Dikosongkan Paksa, Warga Teplan Mengadu ke LBH Keadilan Bogor Raya

,
pengaduan teplan_YSK.1_080818_censored - Yayasan Satu Keadilan

Warga Teplan saat mengadu ke LBH Keadilan Bogor Raya.

BOGOR-RADAR BOGOR, Sekitar 35 warga yang terdiri 28 KK di JL. Kol. Enjo Martadisastra, Kelurahan Kedung Badak, Tanah Sereal, atau yang dikenal dengan komplek Asrama Teplan, mengadukan masalah pengosongan pemukiman dan dugaan penganiayaan yang dialami warga pada 26 Juli 2018 lalu. Mereka adalah warga yang sudah tergusur dari rumahnya dan yang berpotensi digusur kemudian.

Andreas Gorisa Sembiring, Kordinator FORJAGA yang mendampingi warga pengadu menyatakan bahwa warga yang datang adalah mereka yang sudah dikosongkan dari rumahnya dan tidak mendapatkan penggantian yang layak.

Bahkan, ada beberapa warga mendapatkan tindakan penganiayaan dari petugas kodim/korem yang melakukan pengosongan rumah termasuk saudaraAndreas Gori Sembiring. Ia mengalami luka pada mulutnya bagian dalam dan perlu dijahit.

Warga pengadu menyatakan bahwa mereka menempati rumah tersebut sejak 1967 dan 1984. Mereka menempati rumah tersebut sebagai keluarga TNI AD.

“Masyarakat Pengadu ini terdiri dari janda TNI dan anak-anak dari orang tua TNI . Warga umumnya memiliki dan membayar pajak bumi dan bangunan atas nama warga sendiri, baik atas nama anggota TNI yang pensiun, meninggal maupun atas nama penghuni yang keturunanny,” ujar Andreas Gorisa Sembiring dalam rilis LBH Keadilan Bogor Raya yang diterima redaksi.

Sementara itu, ada 8 rumah warga yang telah dikosongkan tidak mendapatkan penggantian layak. Ada warga yang juga mendapatkan uang sewa Rp9 juta untuk penghuni yang terdiri dari beberapa keluarga. Warga berharap LBH Keadilan Bogor Raya dapat memperjuangkan hak hak mereka atas pemukiman yang layak.

Berdasarkan hal-hal yang disampaikan oleh warga tersebut, LBH Keadilan Bogor Raya menyatakan bahwa warga yang memiliki dan membayar pajak bumi dan bangunan atas runah yang ditempatinya, adalah warga yangberhak atas tanah dan bangunan yang mereka tempati berdasarkan prinsip UU No. 5 Tahun 1960 tentang Agraria, serta berdasarkan pasal 1977 KUH Perdata menurut prinsil Beziter recht.

Pengosongan paksa dengan kekerasan tanpa memberikan penggantian yang layak kepada warga pemilik yang dilakukan oleh Korem dan Kodim adalah perbuatan melawan hukum.

Berdasarkan prinsip-prinsip hukum tersebut, maka LBH Keadilan Bogor Raya memandang bahwa warga memiliki hak untuk mendapatkan pembelaan hukum atas hak-hak mereka.

Karenanya LBH Keadilan bogor raya meminta Danrem/Dandim, memulihkan hak-hak warga yang dirumahnya dikosongkan dengan mengembalikan warga kerumahnya.

Menghentikan rencana pengosongan rumah-rumah warga lainnya sampai dengan adanya pembicaraan dan penyelesaian yang adil antara warga dengan pihak Korem dan Kodim.

Meminta perhatian Presiden Joko Widodo sebagai warga Kota Bogor untuk turun tangan membantu para pensiunan TNI, janda TNI dan keluarga TNI agar mendapatkan hak-hak yang layak atas pemukiman.

“Serta meminta Walikota Bogor memperhatikan nasib warganya jangan hanya diam termasuk DPRD Kota Bogor untuk meperjuangkan aspirasi warga atas hak pemukiman,” ujar Kordinator tim Pembela LBH Keadilan Bogor Raya, Sugeng Teguh Santoso SH. (*/ysp)

Sumber berita: radarbogor.id

Rumahnya Di Kawasan Teplan Diminta Dikosongkan, Puluhan Warga Ngadu ke LBH Keadilan Bogor Raya

,

Rabu, 8 Agustus 2018 15:12

pengaduan teplan_YSK.1_080818_censored - Yayasan Satu Keadilan

Sejumlah warga sedang mengadukan keluhannya kepada LBH Keadilan Bogor Raya terkait pengosongan rumah dinas TNI AD di kawasan Teplan, Kota Bogor

Laporan Wartawan TribunnewsBogor.com, Lingga Arvian Nugroho

TRIBUNNEWSBOGOR.COM, BOGOR – Sejumlah warga mengeluhkan pengosongan rumah dinas TNI AD yang berada dikawasan Teplan Kota Bogor beberapa waktu lalu.

Warga yang tidak terima untuk mengosongkan rumah dinas tersebut pun mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bogor Raya.

Ada sekitar 35 orang warga yang sebelumnya menghuni rumah dinas yang berlokasi di jalan Kolonel Enjo Martadisastra Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor.

Andreas Gorisa Sembiring, kordinator FORJAGA yang mendampingi warga pengadu mengatakan bahwa warga yang datang adalah warga yang sudah dikosongkan dari rumahnya dan belum mendapatkan penggantian yang layak.

Bukan hanya itu, kata Andrean pihaknya juga mengadukan dugaan adanya penganiayaan saat penertiban yang diduga dilakukan oleh petugas.

“Saya juga mengalami luka pada mulut bagian dalam dan perlu dijahit,” katanya Rabu (8/8/2018).

Menurut Andreas warga pengadu menyatakan bahwa mereka menempati rumah tersebut sejak tahun 1967 dan 1984.

Mereka menempati rumah dinas tersebut sebagai keluarga TNI AD.

“Masyarakat Pengadu terdiri dari janda TNI, anak-anak dari orang tua TNI, warga umumnya memiliki dan membayar Pajak Bumi dan Bangunan atas nama warga sendiri, baik atas nama anggota TNI yang pensiun, meninggal maupun atas nama penghuni yang merupakan keturunannya,” katanya.

Menurutnya, warga yang memiliki dan membayar pajak bumi dan bangunan atas rumah yang ditempatinya adalah warga yang berhak atas tanah dan bangunan yang mereka tempati berdasarkan prinsip UU No. 5 Tahun 1960 tentang Agraria serta berdasarkan pasal 1977 KUH Perdata menurut prinsil Beziter recht.

Selain itu, kata dia, pengosongan paksa tanpa memberikan penggantian yang layak kepada warga merupakan perbuatan melawan hukum.

Sementara Kordinator tim Pembela Sugeng Teguh Santoso SH mengatakan bahwa berdasarkan prinsip hukum tersebut maka LBH Keadilan Bogor Raya memandang bahwa warga memiliki hak untuk mendapatkan pembelaan hukum atas hak2 mereka.

“Iya karenanya LBH Keadilan bogor raya meminta Danrem dan Dandim untuk memulihkan hak warga yang rumahnya dikosongkan dengan mengembalikan warga kerumahnya kembali, menghentikan rencana pengosongan rumah warga lainnya sampai dengan adanya pembicaraan dan penyelesaian yang adil antara warga dengan pihak korem dan Kodim,” katanya.

Selain itu Ia pun meminta Wali Kota Bogor memperhatikan nasib warganya.

“Iya jangan hanya diam, termasuk DPRD Kota Bogor untuk meperjuangkan aspirasi warga atas hak pemukiman,” tegasnya.

sumber berita: bogor.tribunnews.com

LBH Keadilan Bogor Raya Kena Curhat 35 Warga Bogor Teplan, Ini Isinya

,

Rabu, 8 Agustus 2018 pukul 14.13 – Maryam

pengaduan teplan_YSK.1_080818_censored - Yayasan Satu Keadilan

LBH Keadilan Bogor Raya saat menerima keluharan warga Bogora Teplan./Foto: IStiewa

POJOKBOGOR.com– Sejumlah 35 warga Bogor Teplan yang dikosongkan paksa Korem dan Kodim Bogor mengadu pada LBH keadilan Bogor Raya.

Kordinator tim Pembela LBH Keadilan Bogor Raya Sugeng Teguh Santoso menuturkan 35 warga tersebut terdiri dari 28 KK dan tinggal di Jalan Kol. Enjo Martadisastra, Kelurahan Kedung Badak, kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor.

“Lokasi ini dikenal sebagai komplek atau asrama Teplan mengadukan masalah pengosongan pemukimam dan penganiayaan yang dialami warga,” katanya kepada awak media, Rabu (8/82018).

Penganiayaan tersebut, katany, dilalukan Korem dan kodim Bogor pada Kamis (26/8/2018) lalu.

“Warga pengadu adalah warga yang sudah tergusur dari rumahnya dan warga berpotensi digusur kemudian,” lanjutnya.

Sugeng mengatakan Kordinator FORJAGA Andreas Gorisa Sembiring yang mendampingi warga pengadu menyatakan, warga yang datang adalah warga yang sudah dikosongkan dari rumahnya.

“Mereka belum dan tidak mendapatkan penggantian yang layak,” paparnya.

Bahkan, katanya, beberapa warga mendapatkan tindakan penganiayaan dari petugas kodim atau korem yang mengosongkan.

“Termasuk sdr Andreas Gori Sembiring yang luka pada mulutnya bagian dalam dan perlu dijahit,” katanya.

Warga pengadu menyatakan, lanjut Sugeng, mereka menempati rumah tersebut ada yang sejak tahun 1967 dan 1984, bervariasi.

“Mereka menempati rumah tersebut sebagai keluarga TNI AD. Masyarakat pengadu terdiri dari janda TNI, anak-anak dari orang tua TNI,” akunya.

Warga, jelas Sugeng, umumnya memiliki dan membayar Pajak Bumi dan Bangunan atas nama warga sendiri (baik atas nama anggota TNI yang masih pensiun, meninggal maupun atas nama penghuni yang masih keturunannya.

“Delapan rumah warga telah dikosongkan dengan tidak mendapatkan penggantian yang layak dan bahkan ada yang barang-barang yang dikosongkan ditaruh begitu saja di depan rumah yang dikosongkan,” terangnya.

Menurutnya, ada warga yang juga mendapatkan pemberian uang sewa sembilan juta untuk penghuni yang terdiri dari beberapa keluarga.

“Warga berharap LBH KBR dapat memperjuangkan hak-hak mereka atas pemukiman yang layak,” pungkasnya.

Berdasarkan hal-hal yang disampaikan warga tersebut dengan ini pihak LBH Keadilan Bogor menyampaikan hal-hal berikut:

  1. Warga yang memiliki dan membayar pajak bumi dan bangunan atas rumah yang ditempatinya adalah warga yang berhak atas tanah dan bangunan yang mereka tempati berdasarkan prinsip UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria serta berdasarkan pasal 1977 KUH Perdata menurut prinsil Beziter recht
  2. Pengosongan paksa dengan kekerasan tanpa memberikan penggantian yang layak kepada warga pemilik yang dilakukan oleh Korem dan Kodim adalah perbuatan melawan hukum.

Sugeng menyampaikan, berdasarkan prinsip-prinsip hukum tersebut di atas, maka LBH Keadilan Bogor Raya memandang bahwa warga memiliki hak untuk mendapatkan pembelaan hukum atas hak-hak mereka.

LBH Keadilan bogor raya meminta Danrem/Dandim:

  1. Memulihkan hak-hal warga yang rumahnya dikosongkan dengan mengembalikan warga ke rumahnya kembali
  2. Menghentikan rencana pengosongan rumah-rumah warga lainnya sampai dengan adanya pembicaraan dan penyelesaian yang adil antara warga dengan pihak korem dan Kodim.
  3. Meminta perhatian Presiden Joko Widodo sebagai warga Kota Bogor untuk turun tangan membantu hak-hak para pensiunan TNI, janda TNI dan keluarga TNI agar mendapatkan hak-hak yang layak atas pemukiman serta meminta Wali Kota Bogor memperhatikan nasib warganya, jangan hanya diam, termasuk pada DPRD kota Bogor untuk meperjuangkan aspirasi warga atas hak pemukiman.

(*/mar/pojokbogor)

sumber berita: bogor.pojoksatu.id

Baru Disahkan, UU Pengampunan Pajak Digugat ke MK

Ki-Ka: Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Muhammad Yusuf, Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti dan Jaksa Agung M. Prasetyo menandatangani surat dukungan pengampunan pajak pada acara program pengampunan pajak di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, 1 Juli 2016. TEMPO/Aditia Noviansyah

TEMPO.CO, Jakarta -Yayasan Satu Keadilan (YSK) bersama Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) berencana menggugat Undang Undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty. YSK akan mengajukan judicial riview atau uji materi undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi. ”Permohonan judicial review didaftarkan pada 11 Juli 2016,” ujar Ketua YSK, Sugeng Teguh Santoso, Selasa, 5 Juli 2016.

Sugeng menilai, landasan hukum undang-undang yang baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa, 28 Juni lalu itu dilandaskan pada dasar hukum yang tidak adil. Soalnya, para wajib pajak yang belum melaporkan pajaknya diberikan pengampunan, tidak dipidana, dan tidak dikenai denda melalui beleid tersebut. ”Bahkan, mereka diberi keringanan menebus kesalahan dengan tarif rendah,” ujar dia.

Setelah disahkan DPR, Presiden Joko Widodo langsung meneken UU Pengampunan Pajak pada Jumat, 1 Juli 2016. Menurut Presiden, hal terpenting setelah pengesahan undang-undang itu adalah kesiapan instrumen untuk menampung uang yang masuk. ”Semua harus siap,” ujar Presiden Joko Widodo saat blusukan ke Pandeglang, Banten. Presiden mengklaim, instrumen investasi untuk mereka yang mengikuti program pengampunan pajak sudah siap, di antaranya reksadana, infrastructure bond, surat berharga negara, dan obligasi BUMN.

Dalam kesempatan terpisah, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memaparkan beberapa keuntungan bagi wajib pajak yang mengikuti program pengampunan pajak. Keuntungan utama yang diperoleh wajib pajak peserta tax amnesty adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang.

Menteri Bambang menjelaskan, pajak terutang akan dihapuskan bilamana wajib pajak mengakui harta yang selama ini belum dilaporkan dan membayar uang tebus. Wajib pajak juga tidak dikenai sanksi administrasi dan sanksi pidana perpajakan. ”Namun, undang-undang ini sama sekali tidak mengampuni pidana lainnya,” kata Bambang dalam keterangan persnya, Sabtu, 2 Juli 2016.

Sugeng mengatakan, pengesahan Undang-Undang Pengampunan Pajak bertentangan dengan UUD 1945. “Setidaknya, ada empat hal yang dikangkangi dari undang-undang tersebut,” ucap dia. Keempat hal itu antara lain Pasal 1 angka (1) dan pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Pengampunan Pajak. Kedua pasal tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 23 huruf (A) konstitusi. Dia menilai, aturan itu bertentangan sepanjang dimaknai penghapusan pajak yang seharusnya terutang tidak dikenai sanksi administrasi dan pidana perpajakan, dengan membayar uang tebusan.

Selain itu, frase uang tebusan dalam Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Pengampunan Pajak. Ia menilai pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai uang tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan pengampunan pajak.

Menurut Sugeng, Undang-Undang Pengampunan Pajak akan menjadi preseden buruk bagi wajib pajak yang patuh membayar pajak untuk mengemplang pajak. ”Asumsi mereka, toh, akhirnya akan ada UU Tax Amnesty,” kata Sugeng.

VINDRY FLORENTIN | ISTMAN MP | ANGELINA ANJAR SAWITRI

Sumber: nasional.tempo.co

Pengusiran Paksa Eks Gafatar Dinilai Pelanggaran HAM Nyata

JAKARTA, WB – Lebih dari 5.000 jiwa anggota eks Gafatar nasibnya terlunta-lunta. Pemerintah hanya memberikan janji-janji kosong. Sementara harta benda warga eks Gafatar sudah habis dihancurkan oleh pengusiran sistematis dari Pulau Kalimantan yang melibatkan aparat negara. Kini mereka pun mengalami kesulitan dalam membangun kembali masa depannya. Selain karena diskriminasi yang tidak putus dari aparat pemerintahan, masyarakat juga terus menstigma dan tidak menerima keberadaan warga eks Gafatar.

Demikian disampaikan salah satu mantan pengurus Gafatar Jefry (35) ketika mengadukan diskriminasi yang terus dialami anggota-anggota eks Gafatar di Komnas HAM, Kamis (2/6), bersama Tim Kuasa Hukum.

“Apa yang kami kerjakan di Mempawah, Singkawang, Ella dan Bengkayang hanya bertani dan beternak. Menjadikan Kalimantan sebagai lumbung ketahanan pangan Indonesia. Itu cara kami mengabdi pada ibu pertiwi. Tapi kami malah diusir paksa dan diperlakukan seperti teroris,” ungkap Jefry di depan Ketua Komnas HAM M. Imdadun Rahmat.

Ia juga sangat menyesalkan tidak hadirnya negara paska pengusiran paksa. Bahkan janji Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa yang akan memberikan jaminan hidup perhari perjiwa sebesar 10.000 tidak kunjung terealisasi.

“Negara tidak peduli nasib kami yang sekarang tidak bisa beraktivitas normal seperti masyarakat lainnya dalam memenuhi hidup. Sebab, kami terus dicurigai masyarakat. Ketika di antara kami dikembalikan ke kampung halaman masing-masing, aparat pemerintah mengumumkan kepada masyarakat sambil melekatkan stigma kepada kami, layaknya teroris yang harus dijauhi. Kami juga dipaksa beribadah sesuai dengan agama yang resmi,” protes Jefry yang pernah menjabat sebagai Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Jawa Barat Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara (NKTN) yang lebih sering disebut sebagai eks Gafatar.

Asfinawati selaku Tim Kuasa Hukum tiga mantan elit Gafatar (Ahmad Mushadeq, Mahful Muis Tumanurung, dan Andri Cahya) yang ditahan di Mabes Polri meminta Komnas HAM untuk mendesak kepolisian segera membebaskan mereka.

“Penahanan terhadap ketiganya tidak sah karena tidak ada alasan hukum yang membenarkan penangkapan ini. Pemidanaan terhadap ketiganya oleh kepolisian melanggar hukum karena tidak mempedulikan proses yang tersurat dalam UU No. 1/PNPS/1965 dan SKB dari UU tersebut,” tegas Asfin.

Selain kepolisian menabrak dua instrumen di atas, lanjut Asfin, kepolisian juga melanggar fair trial atau peradilan yang jujur dan adil. Mantan Direktur LBH Jakarta periode 2006-2009 ini menegaskan, “Kepolisian tidak merujuk pada Putusan MK yang mengharuskan penahanan terhadap tersangka dengan minimal dua alat bukti yang cukup yang dijelaskan oleh penyidik kepada tersangka dan kuasa hukumnya. Kepolisian juga lalai karena satu hari setelah ketiga eks Gafatar ditangkap, mereka tidak diperiksa.”

Berangkat dari pengaduan itulah Imdadun Rahmat akan mengagendakan perumusan tindakan yang akan diambil Komnas HAM. Pengaduan ini juga akan diperkuat hasil pemantauan yang telah dilakukan Komnas HAM.

“Telah terjadi bentuk-bentuk pelanggaran HAM dalam kasus pengusiran warga eks Gafatar,” tegasnya memberi kesimpulan. []

Nana Sumarna

Sumber: wartabuana.com

LBH KBR - Yayasan Satu Keadilan

Abai Terhadap Hak Rakyat, Bupati Bogor Harus Mundur

[bogor-engingengnews] Menyikapi adanya desakan warga perumahan umum villa nusa indah Kabupaten Bogor untuk pindah administrasi kewilayah Bekasi, hal ini sangat disayangkan oleh Direktur Eksekutif LBH Keadilan Bogor Raya Fatiatulo Lazira, SH.

Kepada engingengnews.com, Direktur LBH KBR, Fati menegaskan, Keinginan warga Perum Villa Nusa Indah untuk pindah administrasi ke wilayah Bekasi merupakan bentuk protes atas buruknya kinerja Pemkab Bogor yang selama ini abai terhadap penderitaan warganya. Praktik ketidakadilan sosial yang dialami oleh warga yang secara geografis terletak di perbatasan dengan daerah lain ini, harus segera dihentikan dan dicari solusi terbaik.

“Ironi, dengan motto sebagai Kabupaten Termaju di Indonesia, tapi ada sebagian warganya ingin pindah administrasi kekota lain,” kata Fati, selasa (24/5/2016).

Advokat muda ini kembali menegaskan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat, tidak boleh pasif dan hanya menyaksikan protes warga tersebut. Wakil rakyat harus aspiratif, kinerja Bupati Bogor perlu dievaluasi
Kewenangan DPRD untuk mengevaluasi, secara atributif diberikan oleh UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana DPRD memiliki hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, bahkan termasuk memakzulkan Bupati sekalipun.

“Bupati Nurhayanti, terkesan putus asa memimpin Kabupaten Bogor, Pilihannya hanya dua, mengundurkan diri atau dimakjulkan oleh DPRD,” tegas fati.

LBH KBR menilai, pertama, selama dua tahun berturut-turut, angka SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) Kabupaten Bogor yang begitu besar mencapai 1,1 Triliun, menjadi penyebab tidak berjalannya pembangunan, khususnya pembangunan fisik. Kedua, perlunya evaluasi rutin terhadap kinerja program-program SKPD.

Oleh karena itu, LBH KBR mendorong agar Bupati Bogor segera mengakomodir keluhan warga Perum Villa Nusa Indah demikian juga dengan daerah-daerah lainnya. Momentum protes yang sudah disorot secara nasional ini harus digunakan sebagai bentuk evaluasi secara menyeluruh.

“DPRD perlu bersinergi dengan Bupati, dan bila perlu menggunakan kewenangannya apabila kinerja Bupati Bogor dinilai buruk;” pungkasnya.(boy/001)

Sumber: engingengnews.com

Nama Walikota Bogor, Tersebut Dalam Dakwaan Jaksa Di Kasus Angkahong

[bogor-engingengnews] Dalam Surat Dakwaan No.REG.PERK. : PDS-03/BOGOR/03/2016, nama Walikota Bogor DR. BIMA ARYA SUGIARTO dan beberapa Pejabat Teras Pemkot lainnya juga ikut tersebut beberapa kali dalam surat dakwaan dengan tulisan serta.

(Baca http://engingengnews.com/eng-ing-eng-nama-pejabat-teras-kota-bogor-disebut-dalam-dakwaan-kejaksaan/ )

Salah satunya adalah dihalaman 35 point satu menyebutkan bahwa, hasil pekerjaan para terdakwa HYP (Ketua tim pengadaan tanah skala kecil), RNA (Appresial) bersama IR (Camat) dan KHA (Pemilik Tanah) serta Walikota Bogor, telah bertentangan dalam ketentuan pasal 34 ayat (3) Undang-undang R.I. Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk kepentingan umum, yang berbunyi : “Nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian penilai sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar musyawarah penetapan ganti kerugian.

Bahkan dihalaman 44 juga tertulis bahwa, perbuatan yang dilakukan terdakwa HYP, RNA, IR dan KHA, serta BAS, tersebut diatas mengakibatkan kerugian Keuangan Negara dalam hal ini Pemerintah Kota bogor seluruhnya sebesar Rp. 28.400.533.057, dengan rincian :

1. harga 6 bidang tanah negara yang turut diperjual belikan berdasarkan surat pernyataan pelepasan hak atas tanahb(SPH).
II. Selisih harga 5 bidang tanah
III. Kemahalan harga tanah pada 17 bidang tanah.
Maka perbuatan tersebut telah memperkaya KHA sebesar Rp. 28.400.533.057,-

Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai mana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2002 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Tidak hanya dihalaman 35 dan halaman 44, dalam surat dakwaan setebal 92 halaman yang ditanda tangani oleh Jaksa Penuntut Umum Nasran Aziz, SH. Jaksa Muda Nip 196101251988031001, nama Walikota Bogor dan beberapa Pejabat lainnya juga ikut tertulis dengan kata tulisan yang sama yakni Serta. (boy/001)

Sumber: engingengnew.com

Tak Cukup Bukti Sebarkan Paham Komunis, Dua Anggota Aman Dibebaskan Polres Ternate

,

[ternate-engingengnews] Dua orang anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yg beberapa waktu lalu heboh dimedia sosial karena memakai kaos bertuliskan Penggemar Kopi Indonesia (PKI) dan akhirnya ditangkap Polres Ternate, Minggu (15/5/2016) sudah kembali dibebaskan.

Pembebasan tersebut atas upaya Yayasan Satu Keadilan (YSK) yang mengutus Sekretaris YSK Syamsul Alam Agus untuk memberikan bantuan Hukum.

Kepada engingengnews.com Ketua YSK Sugeng Teguh Santoso menyatakan, komunisme phobia yg digembar gemborkan oleh kelompok tertentu sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal dan bisa mengalihkan issue radikalisme agama. Terbukti sikap phobia ini telah membuat Polres Ternate menangkap 2 anggota AMAN yg memakai kaos bergambar Penggemar Kopi Indonesia (PKI).

Menyikapi kasus ini, akhirnya Pria yang akrab disapa STS ini, melalui Yayasan yang dipimpinnya mengutus Sekretaris YSK untuk memberi bantuan Hukum ke ternate terhadap 2 anggota AMAN tersebut.

“Bersyukur minggu kemarin 15 mei 2016 kedua orang yg ditangkap tersebut sudah dilepas, karena tidak cukup bukti telah menyebarkan faham komunisme,” ujar STS, Senin (16/5/2016).

Ketua YSK yang sekaligus dipercaya sebagai Sekretaris Jendral Perhimpunan Advokat Indonesia ini kembali mengingatkan, bahwa Komunisme Phobia yang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah bisa memakan korban dan menjadi pemicu Pelanggaean Hak Asasi Manusia.

“Yayasan Satu Keadilan akan selalu berada ditengah masyarakat yang ditindas, menegakkan NKRI dengan Pancasila dan UUD 45,” pungkasnya. (boy/001)

PTUN Bandung Kabulkan Gugatan Warga Antajaya

[bandung-engingengnews] Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung memutuskan perkara atas gugatan Warga Desa Antajaya, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor untuk mengabulkan permohonan Para Penggugat, Selasa (3/4/2016)

Sebelumnya, warga menggugat Surat Keputusan Bupati Bogor Nomor: 541.3/051/Kpts/ESDM/2011 melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, Jawa Barat yang telah dibacakan Putusan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan putusan mengabulkan permohonan Para Penggugat (Warga Antajaya) untuk seluruhnya.

“Putusan ini menegaskan kemenangan warga negara dalam menjaga kelestarian alamnya untuk kelangsungan kehidupan seluruh umat manusia,” ujar Pengecara Warga dari Yayasan Satu Keadilan Gregorius Djako.

Gugatan warga Antajaya terhadap Surat Keputusan Bupati Bogor Nomor: 541.3/051/Kpts/ESDM/2011 tentang Penyesuaian Surat Izin Usaha Pertambangan Daerah (SIPD) Eksploitasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Atas Nama Koperasi Primer Karyawan Perum Perhutani (Primkokar Perhutani), melalui kuasa hukumnya Lembaga Bantuan Hukum keadilan Bogor Raya (LBH-KBR), LBH Bandung dan Walhi Jawa Barat diajukan pada Oktober 2015 melalui PTUN Jawa Barat. Gugatan ini dilayangkan akibat dampak dari Keputusan tersebut berpotensi merusak lingkungan alam karena adanya aktivitas Perusahaan Tambang. Terlebih Gunung Kandaga adalah sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar.

Dalam gugatan dengan dengan No. Perkara: 155/G/2015/PTUN.BDG, ditemukan fakta-fakta dan temuan, sebagai berikut;

Pertama, dari keterangan 3 (tiga) saksi warga yang dihadirkan Para Penggugat yang pada pokoknya menyatakan bahwa terdapat kerugian yang nyata dialami oleh masyarakat sekitar perusahaan tambang; kesulitan air bersih, bising oleh kendaraan alat berat, terdapat pergeseran tanah di rumah salah satu warga hingga retak dan akses jalan menuju pemukiman warga menjadi rusak terlebih jika musim hujan sangat mengganggu akses sosial-ekonomi masyarakat. Selanjutnya karena keberadaan aktivitas perusahaan tambang juga mengakibatkan konflik sosial antar sesama warga masyarakat yang tadinya hidup secara rukun.

Kedua, dari keterangan ahli bahwa Kebijakan Pemerintah Daerah dalam hal ini Keputusan Bupati Bogor harus dibuat sebagaimana prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam perspektif Pemerintahan yang baik. Bahwa keputusan yang dibuat haruslah diketahui oleh publik terutama masyarakat sekitar perusahaan tambang karena aktivitas perusahaan tambang harus melibatkan partisipasi publik yang luas karena akan berdampak pada kelestarian lingkungan.

Ketiga, Majelis Hakim bersama Para Penggugat dan Tergugat serta Tergugat Intervensi (Primkopkar-Perhutani) telah melakukan pemeriksaan setempat untuk menguji fakta di lapangan berkenaan dengan aktivitas perusahaan tambang yang pada pokoknya berpotensi merusak kelestarian dan keasrian serta hilangnya sumber air bagi penghidupan warga.

Dari ketiga hal tersebut Majelis Hakim mempertimbangkan Putusan yang dalam putusannya mengabulkan keseluruhan gugatan dari Warga Antajaya sebagai para penggugat dengan menegaskan bahwa aktivitas perusahaan tambang Primkopkar Perhutani harus dihentikan sampai menunggu adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Berikut Permohonan Gugatan Warga Antajaya yang dikabulkan untuk keseluruhan oleh Majelis Hakim PTUN;

A. Dalam Penundaan
Mengabulkan permohonan PARA PENGGUGAT untuk menangguhkan objek sengketa, berupa Surat Keputusan Bupati Bogor Nomor: 541.3/051/Kpts/ESDM/2011 tentang Penyesuaian Surat Izin Usaha Pertambangan Daerah (SIPD) Eksploitasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Atas Nama Koperasi Primer Karyawan Perum Perhutani (Primkokar Perhutani), tertanggal 21 Januari 2011 sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.

B. Dalam Pokok Perkara

  1. Mengabulkan gugatan PARA PENGGUGAT untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Bupati Bogor Nomor: 541.3/051/Kpts/ESDM/2011 tentang Penyesuaian Surat Izin Usaha Pertambangan Daerah (SIPD) Eksploitasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Atas Nama Koperasi Primer Karyawan Perum Perhutani (Primkokar Perhutani), tertanggal 21 Januari 2011;
  3. Mewajibkan kepada TERGUGAT untuk mencabut Surat Keputusan Bupati Bogor Nomor: 541.3/051/Kpts/ESDM/2011 tentang Penyesuaian Surat Izin Usaha Pertambangan Daerah (SIPD) Eksploitasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Atas Nama Koperasi Primer Karyawan Perum Perhutani (Primkokar Perhutani), tertanggal 21 Januari 2011;
  4. Menghukum TERGUGAT untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini.

“Putusan Hakim PTUN Bandung ini merupakan langkah maju penegakan hukum di Indonesia, khususnya pemulihan hak-hak pengelolaan sumber daya alam oleh warga,” ungkap Greg. (fth/005)

Sumber: engingengnews.com

Izin Tambang, Warga Antajaya Kalahkan Bupati Bogor di PTUN

Wisatawan menikmati pemandangan dari atas bukit di Stone Garden Geopark, Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Padalarang, Bandung, 14 Mei 2015. Taman ini menyajikan panorama bukit dengan hamparan batu yang indah. TEMPO/Frannoto

TEMPO.CO, Bandung – Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, Kota Bandung, mengabulkan gugatan warga Antajaya, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor. Warga menguggat Surat Keputusan Bupati Bogor, terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk PT Gunung Salak Rekhanusa milik Koperasi Primer Karyawan Perusahaan Umum Perhutani.

“Mengabulkan gugatan para penggugat, menyatakan batal keputusan tergugat berupa surat keputusan Bupati Bogor Nomor 541.3/051/Kptsn/ESDM/2011,” ujar hakim ketua Sutiyomo saat membacakan putusan di ruang sidang PTUN Bandung, Selasa, 3 Mei 2016.

Hasil dari putusan tersebut, majelis hakim memerintahkan Bupati Bogor sebagai tergugat untuk mencabut izin penambangan di kawasan Gunung Kandaga itu. Selain itu, majelis hakim memerintahkan perkejaan tambang tersebut dihentikan sementara. “Mewajibkan kepada tergugat untuk mencabut keputusan tergugat,” ujar Sutiyomo.

Saat sidang berlangsung ratusan warga Antajaya yang menolak ekspolitasi Gunung Kandaga tampak hadir memenuhi ruangan sidang. Raut wajah bahagia terpancar dari mereka saat hakim memutuskan mencabut izin tambang tersebut.

Aktivitas tambang batu andesit di wilayah Gunung Kandaga sudah dimulai sejak tahun 2011. Sejak pertambangan tersebut warga Desa Antajaya mengalami sejumlah kerugian. Diantaranya mereka kekurangan air bersih dan menderita akibat polusi yang muncul akibat aktivitas pertambangan.

Salah satu warga Antajaya yang menggugat, Muhammad Amir, mengatakan selain dampak kekuramgan air dan polusi, warga pun pun terancam terkena bencana akibat aktivitas tambang. “Potensi longsor di sana sangat besar. Apabila terus ditambang kami khawatir,” ujar Amir kepada Tempo saat ditemui seusai sidang.

Selain itu, ia pun mengatakan, akibat adanya aktivitas tambang, warga di Desa Antajaya menjadi terbelah. “Konflik antar warga jadi sering terjadi,” ujarnya.

Amir sangat bersyukur atas putusan majelis hakim yang membatalkan izin tambang tersebut. Ia bersama warga lainnya akan mengadakan syukuran atas dimenagkannya gugatan masyarakat.

Kuasa hukum pihak tergugat, Oktaviansyah, terkait putusan tersebut mengatakan pihaknya belum memutuskan untuk mengajukan banding atau tidak. “Nanti kami bicarakan dulu dengan atasan,” ujarnya kepada Tempo.

IQBAL T. LAZUARDI S.

Sumber: nasional.tempo.co