Pasal Penghinaan Presiden, Ancaman Terhadap Demokrasi dan HAM

Pakar hukum Jimly Asshiddiqie tak setuju dengan usulan pemerintah yang ingin menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden. Jimly menilai, menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dengan dalih presiden adalah lembaga negara tak masuk akal.

“Lambang itu sudah diatur sendiri pada Pasal 36. Lambang negara kan Garuda. Jadi itu teori feodal yang menganggap presiden lambang negara,” kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi, yang ikut membatalkan pasal-pasal karet tersebut pada tahun 2006, dalam Fokus Group Discussion yang diselenggarakan oleh Desk Pembela HAM Komnas HAM, Kamis (19/8).

Dalam kesempatan itu, Jimly menceritakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal penghinaan presiden pada 2006 lalu mendapat pujian dari Dewan HAM PBB.

Indonesia dinilai telah membuat dua langkah lebih maju dari banyak negara lain, termasuk Belanda, Belgia dan Swedia. Sebab, di negara-negara tersebut pasal penghinaan presiden masih ada sekalipun pada prakteknya tidak lagi digunakan.

Dulu, ucap Jimly, warga di Eropa yang tidak membungkuk saat melihat foto presiden atau raja bisa dikenakan pasal penghinaan. Namun, saat ini dalam hampir semua aksi unjuk rasa warga kerap membakar dan menginjak foto presiden. Kendati demikian, presiden tidak merasa terhina. “Tingkat peradaban berdemokrasi seperti itu, sehingga pasal penghinaan kepala negara itu meski masih ada tidak pernah dipakai lagi,” katanya.

Oleh karenanya, pada waktu itu MK menganggap pasal penghinaan pada presiden sudah tidak relevan lagi. Lagipula, sambung Jimly, apabila presiden merasa dihina, maka yang merasa dihina adalah presiden sebagai individu, bukan institusi presiden.

Sebab, sebagai sebuah lembaga, insitusi presiden tidak memiliki perasaan. Karenanya, lembaga presiden tidak bisa merasa dihina.

Dalam catatan Yayasan Satu Keadilan, “pasal-pasal karet pembungkam” suara kritis Pembela HAM itu banyak diberlakukan di era pemerintahan Megawati Soekarno Putri hingga pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono, para pembela hak asasi manusia yang mengkritik kebijakan pemerintah kerap mendapatkan tuduhan dan pemidanaan.

Pasal Penghinaan Kepada Presiden dan wakilnya sebelumnya diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana [KUHP] pada pasal 134, 136 bis, dan 137. Pasal 134 menyebutkan bahwa penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus ribu rupiah. Pada 2006, keberadaan pasal-pasal tersebut telah dibatalkan melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-IV/2006. Sebelum dibatalkannya pasal tersebut, setidaknya YSK mencatat 7 (tujuh) aktivis menjadi korban dari penerapan pasal tersebut. Di era baru Pemerintahan Joko Widodo, seorang pedagang sate bernama Muhammad Arsad dijerat pasal penghinaan terhadap presiden, pasal 310 dan 311 KUHP, pasal 156 dan 157 KUHP, pasal 27, 45, 32, 35, 36, 51 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Arsyad di tahan dan di interogasi penyidik Reskrim mabes Polri setelah membuli Presiden Joko Widodo di account facebooknya pada masa pemilu presiden 2014 yang lalu.

Dari beberapa kasus-kasus yang menimpa Pembela HAM di beberapa rezim pemerintahan menunjukkan bagaimana “pasal-pasal karet” itu terus menjadi ancaman bagi Pembela HAM dalam melakukan aktifitasnya mengawasi kebijakan pemerintahan.[ad]