juga pemerintah pusat,” kata Kepala Bidang Kesbao Bakesbangpol Kabupaten Bogor, Sujana di Cibinong, Bogor, Selasa.

Desa Toleransi Beragama yang diterapkan di Desa Pabuaran ini menjunjung tinggi kerukunan.

Sujana menyebutkan, setiap rumah ibadah dari masing-masing keyakinan yang diakui oleh negara, bebas berdiri tanpa ada konflik antar warga.

“Seluruh mekanisme, tata cara pendirian rumah ibadah itu ditempuh, sehingga masyarakat juga mendukung pada proses pembangunan tersebut,” paparnya.

Menurut dia, Desa Pabuaran sudah dicanangkan sebagai desa kerukunan masyarakat sejak 2021 silam oleh Pemerintah Kabupaten Bogor, Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Barat, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) setempat.

“Jadi awal munculnya itu dilatarbelakangi dari masyarakat, kemudian dikaji oleh FKUB. Ternyata yang membuat aman di sana itu adalah penerimaan masyarakat, tidak dikotomi mereka,” kata Sujana.

Sementara, Ketua FKUB Kabupaten Bogor, Madroja Sukarta mengaku bangga dengan kesadaran masyarakat di Desa Pabuaran yang hidup rukun dalam keberagaman.

Ia mendorong agar konsep Desa Toleransi Beragama untuk dapat diterapkan di setiap daerah di Indonesia, untuk meminimalisir konflik keagamaan, terutama mengenai pendirian rumah ibadah.

“Ini merupakan kesadaran masyarakat di Desa Pabuaran. Semoga ke depannya tak hanya di desa itu, tapi semua daerah juga masyarakatnya guyub dalam beragama,” kata Madroja.

Pewarta: M Fikri Setiawan
Uploader : Naryo
COPYRIGHT © ANTARA 2023
Artikel ini telah tayang di megapolitanantaranews.com dengan judul Pemkab Bogor ingin tularkan konsep”Desa Toleransi Beragama” di Pabuaran

Reintegrasi dan Rehabilitasi Penting bagi Mantan Ekstremis

Yayasan Satu Keadilan bersama Search for Common Ground Indonesia menggelar pelatihan penguatan kapasitas aktivis organisasi masyarakat sipil dan aparat pemerintah di Cirebon, Jawa Barat, terkait penanggulangan terorisme.

CIREBON, KOMPAS — Reintegrasi dan rehabilitasi penting bagi mantan pelaku kekerasan berbasis ekstremisme agar mereka dapat kembali berbaur dengan masyarakat dan mendapatkan hak-haknya. Selama ini, mereka kerap dirundung stigma buruk.

Tanpa upaya rehabilitasi dan reintegrasi, mantan narapidana terorisme bisa kembali melakukan kekerasan berbasis ekstremisme. Organisasi masyarakat sipil dan aparat pemerintah perlu menguatkan kapasitasnya dalam penanggulangan kasus terorisme.

Hal itu disampaikan Sekretaris Yayasan Satu Keadilan (YSK) Syamsul Alam dalam pelatihan penguatan kapasitas aktivis organisasi masyarakat sipil dan aparat pemerintah di Cirebon, Jawa Barat, terkait penanggulangan terorisme. Pelatihan digelar bersama Search for Common Ground Indonesia, Selasa-Kamis (21-23/2/2023). Pelatihan ini untuk penanganan rehabilitasi serta reintegrasi mantan pelaku kekerasan berbasis ekstremisme.

Peristiwa bom bunuh diri di Markas Kepolisian Sektor Astanaanyar, Kota Bandung, Jabar, akhir tahun lalu, misalnya, melibatkan residivis terorisme Agus Sujarno. Ia pernah ditangkap karena terlibat peristiwa bom di Cicendo, Bandung. Agus menjalani hukuman penjara 4 tahun sejak September 2017 dan bebas pada Oktober 2021.

Suasana pelatihan penguatan kapasitas aktivis organisasi masyarakat sipil dan aparat pemerintah di Cirebon, Jawa Barat, Selasa (21/2/2023). Pelatihan yang digelar Yayasan Satu Keadilan bersama Search for Common Ground Indonesia itu berlangsung hingga Kamis (23/2/2023).
Suasana pelatihan penguatan kapasitas aktivis organisasi masyarakat sipil dan aparat pemerintah di Cirebon, Jawa Barat, Selasa (21/2/2023). Pelatihan yang digelar Yayasan Satu Keadilan bersama Search for Common Ground Indonesia itu berlangsung hingga Kamis (23/2/2023).

 

”Harapan kami, teman-teman yang mengikuti pelatihan bisa bertukar pikiran dan berbagi terkait rehabilitasi dan reintegrasi mantan pelaku terorisme,” ujar Syamsul Alam.

Pelatihan di wilayah Kedawung, Kabupaten Cirebon, itu melibatkan sekitar 20 aktivis dari organisasi masyarakat sipil, aparat pemerintah, dan media. Pesertanya, antara lain, dari Fahmina Institute, Pemuda Muhammadiyah Cirebon, Gerakan Pemuda Ansor Cirebon, serta badan kesatuan bangsa dan politik setempat.

Berdasarkan laporan analisis Yayasan Satu Keadilan atau YSK pada Januari 2023, sekitar 60 warga Kota dan Kabupaten Cirebon pernah ditangkap Detasemen Khusus Anti Teror 88 karena diduga terlibat terorisme di sejumlah daerah. Di Kabupaten Cirebon, terdapat 17 kecamatan yang warganya pernah ditangkap Densus 88 dan termasuk jaringan terorisme.

Kasus teranyar, Densus 88 meringkus seorang terduga teroris berinisial AT (28) di Desa Kubang, Kecamatan Talun, Selasa (7/2/2023) pagi. Warga asal Palembang, Sumatera Selatan, itu tinggal di Cirebon sejak Agustus 2021. Penjual kerupuk asal Palembang ini diduga termasuk jaringan terorisme di Sumatera.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/Ls3H-FtSHtUioJKoqi5dDKZx5_c=/1024x1454/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F02%2F12%2F52c8c197-18ec-4534-af0c-88d77b8ec88d_png.png

Forum rehabilitasi

YSK juga telah memfasilitasi pembentukan forum yang berisi 20 perwakilan organisasi masyarakat sipil, media, dan akademisi bernama Forum Masyarakat Sipil Cirebon Raya (Formasina). Forum berfokus pada rehabilitasi dan reintegrasi mantan pelaku ekstremisme berbasis kekerasan.

Selain rutin menggelar pertemuan sekali sebulan untuk membicarakan perkembangan ekstremisme di Cirebon, Formasina juga menjalani pelatihan penguatan kapasitas. Salah satunya untuk mengetahui peta sebaran terorisme. ”Direncanakan, kami akan menggelar pelatihan selama tiga kali. Selain tiga hari ini, nanti ada pelatihan lagi di bulan Maret,” ujar Alam.

Yang paling penting, ada kolaborasi dari berbagai pihak untuk penanggulangan terorisme.

Marzuki Wahid, Rektor Institut Studi Islam Fahmina sekaligus fasilitator pelatihan, berharap pelatihan itu dapat membekali warga dan aparat dalam mengidentifikasi potensi terorisme sekaligus membantu rehabilitasi mantan pelaku kekerasan berbasis ekstremisme. ”Yang paling penting, ada kolaborasi dari berbagai pihak untuk penanggulangan terorisme,” ucapnya.

Rudi Ahmad (36) menjadi fasilitator dalam Program Moderasi Beragama di Pendopo Pancaniti, Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (18/12/2021). Kegiatan itu digelar oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Cirebon bersama Fahmina Institute, organisasi nirlaba yang fokus pada kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan. Kegiatan itu diharapkan mengajak pemuda menyuarakan toleransi hingga mendeteksi potensi radikalisme dan terorisme.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Rudi Ahmad (36) menjadi fasilitator dalam Program Moderasi Beragama di Pendopo Pancaniti, Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (18/12/2021). Kegiatan itu digelar oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Cirebon bersama Fahmina Institute, organisasi nirlaba yang fokus pada kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan. Kegiatan itu diharapkan mengajak pemuda menyuarakan toleransi hingga mendeteksi potensi radikalisme dan terorisme.

Artikel ini telah tayang di kompas.com dengan judul Reintegrasi dan Rehabilitasi Penting bagi MAntan Ekstremis

Aktivis HAM: Veronica Koman Jalankan Tugas, Bukan Sebar Hoaks

TEMPO.COJakarta – Solidaritas pembela aktivis Hak Asasi Manusia menyebut Veronica Koman tidak menyebarkan berita bohong atau hoax. Menurut mereka informasi yang disebarkan Veronica valid, dan didapatkan dari kliennya dalam kapasitasnya sebagai advokat.

“Informasi yang disampaikan Veronica di twitter-nya itu adalah suatu fakta kejadian informasi yang benar-benar terjadi,” kata Tigor Hutapea dari LBH Jakarta di kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Jakarta, Senin 9 September 2019.

Pada 6 September 2019 Kapolda Jawa Timur mengumumkan telah menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka yang menyiarkan berita bohong di media sosial. Menurut anggota solidaritas, polisi menetapkan Veronica sebagai tersangka berdasarkan empat cuitan, yakni:

1. “Mobilisasi aksi monyet turun ke jalan untuk besok di Jayapura” tanggal 18 Agustus 2019.

2. “Moment polisi mulai tembak asrama Papua. Total 23 tembakan dan gas air mata” tanggal 17 Agustus 2019.

3. “Anak-anak tidak makan selama 24 jam, haus dan terkurung disuruh keluar ke lautan massa” tanggal 19 Agustus 2019.

4. “43 mahasiswa Papua ditangkap tanpa alasan yang jelas, 5 teruka, 1 terkena tembakan gas air mata” tanggal 19 Agustus 2019.

Menurut Tigor, Veronika menyebarkan informasi valid karena ia mendapatkan informasi dari kliennya, mahasiswa Papua di Surabaya. “Teman-teman di Surabaya itu menyampaikan kepada Veronica Koman dalam kapasitasnya sebagai kuasa hukum,” tuturnya.

Veronica, kata Tigor, berprofesi sebagai advokat sejak 2014. Ia aktif membela hak asasi manusia bahkan sejak bergabung dengan LBH Jakarta pada 2012. Veronica giat melakukan advokasi pada perempuan, buruh, minoritas, dan kelompok-kelompok rentan. Veronica pun dikenal menaruh perhatian besar pada isu pelanggaran HAM di Papua.

“Veronica Koman ini sudah menjadi advokat mahasiswa Surabaya sejak 2018 hingga saat ini,” tuturnya.

Untuk itu Veronica memiliki hak untuk melakukan advokasi, pendidikan, dan pendampingan, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia dan Deklarasi Pembela HAM.

Solidaritas pembela aktivis HAM ini terdiri dari LBH Pers, Safenet, LBH Jakarta, YLBHI, ada Yayasan Satu Keadilan, kemudian LBH Apik, Perlindungan Insani, beserta individu-individu lain.

Sumber: tempo.co

Komnas HAM Diminta Lindungi Veronica Koman

JAKARTA – Solidaritas pembela aktivis HAM mengadukan kasus Veronica Koman ke Komnas HAM. Para pengadu ini berasal LBH Pers, Safenet, LBH Jakarta, YLBHI, ada Yayasan Satu Keadilan, kemudian LBH Apik, dan Perlindungan Insani.

Perwakilan solidaritas pembela aktivis HAM, Tigor Hutapea mengatakan, pihaknya menyampaikan surat pengaduan ke Komnas HAM karena menilai kasus Veronica Koman bisa menjadi ancaman bagi para aktivis HAM.

Solidaritas pembela aktivis HAM juga meminta Komnas HAM untuk memberikan perlindungan atau tindakan lainnya kepada Veronica Koman sesuai amanat UU Nomor 39 maupun instrumen HAM lainnya.

Tigor mengatakan, pihaknya mendorong Komnas HAM melakukan penyelidikan dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh Polda Jawa Timur apakah sesuai dengan aturan atau tidak terkait penetapan tersangka Veronica Koman.

“Jadi pada tanggal 6 September 2019, Kapolda Jawa Timur mengumumkan telah menetapkan pembela HAM Veronica Koman sebagai tersangka yang menyiarkan berita bohong di media sosial. Kami menilai tindakan kepolisian ini sebagai ancaman bagi pembela hak asasi manusia,” kata Tigor di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (9/9/2019).

Menurut Tigor, selama ini Veronica Koman berprofesi sebagai advokat, dan pengacara sejak 2014. Selain itu, Veronica juga dikenal aktif sebagai ‘pendekar’ HAM yang mengabdikan dirinya di LBH Jakarta sejak 2012-2016 melalui advokasi perempuan, buruh, minoritas, dan kelompok rentan.

“Setelahnya Veronica juga aktif pada isu pelanggaran HAM pada Papua. Berdasarkan keterangan dari temen-temen juga, bahwa yang dijadikan tersangka itu adalah informasi yang ada di twitter-nya Veronica. Berdasarkan keterangan teman-teman, bahwa informasi yang disampaikan Veronica di twitternya itu adalah suatu fakta kejadian informasi yang benar-benar terjadi,” tuturnya.

Veronica Koman telah ditetapkan Polda Jatim sebagai tersangka provokasi asrama mahasiswa Papua. Tigor menilai, tindakan Veronica di media sosial itu sebagai bentuk upaya pembelaan HAM kepada mahasiswa Papua.

 

Sumber: nasional.okezone.com

Tolak Veronica Koman Jadi Tersangka, Sejumlah Aktivis Ngadu Ke Komnas HAM

DEMOKRASI –  Penetapan Veronica Koman sebagai tersangka provokator kerusuhan di Papua mengundang reaksi para pegiat HAM.

Solidaritas Pembela Aktivis HAM bahkan mengadukan penetapan tersebut ke Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka terdiri dari berbagai perwakilan lembaga. Di antaranya, LBH Pers, LBH Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kontras Surabaya, Yayasan Satu Keadilan, Amnesty Internasional Indonesia, dan Perlindungan Insani.

Koordinator Solidaritas Pembela Aktivis HAM, Tigor Hutapea mengatakan, pihaknya membuat aduan ke Komnas HAM setelah Veronica Koman resmi ditetapkan tersangka oleh Polda Jawa Timur.

Menurutnya, tindakan Veronica Koman saat menyampaikan data dan informasi melalui unggahan media sosial tersebut merupakan bentuk upaya membela HAM.

“Bukan upaya provokasi, menyebarkan ujaran kebencian, apalagi menyiarkan berita bohong,” ucapnya saat membuat aduan di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (9/9).

Ada empat unggahan di Twitter Veronica yang dipermasalahkan. Di antaranya unggahan mengenai mobilisasi aksi turun ke jalan di Jayapura pada 18 Agustus 2019. Kemudian kicauan tentang polisi yang disebut mulai menembaki anak-anak di asrama Papua, dengan total ada 23 tembakan dan gas air mata yang diunggah pada 17 Agustus 2019.

Selain itu, Veronica juga berkicau tentang 43 mahasiswa Papua yang ditangkap tanpa alasan, 5 terluka, 1 terkena tembakan gas air mata pada 19 Agustus 2019.

“Postingan Veronika Koman sama sekali tidak mengandung unsur provokatif, berita bohong, apalagi ujaran kebencian seperti yang dituduhkan polisi,” tegasnya.

Bahkan. kata Tigor, informasi yang disampaikan Veronica merupakan informasi sesuai fakta yang terjadi. Di mana Veronica mendapatkan informasi dari kliennya yang merupakan aktivis mahasiswa Papua di Surabaya.

“Seluruh informasi yang disampaikan melalui postingan veronica berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari mahasiswa Asrama Papua Surabaya yang mengalami kejadian kericuhan langsung di lapangan. Artinya, informasi yang diposting Veronica adalah valid dan terverifikasi,” jelasnya.

Aduan ini diterima langsung oleh wakil Ketua Komnas HAM Bidang Internal Hairansyah, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Mohammad Choirul Anam. [rm]

 

Sumber: demokrasi.co.id

Sejumlah Aktivis Tolak Veronica Koman Jadi Tersangka

Penetapan Veronica Koman sebagai tersangka provokator kerusuhan di Papua mengundang reaksi para pegiat HAM.

Solidaritas Pembela Aktivis HAM bahkan mengadukan penetapan tersebut ke Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka terdiri dari berbagai perwakilan lembaga. Di antaranya, LBH Pers, LBH Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kontras Surabaya, Yayasan Satu Keadilan, Amnesty Internasional Indonesia, dan Perlindungan Insani.

Koordinator Solidaritas Pembela Aktivis HAM, Tigor Hutapea mengatakan, pihaknya membuat aduan ke Komnas HAM setelah Veronica Koman resmi ditetapkan tersangka oleh Polda Jawa Timur.

Menurutnya, tindakan Veronica Koman saat menyampaikan data dan informasi melalui unggahan media sosial tersebut merupakan bentuk upaya membela HAM.

“Bukan upaya provokasi, menyebarkan ujaran kebencian, apalagi menyiarkan berita bohong,” ucapnya saat membuat aduan di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (9/9).

Ada empat unggahan di Twitter Veronica yang dipermasalahkan. Di antaranya unggahan mengenai mobilisasi aksi turun ke jalan di Jayapura pada 18 Agustus 2019. Kemudian kicauan tentang polisi yang disebut mulai menembaki anak-anak di asrama Papua, dengan total ada 23 tembakan dan gas air mata yang diunggah pada 17 Agustus 2019.

Selain itu, Veronica juga berkicau tentang 43 mahasiswa Papua yang ditangkap tanpa alasan, 5 terluka, 1 terkena tembakan gas air mata pada 19 Agustus 2019.

“Postingan Veronika Koman sama sekali tidak mengandung unsur provokatif, berita bohong, apalagi ujaran kebencian seperti yang dituduhkan polisi,” tegasnya.

Bahkan. kata Tigor, informasi yang disampaikan Veronica merupakan informasi sesuai fakta yang terjadi. Di mana Veronica mendapatkan informasi dari kliennya yang merupakan aktivis mahasiswa Papua di Surabaya.

“Seluruh informasi yang disampaikan melalui postingan veronica berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari mahasiswa Asrama Papua Surabaya yang mengalami kejadian kericuhan langsung di lapangan. Artinya, informasi yang diposting Veronica adalah valid dan terverifikasi,” jelasnya.

Aduan ini diterima langsung oleh wakil Ketua Komnas HAM Bidang Internal Hairansyah, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Mohammad Choirul Anam.

 

Sumber: www.aksi.co

Urun Rembug Desa Menuju Desa Damai

JAKARTA – Uni Eropa bekerja sama dengan Search for Common, IDEA dan Forum CSO, dan didukung oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia menggelar acara Urun Rembug Desa, dengan mengusung tema ‘Menuju Desa yang Damai, Inklusif dan Partisipatif’ Selasa (27/8/2019).

Urun Rembug Desa adalah pertemuan untuk berbagai praktik-praktik yang baik dari Program Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Sensitif Gender yang dilaksanakan di Kabupaten Tabanan (Bali) dan Kabupaten Bogor (Jawa Barat). Tampak hadir dalam giat tersebut perwakilan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan penyelenggara komunitas dari berbagai daerah di Indonesia guna berbagi pengalaman dalam mengadvokasi pembangunan desa yang inklusif.

Selama beberapa tahun ini, Uni Eropa dan Indonesia telah dengan sukses bekerja sama untuk mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif, mendukung masyarakat sipil, memajukan sistem pemerintahan yang baik, perlindungan lingkungan hidup, penanganan dampak perubahan iklim, mendorong pendidikan dasar, dan pencegahan penyakit. Salah satu elemen penting dalam kerja sama bilateral ini adalah kerjasama dengan masyarakat sipil dalam pemajuan hak asasi manusia, demokrasi, kesetaraan gender, pembangunan ekonomi, dan isu-isu pembangunan lainnya.

Salah satu inisiatif yang dilakukan oleh Uni Eropa adalah program Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Sensitif Gender, yang merupakan sebuah program yang mendukung pembangunan yang inklusif di Indonesia dan pelaksanaan Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa.

Charles-Michel Geurts, Kuasa Usaha Delegasi Uni Eropa di Indonesia dalam kesempatan tersebut menekankan pentingnya kerjasama pemerintah dan masyarakat sipil untuk memastikan bahwa dana Desa dapat menjangkau seluruh penduduk di desa. Menurutnya, Dana Desa harus diutamakan untuk memberikan pelayanan maksimal dan memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang ditinggalkan, yang juga merupakan janji utama dari Agenda 2030 Pembangunan Berkelanjutan.

Melalui kerjasama dengan Search for Common Ground, Forum CSO dan IDEA, program Uni Eropa, telah menciptakan 54 Penyelenggara Komunitas (COs) dari 18 desa di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Tabanan. Forum CSO terdiri dari 9 lembaga swadaya masyarakat yang telah melaksanakan program ini dan mendorong masyarakat untuk terlibat secara konstruktif dalam proses penganggaran yang responsif gender. “Dari aspek hukum dan formal, partisipasi adalah bagian dari proses pembangunan suatu negara, walaupun pelaksanaannya masih jauh dari harapan,” ujarnya.

Charles-Michel Geurts menambahkan, partisipasi masyarakat menjadi sangat penting untuk menjamin bahwa pembangunan dapat mencapai hasil yang setara dan berkelanjutan, dan berkontribusi pada perubahan sosial dan memberdayakan masyarakat. “Melalui dukungan dari Uni Eropa terhadap beberapa lembaga masyarakat sipil di Bogor dan Bali, tingkat partisipasi masyarakat terus membaik dalam perencanaan dan pembangunan di tingkat desa,” Jelasnya.

Sementara itu, Syamsul Alam Agus, Sekretaris Yayasan Satu Keadilan mengatakan, keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa dapat mengurangi praktik-praktik diskriminasi yang dipercaya sebagai hal yang penting dalam pembentukan karakter desa dan masyarakat yang inklusif. Program kerjasama yang telah berlangsung selama 3 tahun ini juga telah menjangkau masyarakat Indonesia yang ada di 300 desa, melalui diseminasi informasi tentang hasil audit sosial dan hak-hak masyarakat baik melalui program radio, papan-papan pengumuman desa dan media komunikasi lainnya.

“Dana Desa telah membuka ruang bagi banyak desa untuk merespon dan mencegah terjadinya konflik di tingkat desa, termasuk konflik yang disebabkan oleh ketidak transparan pemerintah dan ketidakadilan sosial,” jelasnya.

Masih kata Syamsul Alam, tujuan dari program Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Sensitif Gender dan didukung oleh Uni Eropa adalah untuk membentuk desa yang damai, inklusif dan partisipatif. Sehingga program tersebut sangat relevan dalam mendukung pelaksanaan UU Desa dan Dana Desa.

Sementara itu, Direktur Penanganan Daerah Pasca Konflik Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Hasrul Edyar mengungkapkan, beberapa emuan-temuan penting dari pelaksanaan program ini telah disebarluaskan melalui radio yang mendiskusikan tentang hal-hal seperti Pelaksanaan Dana Desa untuk Pencegahan Konflik Kepemimpinan Perempuan dalam Pembangunan Desa. “Termasuk praktik-praktik baik dari berbagai desa dan transparansi anggaran sebagai upaya untuk mencegah konflik kekerasan.” Jelasnya.

Urun Rembug Desa juga melaksanakan pertunjukan-pertunjukan dan pameran yang diselenggarakan oleh Forum CSO dan Campaign ID. Bentuk dukungan penuh Campaign terhadap pemberdayaan desa tidak hanya dilakukan melalui kerja sama dalam mewujudkan Urun Rembug Desa. Sebagai langkah nyata lainnya, Campaign juga memfasilitasi masyarakat untuk memberikan dukungan melalui aplikasi Campaign. Dalam aplikasi tersebut, tersedia sembilan tantangan dalam beragam isu, seperti lingkungan, pemberdayaan perempuan, kesehatan, ekonomi, dan komunikasi. Jumlah aksi masyarakat di tantangan tersebut kemudian akan ditukar menjadi dana untuk pembangunan dan pemberdayaan desa binaan setiap CSO. (*FHR/Andi*).

 

Sumber: publikbogor.com

Kakek 60 Tahun Ini Menggugat Presiden Jokowi Sebesar Rp 1 Triliun

BOGOR– Seorang kakek bernama Ramli mengajukan gugatan perdata dengan tuntutan ganti rugi sebesar Rp 1 triliun terhadap Presiden Joko Widodo, Panglima TNI, Pangdam Siliwangi, Danrem 061 Suryakencana Bogor dan BPN Kota Bogor. Para tergugat selaku penguasa dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Tuntutan hukum kakek 60 tahun ini terkait tindakan pengosongan secara paksa rumah di Jalan Kolonel Enjo Martadisastra No 33 RT 06 RW 05, Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, pada 28 Juli 2018 lalu.  Gugatan sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri (PN) Bogor dengan nomor 77/pdt.g/2019/pn.bgr, tanggal 15 Mei 2019.

 Menurut Kuasa Hukum Ramli dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan Bogor Raya (KBR), Sugeng Teguh Santoso, dasar gugatan terhadap Presiden Jokowi Cs tersebut adalah tindakan pengosongan rumah yang dilakukan personil Korem 061 Suryakencana tanpa adanya putusan pengadilan.

Selain itu, Sugeng menambahkan, pihak Korem tidak mampu menunjukan bukti kepemilikan atas tanah yang menjadi dasar untuk dilakukannya pengosongan rumah yang sudah puluhan tahun dihuni warga.

“Kami mengajukan gugatan materiil dan immateriil. Tuntutan ganti rugi materiil sebesar Rp 9 juta dan kerugian immateriil sebesar Rp 1 triliun,” kata ungkap pembela umum LBH KBR di PN Kota Bogor, Rabu 15/5.

Kepala Penerangan Korem 061/Suryakencana (Kapenrem 061/SK) Mayor Inf. Ermansyah ketika dikonfirmasi wartawan menilai sah-sah saja ketika ada warga negara mengajukan gugatan hukum, termasuk terhadap intitusinya. Sebab, kata dia,Indonesia adalah negara hukum.

“Jadi silahkan saja melakukan gugatan hukum. Yang jelas Korem 061/SK menjalankan langkah-langkah dalam pengosongan untuk mengamankan dan menertibkan aset milik negara, yang diperuntukan untuk TNI Angkatan Darat,” jelas Ermansyah saat ditemui di kantornya, kemarin.

Kapenrem 061 Suryakencana menjelaskan, bahwa aturan TNI AD dalam menempati rumah dinas AD di seluruh Indonesia hanya boleh ditempati oleh anggota aktif dan orang tuanya. Sedangkan untuk anak atau ahli warisnya, tidak bisa menempatinya, sehingga harus menyerahkan kembali rumah dinas tersebut kepada negara.

Ermansyah pun menegaskan dalam hal ini,  Korem 061/SK, Kodim, Koramil, serta Kodam Siliwangi, hanya mengamankan aset negara. “Dalam pembuktian kepemilikan tersebut, TNI AD jelas memiliki bukti dari kepemilikan aset negara tersebut,” pungkasnya.


Sumber: politikabogor.com

Warga Bogor Gugat Presiden Jokowi Rp 1 Triliun

Para penggugat bersama Kuasa Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan Bogor Raya (KBR), Sugeng Teguh Santoso. (FOTO : Harian Sederhana)

Harian Sederhana, Bogor – Seorang kakek bernama Ramli mengajukan gugatan perdata dengan tuntutan ganti rugi sebesar Rp 1 triliun terhadap Presiden Joko Widodo, Panglima TNI, Pangdam Siliwangi, Danrem 061 Suryakencana Bogor dan BPN Kota Bogor.

Para tergugat selaku penguasa dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum. Tuntutan hukum kakek 60 tahun ini terkait tindakan pengosongan secara paksa rumah di Jalan Kolonel Enjo Martadisastra No 33 RT 06 RW 05, Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, pada 28 Juli 2018 lalu. Gugatan sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri (PN) Bogor dengan nomor 77/pdt.g/2019/pn.bgr, tanggal 15 Mei 2019.

Menurut Kuasa Hukum Ramli dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan Bogor Raya (KBR), Sugeng Teguh Santoso, dasar gugatan terhadap Presiden Jokowi Cs tersebut adalah tindakan pengosongan rumah yang dilakukan personil Korem 061 Suryakencana tanpa adanya putusan pengadilan.

Selain itu, Sugeng menambahkan, pihak Korem tidak mampu menunjukan bukti kepemilikan atas tanah yang menjadi dasar untuk dilakukannya pengosongan rumah yang sudah puluhan tahun dihuni warga di Komplek Teplan, Kedung Badak tersebut.

“Untuk itu kami mengajukan gugatan materiil dan immateriil. Dimana tuntutan ganti rugi materiil sebesar Rp 9 juta dan kerugian immateriil sebesar Rp 1 triliun,” kata ungkap pembela umum LBH KBR di PN Kota Bogor, Rabu (15/5/2019).

Adapun besarnya nilai gugatan tersebut, Sugeng menyebut sebagai simbol rasa kecewa yang berat dan mendalam terkait perlakuan merendahkan kemanusiaan oleh TNI dan Pemerintah, yang alih-alih menghormati jasa-jasa orang tuanya. Padahal, lanjutnya, malah merampas hak-hak atas hidup dengan representasi perlakuan kekerasan aparat Korem Suryakencana saat pengosongan rumah Ramli, yang sudah ditempatinya selama lebih dari 51 tahun.

Sugeng juga menceritakan, status tanah yang ditempati Ramli adalah tanah negara bekas Eigendom Verponding Nomor 76, yang berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 (UUPA) berhak digarap terus menerus oleh warga. Hal tersebut berasaskan prinsip keutamaan dalam UUPA berhak mendapatkan hak atas tanah.

“Warga menempati tanah dan membayar pajak, untuk itu TNI tidak memiliki hak atas tanah tersebut,” tegas Sugeng.

Kuasa hukum dari LBH KBR mengatakan alasan kenapa ada lima pihak yang mereka gugat, yaitu Presiden Joko Widodo sebagai tergugat satu, Panglima TNI sebagai tergugat dua, Pangdam Siliwangi sebagai tergugat tiga, Danrem Suryakencana sebagai tergugat empat dan BPN Kota Bogor sebagai turut tergugat.

“Karena oara Tergugat selama ini mengabaikan hak-hak atas hidup warga, yang mengakibatkan warga dipaksa meninggalkan tempat tinggalnya. Terlebih hal tersebut dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan,” tegas advokat senior ini.

 

Sumber: hariansederhana.com

firman penelit remotivi - hari toleransi internasional - Yayasan Satu Keadilan

Literasi Digital untuk Cegah HOAX

BOGOR-KITA.com – Peningkatan pendidikan literasi masyarakat Indonesia adalah salah satu cara mengurangi penyebaran berita hoax. 60 persen masyarakat Indonesia mengakses informasi dari media sosial, di mana kebenaran dari informasi yang mereka sebar belum bisa dipastikan.

Hal itu dikemukakan peneliti dari Remotivi Firman selepas kegiatan Diskusi Publik bertema Pemuda, Media dan Toleransi di Joglo Keadilan, Bogor, Sabtu (17/11/2018).<//p>

Apa yang dikatakan Firman, dikuatkan oleh sumber dari Kemkonminfo yang menyebut 59 persen pengguna smartphone tidak membaca informasi yang dishare secara utuh. Atau istilahnya hanya copas atau copy paste saja.

Namun kata Firman, persoalan penyebaran berita bohong tidak hanya menjadi masalah di Indonesia semata. “Itu sudah kejadian di Brazil, berita hoaks tentang politik tidak hanya terjadi di Indonesia saja”, katanya.

Zaman sekarang ini masyarakat sudah menjadi jurnalis untuk dirinya sendiri. Jadi informasi sudah tidak menjadi hegemoni wartawan saja.

Firman menambahkan dulu jurnalis punya kebanggaan sebagai penjaga pintu gerbang (gatekeeper) informasi. Mereka menentukan informasi yang dibaca orang, namun sekarang jurnalis menjadi gatekeeper di zaman yang tidak ada dindingnya.

Lebih lanjut, ditanya tentang faktor orang menyebarkan hoax, Firman mengatakan ada beberapa faktor seperti power, keuntungan , dan karena hanya iseng.

“Penyebar hoax penculikan anak dan kecelakaan pesawat Lion Air saat diwawancarai mayoritas , mereka bilang iseng,” pungkasnya.

Sumber: bogor-kita.com
Penulis: Hari

© Copyright - Yayasan Satu Keadilan