Pemerintah Kota Cilegon Harus Hentikan Praktik diskriminasi dan Memastikan Pemenuhan Hak Asasi Manusia Bagi Setiap Warga Negara!

,

Sebagaimana diketahui, Rabu (7/9/2022), sekelompok warga yang mengidentifikasi diri
sebagai Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon melakukan aksi penolakan
pembangunan gereja HKBP Maranatha di Lingkungan Cikuasa, Kel. Geram, Kec. Grogol,
Kota Cilegon, Banten. Mereka menuntut Wali Kota Cilegon melarang pendirian rumah
ibadah selain masjid berdasarkan Surat Keputusan Bupati Serang Nomor
189/Huk/SK/1975.

Wali Kota Cilegon, Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Sanuji Pentamerta justru memberi
dukungan penolakan dengan ikut menandatangani bentangan kain dari massa aksi. Ini
adalah penolakan yang ke-5 sejak tahun 2006. Yayasan Satu Keadilan mengecam sikap
intoleran Pemkot Cilegon yang membatasi hak setiap warga negara untuk menikmati hak
dasarnya beribadah berdasarkan agama dan kepercayaannya.

Sebagaimana data yang dihimpun oleh tim YSK, Di Cilegon terdapat 382 masjid, 287
musala, dan 3 vihara. Namun gereja tidak bisa berdiri. Padahal komposisi penduduk
berdasarkan agama, ada 6.763 Kristen, 1753 Katolik, 218 Hindu, Buddha 1640, dan 7
lainnya (Provinsi Banten Dalam Angka 2021). Seharusnya dengan jumlah umat Kristiani
yang sesuai data itu, kebutuhan tempat ibadah di suatu kota hendaklah disediakan. Sama
hal nya dengan mesjid dan musholla yang tersebar di setiap titik kota.

Kenyataannya sebanyak 3.903 orang jemaat HKBP Maranatha Cilegon setiap Minggu harus
menumpang beribadah ke HKBP Serang yang berjarak kira-kira 16 sampai 40 km, dengan
lama tempuh sekitar kurang lebih 1 jam. Hal itu rutin dilakukan sejak 15 tahun yang lalu
ketika ijin pertama pembangunan gereja mereka diajukan.

Penolakan HKBP Maranatha bukanlah satu-satunya kasus yang terjadi di Cilegon.
Sebelumnya Pemkot Cilegon juga telah 5 kali menolak pengajuan izin Gereja Baptis
Indonesia Cilegon (sejak tahun 1995). Gereja Kristen Indonesia (GKI) Cilegon yang
jemaatnya 1.300-an jiwa sejak tahun 2000 juga sulit membangun gereja. Lalu di tahun
2020, Pemkot melarang pelaksanaan ibadah Rabu Abu di gedung Serbaguna Katolik Stasi
St. Mikael.

Perjuangan untuk mendirikan rumah ibadah seringkali dihadapkan dengan Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang
Pendirian Rumah Ibadah. Hal ini yang menyebabkan perjuangan untuk mendirikan rumah
ibadah melalui proses yang berbelit dan panjang.

Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyebutkan: “Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya”. Lalu, Pasal 29 Ayat 2 berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”.

Jaminan itu juga termuat dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Di sana disebutkan bahwa “Setiap
orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup
kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya
sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain,
dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaannya
dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.”

Praktik diskriminasi sebagaimana disampaikan di atas dan berdasarkan instrumen dan
kepastian hukum yang berlaku di Indonesia, maka kami mendesak:

1. Pemerintah kota Cilegon harus segera menerbitkan izin pendirian tempat ibadah
kepada setiap warga negara, tak terkecuali karena latar belakang agama atau
kepercayaannya;
2. Kemendagri bersikap tegas terhadap tindakan Pemkot Cilegon yang mencederai Hak
Asasi Manusia khususnya dalam kebebasan berkeyakinan dan beragama;
3. Kemenag merevisi Peraturan Bersama (Perber) 2 Menteri 2006 tentang Pendirian
Rumah Ibadah. Perlu adanya konsistensi pengaturan terkait agama antara pemerintah
pusat dan daerah sehingga ke depan akan mempermudah koordinasi dan mekanisme
penyelesaian masalah yang timbul di lapangan.
4. FKUB Kota Cilegon harus bersikap arif dan tidak membedakan-bedakan pemeluk agama
yang memiliki hak sebagai warga negara. FKUB Kota Cilegon harus segera menjalankan
mandatori untuk melakukan mediasi konflik kepada warga yang pro dan kontra atas
pembangunan rumaha ibadah tersebut.

Demikian release ini kami sampaikan untuk disiarkan.
14 September 2022
Hormat Kami,
Yayasan Satu Keadilan,

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *