Balada Konflik MIAH yang Tak Kunjung Usai
METROPOLITAN.id – pembangunan masjid Imam Ahmad Bin Hambal atau yang biasa disebut MIAH di Jalan Kolonel Achmad Syam, Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor hingga saat ini tak kunjung terealisasi.
Hal itu lantaran Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor di bawah kepemimpinan Wali Kota Bima Arya meminta pembangunan MIAH dihentikan sementara, sebab dianggap memiliki potensi konflik sosial. Hal itu seiring dengan adanya penolak dari beberapa pihak.
Bahkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bogor tak bisa berbuat banyak atas penghentian pembangunan rumah ibadah tersebut.
“FKUB tidak dimasukkan dalam tim penanganan konflik sosial yang dibentuk oleh Wali Kota di kasus MIAH, meski begitu saat ini FKUB mengambil peran walaupun tidak dimasukkan tim,” kata Ketua FKUB Kota Bogor Hasbulloh.
Menurut dia, dalam menyikapi persoalan pembangunan MIAH, FKUB kerap melakukan cipta kondisi kerukunan di lingkungan masyarakat dan penguatan peran tokoh masyarakat dalam menyelesaikan persoalan pembangunan MIAH.
Hasbulloh menilai jika penghentian pembangunan MIAH bukan berdasarkan konflik keagmaan, melainkan konflik sosial seperti yang telah ditetapkan oleh Pemkot Bogor beberapa waktu lalu. Bahkan ia mengklaim saat ini tidak ada konflik keagamaan yang terjadi di Kota Bogor.
“Potensi konflik Keagamaan di Kota Bogor semakin rendah, karena dipicu peningkatan Indeks Kerukunan Umat Beragama di Kota Bogor. Apalagi DNA masyarakat Kota Bogor adalah masyarakat yang toleran,” kata dia.
Menurut Hasbulloh, dari beberapa kejadian yang muncul di Indonesia sedikitnya ada tiga pemicu terjadinya konflik keagamaan. Yang pertama adalah pada urusan penyiaran agama, atau mengajak orang lain dalam agama tertentu, biasanya konflik terjadi ketika adanya hate speech (ujaran kebencian,red).
Lalu yang kedua dipicu aliran keagamaan, ketika suatu masyarakat tertentu sudah terbangun suatu tradisi keagamaan dengan corak aliran tertentu, kemudian ada datang pihak lain yang membawa tradisi dan doktrin yang berbeda, maka hal tersebut bisa menjadi pemicu konflik.
“Ketiga adalah terkait dengan pendirian rumah ibadah, dimana ketika ada rencana pembangunan rumah ibadah dan tidak terkomunikasikan dengan baik kepada masyarakat dan tokoh agama setempat maka akan menjadi pemicu konflik,” ujar Hasbulloh.
Penghentian pembangunan MIAH pun tak luput dari peran Wali Kota Bogor Bima Arya. Beberapa waktu lalu, Bima Arya menyebutkan jika pihaknya telah berkomunikasi dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kota Bogor dan melakukan pemantauan di lapangan. Dari hasil tersebut pihaknya mencermati ada potensi konflik sosial yang sangat besar terkait pembangunan MIAH.
“Forkopimda atas persetujuan DPRD, menyepakati, menetapkan status konflik di lokasi tersebut. Sehingga melakukan langkah-langkah yang terukur untuk menghentikan semua kegiatan dan mengikhtiarkan terjadinya islah, musyawarah untuk mufakat,” kata Bima Arya.
Ia menjelaskan jika langkah penetapan status konflik sosial berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Tak hanya itu, menurut dia, Forkopimda juga terus mengupayakan mediasi dengan semua elemen masyarakat agar persoalan ini selesai. Sehingga warga bisa menerima, pihak pengurus masjid juga bisa berkomunikasi dengan baik dengan warga.
Sementara itu, Herly Hermawan, kuasa hukum yang mewakili pengurus MIAH menerangkan jauh sebelum adanya keputusan Wali Kota Bogor Bima Arya yang meminta penghentikan pembangunan MIAH dengan menetapkan konfik sosial, MIAH sudah berdiri sejak tahun 2001 berdasarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang resmi dan sah yang diterbitkan oleh Walikota Bogor Nomor 645.8/SK.151 Diskim Tahun 2001 tanggal 14 Mei 2001.
Lalu pada 2016 pengurus MIAH kembali mengajukan izin untuk melakukan perluasan dan renovasi bangunan, setelah memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku maka Walikota melalui Kepada Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DBMPTSP) Kota Bogor menerbitkan IMB dengan No. 645.8/264-DPMRTSP Tahun 2016, 29 September 2016.
“Selama 15 tahun berdiri tidak pernah ada penolakan dari masyarakat atau terjadinya konflik sosial di area MIAH,” kata Herly.
Dalam perjalanan renovasi MIAH, Herly menduga ada sejumlah pihak yang mendesak Wali Kota Bogor Bima Arya untuk menghentikan proses pembangunan. Atas desakan tersebut Bima Arya membekukan IMB atau produk hukum yang sebelumnya telah diterbitkannya. Geram dengan tindak tanduk Bima Arya, pengurus MIAH akhir mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung dan memenangkannya.
Tak sampai disitu, usai gugatan yang pertama Pemkot Bogor pun kembali mengeluarkan surat pencabutan IMB atas pembangunan MIAH. Namun hal tersebut digugat kembali di PTUN dan pengurus MIAH kembali memenangkan gugatannya.
“Terkait PTUN itu adalah pembangunan masjid karena persoalan IMB itu harus dipisahkan dengan pemahaman. Sekarang yang ditolak itu pemahamannya, silakan jalur hukum yang digunakan dong,” kata Herly.
“Menolak pembangunan masjid itu pidana, kecuali kalau MIAH ini sudah ditetapkan sebagai ajaran aliran sesat dan itu harus ke pengadilan yang menyatakan itu,” sambung dia.
Usai kalah di PTUN Bandung, lanjut Herly, Pemkot Bogor hingga saat ini belum menjalankan putusan pengdalian meski putusan tersebut telah inkracht atau berkekuatan hukum tetap. Bahkan putusan pengadilan tersebut kini diperkuat surat dari Menteri Sekretariat Negara yang meminta agar Kementerian Dalam Negeri memerintahkan Pemkot Bogor untuk menjalankan putusan pengadilan.
Herly juga menyebutkan jika Pemkot Bogor keliru dalam menyematkan konflik sosial dalam proses pembangunan MIAH. Sebab menurut dia, penyematan statsus konflik sosial kepada suatu wilayah ketika terjadinya kontak fisik antara pihak-pihak yang berseteru lalu terjadi eskalasi.
“Kalau pun ada penyematan status konflik sosial, Pemkot Bogor mempunyai waktu 90 hari untuk menyelesaiaknnya. Dan selama 90 hari itu tiak ada upaya dari Pemkot Bogor mengajak duduk bersama,” ujar Herly.
Imbas dari rangkain peristiwa tersebut proses pembangunan MIAH menjadi mangkrak, kondisi di proyek pun menjadi terbengkalai usai lokasi tersebut di segel oleh petugas Satpol PP Kota Bogor.
Dengan terhambatnya proses pembangunan MIAH, Herly menyebutkan saat ini jamaah yang sebelumnya kerap beribadah atau melakukan kajian keagamaan di MIAH kini harus berpencar-pencar. Bahkan kajian-kajian keagamaan yang menjadi agenda rutin kini dialihkan menjadi via digital.
“Kalau kita menimba ilmu kan dimana saja, pasca kejadian ini teman-teman ada yang ikut kajian dimana-dimana bahkan sampai keluar Bogor,” ungkapnya.
Sebelumnya, dalam Rapat Koordinasi Nasional di Sentul International Convention Center (SICC) Presiden Jokowi mengingatkan kepala daerah agar berhati-hati mengambil keputusan untuk melarang pembangunan rumah ibadah. Sebab, umat beragama memiliki kebebasan untuk beribadah dan beragama.
Kebebasan memeluk agama dan beribadah ini bahkan telah dijamin oleh konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 29 Ayat 2. Konstitusi ini, kata Jokowi, tidak boleh kalah oleh sebuah kesepakatan. Salah satu kesepakatan yang mungkin muncul, misalnya, sepakat tidak boleh memberi izin membangun rumah ibadah bagi pemeluk agama tertentu.
“Konstitusi tidak boleh kalah dengan kesepakatan. Dalam rapat FKUB misalnya, sepakat tidak memperbolehkan membangun tempat ibadah. Hati-hati loh, konstitusi kita, hati-hati, menjamin itu,” ujar Jokowi.
Ia mengingatkan agar semua kepala daerah mematuhi konstitusi tersebut, utamanya ketika menerbitkan instruksi setingkat wali kota atau bupati.
“Ada peraturan wali kota, atau ada instruksi bupati. Hati-hati loh, kita semua harus tahu masalah ini. Konstitusi kita memberikan kebebasan beragama dan beribadah,” ungkapnya.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!