Menelaah Kesiapan Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean
Oleh, Sugeng Teguh Santoso, S.H.
pada diksusi bersama serikat buruh di Bogor pada 11 Mei 2015
Pendahuluan
Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Pemerintah Indonesia harus memiliki kesiapan yang komprehensif dalam pelbagai sektor. Semangat MEA yang akan membangun sebuah system baru perekonomian di Kawasan Asean melalui perdagangan bebas antar Negara anggota Asean tentunya bisa memberikan dampak positif dan negative bagi rakyat. Dalam menghadapi MEA bagaimana peran Pemerintah (Pusat dan Daerah)?
MEA adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN dengan sebuah konsep sistem ekonomi perdagangan bebas antara Negara-negara anggota Asean yang telah menyepakati perjanjian MEA atau ASEAN Economic Community (AEC). Perjanjian ini telah dihasilkan dari proses yang panjang dimulai dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Kuala Lumpur tahun 1997 yang menghasilkan sebuah keputusan untuk mengubah ASEAN menjadi kawasan yang stabil, makmur, dan sangat kompetitif dengan perkembangan ekonomi yang adil, dan mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi. Tahun 2003 dalam KTT lanjutan di Bali pemimpin ASEAN menyatakan bahwa MEA akan menjadi tujuan dari integrasi ekonomi regional pada tahun 2020. Kemudian dilanjutkan dengan Pertemuan Menteri Ekonomi negara ASEAN pada 2006 di Malaysia, yang menghasilkan keputusan untuk memajukan MEA dengan capaian yang jelas. Terakhir pada KTT ASEAN ke-12 tahun 2007 ditegaskan kembali komitmen pemimpin ASEAN untuk mempercepat pembentukan Komunitas ASEAN tahun 2015. Dengan demikian tahun inilah yang menentukan bagi Pemerintah dalam menghadapi MEA.
Sebagai sebuah kontribusi pemikiran dalam menghadapi MEA, penulis akan memaparkan melalui pendekatan HAM sebagai sebuah pijakan utama yang harus dijadikan pondasi oleh Pemerintah dalam membuat kebijakan dan mengimplementasikan kebijakannya. Hal ini penting dilakukan oleh Pemerintah untuk menjalankan kewajiban Konsitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (3) UUD Tahun 1945; ““Perlindungan, Pemajuan, Penegakan, dan Pemenuhan Hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara terutama Pemerintah.”
Bahwa potensi persoalan-persoalan yang akan dihadapi secara nyata dalam menghadapi MEA adalah; pertama, para pekerja/buruh (industry, property, tani, Pekerja Rumah Tangga/PRT, Migran, pelaku usaha kecil dan menengah, home industry dan pengrajin local dan pekerja dalam sector lainnya) apakah sudah dipersiapkan? Kedua, tingkat jaminan kesejahteraan para pekerja/buruh apakah sudah sesuai dengan standar? Ketiga, bagaimana upaya Pemerintah dalam memberikan jaminan untuk pekerja dan? Keempat bagaimana tanggungjawab korporasi (Asing dan Nasional)? Setidaknya 4 (empat) hal tersebut yang menjadi pilar persoalan yang akan dihadapi dalam MEA.
Kesiapan Pekerja
Kesiapan para pekerja dalam menghadapi MEA merupakan persoalan yang krusial karena akan ada persaingan yang kompetitif dari pekerja Negara-negara anggota ASEAN lainnya jika tidak ada persiapan yang mumpuni. Pekerja Indonesia sendiri sudah melakukan migrasi ke Negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam, sesuai data pada Bank Indonesia yang dimulai dari tahun 2010-2013 meningkat setiap tahunnya, terutama di Malaysia angka tenaga Indonesia mencapai 2,064-2,121 (ribuan orang) peringkat kedua Singapura dan ketiga Brunei Darussalam.[2] Tenaga Kerja Indoensia disejumlah Negara ASEAN sudah mencapai puluhan ribu saat ini yang bekerja pada sector perkebunan, domestic dan sector lainnya.
Migrasi yang dilakukan pekerja Indonesia di Negara ASEAN diakibatkan karena tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan yang tinggi. Angka kemiskinan ditahun 2014 mencapai 10,96 % dengan jumlah 27,73 juta jiwa.[3] Sementara itu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2014 jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,24 juta orang.[4] Sedangkan investasi langsung dari Negara ASEAN di Indonesia berdasarkan data pada Bank Indonesia berada ditingkat teratas adalah Singapura, Malaysia dan Thailand.[5] Sumber (BPS : 2014).
Posisi ekonomi Indonesia di ASEAN berdasarkan pada data yang dipaparkan oleh World Economic Forum (WEF) 2011, daya saing Indonesia di dunia berada di posisi ke 46. Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara Asean lainnya Singapura yang berada di urutan kedua, Malaysia urutan ke 21 dan Thailand di urutan ke 39. Indonesia sendiri pada level ASEAN berada diurutan ke-4. [6] Secara ekonomi Indonesia sendiri berada diururan ke-4 ditambah lagi dengan tingkat pengangguran yang masih tinggi dan jaminan kesejahteraan para pekerja yang masih tergolong minim, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) pekerja yang minim, dan daya saing produk dalam negeri yang masih timpang di kawasan ASEAN. Hal tersebut adalah tantangan paling esensial/mendasar bagi Pemerintah dan pekerja serta pelaku usaha local, jika tidak maka Indonesia hanya akan jadi pasar bagi Negara ASEAN lainnya.
Kesiapan Pemerintah dan Pekerja meliputi; perlindungan dan proteksi dari pemerintah terhadap produksi local (dalam negeri) supaya terhindar dari persaingan yang tidak sehat antar pelaku usaha Negara ASEAN lainnya. Perlindungan bagi tenaga kerja baik dari dalam maupun luar negeri menjadi prioritas utama Pemerintah. Ancaman yang nyata sebagaimana pekerja Indonesia di Malaysia, yang telah mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi (disiksa, dianiaya dan perlakuan kejam lainnya) dari majikan dalam sector domestic hingga berujung pada ancaman pidana berupa hukuman mati terhadap 200 tenaga kerja.[7] Pemeirntah juga harus hadir dalam memfasilitasi pekerja dengan pengusaha berdasarkan kebijakan yang sesuai dengan standar HAM.
Minimnya Kesejahteraan Pekerja
Tingkat kesejahteraan pekerja saat ini berdasarkan upah nominal masih tergolong rendah. [8] Terlebih ada sebagian Peraturan yang dibuat lebih memguntungkan pihak investor, sehingga upah yang minim (tidak sesuai standar UMR), jaminan kesejahteraan yang minim, asuransi kerja yang tidak jelas, adanya kriminalisasi, pembatasan dan pemberangusan terhadap Sarikat Pekerja masih terjadi di beberapa tempat. Hal tersebut mendesak diselesaikan terlebih dahulu. Secara khusus upah Minumum Kabupaten Bogor (UMK) hanya naik 15,51 persen dari Rp 2.242.240 menjadi Rp 2.590.000 & Kota Bogor hanya naik 13 persen dari Rp 2.352.350 menjadi Rp 2.658.155. [9] Di sisi yang lain upah pada buruh Tani pada tahun 2014 juga mengalami penurunan.[10]
Dengan posisi upah kerja sebagaimana di atas tentunya masih jauh dari apa yang diharapkan oleh pekerja karena tidak bisa menjawab persoalan standar kebutuhan pekerja; sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan sosial. Beban hidup keluarga dari upah tidak sekadar soal makan, namun jaminan kesejahteraan yang paling mendasar sebagaimana kewajiban Pemerintah dalam UUD 1945 “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (pasal 27 ayat 2) dan “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” (pasal 28D ayat 2)
Peran dan Tanggungjawab Pemerintah
Peran dan tanggungjawab Negara terhadap hak dan jaminan pekerja sebagai warga Negara sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD Tahun 1945 harus diimplementasikan menjadi nyata. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah memiliki program prioritas dalam membangun perekonomian masyarakat secara mandiri melalui “Nawa Cita”. Pada poin program Nawa Cita ke-7 dinyatakan )”Kami akan mewujudkan Kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.” Dengan demikian kesiapan dalam menyongsong MEA yang tidak akan lama lagi dimulai harus dimulai dengan lebih serius saat ini.
Dalam perspektif hukum, kebijakan Indonesia yang mengikatkan diri pada MEA merupakan sebuah perjanjian internasional yang menjadi kewenangan dari Presiden sebagaimana UU No 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Namun setiap kesepakatan dan perjanjian yang dibuat bersama Negara lain dalam bentuk bilateral dan kawasan (ASEAN) tidak boleh mengesampingkan UUD tahun 1945 dan HAM. Indonesia mengikatkan diri pada MEA berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2014 tentang Pengesahan Protocol to Amend Certain ASEAN Economic Agreements Related to Trade in Goods (Protokol untuk Mengubah Perjanjian Ekonomi ASEAN Tertentu terkait Perdagangan Barang).
Didalam Peraturan ini terdapat dua pasal yang mengikat secara hukum (legaly Binding) dan menjadi kewajiban bagi Indonesia sebagai negara anggota ASEAN, sebagai berikut ; “Negara-negara Anggota wajib menyelenggarakan perundingan-perundingan yang diarahkan untuk mempercepat komitmen-komitmen Negara-Negara Anggota terkait dengan produk-produk TIK, layanan TIK dan penanaman modal berdasarkan Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN, Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN di bidang Jasa, dan Persetujuan Penanaman Modal Menyeluruh ASEAN.” (pasal 2) dan “1. Setiap Negara Anggota wajib menghapuskan bea Impor pada produk-produk Sektor Integrasi Prioritas sesuai dengan Pasal 19(2)(a)(i) dan Pasal 19(2)(c) sesuai Persetujuan Perdagangan Barang ASEAN.” (pasal 3)
Dua pasal dalam peraturan ini sudah tentu wajib dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dan Negara-negara ASEAN lainnya yang telah mengikatkan diri pada MEA. Pengaturan tentang percepatan, penanaman modal dan penghapusan bea impor pada produk yang ada disektor integrasi prioritas. Selain itu Pemerintah juga harus mentransformasikan secara utuh spirit dari MEA yang memiliki gagasan yang visioner dengan bermuara pada pemerataan dan keadilan ekonomi serta mengurangi kemiskinan di kawasan ASEAN. Terlebih tingkat kemiskinan di Indonesia relative tinggi karena tingkat pengangguran yang terus bertambah. Pemerintah harus mempertimbangkan masukan serius dari pendahulunya, Presiden B.J. Habibie yang memberikan masukan kepada Pemerintahan saat ini untuk menyediakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi generasi muda.[11]
Tiga kewajiban Pemerintah terhadap HAM; Menghormati, berarti mengharuskan negara untuk menghindari tindakan-tindakan intervensi negara terhadap HAM. Melindungi berarti mengharuskan negara mengambil kewajiban positifnya untuk menghindari pelanggaran HAM. Memenuhi berarti mewajibkan negara mengambil langkah-langkah efektif (admisnitrasi, yudisial dan non-yudisial) untuk pemenuhan atas HAM. Ketiga hal tersebut menjadi 3 (tiga) kewajiban utama yang harus menjadi tanggungjawab negara terutama Pemerintah dalam persoalan HAM atau dikenal dengan trias of state obligation sehingga tanggungjawab dalam persoalan HAM secara menyeluruh dan utama ada pada negara.
Selanjutnya arus tenaga kerja Negara-negara ASEAN lainnya dalam sector perdagangan dan lainnya akan terus bertambah di Indonesia. Dengan demikian Pemerintah harus memastikan jaminan-jaminan bagi tenaga kerja dalam pelbagai sektor (industri, domestik, migran dan pelaku usaha kecil menengah) sehingga para pekerja Indonesia bisa bersaing dengan kualitas yang handal dan profesional. Kemudian kebijakan-kebijakan dan peraturan yang tidak sejalan dengan kepentingan Negara sebagaimana UUD tahun 1945 dan HAM serta merugikan pekerja harus direvisi dan dievaluasi secara korektif. Perusahaan-perusahaan baik local, nasional dan internasional harus dipastikan tunduk pada Konsitusi Indonesia.
Peran dan Tanggungjawab Perusahaan
Lahirnya korporasi tidak terlepas dari buah kolaborasi dan resiprokalitas yang dinamis. Dalam perkembangan modernitas, korporasi menjelma menjadi salah satu aktor pembangunan yang genuine. Sekalipun dalam capaiannya diakui lebih menitikberatkan aspek kepentingan para pemilik modal, namun disadari terdapat relasi yang kuat antara kepentingan korporasi dengan taraf kemajuan kualitas kehidupan masyarakat.
Dalam perjalanannya kekuatan korporasi cukup besar bahkan bisa mendominasi sebuah kebijakan negara dengan sokongannya melalui proses Pemilu yang demokratis. Terlebih perusahaan-perusahaan raksasa atau dikenal dengan korporasi Trans Nasional telah menggeser kekuasaan negara yang berdaulat sehingga mengecilkan dan melemahkan kewajiban dasar negara terhadap warganya. Hal tersebut diperparah dengan adanya praktik suap yang “akut” sehingga laku birokrasi pemerintah tunduk pada petuah korporasi. Akibatnya banyak pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan oleh negara melalui aparatusnya karena keberpihakan negara kepada korporasi sehingga mengabaikan HAM. Selain itu berdasarkan laporan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebutkan perilaku korupsi berupa penyuapan (bribery) banyak dilakukan oleh kalangan pengusaha besar dari negara-negara maju, persepsi selama ini bahwa korupsi hanya menjadi masalah negara berkembang sama sekali tidak berdasar. [12] Sejatinya jaminan HAM adalah sebagai pilar utama negara demokrasi. Dalam konteks inilah lahir sebuah penajaman konsep bisnis & HAM yang bertujuan mendorong peran negara dalam perlindungan dan mendorong perusahaan memberikan penghormatan terhadap HAM.
Memahami tanggujawab perusahaan terhadap perusahaan setidaknya ada 3 (tiga) pilar bisnis dan HAM berdasarkan prinsip Prof. John Ruggie. Tahun 2005. John Ruggie merupakan salah satu pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diberikan mandat oleh Sekjend PBB sebagai pelapor khusus untuk bisnis dan HAM, kemudian pada tahun 2011 ia menyerahkan laporan kepada sidang PBB hinggga akhirnya disahkan menjadi prinsip-prinsip panduan sebagai praktek standar global bisnis dan HAM yang diharapkan diikuti oleh negara dan perusahaan. Tiga pilar tersebut antara lain; Kewajiban negara untuk Melindungi Hak Asasi Manusia, Tanggung Jawab Perusahaan untuk Menghormati Hak Asasi Manusia dan Akses yang lebih luas untuk pemulihan korban yang terkait dengan kegiatan usaha perusahaan. Ketiga pilar ini harus dijadikan prinsip oleh Negara dan perusahaan.
Tanggungjawab utama Perusahaan (Lokal, Nasional dan Internasional) adalah menghindari pelanggaran HAM dengan tidak melakukan pelanggaran terhadap hukum dan HAM nasional dan internasional dan memangani dampak HAM yang telah dirugikan oleh Perusahaan berupa pemulihan yang efektif. Untuk menjalankan tanggungjawab utamanya “penghormatan terhadap HAM”, perusahaan harus melakukan langkah-langkah yang bijak, sebagai berikut; pertama,membangun komitmen perusahaan terhadap HAM yang berarti semua kebijakan internal perusahaan dan berbagai SOP lainnya tidak boleh melanggar HAM dan aturan hukum nasional. Kedua, dengan melakukan uji tuntas; mengidentifikasi, mencegah, mengurangi dampak hak asasi manusia dan proses ini mencakup penilaian dampak HAM yang ada saat ini dan berpotensi untuk timbul; mengintegrasikan dan mengambil tindakan terhadap temuan; pelacakan umpan balik, dan mengkomunikasikan bagaimana dampak negatif telah diatasi. Ketiga, memiliki mekanisme pemulihan yang efektif atas dampak yang merugikan masyarakat.
Kesimpulan
Berdasarkan hal tersbut penting bagi Negara terutama Pemerintah dalam mempersiapkan Indonesia menuju MEA dengan cepat dan terarah. Namun persoalan utama; pengangguran, angka kemiskinan yang masih tinggi dan tingkat kesejahteraan buruh yang masih minim serta kebijakan yang masih diskriminatif terhadap buruh harus segera mendapatkan prioritas penyelesaian baik kebijakan pada tingkat nasional maupun daerah. Pemerintah juga harus memastikan jaminan-jaminan bagi tenaga kerja dalam pelbagai sektor (industri, domestik, migran dan pelaku usaha kecil menengah, petani dan pekerja lainnya) sehingga para pekerja Indonesia bisa bersaing dengan kualitas yang handal dan professional untuk menjaga wibawa dan martabat Negara.
Hal tersebut mendesak dilakukan dengan segera oleh Pemerintah, jika tidak maka Indonesia hanya akan jadi penonton dalam kompetisi perdagangan bebas ASEAN melalui MEA dan pasar bagi Negara-negara ASEAN lainnya. Sebagai langkah awal bisa dilakukan dengan mereview seluruh kebijakan tentang ketenagakerjaan untuk disinkronisasi dan direvisi agar sejalan dengan penghormatan terhadap HAM. Negara tidak boleh diintervensi oleh Perusahaan local, nasional dan internasional. Selain review, Pemerintah juga bisa mulai menyusun skema kerja yang jelas berkenaan dengan persiapan menuju MEA dengan skema yang berbasiskan persoalan nyata dan yang terus terjadi dalam dunia perdagangan dan tenaga kerja. Tanpa itu MEA tidak akan menghasilkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia!
[1] Penulis adalah Ketua Yayasan Satu Keadilan dan Pendiri Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH-KBR) sebuah organisasi social yang fokus dalam mendorong penegakan Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Selain itu penulis juga adalah sebagai advokat dan Wakil Ketua Umum pada Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)
[2] Lihat : http://www.bi.go.id/seki/tabel/TABEL5_30.pdf diakses pada 7 Mei 2015
[3] Lihat : http://www.bps.go.id/website/brs_ind/brsInd-20150415113748.pdf diakses pada 7 Mei 2015
[4] Lihat : http://nasional.kontan.co.id/news/jumlah-pengangguran-terbuka-indonesia-724-juta diakses pada 6 Mei 2015
[5] Lihat : http://www.bi.go.id/seki/tabel/TABEL5_33.pdf
[6] Lihat : http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/13/05/24/mnadgu-indonesia-hanya-menduduki-peringkat-empat-di-asean diakses pada 7 Mei 2015
[7] Lihat : http://www.antaranews.com/berita/482423/sekitar-200-tki-terancam-hukuman-mati-di-malaysia diakses pada 7 Mei 2015
[8] Lihat : http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1436
[9] Lihat : http://regional.kompas.com/read/2014/11/22/07020041/Ini.UMK.Jawa.Barat.2015 diakses pada 7 Mei 2015
[10] Lihat : http://finansial.bisnis.com/read/20141001/9/261721/upah-buruh-tani-terperosok-ke-level-terendah diakses pada 7 Mei 2015
[11] DIsampaikan dalam acara dengan tema Mata Najwa on Stage yang kali ini bertema “Suara Anak Negeri” menghadirkan BJ Habibie sebagai tamu utama pada 29 April 2015 di Universitas Indonesia
[12] Lihat : http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2014-12-03/laporan-oecd-sebut-perilaku-korupsi-melilit-negara-maju/1395497, http://news.detik.com/read/2014/12/03/104102/2766184/1513/laporan-oecd-sebut-perilaku-korupsi-melilit-negara-maju diakses pada 7 Mei 2015