Posts

FGD KBB-KOMPER - Yayasan Satu Keadilan

Forum Diskusi Terbatas Kebijakan Pendirian Rumah Ibadah dan Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan dalam Konteks Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

FGD KBB-KOMPER - Yayasan Satu Keadilan

Kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) khususnya forum internum merupakan hak individu yang tidak bisa ditunda pemenuhannya (nonderogable rights). Hak atas KBB mendapat jaminan untuk dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara, sebagaimana termaktub di dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yaitu “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Meskipun telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar, hingga saat ini hak atas KBB masih menjadi problem utama HAM di Indonesia, salah satunya adalah hak untuk mendirikan rumah ibadah.

Permasalahan tempat ibadah semakin serius karena pada level struktural, aturan tentang pendirian rumah ibadah, yakni Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 9 dan 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat belum efektif dalam menjembatani perselisihan-perselisihan yang terjadi. Bahkan beberapa ketentuan dalam aturan ini menimbulkan masalah, karena substansi yang multitafsir atau kurang jelas, misalnya tentang kewajiban Pemerintah Daerah memfasilitasi pendirian rumah ibadah yang ditafsirkan berbeda-beda di berbagai daerah.

Berlarut-larutnya penyelesaian beberapa kasus pelanggaran hak atas KBB di Indonesia juga diakibatkan oleh adanya kecenderungan saling lempar tanggungjawab antara pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Kecenderungan ini telah mengakibatkan ketidakpastian penyelesaian serta terus terabaikannya hak-hak korban pelanggaran hak atas KBB.

Di sisi lain, perempuan rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi atas dasar agama/keyakinan. Adanya hambatan untuk mendirikan rumah ibadah menyebabkan para perempuan tidak bisa menjalan ibadahnya dengan tenang. Beberapa dampak yang dicatat oleh Komnas Perempuan antara lain tidak bisa beribadah di tempat ibadah, tidak bisa khusyu’ dan dalam beribadah, dibayang-bayangi rasa takut dan cemas akan adanya serangan dan persekusi, khawatir akan adanya pengusiran, dan berpindah-pindah tempat beribadah. Para perempuan juga khawatir akan dikucilkan oleh masyarakat, tidak bisa beraktivitas sosial, ikut arisan, bahkan berjuang untuk mempertahankan hidup, pergulatan batin dan keluarga karena harus terus memberikan penjelasan kepada anak-anak mereka tentang kenapa mereka tidak bisa beribadah di tempat ibadah yang semestinya.

Berangkat dari permasalahan tersebut, pada tanggal 23 April 2019, Komnas Perempuan bersama dengan Komnas HAM, Ombudsman RI, Kementerian Dalam Negeri, Puslitbang Kementerian Agama, Jamaah Ahmadiyah Indonesia, GKI Yasmin, Yayasan Satu Keadilan, Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, PUSAD Paramadina,  mengadakan Forum Diskusi Terbatas mengenai Kebijakan Pendirian Rumah Ibadah dan Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan dalam Konteks Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

Tujuan dari Forum Diskusi Terbatas ini adalah melakukan kajian komprehensif terkait dengan regulasi mengenai pendirian rumah ibadah, dan mendiskusikan masukan-masukan dan peluang dari pelaksanaan PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, dan mendapatkan masukan-masukan mengenai peran FKUB sebagaimana diatur dalam PBM tersebut.

Berdasarkan hasil diskusi yang tersebut, berbagai kelompok/jaringan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan merekomendasikan untuk mengkaji ulang tugas dan peran FKUB sebagaimana yang tercantum dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, mengembangkan sinergi peran antara Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri, mencari best practice dalam menyelesaikan konflik pendirian rumah ibadah, membuat program berbasis kerukunan agama yang strategis.[]

 

YSK mendukung terbentuknya forum lintas iman dan kepercayaan di Kabupaten Bogor

Yayasan Satu Keadilan (YSK) bersama Badan Sosial Lintas Agama Kabupaten Bogor (BASOLIA) dan Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) menggelar Forum Silaturahmi Umat Beragama hari ini Sabtu(18/8) di Joglo Keadilan, Parakan Salak, Kemang, Bogor. Mengambil tema Membangun Kesadaran Keberagaman, Memperkuat Fondasi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Kegiatan ini diharapkan mampu menjadi  salah satu cara meningkatkan toleransi antar umat beragama.

Ahmad Suhadi ketua BASOLIA kabupaten Bogor menuturkan kita lebih baik mencegah tindakan intoleransi.  Ia mengajak tokoh-tokoh agama supaya bisa menjaga umat dari tindakan intoleran. Sementara itu, Ketua Yayasan Satu Keadilan, Sugeng Teguh Santoso (STS) menyatakan, “Yayasan Satu Keadilan mempromosikan kesadaran bahwa memeluk agama merupakan hak setiap orang, kerekatan sosial dalam kebangsaan harus diperkuat”.Kami memang yayasan yang mempromosikkan satu persaudaraan di antara umat yang berbeda-beda agama. Ini merupakan mandat atau tugas yayasan”, tambahnya.

STS melanjutkan kita patut menjaga persatuan, supaya tidak timbul gesekan, agama sebagai satu keyakinan ataupun kepercayaan kita kedepankan aspek sosialnya yang bisa mempersatukan, jangan meruncingkan perbedaan dogmatisnya. Apalagi agama dikaitkan dengan politik. Keberadaan BASOLIA harus kita dukung. “BASOLIA mempunyai tujuan yang sama dengan mandat YSK maka kita fasilitasi“, ujar STS.

Dengan kehadiran pejabat dan perwakilan masing-masing organisasi keagamaan, kalau kita lihat normatifnya tidak ada yang menentang. Kalau ada yang menentang berarti mereka tidak cinta bangsa Indonesia“, tutupnya.

Kegiatan ini dihadiri puluhan peserta dari unsur pemerintahan dan organisasi keagamaan serta kepemudaan. Dari unsur pemerintahan Kesbangpol Kabupaten Bogor, Babinsa Kecamatan Kemang, Kapolsek Kemang, MWCNU Kemang dan beberapa organisasi lain. [Hari]

Membedah Radikalisme Lewat Nobar Film “Mata Tertutup”

Ancaman nyata radikalisme di masyarakat mendapat perhatian khusus dari Yayasan Satu Keadilan (YSK). Salah satu upaya menangkal paham tersebut adalah dengan membangun kesadaran bersama, terutama generasi milenial.

Yayasan Satu Keadilan (YSK) melalui unit usaha kemandiriannya Joglo Kandang Sapi sukses menggelar acara nonton bareng dan diskusi film Mata Tertutup karya cinematograph, Garin Nugroho, pada Sabtu lalu (9/06/2018). Film ini yang mengisahkan tentang bagaimana Negara Islam Indonesia (NII) merekrut anggota baru mereka dan kondisi yang dialami oleh mereka yang direkrut, disimak dengan penuh antusias oleh para peserta nobar yang datang dari beragam kalangan masyakarat, baik kelompok pemuda, mahasiswa, organisasi seperti Gusdurian dan PMII Bogor. Hadir juga Fajar Riza Ul Haq (produser film Mata Tertutup) , Jajang C. Noer, yang memerani Asimah (ibu dari Aini, salah seorang perempuan yang menjadi anggota NII).

Pemutaran film dimulai pukul 16.00 wib dan selesai pukul 17.46 wib. Setelah menikmati hidangan berbuka puasa bersama, peserta diajak berdiskusi mengenai pesan-makna dalam film ini. Diskusi ini menghadirkan Fajar Riza ul Haq dan Jajang C. Noer sebagai narasumber dan dimoderatori oleh Jimmy Ginting.

“Melalui film ini kita akan menemukan fakta bagaimana sebuah paham dapat mengancam keragaman serta identitas kita sebagai bangsa. Meskipun diproduksi di tahun 2011, film masih relevan dengan kondisi kita sekarang,” papar Jimmy, Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Organisasi YSK.

“Mata Tertutup diproduksi tahun 2011, film ini berdasarkan kisah nyata”, tutur Fajar. Fajar menambahkan , ada beberapa faktor mempengaruhi pemuda tergabung pada gerakan radikalisme dan terorisme. Seperti dalam film Mata Tertutup,M. Dinu Imansyah (Jabir) masuk ke dalam jaringan terorisme karena faktor ekonomi. Jabir merupakan pemuda yang berasal dari keluarga miskin dan ingin membahagiakan ibunya.

Jajang C. Noer (pemeran Asimah) menekankan pentingnya kita berpikir rasional dalam menanggapi setiap hal yang terjadi disekitar kita. Disamping itu, Ia juga menandaskan betapa masih buruknya sistem pendidikan di Indonesia dan adanya kebutuhan untuk menyikapi hal tersebut bersama-sama.

Niko, perwakilan pemuda Gusdurian menekankan arti penting peran seorang ibu dalam mencegah anak-anak mereka terpapar paham radikalisme terorisme. Sementara Yolanda, salah seorang pegiat HAM, mendorong agar pemutaran dan diskusi film seperti “Mata Tertutup” perlu dilakukan di berbagai tempat dan mengutamakan kelompok muda sebagai pesertanya.

Dalam film tersebut banyak praktik cinta yang dimunculkan seperti praktik cinta Asimah kepada Aini. Seorang ibu kepada anaknya. “Banyak faktor yang mempengaruhi pemuda masuk ke jaringan terorisme namun semua itu bisa dicegah dengan cinta”, ungkap Jimmy menutup diskusi.

pertemuan KBB - Yayasan Satu Keadilan

YSK Bersama ANBTI Gelar Sosialiasi Program Penanganan Kasus-Kasus KBB

pertemuan KBB - Yayasan Satu Keadilan

Parung, 9 Juni 2018 – Yayasan Satu Keadilan (YSK) memulai kick off program penyusunan standar operational procedure (SOP) penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Program yang diusung merupakan kolaborasi bersama Aliansi Nasional Bineka Tunggal Ika (ANBTI). Sosialisasi awal program melibatkan komunitas umat lintas agama serta lembaga Ombudsman wilayah Jakarta Raya. Program direncanakan akan memberi fokus kerja pada 3 wilayah, yaitu Bogor, Bekasi, dan Depok.

“Sosialisasi hari ini menjadi penting agar seluruh stakeholder, termasuk komunitas umat beragama dapat memahami mengapa SOP penanganan kasus sewajarnya menjadi perhatian bersama,” ujar Kristian Feran, Kepala Operasional YSK.

Lebih lanjut, YSK memaparkan bagaimana strategi program akan dijalankan. Diharapkan, tujuan akhir program ini dapat membantu para pihak berkepentingan, utamanya pemerintah dan aparat penegak hukum mampu secara holistik menyikapi kasus-kasus KBB skala lokal. Selain lahirnya SOP penanganan kasus, sinergitas seluruh pihak semakin kuat.

“Bukan hanya lahirnya SOP, tetapi seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan ini mampu membangun relasi kerjasama yang baik agar punya pengaruh positif terhadap upaya kita membangun situasi ber-toleransi antar umat beragama,” urai Syamsul Agus Alam, Sekretaris Yayasan.

Berbagai tanggapan dan masukan atas rencana program datang dari para pihak yang berkesempatan hadir. Salah satunya menyoroti tentang penjelasan lebih lengkap terkait titik-titik strategis fokus wilayah kerja.

“Saya ingin memberi pemikiran tentang titik-titik yang menjadi prioritas, misal, Bogor Utara. Agama banyak di sana, dan rentan terhadap Ahmadiyah. Kemudian Jonggol Cileungsi, dan Bogor Barat,” ungkap Ahmad Suhadi, penggerak Kampung Damai, Kabupaten Bogor.

Sambutan baik juga diungkapkan oleh Teguh P. Nugroho, Ketua perwakilan Ombudsman wilayah Jakarta Raya. Optimalisasi kerjasama lembaga serta komunitas diharapkan mampu menjadi solusi apabila terjadi dugaan praktik tidak baik atas hak beragama dan berkeyakinan.

“Ombudsman berfungsi koreksional atas tindakan pemerintah. Adanya pelaporan akan lebih efektif untuk kami tindak lanjuti. Mohon melaporkan tindakan yang terindikasi sewenang-wenang oleh aparat negara,” tegasnya.[]

Seruan Moral Kebhinnekaan; Menjaga dan Memperjuangkan Kebhinnekaan

Hari-hari ini kebangsaan kita sedang diuji. Kita saksikan rajutan kebhinekaan Indonesia berada dalam gangguan serius. Berbagai kasus kekerasan bernuansa agama yang marak pada awal tahun ini di berbagai daerah dalam bentuk serangan fisik terhadap tokoh-tokoh berbagai agama dan persekusi terhadap minoritas keagamaan, dan banyak dimensi lain dari kekerasan yang terjadi, menunjukkan adanya ancaman serius terhadap kebhinekaan. Ikatan kebangsaan yang dibangun oleh para pendiri Negara-bangsa sedang dalam pertaruhan.

Republik Indonesia sejak kelahirannya dirancang oleh para pendirinya, para pendahulu kita, untuk menjadi negara pluralis, negara bhinneka yang inklusif lagi toleran, negara “satu untuk semua, semua untuk satu”, negara “Bhinneka Tunggal Ika”. Oleh karena itu menjaga dan memperjuangkan kebhinekaan agar tetap menjadi warna dan nuansa Republik, merupakan kewajiban dan tanggung jawab kita semua sebagai pewaris Indonesia merdeka. Membiarkan intoleransi, diskriminasi, persekusi, dan segala ancaman atas kebebasan beragama/ berkeyakinan sebagai salah satu ruh kebhinekaan nyata-nyata merupakan pengkhianatan atas amanat kebangsaan yang dimandatkan kepada kita sebagai penerus dan pengisi kemerdekaan Indonesia.

Perkembangan terkini di tengah-tengah Republik mestinya menggugah kita semua untuk mencurahkan perhatian lebih bagi upaya menjaga dan memperjuangkan kebhinekaan sebagai jati diri kebangsaan Indonesia. Berkaitan dengan itu, kami menyampaikan 6 seruan moral sebagai berikut:

  1. Merawat, menjaga dan memperjuangkan kebhinekaan Indonesia pada dasarnya merupakan kewajiban seluruh elemen bangsa dari berbagai latar belakang primordial berbasis suku/etnis, agama, ras, golongan dan daerah. Maka kita semua harus mengeluarkan segenap upaya yang efektif untuk mencegah dan menangani setiap ancaman atas kebhinekaan tersebut;
  2. Pemerintahan Negara sebagai pengelola berbagai sumber daya politik hukum dan keamanan harus mengambil tindakan yang tepat lagi professional dalam merespons setiap upaya untuk mengancam kebhinekaan dan memecah belah antar elemen bangsa yang bhineka;
  3. Presiden Joko Widodo berulangkali menegaskan bahwa “tidak ada tempat bagi intoleransi di Indonesia” dan “kebebasan beragama merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi”. Maka, standing position Presiden tersebut harus memberikan energi tambahan bagi setiap aparat pemerintahan di bawah kendali Presiden untuk menindak setiap ancaman atas kebhinekaan;
  4. Kompetisi di setiap perhelatan politik, termasuk Pemilihan Kepala Daerah secara serentak di 171 daerah pada tahun ini, juga Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden tahun depan, tidak boleh menggunakan cara-cara Machiavelis melalui politisasi agama, kampanye hitam, dan syiar kebencian berbasis sentimen SARA yang dapat mengancam kohesi sosial, kebhinekaan, dan integrasi nasional;
  5. Setiap elemen masyarakat, khususnya yang memiliki peran di bidang pendidikan, baik di institusi-institusi pendidikan resmi maupun pendidikan kemasyarakatan juga pendidikan di tingkat keluarga, perlu mengambil peran lebih untuk menanamkan bahwa kebhinekaan merupakan ruh kebangsaan kita, sehingga setiap orang harus memiliki ‘cipta, rasa, dan karsa’ untuk berinteraksi secara damai dalam perbedaan dan keberagaman;
  6. Para tokoh dan pemuka agama, sebagai simpul utama spiritualitas-keagamaan dalam dimensi transendental maupun sosial, memiliki peran sentral dalam merawat, menjaga, dan memperjuangkan kebhinekaan dalam kehidupan kebangsaan Indonesia. Oleh karena itu mereka harus memastikan bahwa pendidikan dan pengajaran keagamaan efektif membentuk kepribadian bangsa dan mencegah segala upaya yang dapat memecah-belah antar elemen bangsa dengan menggunakan sentimen-sentimen keagamaan.

Jakarta, 20 Februari 2018

Atas Nama Warga Negara Indonesia

Azyumardi Azra (Pemikir Islam), Saparinah Sadli (Tokoh Perempuan), Musdah Mulia (Pemikir Islam), Sulistyowati Irianto (Akademisi UI), Haryadi (Akademisi Unair),
Mochtar Pabotinggi (LIPI), Pdt. Wienata Sairin (Teolog), Robikin Emhas (PBNU), Abdul Munir Mulkan (Muhammadiyah), Franz Magnis-Suseno (Tokoh Katolik), HS Dillon (Aktivis HAM), Marzuki Darusman (Aktivis HAM), Benny Susetyo (Tokokh Katolik), Gomar Gultom (Tokoh Kristen), Jeirry Sumampow (Tokoh Kristen), Renaldy Damanik (Tokoh Kristen),
Biksu Jayamedo (Tokoh Budha), Nurmala Kartini Pandjaitan Sjahrir (Tokoh Perempuan), Balwath Sigh (Tokoh Sikh), Hendardi (Setara Institute), Zumrotin (Aktivis HAM),
Henny Supolo (Yayasan Cahaya Guru), Syamsiah Ahmad (Ex. Anggota Committee CEDAW PBB), J Kristiadi (Pengamat Politik), Muradi (Akademisi Unpad), Bivitri Susanti (Akamdemisi Jentera), Ismail Hasani (Akademisi UIN Syarif Hidayatullah), Halili (Akademisi UNY), Ade Armando (Akademisi UI), Dian Noerswantari (Akademisi Univ. Surabaya),
Titek Kartika (Akademisi Univ. Bengkulu), Pieter George Manoppo (Peneliti & Penulis), Herlambang P. Wiratraman (Akademisi Unair), Sugeng Teguh Santoso (Peradi),
Luhut MP Pangariabuan (Peradi), Hendri Saragih (Serikat Petani Indonesia), Pinky Saptandari Endang Pratiwi (Akademisi Unair), Maria Ulfa Anshor (LKK NU), Saor Siagian (Peradi),
Khaidir Ali (KAMMI), Donny Gahral Adian (Akademisi UI), MaylingOey-Gardiner (Akademisi UI), Majda El Muhtaj (Akademisi UNIMED), Arikhah (Akademisi UIN Walisongo),
Agustina Dewi (Akademisi Univ. Jember), Bonar T. Naipospos (Setara Institute), Andreas Harsono (HRW), Syamsul Alam Agus (Yayasan Satu Keadilan), Yati Andriyani (KontraS), Sudarto (PUSAKA), Sumarsih (JSKK), John Muhmmad (Aktivis 98), Erasmus Napitupulu (ICJR), Emerson Juntho (ICW), Ahmad Junaedi (SEJUK), Damar Juniarto (SafeNet), Al Araf (Imparsial), Wahyudi Djafar (Elsam), Nawawi Baharuddin (LBH Pers), Usman Hamid (AI Indonesia), Mufty Maakarim (Syiar Nusantara), Haris Azhar (Lokataru), Kaka Suminta (KIPP),
Pipit Rochiyat Kartawijaya (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi), Nia Syarifudin (Aktivis Kebangsaan), Rumadi Ahmad (Lakpesdam PBNU), Zuhairi Misrawi (Moderate Muslem Society),
Aldrin Situmeang (Serikat Alumni Jerman), Sabastian Salang (Formappi), Neng Dara Affiah (Muslimat NU), Dolorosa Sinaga (Aktivis Kemanusiaan), Sekar Pireno KS (Aktivis Perempuan),
Emmy Hafid (Aktivis Lingkungan), Abdullah Darraz (Ma’arif Institute), Titi Anggraini (Perludem), Totok Yulianto (PBHI), Muhammad Hafidz (HRWG),
Wawan Gunawan (Jaringan Kerja Antar Iman), Palti Panjaitan (Sobat KBB), Dwi Rubiyanti Kholifah (Country Representative AMAN), Rafendi Djamin (Ex. Komisioner Komisi HAM ASEAN), Nong Darol Mahmada (Salihara), Wahyu Susilo (Migrant Care), Mugiyanto (INFID), Bambang Joedopramono (Prodem), Abdullah Alamudi (Tokoh Pers), Aboeprijadi Santoso (Jurnalis Senior), Despen Ompusunggu (Jurnalis Senior), Gun Gun Heryanto (Pengamat Politik), Connie Rahakundini Bakrie (Pengamat Intelijen), Effendi Gazali (Pengamat Komunikasi UI),
Ray Rangkuti (Pengamat Politik), Bonnie Hargens (Pengamat Politik), Riza Primahendra (Pengamat Sosial), Tarlis L (HMI), M. Arsyad (PMII), Hafidz Prayogi (IMM), Harry Pontoh (Peradi), Rambun Tjayo (Peradi), Dwiyanto Prihartono (Peradi), Robert Keytimu (TPDI), Petrus Salestinus (TPDI/ Advokat Pancasila), Hardi Danuwijoyo (Seniman), Muna Panggabean (Novelis),
Niluh Djelantik (Aktivis Perempuan), Hendri Sandra Amelia Moeis (Aktivis Kemanusiaan), Kencana Indrishwari (Pegiat Sosial Politik Kemanusiaan), Sri Gustini (Aktivis Perempuan),
Caroline J. Monteiro (Aktivis Perempuan), Valentina Sagala (Aktivis Perempuan), Damianus Taufan (Aktivis HAM), Witaryono Reksoprojo (TPDI), Abdurahhman Wahid (PMII),
Soleh Marzuki (Jaringan Pengajian Kebangsaan), Mike Verawati (Koalisi Perempuan Indonesia wilayah DKI Jakarta), Damaria Pakpahan (Yayasan Perlindungan Insani),
Dewi Tjakrawinata (Yapesdi), Misiyah (Institute KAPAL Perempuan), Salma Safitri (Suara Perempuan Desa), Listyowati (Kalyanamitra),
Maulani A. Rotinsulu (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia), Sri Nurhayati (Aktivis Perempuan), Redy Saputro (Peace Leader Indonesia), Muhammad Saiful Haq (Majelis Rupa Kreasi),
Yudha Irlang (Ansipol), Dete Aliah (Serve Indonesia), Milastri Muzakkar (AMAN Indonesia), Suraiya Kamaruzzaman (Balai Syura Ureung Inong Aceh), Farha Ciciek (Tanoker Jawa Timur), Hikmah Bafaqih (Fatayat NU Jatim), M. Syauqillah (Pengamat Timur Tengah), Dian Kartika Sari (Koalisi Perempuan Indonesia), Sylvana Apituley (Pegiat Perempuan Papua),
Ratna Batara Munti (JKP3/ Asosiasi LBH Apik Indonesia), Max Ohandi (Yayasan Budaya Mandiri), Erna Suryadi (Gender Harmony), Mardiah (AMKRI),
Dedy Setiarumawan (Negeriku Indonesia Jaya/ NInJa), Rumiyati (KPKB/ Garnita Malahayati), Henricus MWP (Yayasan Gugah Nurani),
Soetjahjo Reksoprojo (Persaudaraan Alumni Mesin Usakti), Yuni Sri Rejeki (KePPAK), Ellyah Wijaya (KePPAK), Maya Aprillia (KePPAK),
Linda Hamid (Komunitas Insan Psikologi Indonesia/ KIPI), Badriyah Fayumi (ALIMAT), Trisno S. Sutanto (Masyarakat Dialog Antar-Agama), Adhi Ayoe Yanthy (Pergerakan Sarinah),
Ekasari (KerLIP DPD Jawa Barat), Syahna Rahmah (Forum Remaja), Amilia Renita Az (OASE), Mardiana (NInJa), Ernawaty (NInJa), Sisca Rumondor (NInJa), Peni Agustini (Jurnalis),
Wilman Dahlan Mansoer (KIPI), Lukman S Sriamin (KIPI), Irina Pendjol (KIPI), Budiarti (KePPAK), Susianah Affandy (Lembaga Kemaslahatan PBNU), M. Kanang (NInJa),
Helena Liswardi (AMKRI), R. Dhia Prakesha Yoedha (Pergerakan Sarinah), Pujiwati (KePPAK), Rini Harsari (KIPI), Ermelina Singereta (Peradi), Johannes Rumeser (KIPI), Ningsih (KIPI), WienDamona (KIPI), Livia Iskandar (KIPI), Helga Worotitjan (Inspirasi Indonesia/ Forum Survivor), Sulistyani (Jaringan Kemandirian Nasioanal/ BK 52),
Djoko Kusumowidagdo (OBI Karakater Solusindo), Yus Mashfiyah Aktif (Srikandi Lintas Iman Yogyakarta), Lucia Wenehen (ICRP), Inawati (KP2D), Kanisius Rarih (Lintas Profesi),
FR M. Widyarsono (Lintas Profesi), Bagus M (Lintas Profesi), Wahyudi Suhartono (Persaudaraan Alumni Mesin Usakti), Melly Setyawati (Aktivis Perempuan), Andy Lestanto (OASE),
Wiwid Setya Adi (OASE), Zahra (OASE)

Logo YSK Satu Keadilan

Hentikan Persekusi Terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Polisi Jangan Suburkan Intoleransi!

,

Tindakan Kepolisian Resort (Polres) Depok, bersama dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP) Depok, menggeledah dan menyegel Rumah Ibadah, yakni Masjid Al-Hidayah yang dibangun dan dikelolah oleh Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Depok, yang terletak di Kelurahan Sawangan Baru, Kecamatan Sawangan, Kota Depok (Sabtu, 3 Juni 2017), adalah ancaman nyata bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang di promosikan oleh Pemerintah “katanya” menghargai hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hak tersebut mestinya dilindungi oleh konstitusi dan berbagai instrumen hukum hak asasi manusia. Perintah Kepala Kepolisian RI kepada jajarannya untuk melawan segala bentuk persekusi selama ini, telah disalahtafsirkan oleh Polres Depok, sehingga JAI kembali menjadi korban persekusi itu sendiri.

“Tindakan aktif aparatur negara dalam kasus-kasus intoleransi ini, adalah ironi ditengah masyarakat mulai fasih bicara tentang hak asasi manusia. Memperlakukan semua manusia secara setara tanpa diskriminasi oleh karena latar belakang apapun, seperti agama ataupun kepercayaan”, kata Sugeng Teguh Santoso, S.H., Ketua Yayasan Satu Keadilan.

Penggeledahan dan penyegalan yang dilakukan secara bersama-sama, pada Sabtu, 3 Juni 2017, berlangsung di malam hari hingga dini hari tanggal 4 Juni 2017. Mengabaikan prosedur penegakan hukum sebagaimana mestinya, dan “menabrak” prinsip-prinsip hak asasi manusia. Penyitaan terhadap property JAI telah mendudukkan polisi dalam struktur pelanggaran atas hak beragama, berkeyakknan dan beribadah yang selama ini dilanggengkan oleh Pemkot Depok.

Kami menemukan dugaan penggunaan kekuasaan yang eksesif oleh Polri dalam proses penggelaledahan dan penyitaan di Mesjid Al Hidayah. Indikasinya ada penggunaan kekuasaan yang eksesif oleh Polri adalah melampaui upaya yang dibutuhkan. Misalnya penggunaan upaya paksa dan pengerahan kekuatan pasukan yang berlebihan untuk menyita CCTV yang terpasang di lokasi mesjid. Anggota Kepolisian yang datang lebih 20 (dua Puluh) orang, memaksa masuk ke dalam sekretariat JAI Depok untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan.

“Kepada salah satu jamaah, hanya ditunjukkan surat tugas dan surat izin penggeledahan, tanpa menyampaikan salinan surat penggeledahan tersebut. Bahkan, ada upaya penggeledahan badan kepada salah satu jamaah dengan alasan mencari kunci sekretariat, namun oleh “korban” ditolak, sehingga tidak dilakukan. Tindakan ini tidak prosedural dan melanggar hukum”, ujar Sugeng.

Jika yang dilakukan oleh Polres Depok adalah bagian dari proses penegakan hukum, maka penegakan hukum harusnya dengan mengarusutamakan hak asasi manusia dan taat hukum. Menghargai dan menghormati hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan JAI Depok.

Bahkan, salah satu pemuda JAI Depok, AB, sempat ditangkap dan dibawa ke Polres. Namun kemudian dilepaskan setelah dijemput oleh Tim Hukum dari Yayasan Satu Keadilan.

Untuk diketahui, Rumah Ibadah JAI Depok telah beberapa kali disegel oleh Pemkot Depok. Pertama tahun 2011. Padahal, Rumah Ibadah tersebut telah memiliki Izin Mendirikan Bangunan Nomor: 648.12/4448/IMB/DTB/2007. Sejak saat itu, jamaah beribadah dengan berpindah-pindah. Dimana-mana mereka dilarang. Hingga tetap berupaya memperjuangkan hak atas Rumah Ibadah tersebut.

Oleh karena itu, Yayasan Satu Keadilan mendesak:

  1. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, agar segera mengambil tindakan tegas terhadap Polres Depok, yang diduga terlibat aktif menjadi aktor intoleran terhadap JAI Depok dengan dalih penegakan hukum. Dan, memerintahkan kepada Propam Mabes Polri untuk segera melakukan penyelidikan atas dugaan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Polres Depok.
  2. Pemerintah Kota Depok, agar segera mencabut berbagai peraturan dan keputusan terhadap pelarangan kegiatan JAI Depok, yang menjadi salah satu sebab sikap intoleransi terhadap JAI Depok;
  3. Mengecam segala bentuk sikap dan tindakan yang tidak menghargai dan menghormati hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, seperti stigma sesat, kafir, dan lain sebagainya yang merendahkan harkat dan martabat manusia, khususnya kepada JAI Depok.

Demikian siaran pers ini kami sampaikan, terima kasih.

Bogor, 4 Juni 2017

Yayasan Satu Keadilan

Sugeng Teguh Santoso, S.H.
Ketua

CP: 08158931782 (Sugeng)

Persekusi Mengancam Kebebasan Berpendapat dan Demokrasi

Seiring dengan meningkatnya suhu politik dan terpolarisasinya warga, Safenet menemukan adanya persekusi terhadap orang-orang yang dilabel sebagai penista agama/ulama sejumlah 52 orang. Hanya dalam beberapa hari, Koalisi Anti Persekusi menemukan 7 orang lain sehingga jumlah saat ini bertambah menjadi 59 orang.

Pola yang ditemukan adalah:

  1. Mentrackdown orang yang dianggap menghina ulama/agama;
  2. Membuka identitas, foto dan alamat kantor/rumah orang tersebut dan menyebarkannya. Ada yang disertai dengan siar kebencian;
  3. Menginstruksikan untuk memburu target;
  4. Aksi menggruduk ke kantor/rumah oleh massa;
  5. Ada yang disertai ancaman dan/atau kekerasan;
  6. Dibawa ke kantor polisi untuk dilaporkan sebagai tersangka dengna pasal 28 ayat (2) UU ITE dan/atau pasal 156a KUHP;
  7. Disuruh meminta maaf baik lisan maupun melalui pernyataan;
  8. Respon polisi beragam:
    • Mentersangkakan korban; dan
    • Melihat proses tuntutan permintaan maaf

Selain pola di atas, ditemukan pula fakta adanya korban yanrg akunnya dipalsukan. Jadi sesungguhnya akun yang dianggap menghina ulama/agama bukanlah akun yang dibuat oleh orang yang bersangkutan. Beberapa dari mereka yang dipalsukan ternyata memiliki kesamaan identitas yaitu berasal dari etnis dan agama yang bukan mainstream.

Persekusi tersebut yang diwarnai perburuan terindikasi sebagai perbuatan yang sistematis atau meluas. Hal ini tampak dari cepatnya proses dalam menjangkau luasnya wilayah misal ditunjukakn dalam 1 hari bisa terjadi pola yang serupa di 6 wilayah di Indonesia yang saling berjauhan.

Persekusi ini jelas mengancam demokrasi karena sekelompok orang mengambil alih negara untuk menetapkan seseorang bersalah dan melakukan penghukuman tanpa melalui proses hukum. Ketakutan yang menyebar akan menjadi teror yang melumpuhkan fungsi masyarakat sebagai ruang untuk saling berbicara, berdebat secara damai sehingga menjadi masyarakat yang dewasa dalam menyikapi perdebatan. Untuk dapat melakukan hal itu kebebasan berpendapat adalah syaratnya.

Berdasarkan hal-hal di atas kami menyerukan kepada pihak-pihak yaitu:

  1. Negara dalam hal ini Komnas HAM, Kepolisian melakukan investigasi serius atas persekusi yang terjadi dan mengungkapkan fakta serta aktor di balik persekusi ini.
  2. Kepolisian agar menegakkan hukum karena Indonesia adalah negara hukum sesuai dengan pasal 1 angka 3 UUD 1945 & amandemennya. Dalam rangka ini Negara harus aktif menghentikan tindakan sewenang-wenang indidividu atau kelompok yang menetapkan seseorang telah bersalah dan melakukan tindakan apapun atas tuduhan sepihak tersebut.
  3. Kepolisian agar menegakkan hukum secara berkeadilan dengan tidak mengaktifkan pasal karet seperti pasal penodaan agama terlebih berdasarkan tuduhan sepihak dan sebaliknya menegakkan hukum atas ancama kekerasan, kekerasan dan siar kebencian.
  4. Masyarakat luas menahan diri untuk tidak melakukan siar kebencian karena dalam sejarahnya siar kebencian dapat menjadi awal dari genosida (pembasmian suatu kelompok tertentu) serta pecahnya bangsa.

Jakarta, 1 Juni 2017

Koalisi Anti Persekusi

Logo YSK Satu Keadilan

PAPUA: Demonstrasi Ditangkap, Ibadah Pun Ditangkap

Satu orang di Timika dikenakan pasal makar karena ibadah

Para pengacara hak asasi manusia yang tergabung dalam Civil Liberty Defenders, Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), dan Yayasan Satu Keadilan (YSK) mengecam tindakan penangkapan dan pembubaran kegiatan ibadah di Timika serta intimidasi di Wamena kemarin (30/5/2017). Selain itu kami juga mengecam penangkapan massal di Merauke hari ini. Ketiga kejadian beruntun ini dilakukan aparat keamanan terhadap Komite Nasional Papua Barat (KNPB), sebuah organisasi yang paling dipersekusi di Papua saat ini.

Aparat gabungan personil Kepolisian Resor Mimika bersama TNI melakukan penangkapan secara sewenang-wenang terhadap Yanto Awerkion selaku ketua 1 KNPB Timika pada hari Selasa pagi. Penangkapan dilakukan ketika KNPB sedang melakukan doa bersama di kantor mereka. Acara tersebut juga kemudian dibubarkan paksa. Yanto Awerkion dikenakan pasal 106 KUHP tentang tindak pidana makar. Selain penangkapan terhadap Yanto, enam orang lainnya juga diinterogasi selama kurang lebih dua jam yang kami anggap merupakan bentuk intimidasi.

Unsur utama pasal makar memerlukan unsur kekerasan supaya terpenuhi unsur pasalnya. Tidak ada unsur kekerasan di dalam perhelatan ibadah di kantor milik sendiri dalam kasus ini. Pasal makar lagi-lagi disalahgunakan untuk membungkam ekspresi, kali ini dalam bentuk ibadah, terhadap orang Papua. Maka, pengenaan pasal makar terhadap Yanto Awerkion melanggar pasal 28 E ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan pasal 24 ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Selain itu, pada hari Selasa (30/5/2017) juga terjadi intimidasi di kantor sekretariat KNPB di Wamena. Aparat keamanan mendatangi sekretariat tersebut untuk menanyakan mengenai kegiatan yang hendak dilakukan. Meskipun tidak ada kegiatan yang sedang akan dilakukan, namun kami menilai bahwa bentuk intimidasi seperti ini tidak patut, diskriminatif, serta melanggar hak konstitusional untuk berkumpul.

Hari ini pula (31/5/2017) terjadi penangkapan terhadap 77 orang di Merauke. Para pengurus dan anggota KNPB dan Parlemen Rakyat Daerah (PRD) yang ditangkap tersebut sedang melakukan ibadah syukuran di sekretariat mereka ketika pembubaran dan penangkapan terjadi. Meskipun mereka semua telah dilepas sore harinya, namun kami tetap mengecam tindakan sewenang-wenang ini sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusional atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berekspresi.

Untuk itu, Civil Liberty Defenders, LBH Pers dan YSK mendesak:

  1. Kapolres Mimika untuk segera menghentikan kasus dan melepaskan Yanto Awerkion dari tahanan di Polres Mimika;
  2. Kapolda Papua, Kapolda Papua Barat, dan Kapolri untuk menghentikan segala intimidasi dan penangkapan secara sewenang-wenang terhadap masyarakat Papua yang berupaya melaksanakan hak kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berkumpul;
  3. Presiden Jokowi untuk menjamin perlindungan atas pelaksanaan kebebasan berekspresi dan berkumpul terhadap KNPB dan seluruh masyarakat Papua.

Jakarta, 31 Mei 2017

Hormat kami,

Civil Liberty Defenders, Lembaga Bantuan Hukum Pers, dan Yayasan Satu Keadilan

CP:
Tigor Hutapea (081287296684)
Asep Komarudin (081310728770)
Syamsul Alam Agus (08118889083)

Diskusi Publik Menguji Keadilan Publik - Yayasan Satu Keadilan

Diskusi Publik: Menguji Keadilan Publik Dalam Pasal 156a KUHP

Sejarah lahirnya Pasal 156a KUHP, adalah sejarah diskriminasi, penyingkiran, dan penundukkan kelompok minoritas agama dan kepercayaan. Pasal ini lahir, salah satunya disebabkan oleh terbitnya Penpres 1/PNPS Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang kemudian menjadi undang-undang. Puluhan orang telah dipenjara karenanya. “Setidaknya, saat ini ada 6 (enam) orang yang sedang menjalani proses hukum dan mendekam dijeruji besi. 3 (tiga) orang Millah Abraham, Andrew Handoko Putra di Solo, Ahok di Jakarta, dan Otto Rajasa di Balikpapan”, kata Sugeng Teguh Santoso, S.H., Ketua Yayasan Satu Keadilan dalam acara Diskusi Publik, dengan tema, Menguji Keadilan Publik Dalam Pasal 156a KUHP, di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat (Rabu, 24/05/2017).

Diskusi Publik Menguji Keadilan Publik - Yayasan Satu Keadilan

Diskusi publik tersebut, dihadiri antara lain, mahasiswa, pegiat HAM, akademisi dan praktisi, dengan narasumber: Usman Hamid, S.H., M.Phil., (Direktur Amnesty Internasional Indonesia), Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H. (akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Ismail Hasani (Direktur Setara Institut) dan Siti Aminah Tardi (The Indonesian Legal Resource Center/ILRC).

Pemenjaraan para pelanggar, selalu berjalan beriringan dengan tekanan masa. Penegakan hukum, kemudian terkesan untuk memenuhi tuntutan masa. Hukum menjadi pelayan kepentingan politik. Para pelanggar yang dijerat dengan delik penistaan/penodaan agama, sejatinya adalah korban. Delik itu lahir dari ruang yang “busuk”. Ruang diskriminatif dan penundukkan.

Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi catatan dalam diskursus publik tersebut, yakni:

Pertama, delik penistaan/penodaan agama, telah menghambat kebebasan bereskpresi. Orang-orang dilarang berpikir. Dilarang melakukan tafsir. Penafsiran, menjadi otoritas negara.

Kedua, delik penistaan/penodaan agama adalah pasal karet sehingga penerapannya, sangat bergantung pada selera atau kepentingan politik penegak hukum atau penguasa.

Ketiga, delik penistaan/penodaan agama, berpotensi menjadi ancaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara-bangsa yang multikulturalisme. Yang saling menghargai dan menerima perbedaan, sebagai anugerah mutlak dari Tuhan Yang Maha Esa.

Keempat, perlu pemahaman dan kesadaran bersama dari semua elemen bangsa terutama pemerintah dan penegak hukum untuk kembali menelaah penggunaan Pasal 156a KUHP termasuk di dalam revisi KUHP yang sedang berjalan sehingga kehidupan beragama dalam konteks berbangsa dan bernegara tetap berpedoman pada Pancasila dan UUD Tahun 1945.

Ditengah semua pihak mulai fasih bicara HAM, delik penistaan/penodaan agama, adalah barang usang yang sudah tidak kontekstual.[]

Logo YSK Satu Keadilan

Menguji Konstitusionalitas Pengosongan Kolom Agama Bagi Penghayat/Penganut Kepercayaan

Jakarta, 28/09 – Empat warga Negara yang merupakan penganut kepercayaan atau penghayat hari ini mendaftarkan Pengujian Pasal 61 ayat (1) jo. ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) jo. ayat (5) UU Administrasi Kependudukan ke Mahkamah Konstitusi, melalui Kuasa Hukumnya dari Tim Pembela Kewarganegaraan, dengan tanda terima No. 1622/PAN.MK/IX/2016.

Penganut kepercayaan dan penghayat telah mengalami diskriminasi dari Negara. Berdasarkan UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan jo UU No. 23/ 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk), kolom agama di Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik para penganut kepercayaan dan penghayat dikosongkan. Ini berbeda dengan para penganut agama-agama mayoritas di Indonesia.

Pembedaan perlakuan ini telah melahirkan pelanggaran-pelanggaran lanjutan terhadap hak-hak asasi manusia para penganut kepercayaan dan penghayat. Diantaranya adalah: penganut Sapto Darmo di Brebes, tak bisa memakamkan keluarganya di pemakaman umum, karena tak tertulis agama di KTP elektroniknya; perkawinan penganut kepercayaan Marapu di Sumba, tak dicatat Negara, dan anak-anak keturunannya pun tak memiliki akta kelahiran. Bahkan anak-anaknya harus memiliki surat baptis terlebih dahulu untuk bisa mengenyam pendidikan; di Sumatera Utara, kelompok Parmalim dan Ugamo Bangso Batak bahkan kesulitan untuk melamar pekerjaan, karena tidak tercantumnya agama mereka di KTP elektronik.

Pasal-pasal dalam UU Adminduk tersebut telah melanggar prinsip kepastian hukum; kesamaan warga Negara di hadapan hukum; dan bebas dari tindakan diskriminasi yang dijamin UUD 1945, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia; Kovenan Hak Sipil Politik, serta instrumen Internasional lainnya. Asas hukum perlakuan yang sama di hadapan hukum (persamaan di hadapan hukum) berarti menempatkan setiap warga negara mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dengan asas ini, seyogianya tidak terjadi suatu perbedaan perlakuan/diskriminasi terhadap warga negara.

Selain itu, administrasi kependudukan merupakan bagian dari pelayanan publik yang menjadi hak yang melekat bagi setiap warga negara. Administrasi kependudukan dimaknai oleh undang-undang ini sebagai rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitandokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain. Selanjutnya Pasal 2 UU Administrasi Kependudukan menyatakan dokumen kependudukan dan data kependudukan merupakan hak setiap penduduk.

Dalam praktiknya di lapangan aparat birokrasi seringkali menerapkan bentuk pelayanan yang berbeda-beda terhadap warga negara yang berdasarkan pada agama atau keyakinan mereka. Di beberapa daerah, para penganut penghayat kepercayaan mengurus KTP dan KK, oleh sebagian petugas Catatan Sipil dan Kependudukan sering dipaksa untuk mengisi kolom agama dengan salah satu dari enam (6) agama yakni Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha atau Konghucu.

Dengan menguji konstitusionalitas Pasal 61 ayat (1) jo. ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) jo. ayat (5) UU Administrasi Kependudukan ke Mahkamah Konstitusi, kami UU Adminduk ke Mahkamah Konstitusi, Tim Pembela Kewarganegaraan berharap Negara dapat kembalimemberikan perlindungan dan pengakuan terhadap status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia, dengan tetap dapat mencantumkan agama kepercayaan dalam berbagai identitas warga Negara, sehingga pelayanan kependudukan pun dapat terpenuhi.

Tim Pembela Kewarganegaraan

Jalan Siaga II, No. 31, Pejaten Barat, Ps. Minggu