Diantara Monarki dan Anarki: Pasal 33 Sebagai Jalan Demokrasi

Oleh : Sugeng Teguh Santoso, SH. (Ketua Yayasan Satu Keadilan)1

Abstraksi

Persoalan utama politik adalah distribusi kekuasaan. Reformasi 1998 adalah fondasi politik penting bagi kemungkinan distribusi kuasa yang lebih adil bagi Indonesia baru di masa yang akan datang. Elemen-elemen utama demokrasi dilahirkan dari proses tersebut: pemilu bebas dan langsung, sistem multipartai, kebebasan pers, kebebasan berorganisasi dan berekspresi. National Democratic Institute, misalnya, memberikan 11 indikator demokrasi di satu negeri: Hak sipil politik, hak sosial ekonomi, partisipasi politik, pemilu bebas dan bersih, rule of law, kontrol polisi dan militer, akuntabilitas pemerintahan, korupsi, media, dan tingkat responsifitas pemerintah. Di atas fondasi inilah demokrasi Indonesia seharusnya dibangun. Namun, setelah 17 tahun, seluruh indikator demokrasi itu belum tercapai, dan beberapa aspek yang sudah ada pun dipukul mundur. Sektor penghidupan yang paling tidak banyak mengalami kemajuan demokratik adalah akes dan kontrol terhadap sumber daya alam. Hampir seluruh indikator demokrasi di dalam sektor sumber daya alam tidak menunjukkan kemajuan. Misalnya, akses sumber daya alam masih didominasi/dimonopoli oleh kekuatan oligarki politik lama (Orde Baru), kontrol masih dipegang oleh aparatus militer, kebebasan rakyat untuk mendapatkan imbal hasil, dan terlibat dalam proses penentuan dan pengelolaan sumber daya alam (sesuai Pasal 33) tidak dijamin. Represi, kriminalisasi, penyingkiran masyarakat setempat dan sumber-sumber penghidupannya mendominasi politik sumber daya alam Indonesia dewasa ini. Saluran-saluran demokrasi dihambat, terhambat atau bahkan tidak dan tidak bisa digunakan. Salah satu bentuk respon masyarakat adalah melakukan pengambilalihan, blokade atau aksi-aksi langsung melawan penguasaan sumber-sumber alam tersebut. Pola ini tidak merata dan tidak mendominasi, namun apabila dibiarkan tanpa arah, dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar lagi, dan kemungkinan justru akan merugikan pemenuhan hak-hak azasi sesama manusia.

Pendahuluan

Sebelum masuk ke pokok pembahasan, mari kita kembali telaah definisi dari ketiga sistem politik tersebut.

Pertama, Anarki. Istilah kata ini berasal dari bahasa Yunani kuno, anarchia, mengombinasikan (an) “tidak, tanpa” dengan (arkhos), “penguasa, pemimpin”. Oleh karena itu isitlah ini mengacu pada individu atau masyarakat “tanpa penguasa atau tanpa pemimpin, atau yang tidak mengakui otoritas. Immanuel Kant, seorang filsuf German, menempatkan anarki ke dalam satu jenis ‘pemerintahan’ dimana berlakunya “Hukum dan Kebebasan tanpa Paksaan”. Di dalam filosofi politik anarkisme, istilah dan konsep anarki lalu dikembangkan oleh tokohnya yang paling terkenal Josep Proudhon. Melalui anarkisme, ia berpendapat bahwa kekuasaan negara tidak bermoral dan mengajukan masyarakat tanpa negara yang berbasis pada organisasi-organisasi non hirarki, dan atau asosiasi sukarela.

Pengertian anarki ini penting dibedakan dengan pengetahuan umum yang berkembang dan dikembangkan di masyarakt luas bahwa anarki identik dengan “tindakan-tindakan di luar hukum atau tak mematuhi hukum atau vandal”. Saking seringnya istilah ini digunakan dengan salah, maka anarki sebagai salah satu filosofi politik kekuasaan direduksi sekadar menjadi tindakan yang memiliki aspek merusak.

Kedua, Monarki. Istilah kata ini berasal dari bahasa Yunani monos yang berarti satu, dan archein yang berarti pemerintah. Monarki merupakan sejenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki atau sistem pemerintahan kerajaan. Dalam penggunaannya sekarang monarki biasanya mengacu pada sistem tradisional berdasarkan kekuasaan yang diwariskan. Satu bentuk pemerintahan dimana kedaulatan sebenarnya dipegang/terletak pada satu atau beberapa individu yang berkuasa hingga kematiannya atau hingga turun tahta. Sistem ini berkecenderungan militeritik, otoriter ataupun tirani, dengan kuasa Raja sebagai kepala pemerintahan utama memiliki fungsi yang sakral dalam kedudukan dan dirinya. Hal inilah yang membuat rakyat atau warga negara/kerajaan ini menerima dengan status pemerintahan mutlak ditangan raja.

Ketiga, Demokrasi. Inilah wujud tata pemerintahan yang menjadi sintesa dalam mengatasi kontradiksi antara penguasa dan yang dikuasai di dalam politik. Demokrasi adalah sistem pemerintahan suatu negara berbasis kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara. Sistem demokrasi ini memiliki beberapa varian, namun terdapat bentuk dasar demokrasi yang keduanya menitikberatkan pada jaminan bagaimana keseluruhan badan/institusi warga yang memenuhi syara dapat melaksanakan kehendaknya. Bentuk pertama adalah demokrasi langsung, dimana warga yang bersangkutan memiliki jaminan berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan. Bentuk kedua adalah demokrasi perwakilan, dimana keseluruhan institusi/badan-badan demokrasi warga yang memenuhi syarat merupakan kekuasaan berdaulat yang dijalanlan secara tak langsung melalui wakil-wakil yang dipilih.

Demokrasi perwakilan, yang paling banyak digunakan di era modern, menjalankan prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga karakter lembaga negara yang independen dan berada dalam posisi yang setara. Kesetaraan dan independensi lembaga negara ini diperlukan dengan harapan bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip check and balances. Sistem ini mensyaratkan warga negaranya memiliki hak yang setara dalam pengambilan keputusan didalam pemerintahan.

Bukan monarki dan anarki, landasan filosofis UUD ’45 dan pasal 33 sebagai jalan demokrasi

Landasan filosifis dan historis dibentuknya Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Indonesia dibentuk untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu UUD. Sebagai sebuah konsekuensinya semua pihak terutama penyelenggara Negara (pemerintah dan lembaga Negara) harus taat dan patuh terhadap aturan yang terkandung dalam UUD tahun 1945.

Secara keseluruhan penulis tidak akan membahas pasal-perpasal dan bab perbab, hanya terbatas pada pasal 33 perihal Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, sebagai berikut;

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;

  • Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara;
  • Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
  • Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;

Makna yang tersirat dalam pasal ini sudah jelas Negara memiliki kewenangan penguasaan dalam mengelola cabang-cabang produksi termasuk bumi, air dan kekayaan alam dengan tujuan dan prinsip utama untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya untuk menguji apakah pelaksanaan dari mandate UUD ini dijalankan atau tidak, penulis akan mendeskripsikan secara sederhana melalui kebijakan dan tindakan pemerintah apakah sudah sejalan dengan UUD atau justru malah bertentangan terutama dalam konteks Sumber Daya Alam (SDA).

Pemerataan akses dan jaminan atas kontrol sumber daya (semestinya) dijamin UU

Pada 23 April 2014, di sisa Pemerintahannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 39 tahun 2014. Perpres ini mengatur ketentuan kriteria dan persyaratan bidang usaha yang dapat menjadi bidang penanaman modal (asing) termasuk seberapa besar porsi penguasaannya dalam bidang usaha tersebut. Keluarnya Perpres ini menimbulkan pertanyaan besar terkait argumentasi logis yang mendasari pemberlakuannya. Perpres ini disimpulkan sebagai bagian dari skenario monopoli kapital global yang berjalan di Indonesia dan telah diberlakukan dalam masa pemerintahan SBY, seperti; Agreement on Agriculture (AoA) paket WTO di Bali, pembangunan konektifitas area dan infrastruktur ala MP3EI, kerjasama sektor pertanian, infrastruktur, dan pajak dalam pertemuan G20. Kurniawan Sabar, Manager Kampanye Eknas WALHI menegaskan, “di Indonesia, pengelolaan SDA dan sektor usaha yang berhubungan dengan hajat hidup rakyat sangat bergantung dengan sistem ekonomi politik yang saat ini sedang berjalan.2

Sepanjang sepuluh tahun Pemerintah SBY memimpin Indonesia (2004 -2014), telah terjadi 1.391 konflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan areal konflik seluas 5.711.396 hektar, dimana terdapat lebih dari 926.700 kepala keluarga harus berhadapan dengan ketidakadilan disektor agraria dan mengalami konflik berkepanjangan. Berdasarkan sektor, terjadi sebanyak 536 konflik, bidang infrastruktur 515 konflik, sektor kehutanan 140 konflik, sektor tambang 90 konflik, sektor pertanian 23 konflik, pesisir-kelautan 6 konflik dan lain-lain. Ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat yang tengah berkonflik, tindakan intimidasi dan kriminalisasi, serta cara-cara represif oleh aparat kepolisian dan militer dalam penanganan konflik agraria yang melibatkan kelompok masyarakat petani dan komunitas adat telah mengakibatkan 1.354 orang ditahan, 553 mengalami luka-luka, 110 tertembak peluru aparat, serta tewasnya 70 orang di wilayah-wilayah konflik tersebut dan terus mengalami eskalasi peningkatan.3

Selanjutnya absennya pengawasan pemerintah secara menyeluruh terhadap korporasi besar juga menuai masalah. Hal ini terlihat jelas dalam penerapan aturan pemurnian didalam negeri yang seharusnya telah dilakukan pada tahun 2014 berdasarkan UU No 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara, namun aturan ini mendapatkan penentangan dari PT. Freeport sebagai sebuah perusahaan tambang terbesar di Indonesia.4 Dampaknya terjadi ketimpangan dan ketidakadilan social yang dialami oleh masyarakat di wilayah Papua. Pemerintah Daerah Papua yang dekat dengan lokasi tambang PT Freeport adalah Kabupaten Timika, pertanyaannya dengan kehadiran PT Freeport apakah sudah memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat atau justru hanya mengeruk kekayaan alamnya saja tanpa adanya kontribusi yang positif dalam pelbagai sektor.

Penanganan Konflik SDA Belum Menyeluruh

Walaupun konflik dalam sector SDA terus menerus terjadi, hingga kini belum ada penyelesaian yang menyeluruh dari Pemerintah. Warisan negative pemerintahan yang lalu yang masih menyisakan persoalan harus segera diakhiri. Di rezim Pemerintahan SBY telah dibentuk Tim Khusus Penanganan Konflik SDA dengan melibatkan semua instansi Pemerintah yang diketuai oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Tim ini dibentuk tahun 2012 saat terjadi banyak konflik SDA yang mengakibatkan kerugian jiwa dan harta benda dalam konflik di Mesuji, Lampung dan wilayah Sumatera dan daerah lainnya. Namun sayangnya hingga kini belum ada hasil yang menyeluruh atas berbagai persoalan konflik. Pemerintah hanya sekadar merespos secara cepat saja setiap masalah yang terjadi tanpa didahului oleh konsep yang jelas dan terarah untuk mengurai konflik dan merekomendasikan arah kebijakan dan tindakan ke depan.

Respons Masyarakat, keculasan dan inkonsistensi peraturan perundangan

Karena ketiadaan keadilan sosial dan lambannya pemerintah dalam merespons persoalan maka masyarakat cenderung mengambil jalan sendiri untuk menyelesaikan persoalan. Mulai dari demonstrasi damai hingga berujung pada bentrok dengan aparat keamanan. Sebagai salah satu contoh masyarakat petani di Medan yang berupaya mengambil alih lahan dengan memblokir kendaraan berat milik perusahaan adalah bukti bahwa masyarakat sudah tidak mendapatkan saluran informasi dan penyelesaian yang jelas dari Pemerintah. Saluran formal yang disediakan tidak bisa menyelesaikan berbagai persoalan karena sikap Pemerintah yang cenderung memiliki keberpihakan kepada pemodal ketimbang mensejahterakan rakyat.

Sektor pertambangan adalah contoh paling buruk praktek demokrasi. Di dalam UU Minerba (pasal 10) jaminan partisipasi masyarakat agar didengarkan pendapatnya setidaknya sudah ada. UU itu mengatakan bahwa penetapan wilayah pertambangan dilaksanakan secara transparan, partisipatif dan bertanggung jawab secara terpadu dengan memperhatikan pendapat masyarakat dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya serta berwawasan lingkungan. Namun, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengaborsi partisipasi warga terdampak pertambangan dalam penetapan wilayah pertambangan seperti yang diwajibkan oleh UU Minerba dan telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No 32/PUU-VIII/2010.5

Keputusan itu telah membuat ‘kewajiban menyertakan pendapat masyarakat harus dibuktikan secara kongkret difasilitasi oleh pemerintah. Bukti kongkret tersebut dapat mencegah terjadinya konflik antar pelaku usaha pertambangan dengan masyarakat dan negara yang ada dalam Wilayah Pertambangan tersebut.” Padahal peran fasilitator ini tidak pernah atau sulit sekali dijalankan oleh pemerintah setempat. Ijin-ijin pertambangan yang dikeluarkan tidak melalui mekanisme konsultasi dengan warga dan warga terdampak.

Kasus pembangunan PT. Semen Indonesia Rembang juga demikian juga bermula dari buruknya saluran demokrasi antara warga pegunungan Kendeng, perusahaan dan pemerintah. Bahkan pihak akademik, seperti UGM, telah menyesalkan kesaksian ahli dari dua dosennya yang menyatakan tidak adanya dampak lingkungan dari berdirinya PT. SI.6 Telah lebih dari 300 hari warga menduduki areal perusahaan, sambil terus berupaya masuk dalam saluran-saluran demokrasi untuk didengarkan, namun warga kalah di pengadilan negeri Semarang.

Contoh lain adalah pembangunan projek raksasa MIFFE (Merauke Integrateed Food and Energy Estate) di Merauke, Papua yang telah berlangsung sekitar lima tahun belakangan. Di dalam tradisi Papua, masyarakat adat memiliki hak atas tanah nenek moyangnya atau tanah ulayat. Tidak ada sertifikat untuk jenis kepemilikan semacam itu. Tiap klan memiliki arealnya sendiri. Perusahaan pertama yang masuk seperti Medco memberikan warga desa uang sejumlah 300 juta tanpa konsultasi sebagai “Sertifikat Penghargaan” pada tahun 2009. Masyarakat setempat yang belum mengerti menganggapnya sebagai wujud persahabatan. Mereka tidak menyadari bahwa dengan cara itu mereka telah membebaskan tanah mereka untuk diserahkan pada perusahaan. praktek-prakten perampasan tanah dengan pola seperti ini terus terjadi. bahkan mereka juga menyetujui kompensasi Rp. 2500 per kubik meter kayu di atas lahan tersebut, harga yang sama sekali tidak setara dibanding ketika mereka menjual sendiri.7

Sejak itu dibantu lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan komunitas warga kampung, masyarakat mulai mengorganisir diri dalam bentuk protes dan sosialisasi. Namun tekanan, ancaman dan tuduhan separatisme menjadi senjata meredam protes warga. Pada kasus lain, ancaman tentara lebih eksplisit. Jika kita masih ingat cara perusahaan perkebunan mendapatkan lahan di Sumatra pada zaman Suharto, yang mengancam orang yang dianggap komunis, MIFEE juga demikian. Dari sinilah perusahaan MIFEE disebut-sebut telah melakukan politisasi atas penolakan warga, dengan mengancam akan dituduh dah diperlakukan sebagai separatis OPM. Kekerasan yang dilakukan oleh tentara serta tekanan yang diberikan pada siapa saja yang dituduh sebagai anggota OPM di Papua Barat sudah diketahui oleh banyak orang. Hal itu sudah dianggap cukup menyebarkan kecemasan. Tuduhan semacam itu telah disebarkan oleh konsesi dari salah satu perusahaan besar kelapa sawit, dimana para pengawalnya terdiri dari para anggota Kopassus. Dalam kasus lain baru-baru ini PT Mayora membuat kepanikan di Kampung Yowid dengan membuat tuduhan serupa. Ketika para perempuan dan anak-anak sedang bersiap untuk mengungsi ke hutan, para tetua desa merasa mereka tidak punya pilihan lain selain menandatangani surat yang sudah disiapkan oleh PT Mayora dihadapan mereka.8

Kesimpulan

Dari berbagai catatan singkat di atas beberapa kesimpulan yang mesti dielaborasi lebih jauh adalah:

  1. Proses demokratisasi di Indonesia dan yang paling tampak tertinggal terhambat adalah di sektor agraria dan sumber daya alama.
  2. Lemahnya perlindungan negara dan ketiadaan jaminan bagi partisipasi warga untuk melakukan kontrol atas investasi membawa dampak buruk bagi kemajuan demokrasi sendiri.
  3. Bentuk-bentuk tindakan “main hakim sendiri” yang dilakukan warga, atau aksi-aksi langsung di luar prosedur demokrasi perwakilan adalah ekses dari tidak berjalannya saluran demokrasi, di satu sisi, dan berkembangnya kajian alternatif terkait demokrasi langsung di sisi yang lain.
  4. Pasal 33 adalah jalan tengah yang paling demokratis untuk menunjukkan tanggung jawab sosial negara dalam menyelesaikan berbagai persoalan hak-hak kewarganegaraan dalam bidang SDA, terlebih dalam konteks kebijakan SDA dikuasai oleh monarki korporasi
  5. Program-program Nawacita pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, khususnya Nawacita ke-29 dan ke-710 tidak akan punya makna tanpa perluasan akses dan jaminan atas kontrol SDA ke tangan warga, setidaknya melalui pasal 33. Dalam hal ini pengawasan terhadap insitusi dan aparatus keamanan sangat diperlukan, karena akuntabilitas dan reformasi institusi kemiliteran adalah syarat mutlak perbesaran partisipasi warga, penegakan HAM, penegakan hukum, untuk kesejahteraan sosial.
  6. Ekses-ekses kebudayaan politik monarki dalam oligarki politik dan ekonomi harus dihentikan. Kembali demokrasi adalah saranan kontrolnya. Anarki hanyalah utopia, yang dapat merugikan jika dijalankan oleh komunitas warga/masyarakat tanpa negara hadir sebagai fasilitator berbagai kepentingan yang ada saat ini, dan pelindung kepentingan mayoritas dan kepentingan yang paling rentan/lemah.

1. Penulis adalah Ketua Yayasan Satu Keadilan dan Pendiri Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH-KBR) sebuah organisasi social yang fokus dalam mendorong penegakan Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Selain itu penulis juga adalah sebagai advokat dan Wakil Ketua Umum pada Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)
2. Lihat: http://www.walhi.or.id/di-akhir-masa-pemerintahan-sby-mengeluarkan-kebijakan-yang-menguatkan-monopoli-pemodal.html
3. Lihat : http://www.walhi.or.id/penyelesaian-konflik-agraria-wajib-jadi-prioritas-jokowi-jk.html
4. Lihat : http://www.walhi.or.id/publikasi/httpwww-walhi-or-idpublikasimenagih-janji-menuntut-perubahan?portfolioID=780
5. Lihat: http://www.walhi.or.id/partisipasi-warga-terdampak-pertambangan-diaborsi-jelang-rezim-lelang-wilayah-pertambangan.html
6. Lihat: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/604186-wakil-rektor-ugm-tegur-2-dosen-soal-kesaksian-di-pengadilan
7. lihat: https://awasmifee.potager.org/?p=632
8. Lihat: https://awasmifee.potager.org/?p=632&lang=id
9. “Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.”
10. “Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.