LBH KSR: Hilangkan Tafsir Ganda SKB Tiga Menteri Untuk Menjamin Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Kota Sukabumi

,

Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Sukabumi Raya (LBHKSR) menyayangkan terbitnya Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 terkait dengan Pelarangan Kegiatan Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat, terlebih Peraturan Gubernur tersebut telah melampaui kewenangan aturan perundang-undangan dalam materi penafsirannya. Selain itu, minimnya sosialisasi menyeluruh terkait dengan SKB Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008, Nomor Kep-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008 telah menjadi “bola liar” bagi kelompok-kelompok tertentu dalam menyikapi keberadaan Jamaah Ahmadiyah Indonesia.

Untuk terciptanya situasi dan kondisi masyarakat terkait dengan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin oleh konstitusi dan hak asasi manusia, Kami menegaskan kembali kepada Pemerintah dan Masyarakat bahwa Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008, Nomor Kep-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008 dan telah dijabarkan melalui surat edaran Nomor: SE/SJ/1322/2008, pada pokoknya mencakup pengaturan yang ditujukan kepada kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat. Artinya, SKB tersebut tidak hanya berlaku bagi penganut, anggota atau Pengurus JAI saja, namun juga kepada warga masyarakat dengan tujuan untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Kepada penganut, anggota dan pegurus JAI dalam SKB Tiga Menteri tersebut pada pokoknya memberi peringatan dan perintah untuk tidak melakukan perbuatan penyebaran, baik yang dilakukan di tempat umum mapun tempat khusus seperti bangunan rumah ibadah dan bangunan lainnya.

Terkait hal ini, dalam surat edaran bersama Nomor: SE/SJ/1322/2008 yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri telah mejabarkan perintah dalam SKB Tiga Menteri kepada warga masyarakat, pemerintah (termasuk pemerintah daerah) melalui Sosialisasi, Pembinaan, Pengamanan dan Pengawasan. Untuk memastikan pelaksaan perintah dalam SKB Tiga Menteri tersebut juga telah dijabarkan melalui bentuk koordinasi dan pelaporan secara berjenjang meliputi pembinaan dan pengawasan, dimulai dari Bupati/Walikota, Gubernur sampai pada Struktur Pemerintah Pusat, yaitu Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Kami menilai munculnya pro kontra di masyarakat terkait dengan keberadaan Jamaah Ahmadiyah (JAI) disebabkan lemahnya posisi pemerintah dalam menata kehidupan bermasyarakat yang beragam dalam bingkai kebhinekaan yang menjunjung nilai-nilai hak asasi manusia. Terbitnya SKB Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008, Nomor Kep-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008 telah diperparah dengan lemahnya pengawasan atas pelaksanaan SKB tersebut dengan membiarkan lahirnya kebijakan daerah yang bertentangan dengan maksud dan tujuan dari SKB Tiga Menteri.

Terbitnya Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat telah menggeser makna dari pokok-pokok pengaturan dalam SKB Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008, Nomor Kep-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008. Aturan pelarangan kegiatan bagi Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat pada Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2011 telah mengubah makna atas maksud dan tujuan dari SKB Tiga Menteri yang pada pokoknya mengatur tentang peringatan dan perintah bagi penganut, anggota / pengurus JAI untuk tidak melakukan perbuatan penyebaran.

Meski Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945 menyebutkan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan, tapi tidak serta merta pelarangan aktivitas Jamaah Ahmadiyah Indonesia dibenarkan. Karena bisa disimpulkan bahwa kewenangan pembentukan peraturan oleh daerah adalah hanya untuk menjalankan otonomi di daerahnya. Begitu pula dengan Peraturan Gubernur Jawa Barat terkait pelarangan kegiatan Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat karena pada Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

Menegaskan makna Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945 dengan merujuk pada Pasal 10 Ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merinci urusan pemerintah pusat yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta agama. Maka dengan demikian telah ditegaskan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan bahwa pengaturan tentang agama adalah kewenangan pemerintah pusat bukan kewenangan pemerintah daerah yang harus dimaknai bahwa pembatasan dan larangan kegiatan agama oleh pemerintah daerah adalah melanggar Konstitusi dan UU.

Dengan demikian, Peraturan Gubernur Jawa Barat tentang pelarangan kegiatan Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat patut diragukan keabsahannya, karena mengatur perihal agama yang merupakan urusan pemerintah pusat.

Kami mengingatkan kepada pemerintah untuk meminimalkan intervensi kebijakannya yang dapat menimbulkan pelanggaran atas hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional hak asasi manusia.

Untuk itu, Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Sukabumi Raya (LBHKSR) mendesak kepada:

  1. Pemerintah dan DPR untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh atas materi dan pelaksanaan SKB Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008, Nomor Kep-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008 yang berpotensi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas berfikir, beragama dan berkeyakinan;
  2. Menteri Dalam Negeri untuk melakukan executive review atas Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 terkait larangan kegiatan Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat termasuk memerintahkan moratorium kebijakan-kebijakan turunan berupa Peraturan Walikota/Bupati tentang larangan aktivitas Jamaah Ahmadiyah Indonesia;
  3. Pemerintah Kota Sukabumi untuk menciptakan kerukunan umat beragama melalui pengaktifan forum-forum dialog antar kelompok masyarakat termasuk mensosialisasikan peraturan-peraturan pemerintah secara menyeluruh agar terciptanya kerukunan antar masyarakat yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia;
  4. Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum di Kota Sukabumi untuk meningkatkan perlindungan kepada warga Jamaah Ahmadiyah Indonesia dengan penegakan hukum bagi kelompok masyarakat yang melakukan cara-cara dekstruktif dan melanggar hukum.

Demikian pernyataan publik ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terimakasih.

Sukabumi, 5 September 2015

Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Sukabumi Raya

Sugeng Teguh Santoso, S.H.
Direktur

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *