YSK: Mendesak Penyelesaian Insiden Tolikara Secara Menyeluruh dan Bermartabat

Pada 29 Juli 2015, pihak Muslim dan Kristen di Tolikara telah menyepakati tujuh butir kesepakatan bersama guna memulihkan hubungan yang retak sejak terjadinya insiden Tolikara tgl. 17 Juli 2015. Kesepakatan ini lahir tidak hanya dari keresahan, keprihatinan dan kecemasan kedua kelompok tetapi terutama berakar dari pengalaman hidup damai dan bermartabat antara umat Kristen dan Muslim di Tanah Tolikara, selama bertahun-tahun serta harapan akan masa depan yang lebih damai, adil dan bermartabat bagi seluruh komunitas di Tolikara.

Dalam kesempatan tersebut pihak GIDI telah menyatakan permohonan maaf kepada pihak Muslim atas insiden tersebut dan berkomitmen untuk membangun kembali keretakan hubungan Muslim-Kristen di Tolikara.

Insiden Tolikara tgl. 17 Juli 2015 kiranya merupakan letupan yang mewarnai dinamika hubungan antar agama di Papua yang senyatanya diwarnai dengan pasang surut dalam merawat kebersamaan dan mengembangkan sikap saling menghargai dan hubungan kerjasama umat beragama. Dinamika tersebut seringkali luput dari perhatian kita semua karena kerapkali kita terlena dengan kekerabatan dan kerukunan antarumat beragama di Papua yang jauh dari segala sikap dan tindakan intimidasi dari satu komunitas agama terhadap agama yang lain.

Insiden tersebut BISA dicegah seandainya aparat Kepolisian Tolikara bertindak profesional dan mengedepankan dialog dengan para pihak sebelum pelaksanaan ibadah Idul Fitri 17 Juli 2015 dan kegiatan Kebangkitan dan Kebangunan Rohani (KKR) berlangsung. Namun Kepolisian tidak melakukannya sehingga terkesan membiarkan peluang konflik berkembang. Akibatnya Umat Muslim dan GIDI sama-sama menjadi korban situasi tersebut seperti dinyatakan oleh kedua pimpinan saat menandatangani “Kesepakatan Bersama” tersebut.

Situasi ini diperparah dengan ulah segelintir media nasional yang tidak mengadakan verifikasi fakta terlebih dahulu. Akibatnya, baik jemaat GIDI dan Muslim di Tolikara justru terusik.

Pola yang sama juga terjadi dengan menggeser fokus perhatian masalah Papua dari perspektif hubungan Negara dengan rakyat Papua menjadi seakan-akan perkara antar warga dan antar komunitas umat beragama di Tanah Papua.

Lebih dari itu hukum yang seharusnya berpihak pada yang lemah dinilai oleh pihak GIDI sebagai senjata aparat Negara untuk mengkriminalisasikan pihaknya. Meski hingga kini kami tidak pernah mendengar pengusutan atas 12 orang korban penembakan aparat Negara, sudah dua warga GIDI dicap sebagai tersangka. Tindakan ini telah mendatangkan kegelisahan dan ketegangan baru di tengah warga Tolikara yang bekerja keras memulihkan suasana.

Menanggapi situasi demikian, sungguh disayangkan Lembaga-lembaga Nasional seperti Komnas HAM tidak mendorong implementasi lebih jauh 7 butir kesepakatan damai yang telah dirintis oleh Pimpinan Muslim dan Kristen di Tingkat Kabupaten Tolikara dan Provinsi Papua. Misalnya, pernyataan Komnas HAM yang menggarisbawahi soal penegakan hukum senyatanya lebih terbatas pada ranah punitive justice dan melupakan fakta bahwa keadilan restoratif yang terwujud dalam hukum adat di Papua merupakan perangkat hukum yang diatur dalam Bab X UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua.

Kami kalangan Ornop nasional menyatakan bahwa:

  1. Semua pihak harus menghormati dan mendorong pelaksanaan 7 butir kesepakatan bersama antara Umat Muslim dan Kristen di Tolikara khususnya Butir ketiga kesepakatan tersebut yang secara tegas menyepakati untuk menyelesaikan masalah secara adat dan menghentikan kriminalisasi terhadap pemimpin GIDI. Pernyataan ini juga telah dikukuhkan oleh Surat Dewan Perwakilan Rakyat Papua kepada Kapolda Papua tertanggal 7 Agustus 2015 untuk menghormati kesepakatan damai tersebut dengan menghentikan proses hukum di Polda Papua.
  2. Semua pihak perlu memahami sejarah dan kompleksitas hubungan keagamaan di Papua dan Tolikara pada khususnya. Negara hadir bukan untuk memelihara konflik, apalagi menciptakannya, melainkan menjembatani proses pemulihan yang telah dirintis oleh Pimpinan Muslim dan Kristen di Tolikara. Kekhasan ini perlu dijaga dan diwariskan sesuai dengan semboyan dasar kebangsaan kita Bhinneka Tunggal Ika sehingga tidak dapat menjadi pembenaran atas pembatasan atau tindakan diskriminatif satu pihak kepada pihak lain dalam komunitas kita yang majemuk;
  3. Semua pihak perlu memahami bahwa penyelesaian adat tidak semata-mata berarti upacara bakar batu tetapi merupakan proses keadilan restoratif yang dimulai dari proses pengakuan bersalah, pemberian maaf dari korban kepada pelaku, kompensasi, hingga perwujudan simbolis dalam upacara bakar batu. Proses ini juga akan melibatkan pihak penembak yang harus berani menyatakan salah kepada keluarga korban penembakan;
  4. Sesuai amanat Nawacita untuk menghadirkan Negara yang melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, Presiden Joko Widodo segera mengundang Pimpinan Muslim dan Kristen Tolikara guna mendorong kedua pimpinan dalam mewujudkan kesepatakan mereka sehingga mampu membangun sistem pencegahan konflik di masa depan;
  5. Bahwa lembaga-lembaga Negara harus mendudukkan kembali masalah Papua sebagai persoalan antara Negara dan Masyarakat Papua dalam semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi cita-cita kebangsaan “Bhinneka Tunggal Ika” dan bukan mengalihkannya menjadi soal ketegangan antar komunitas umat beragama di Papua;
  6. Semua pihak melihat Insiden Tolikara sebagai kesempatan untuk meninjau ulang efektivitas jaminan perlindungan Negara terhadap keberagaman komunitas-komunitas warga Indonesia yang berbeda suku, agama, keyakinan, adat, dan budaya sehingga Indonesia sungguh menjadi rumah bersama yang nyaman dan teduh bagi semua warganya;
  7. Belajar dari kearifan lokal di Tolikara, Aparat Penegak Hukum dan sistem hukum Negara perlu menempatkan keadilan restoratif sebagai bagian integral upaya penegakan hukum di Indonesia sehingga baik keadilan punitif maupun restoratif merupakan satu kesatuan dalam menjamin hak-hak warganegara.

 

Jakarta, 12 Agustus 2015

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tolikara
didukung oleh

Abdurahman Wahid Centre-Universitas Indonesia (AWC-UI), Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), ELSAM, Human Rights Working Group (HRWG), Indonesian Centre for Reconciliation (ICR), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Yayasan Pusaka, Yayasan Satu Keadilan

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *