Posts

Logo YSK Satu Keadilan

Hentikan Kriminalisasi Aktivis Lingkungan Hidup di Bali!

Intimidasi, kriminalisasi, dan bentuk teror lain yang dihadapi Rakyat Bali yang menolak reklamasi Teluk Benoa kerap terjadi sejak mereka menyatakan penolakan secara terbuka terhadap rencana PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) untuk mereklamasi Teluk Benoa. Perobekan baliho, sebaran fitnah, bahkan usaha-usaha kriminalisasi warga penolak reklamasi di Bali pun terjadi.

“Kriminalisasi yang menimpa dua warga adat Sumerta, I Made Jonantara dan I Gusti Made Dharmawijaya merupakan suatu tindakan pengekangan terhadap upaya-upaya masyarakat adat mempertahankan lingkungan hidupnya. Teluk Benoa merupakan kawasan konservasi, yang menyangga berbagai keragaman hayati, juga situs suci bagi masyarakat Hindu di Bali,” ujar Suriadi Darmoko Direktur WALHI Bali di kantor Mabes POLRI, Jakarta.

Selanjutnya, I Made Ariel Suardana, Koordinator Divisi Hukum ForBALI menegaskan jika tindakan kedua aktivis tolak reklamasi Teluk Benoa tersebut bukanlah tindak pidana sehingga proses hukum terhadap keduanya harus dihentikan. “Hari ini, kami disini meminta agar Kapolri dan Kapolda Bali untuk segera menghentikan proses hukum terhadap para pejuang Bali Tolak Reklamasi dari Desa Adat Sumerta, Bali, I Gusti Putu Dharmawijaya dan I Made Jonantara alias De John dengan segera menerbitkan SP3 atas kasus tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP. SP3 penting dilakukan karena tindakan kedua warga tersebut bukan merupakan tindak pidana.”

Menanggapi kasus kriminalisasi yang ada di Bali, Ony Mahardika dari Manajer Kampanye Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil WALHI Eksekutif Nasional selanjutnya menjelaskan jika kriminalisasi kerap terjadi pada saat rakyat melawan kebijakan eksploitasi atas lingkungan hidup di wilayahnya. “Kasus kriminalisasi aktivis lingkungan hidup di Indonesia terjadi di banyak tempat ketika rakyat berani bersikap tegas terhadap ketidakadilan yang terjadi. Kami menolak tindak represif kriminalisasi oleh aparatur Kepolisian. Kegagalan kepolisian untuk bersikap arif dalam memahami isi pasal dan konteksualisasinya menyebabkan penyimpangan hukum yang serius.”

Aliansi Masyarakat Sipil yang terdiri dari beberapa organisasi dan individu yang memiliki perhatian khusus terhadap masalah kriminalisasi aktivis lingkungan hidup dan turut bersolidaritas dalam menolak reklamasi Teluk Benoa menyerahkan surat terbuka yang digalang bersama kepada pihak POLRI pada Kamis, 23 Februari 2017. “Kami melihat bahwa perjuangan Bali Tolak Reklamasi adalah perjuangan melindungi lingkungan hidupnya, melindungi teluknya. Mirisnya, kasus kriminalisasi ini terjadi di Bali dimana hari ini sedang dilangsungkan World Ocean Summit. Melalui kedatangan kami yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup dan juga mendukung perjuangan rakyat Bali Tolak Reklamasi, kami melihat bahwa kasus ini adalah kasus kriminalisasi dan sangkaan terhadap kedua warga ini tidak layak dilanjutkan prosesnya. Pernyataan terbuka yang ditujukan kepada Kapolri dan Kapolda Bali ini kami serahkan kepada perwakilan pihak POLRI sebagai pernyataan tegas kami untuk mendukung perjuangan demi lingkungan hidup yang berkeadilan. Pernyataan terbuka ini didukung oleh kurang lebih 100 lembaga dan individu.” pungkas Diana Gultom dari debtWATCH Indonesia sebagai perwakilan aliansi.

Jakarta, 23 Februari 2017

Yayasan Satu Keadilan, ForBALI, WALHI Bali, WALHI, debtWATCH Indonesia, Greenpeace Indonesia, KontraS, YLBHI, KNTI, KPA, Layar Nusantara Jawa Tengah, LBH Semarang, JATAM, WALHI NTT, Sahabat Alam NTT, Baileo Maluku, WALHI Jakarta, WALHI Sulawesi Selatan, WALHI Sumatera Utara, WALHI Aceh, IHCS, KPRI, JPIK, FP3, WALHI NTB, WALHI Jawa Tengah, HuMa, WALHI Jawa Timur, TuK Indonesia, Pusaka, LBH Pers, Sawit Watch, ELSAM, WALHI Sumatra Barat, Gusdurian Kota Batu, Klub Indonesia Regional 12 Malang,
WALHI Kalimantan Selatan, WALHI Bangkablitung, WALHI Yogyakarta, Aliansi Penyelamat Hutan Kota Malabar, Nawak Alam Kota Batu, SARI Solo, Komunitas Anti Globalisasi Ekonomi, Solidaritas Perempuan, Institute Ecosoc, KRuHA (Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air), Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, KELOLA Sulawesi Utara, Bina Desa, WALHI Sulawesi Utara, KAMMIPALA Jakarta, KIARA, ELAW Indonesia, Forest Watch Indonesia, Institut Hijau Indonesia, SPRI, WALHI Sulawesi Tengah, WALHI Sulawesi Tenggara,
Forma PHM – Fak. Hukum Univ. Widyagama Malang, WALHI Riau, ICEL, Gema Demokrasi, Lingkar Borneo Kalbar, Perkumpulan Padi Kaltim, Genesis Bengkulu,
PPLH Mangkubumi Jawa Timur, Yayasan Peduli Nangroe Atjeh (PeNA), ARuPA Yogyakarta, Yayasan Hutan Riau, LPPSLH Purwokerto, STABIL Kalimantan Timur, Women’s Research Institute, JERAT Papua, KKI WARSI Jambi, Komunitas Taring Babi, WALHI Bengkulu, Yayasan Perlindungan Insani Indonesia

Individu:
Deddy Ratih, Tandiono Bawor Purbaya, Nelti Anggriani, Nurfiana, Margaretha T. Andoea, Evi Yunita Noor, Sutji Rahaju Shinto, Arimbi Heroepoetri, Marizka Mantik, Nunung

Narahubung:

Suriadi Darmoko (085737439019)
I Made Ariel Suardana (081338739096)
Ony Mahardika (082244220111)
Diana Gultom (08159202737)

Logo YSK Satu Keadilan

YSK : SURAT TERBUKA YAYASAN SATU KEADILAN UNTUK KAPOLDA BALI

Kepada Yth.
Bapak Kapolda Bali
Irjen Pol Sugeng Priyanto SH, MH.
Di,-
Tempat

Bogor, 7 September 2016. Hari suci Galungan yang dirayakan mayoritas masyarakat Bali dicemarkan oleh perilaku sewenang-wenang anggota Kepolisian Daerah Bali. Kali ini, seorang aktivis ForBALI bernama I Gusti Made Dharmawijaya ditangkap tanpa surat penangkapan. Alasan penangkapan karena polisi menduga yang bersangkutan melanggar pasal 24 A juncto pasal 66 UU 24 Tahun 2009 tentang Bendera dan Bahasa.

Kronologi penangkapan bermula pada pukul 19.30 WITA seseorang mengaku Buser Polda bernama I Gusti Made Sudiana menelepon I Gusti Made Dharmawijaya dan mengatakan ingin bertemu. Tapi karena I Gusti Made Dharmawijaya sibuk, dia minta pertemuan dilakukan setelah kerja malam jam 23.00 WITA. Lalu mengingat istri sedang hamil ia meminta agar pertemuan ditunda dari tanggal 7 September untuk dijadwal ulang pada Sabtu, 10 September 2016.

Alih-alih menjadwal ulang, Buser Polda itu datang dan membawa paksa I Gusti Made Dharmawijaya ke Polda Bali tanpa menunjukkan surat tugas atau penangkapan kepada yang bersangkutan, malah yang bersangkutan langsung diperiksa malam itu juga oleh penyidik Burhanudin dipantau langsung oleh Kasubdit I Polda Bali tanpa didampingi pengacara, dugaan atas tindak pidana yang dilakukan oleh I Gusti Made Dharma Wijaya berawal dari laporan yang diterima pada tanggal 5 September 2016, dengan Laporan Model A yang dibuat oleh Polisi sendiri, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka, karena menurunkan Bendera Merah Putih pada tanggal 25 Agustus 2016 di depan Gedung DPRD Bali, padahal faktanya Bendera Merah Putih tidak pernah dilepaskan dari ikatannya hanya diturunkan kemudian mengikat bendera ForBALI di bawah bendera Merah Putih dan dinaikan kembali tanpa ada niat untuk menciderai Bendera Merah Putih.

Berdasarkan fakta tersebut, kami menilai bahwa Polda Bali telah melakukan tindakan yang sewenang-wenang dan melanggar mekanisme due process of law dan fair trial yaitu:

Pertama, Pemanggilan yang tidak patut, Surat panggilan tersangka diatur dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. Dalam penjelasan Pasal 112 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa surat panggilan yang sah adalah surat panggilan yang ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang.

Kedua, Untuk menetapkan tersangka, pihak penyidik harus menerbitkan Surat Perintah Dimulai Penyidikan sebagai pemberitahuan kepada Jaksa yang kemudian dilanjutkan proses penyidikan untuk memperoleh nama-nama yang dijadikan tersangka (lihat Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana). Setelah itu, penyidik memanggil tersangka (serta saksi-saksi) untuk diperiksa.

Ketiga, Berkaitan dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh I Gusti Made Dharmawijaya, bahwa penyidik, apakah menurunkan bendera kemudian menaikannya kembali merupakan penghinaan terhadap Bendera Merah Putih.

Atas dasar itulah, Kami meminta:

  1. Kapolda Bali untuk membebaskan segera I Gusti Made Dharmawijaya, serta mengeluarkan SP3 terhadap kasus I Gusti Made Dharmawijaya.
  2. Kapolda Bali harus bersikap obyektif dalam menangani kasus tersebut serta jangan terpengaruh oleh desakan-desakan pihak-pihak yang ingin mengkriminalkan para aktivis lingkungan yang sedang berjuang menyelamatkan lingkungan.
  3. Kapolda Bali untuk segera menginstruksikan kepada seluruh jajaran dibawahnya untuk menghentikan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan sewenang-wenang yang dilakukan secara sistematis serta memastikan dan menjamin rehabilitasi para korban yang terhadapnya telah dilakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan serta penyitaan sewenang-wenang. Selain itu harus menginstruksikan agar seluruh aparat Kepolisian di bawahnya mematuhi Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 (Standar HAM Kepolisian) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang menjamin perlindungan, pemenuhan dan penghormatan HAM dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
  4. Kapolda Bali harus memastikan terjaganya keamanan dan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) setiap warga masyarakat yang ada di wilayah Bali serta memastikan dilakukan proses hukum yang sejalan dengan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia. Sesuai tuntutan kerja polisi untuk profesional melindungi dan melayani warga, dan bukan kepentingan birokrat dan pengusaha pendukung reklamasi Teluk Benoa, Bali.

Demikian surat ini kami sampaikan atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terimakasih.

Bogor, 8 September 2016

Yayasan Satu Keadilan

Sugeng Teguh Santoso, S.H
Ketua

Tembusan:

  1. Kapolri
  2. Kompol Nas
  3. Komnas HAM
  4. Ombudsman Republik Indonesia

Tak Cukup Bukti Sebarkan Paham Komunis, Dua Anggota Aman Dibebaskan Polres Ternate

,

[ternate-engingengnews] Dua orang anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yg beberapa waktu lalu heboh dimedia sosial karena memakai kaos bertuliskan Penggemar Kopi Indonesia (PKI) dan akhirnya ditangkap Polres Ternate, Minggu (15/5/2016) sudah kembali dibebaskan.

Pembebasan tersebut atas upaya Yayasan Satu Keadilan (YSK) yang mengutus Sekretaris YSK Syamsul Alam Agus untuk memberikan bantuan Hukum.

Kepada engingengnews.com Ketua YSK Sugeng Teguh Santoso menyatakan, komunisme phobia yg digembar gemborkan oleh kelompok tertentu sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal dan bisa mengalihkan issue radikalisme agama. Terbukti sikap phobia ini telah membuat Polres Ternate menangkap 2 anggota AMAN yg memakai kaos bergambar Penggemar Kopi Indonesia (PKI).

Menyikapi kasus ini, akhirnya Pria yang akrab disapa STS ini, melalui Yayasan yang dipimpinnya mengutus Sekretaris YSK untuk memberi bantuan Hukum ke ternate terhadap 2 anggota AMAN tersebut.

“Bersyukur minggu kemarin 15 mei 2016 kedua orang yg ditangkap tersebut sudah dilepas, karena tidak cukup bukti telah menyebarkan faham komunisme,” ujar STS, Senin (16/5/2016).

Ketua YSK yang sekaligus dipercaya sebagai Sekretaris Jendral Perhimpunan Advokat Indonesia ini kembali mengingatkan, bahwa Komunisme Phobia yang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah bisa memakan korban dan menjadi pemicu Pelanggaean Hak Asasi Manusia.

“Yayasan Satu Keadilan akan selalu berada ditengah masyarakat yang ditindas, menegakkan NKRI dengan Pancasila dan UUD 45,” pungkasnya. (boy/001)

Penggusuran Bukit Duri dan Penganiayaan PP LBH Jakarta - Yayasan Satu Keadilan

YSK: Penggusuran Paksa dan Serangan Terhadap Pengacara Publik LBH Jakarta Adalah Pelanggaran HAM

Yayasan Satu Keadilan mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat gabungan Satpol PP, Camat Tebet dan Polsek Tebet terhadap Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Aldo Felix Januardy saat melakukan pendampingan kepada warga Bukit Duri yang akan digusur oleh Pemerintah Provinsi DKI, Selasa 12 Januari 2016.

Penggusuran Bukit Duri dan Penganiayaan PP LBH Jakarta - Yayasan Satu Keadilan

Adapun kronologis yang direlease oleh LBH Jakarta menyatakan bahwa sekitar pukul 06.32 WIB puluhan aparat gabungan Satpol PP dan Polsek Tebet, didampingi Camat, datang ke Bukit Duri. Diskusi berlangsung alot antara warga, Satpol PP, Polsek. Camat Tebet yang ikut dalam peretemuan itu bersikukuh ingin menggusur warga meskipun sudah dingatkan oleh warga bahwa masih ada proses audiensi DPRD dan gugatan PTUN yang tengah berlangsung. Aldo, Pengacara Publik dari LBH Jakarta yang saat itu mendampingi warga korban gusuran mengingatkan bahwa pihak satpol PP, Polisi dan Camat hendaklah menghargai proses hukum yang masih berlangsung. Tidak menerima pernyataan Aldo, 5 (lima) orang anggota Satpol PP dan Anggota Kepolisian beserta Camat Tebet melakukan penggeroyokan terhadap Aldo. Atas tindakan kekerasan itu, Aldo Felix Januardy mengalami luka dibagian kepala dan wajahya mengalami luka memar. Lensa kacamata yang dikenakan Aldo saat itu pecah. “Saya ditarik jauh dari lokasi diskusi itu dan diancam akan ditangkap jika masih berbicara”, jelas Aldo dalam kronologisnya.

Menyikapi kondisi ini, Yayasan Satu Keadilan menilai kebijakan Pemprov DKI yang terus melakukan penggusuran rumah tempat tinggal warga di Bukit Duri adalah pelanggaran hak asasi manusia, apalagi saat ini warga tengah melakukan upaya hukum di PTUN Jakarta dengan registrasi gugatan No: 02/G/2016/PTUN-JKT. Pendekatan keamanan yang represif yang dilakukan oleh Satpol PP, Camat dan Kepolisian menunjukkan tidak adanya pengakuan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia. Tindakan kekerasan itu pula telah mengakibatkan Aldo Felix Januardy yang tengah melakukan kerja pembelaan kepada warga korban gusuran di Bukit Duri menjadi sasaran serangan aparat Negara. Hal ini membuktikan lemahnya perlindungan Negara kepada Pembela Hak Asasi Manusia.

Ketua Yayasan Satu Keadilan, Sugeng Teguh Santoso, S.H. menegaskan bahwa penggusuran secara paksa yang dilakukan oleh Pemrov DKI adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia, apalagi tindakan tersebut dilakukan dengan pendekatan represif terhadap pekerja hak asasi manusia yang tengah melakukan pendampingan kepada warga korban gusuran di Bukit Duri.

Yayasan Satu Keadilan menuntut kepada Kepolisian RI untuk segera menegakkan hukum dengan memeriksa pelaku penyerangan terhadap Pengacara Publik LBH Jakarta, Aldo Felix Januardy secara professional dan transparan. Kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk pro aktif melakukan penyelidikan atas dugaan Pelanggaran HAM yang secara sistematis dipraktekan oleh Pemerintah Provinsi DKI yang melakukan penggusuran paksa dan mengakibatkan hilangnya hak warga Negara atas tempat tinggal yang layak. Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sebagai organisasi profesi hendaknya segera mengambil langkah-langkah strategis untuk memberi perlindungan dan pembelaan kepada Aldo Felix Januardy. “Serangan terhadap Aldo yang tengah melakukan kerja pembelaan kepada warga korban gusuran di Bukit Duri merupakan serangan terhadap profesi advokat”, tegas Sugeng.

Bogor, 12 Januari 2016

Yayasan Satu Keadilan

Sugeng Teguh Santoso, S.H.
Ketua

Kontak Narahubung: Sugeng teguh Santoso, 08158931783

 

Logo YSK Satu Keadilan

YSK: Putusan Bebas Majelis Hakim Terhadap Muhammad Miki

,

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cibinong telah menjatuhkan putusan bebas terhadap Muhamad Miki, aktivis lingkungan hidup yang menjadi korban kriminalisasi aparat penegak hukum di Kabupaten Bogor. Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Nusi, S.H, M.H. di Pengadilan Negeri Cibinong, Kamis, 3 Desember 2015.

Atas putusan tersebut Yayasan Satu Keadilan menyampaikan apresiasi kepada Mejelis Hakim yang telah menyidangkan kasus tersebut. Putusan bebas kepada Muhammad Miki merupakan kemenangan rakyat yang berjuang melawan kesewenangan aparat yang menggunakan hukum sebagai dasar mengkriminalisasi para pejuang hak asasi manusia, ungkap Ketua Yayasan Satu Keadilan, Sugeng Teguh Santoso, S.H.

Majelis Hakim telah menggugurkan seluruh isi dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dengan menyatakan bahwa Terdakwa Muhammad Miki tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Penyertaan dalam Pencurian dengan Pemberatan sebagaimana isi pasal 363 ayat (1) Ke-4 KUHP Jo Pasal 56 Ke-2 KUHP.

Muhammad Miki bersama warga di Kampung Kebon Jambe RT. 006 / RW. 002 Desa Antajaya Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Bogor berjuang menentang aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan di Gunung Kandaga, yang terletak di wilayah Desa Antajaya. Penolakan itu dilakukan oleh warga karena ancaman kerusakan lingkungan hidup dan rusaknya sumber air akibat eksploitasi dari perusahaan.

Usaha perusahaan menghentikan perlawanan warga dengan melaporkan kepada pihak kepolisian, akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2015, Muhammad Miki ditangkap dan ditahan sewenang-wenang dengan tuduhan pencurian barang milik perusahaan. Tidak hanya mengriminalisasi Miki, pihak perusahaan terus melakukan intimidasi terhadap warga lainnya yang menolak keberadaan perusahaan di Desa Antajaya.

Selama 4 (empat) bulan Muhammad Miki mendekam dalam penjara karena tuduhan rekayasa tersebut. Hari ini, setelah putusan bebas Majelis Hakim, akhirnya Muhammad Miki akan kembali dalam barisan perjuangan bersama warga melawan ketidak-adilan dan kesewenangan perusahaan dan aparat.

Putusan bebas terhadap Muhammad Miki membuktikan bahwa aparat penegak hukum (polisi dan jaksa) telah memaksakan proses hukum. Dengan dalil pasal-pasal KUHP, mereka mengkriminalisasi warga yang menuntut haknya atas sumber daya alam.

Dalam amar putusannya, Majelis Hakim memerintahkan kepada Negara untuk memulihkan nama baik Muhammad Miki dari segala tuduhan dalam isi materi dakwaan jaksa penuntut umum.

Yayasan Satu Keadilan mendesak agar seluruh pihak yang terkait untuk segera menjalankan perintah Majelis Hakim. Putusan ini hendaknya menjadi dasar bagi Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan dan Komnas HAM untuk memulai penyelidikan atas dugaan telah terjadinya pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan oleh Pihak Kepolisian dan Kejaksaan dalam rekayasa perkara Muhammad Miki.

Demikian siaran pers ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya yang baik, kami ucapkan terimakasih.

Bogor, 3 Desember 2015

Yayasan Satu Keadilan

Sugeng Teguh Santoso, S.H.
Ketua

Siaran Pers Kriminalisasi Miki - Yayasan Satu Keadilan

Siaran Pers Bersama: Stop Kriminalisasi Aktivis Lingkungan, Segera Bebaskan Muhammad Miki

,

Muhamad Miki (27), atau biasa disapa Miki, aktivis lingkungan hidup sekaligus warga Kampung Kebon Jambe; RT/RW 006/002; Desa Antajaya; Kecamatan Tanjungsari; Kabupaten Bogor, ditangkap pada tanggal 11 Agustus 2015 oleh Kepolisan Resor Bogor di rumahnya tanpa surat penangkapan dan tanpa mengetahui alasan penangkapan. Dirinya ditodong dengan pistol, lalu digiring ke Kepolisian Resor Bogor. Pada hari yang sama, dirinya ditahan, diperiksa tanpa didampingi penasehat hukum, kemudian ditetapkan sebagai Tersangka.

Penangkapan Miki didasarkan pada Laporan Polisi No. LP/B/359/IV/2015/JBR/RES BGR, tanggal 18 April 2015, dengan dugaan melanggar Pasal 363 KUHP juncto 170 KUHP. Merujuk pada fakta-fakta di lapangan, tuduhan tersebut kabur. Tuduhan bahwa Miki melanggar Pasal 363 KUHP, yakni pencurian dengan pengrusakan adalah upaya kriminalisasi, sebab pada faktanya, Miki bersama-sama dengan warga pada saat kejadian sebagaimana yang dituduhkan justru mengamankan kabel yang diduga bahan peledak, kemudian diserahkan kepada Kepolisian setempat yang ikut bersama-sama dengan warga. Kabel tersebut dibawa oleh Kepolisian. Demikian halnya tuduhan Pasal 170 KUHP yang juga tidak dapat dibuktikan kebenarannya, sehingga patut diduga sebagai bentuk kriminalisasi, yangmana penetapan tersangka, pemeriksaan dan penangkapannya sangat bertentangan dengan aturan hukum yang ada.

Siaran Pers Kriminalisasi Miki - Yayasan Satu Keadilan

Untuk diketahui, Miki adalah salah satu aktivis yang pro aktif menolak keberadaan beberapa perusahaan tambang yang ingin menambang salah satu gunung di wilayah Desa Antajaya, yakni Gunung Kandaga. Penolakan itu dilatarbelakangi, mengingat Gunung Kandaga ialah sumber kehidupan warga, terutama sumber air; kayu hutan; dan lain-lain. Air untuk kehidupan sehari-hari warga.

Sebagaimana pernah disosialisasikan kepada warga setempat, perusahaan-perusahaan tersebut akan menambang 7 (tujuh gunung) dan diawali dengan menambang Gunung Kandaga. Ketujuh gunung tersebut berada di wilayah Kabupaten Bogor dan persis berada di bawah kaki Gunung Sangga Buana sebagai salah satu gunung terbesar serta termasuk gunung purbakala di Kabupaten Bogor.

Berdasarkan fakta-fakta dan uraian peristiwa tersebut, kami menduga bahwa penangkapan dan penahanan serta penetapan Muhamad Miki sebagai Tersangka adalah upaya membungkam perlawanan warga secara keseluruhan, bentuk intimidasi melalui cara-cara kriminalisasi, agar perusahaan bebas tanpa hambatan menghisap dan merampas sumber kehidupan warga. Bahkan, berdasarkan keterangan warga dan beberapa data yang disampaikan kepada LBH-KBR, ijin untuk melakukan penambangan itu sarat koruptif serta manipulatif.

Dokumen Perizinan Cacat Hukum

Rekomendasi Bupati Bogor atas UKL-UPL kegiatan pertambangan galian C (andesit) blok gunung kandaga oleh Primkopkar Perhutani cacat hukum. Selain tidak memiliki izin lingkungan, pertambangan merupakan Kriteria usaha dan/atau kegiatan berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan AMDAL karena mengubah bentuk lahan dan bentang alam serta mengeksploitasi sumber daya alam. Oleh karena itu dokumen UKL – UPL sebagaimana rekomendasi Bupati harus batal demi hukum. Hal tersebut juga diatur dalam UU 4/2009 tentang pertambangan bahwa setiap IUP (eksplorasi dan operasi produksi) wajib memuat dokumen tentang AMDAL.

Sementara itu terkait dengan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan diluar kehutanan, surat rekomendasi permohonan dan pertimbangan teknis dari gubernur/dinas kehutanan(planologi) provinsi, bupati dan BKPH wilayah XI Jawa – Madura tidak dapat dijadikan dasar penggunaan kawasan hutan sebelum terbitnya izin pinjam pakai yang dikeluarkan oleh kementrian kehutanan.

Oleh karena (1) Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), telah menjamin perlindungan hukum bagi aktivis lingkungan hidup, yakni bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata; (2) tidak ada seorangpun dapat ditangkap, ditahan serta ditetapkan sebagai Tersangka secara sewenang-wenang; (3) tidak ada seorangpun dapat dilanggar hak asasinya, maka kami mendesak beberapa hal sebagai berikut:

  1. Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, agar segera menghentikan dan mencabut izin usaha pertambangan (IUP} kegiatan perusahaan yang melakukan penambangan gunung di wilayah Kabupaten Bogor karena cacat hukum, khususnya Gunung Kandaga dan 7 (tujuh) gunung lainnya yang menjadi sumber kehidupan warga setempat;
  2. Kepada Kepolisan Resor Bogor, agar segera membebaskan saudara Muhamad Miki karena prosedure dalam melakukan penahanan dan penetapan tersangka cacat hukum yang cenderung undue process of law, dan bila mendasar pada pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009, maka apa yang dilakukan Muhamad miki adalah sebuah upaya untuk melindungi lingkungan hidup agar tidak terjadi pencemaran, sehingga jelas muhamad miki tidak dapat dituntut secara pidana dalam upayanya melindungi lingkungan hidup;
  3. Kepada semua pihak, agar terlibat secara aktif menghentikan kegiatan-kegiatan pertambangan yang semakin merusak lingkungan dan merusak kehidupan umat manusia.

Demikian siaran pers ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya yang baik, kami ucapkan terimakasih.

Jakarta, 3 September 2015

Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBH-KBR),
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI),
Yayasan Lembaga Bantaun Hukum Indonesia (YLBHI), SPRI

LBH KBR - Yayasan Satu Keadilan

LBH KBR: Penahanan Sewenang-Wenang Terhadap Aktivis Lingkungan, LBHKBR Pra Peradilankan Polisi

Penangkapan yang disertai dengan penahanan secara sewenang-wenang oleh Kepolisian Resort Bogor terhadap Muhamad Miki, warga Kampung Kebon Jambo, RT/RW 006/002 Desa Antajaya Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Bogor, adalah pelanggaran hak asasi manusia, sekaligus mengukuhkan bahwa selama ini reformasi di tubuh polri gagal.

Penangkapan Miki, sapaan akrab Muhamad Miki, bukanlah peristiwa yang berdiri tunggal. Sebelumnya, Miki yang sering terlibat dalam aksi demontrasi menolak keberadaan tambang galian C di wilayah Antajaya Kabupaten Bogor itu, pernah terlibat bentrok dengan aparat yang mengawal kegiatan penambangan. Bentrokan itu menjadi alasan penangkapan Miki. Ia dituduh menganiaya. Di Polres Cibinong, tuduhan yang dialamatkan ke Miki, lain. Ia dituduh melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.

Tuduhan itu kabur, sebab Miki tidak pernah merasa mencuri. Tetapi Miki dituduh mencuri kabel milik salah satu perusahaan tambang di Atangjaya. Jika itu yang dituduh, maka tuduhan itu keliru! Menurut Miki, pada bulan April 2015, dirinya bersama-sama warga pernah mencopot secara paksa patok dan kabel yang mengelilingi Gunung Kandaga di wilayah Antajaya, karena diduga alat peledak yang bisa berakibat fatal pada kehidupan warga apabila diledakkan dan kemudian diserahkan Oleh Miki dan Warga Kepada Polsek Cariu. Patok dan kabel itu pun, telah diserahkan kepada aparat kepolisian setempat. Apakah itu yang dituduh mencuri?

Pada hari Selasa, 11 Agustus 2015, di Polres Bogor, Miki diperiksa dari Jam 7 malam hingga jam 2 malam tanpa didampingi penasehat hukumnya. Pada saat yang sama, Miki ditetapkan sebagai tersangka. Prosedur penangkapan, penahanan, pemeriksaan dan tuduhan yang dialamatkan kepada Miki tak berdasar. Lebih terkesan kriminalisasi pejuang hak-hak rakyat, daripada menegakkan hukum. Oleh karenanya, LBHKBR yang ditunjuk Miki sebagai Penasehat Hukumnya, mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka tersebut. Tujuannya, agar Miki mendapatkan keadilan. Agar setiap orang tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat. Dan agar siapapun, punya kebebasan untuk menyoal, mengkritik, serta melawan kesewenang-wenangan.

Atas Upaya Paksa yaitu penangkapan yang tanpa menunjukan surat perintah penangkapan dan Penetapan Tersangka Oleh Miki yang dilakukan Polres Bogor tanpa sebelumnya memanggil Miki untuk dimintai keterangan, sebagaimana diatur didalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3) UNDANG-UNDANG NOMOGR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Jo. Pasal 36 ayat (1) Perkap No. 14 Tahun 2012 sebagaimana ditegaskan di dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, maka pada tanggal 24 Agustus 2015, LBH Keadilan Bogor Raya telah mengajukan Permohonan Praperadilan atas Tindakan Polres Bogor ke PN Cibinong yang teregister dengan Nomor 04/Pid.Pra/15 PN Cbn Tertanggal 24 Agustus 2014.

Disamping itu LBH KBR selaku Penasehat Hukum dari Miki, juga mengajukan surat keberatan dan penolakan atas pemeriksaan yang dilakukan Miki pada malam hari tanpa didampingi dengan Surat Nomor 133/LBH-KBR/SK/VIII/215, karena itu jelas bertentangan dengan pasal 117 ayat 1 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Jo. pasal 38 ayat 2 huruf d Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009.

LBHKBR juga menyatakan siap mengadvokasi warga Antajaya untuk mencari keadilan atas Sumber Daya Alam (SDA) di lingkungannya yang dirampas oleh perusahaan-perusahaan, baik dengan cara-cara legal maupun ilegal. Penangkapan Miki hanyalah bagian dari persoalan yang lebih besar, yakni perampasan SDA. Praktik perampasan di Antajaya, seperti penggalian Gunung Kandaga, sudah lama berlangsung. Demontrasi juga terus berlangsung, tetapi pemerintah diam. Warga menilai, aparat dan pemerintah, berpihak pada pemodal, bukan pada kepentingan rakyat.

Merujuk pada fakta tersebut, LBHKBR juga mendesak agar Pemerintah Kabupaten Bogor, tidak mendiamkan dan melakukan pembiaran terhadap persoalan di Atajaya, yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan konflik ditengah-tengah masyarakat sendiri. Ketulian, kebisuan, yang selama ini menjadi karakter Pemkab Bogor dalam menanggapi jerit dan tangis rakyatnya, harus diakhiri.

Demikian press release ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terimakasih.

25 Agustus 2015

LBH Keadilan Bogor Raya

Prasetyo Utomo, S.H.
Direktur Eksekutif

Aksi Warga Kandaga Antajaya - Yayasan Satu Keadilan

Protes Perusahaan Perusak Lingkungan, Aktivis Ditangkap Polres Bogor

,

Penangkapan Syarat Dengan Pelanggaran Untuk Membungkam Kritik Pembela HAM

Muhammad Miki (MM), aktivis lingkungan hidup yang gencar mempersoalkan aktivitas perusahaan penambangan di Gunung Kandaga di tangkap oleh anggota kepolisian dari Polres Pogor pada tanggal 11 Agustus 2015. Penangkapan sewenang-wenang ini menuai protes ratusan warga Kampung Kebon Jambe, RT/RW 006/002 Desa Antajaya Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Bogor. Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan oleh LBHKBR, Miki ditangkap berdasarkan Laporan Polisi No. LP/B/359/IV/2015/JBR/RES BGR, tertanggal 18 April 2015, dengan dugaan melanggar Pasal 363 KUHP dan/atau Pasal 170 KUHPidana, yakni Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan dan/atau Pengrusakan.

SP Miki - Yayasan Satu Keadilan

Sebelumnya, MM dilaporkan oleh salah satu pemilik perusahaan penambangan di Gunung Kandaga yang terletak di Desa Antajaya atas dugaan pengrusakan. Menurut MM, apabila itu yang dituduhkan, jelas sangat keliru. Dirinya dan beberapa warga hanya mencopot kabel yang diduga alat peledak, lalu diserahkan kembali kepada aparat  setempat.

Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya (LBHKBR) yang merupakan Penasehat Hukum MM menilai penangkapan ini sebagai upaya kriminalisasi terhadap aktivis yang memperjuangkan hak-hak masyarakat.

MM termasuk aktivis yang paling vokal menolak keberadaan perusahaan-perusahaan tambang di Gunung Kandaga. Ia dan ratusan warga menolak kegiatan tambang, karena kuatir akan berakibat longsor dan menimbun kampung warga yang berada di kaki Gunung tersebut. Seperti diketahui, Gunung Kandaga merupakan sumber kehidupan warga, terutama Desa Antajaya.

LBHKBR menilai, ada upaya-upaya perusahaan untuk mengintimidasi warga, membungkam perlawanan warga dengan cara-cara menggunakan aparat penegak hukum sebagai alat. Oleh karenanya, LBHKBR bersama warga mendesak agar MM segera dibebaskan, karena tuduhan kepada MM tidak berdasar dan terkesan dipaksakan.

Direktur LBHKBR, Prasetyo Utomo, S.H. menyayangkan sikap Pemerintah Kabupaten Bogor yang hanya diam menanggapi persoalan penambangan Gunung Kandaga di Desa Antajaya ini. #Admin

Muhamad Miki - Yayasan Satu Keadilan

LBH KBR: Penangkapan Warga Antajaya Melanggar Hak Asasi Manusia

,

Senin 11 Agustus 2015, Muhamad Miki, salah seorang warga Kampung Kebon Jambe Desa Antajaya ditangkap pihak Kepolisian atas laporan dugaan pencurian Kabel milik perusahaan penambangan galian c, PT. Gunung Salak Rekanusa (GSR). Penangkapan yang dilakukan secara tiba-tiba tanpa surat pemanggilan sebelumnya dan tanpa menunjukan surat perintah penangkapan saat dilakukan proses penangkapan oleh Polres Cibinong tersebut semakin ganjil ketika diketahui bahwa tidak ada unsur pencurian seperti sebagaimana yang dituduhkan pada pemuda yang getol menolak kegiatan pertambangan yang ijin penambangannya dimiliki oleh PT. Primkopkar di wilayah Antajaya tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 362 KUHP.

Pengambilan/ pencopotan kabel tersebut secara spontan dan sengaja dilakukan oleh warga Antajaya karena kekhawatiran mereka jika kabel tersebut ternyata adalah bagian dari alat peledak yang akan digunakan perusahaan yang ijin operasinya masih dipertanyakan oleh warga sekitar area penambangan tersebut untuk kepentingan kegiatan penambangan. Warga Kampung Kebon Jambe yang letaknya persis dibawah area penambangan tersebut takut apabila terjadi longsor akibat proses ledakan. Kekhawatiran itupun semakin bertambah karena tidak adanya sosialisasi dari pihak penambang kepada warga terkait tujuan pemasangan kabel tersebut. Setelah warga mengambil kabel tersebut, warga melaporkannya ke Polsek Cariu dan memberikan secara langsung kabel dan patok tersebut kepada Kapolsek, dan dari keterangan warga pada saat pengambilan kabel, sdr. Miki tidak berada di lokasi, melainkan sedang berada di pos ronda, sehingga aneh bin ajaib, apabila penangkapan dilakukan terhadap orang yang tidak berada di lokasi kejadian.

Sungguh sangat ironis melihat imlementasi hukum di Indonesia yang seharusnya dapat mengayomi masyarakat dari berbagai ancaman kedzaliman tetapi justru malah hukum sendiri yang menjadi alat bagi pemilik kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaannya. Apakah Muhamad Miki adalah korban dari tindak Kriminalisasi akibat tindakannya memperjuangkan haknya dan hak masyarakat banyak. Maka dari itu, LBH Keadilan Bogor Raya mendesak:

  1. Bebaskan Muhamad Miki karena sebagaimana diatur dalam KUHAP dan juga PERKAP Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, tindakan anggota Polisi dalam melakukan penahanan terhadap Muhamad Miki tidak sesuai mekanisme dan Prosedur antara lain: pelaksanaan penangkapan dilakukan Polisi tidak dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan; dan polisi tidak menunjukan identitas diri sebagai anggota kepolisian, sehingga daam wakti 1×24 jam, keluarga dari miki resah akibat tidak ada kejelasan mengenai siapa yang membawa miki.
  2. Batalkan Penetapan Tersangka Terhadap Miki, mengingat penetapan tersangka didasarkan pada pemeriksaan yang tidak memperhatikan hak-hak dasar manusia yang dilakukan dari pukul 7 malam sampai pukul 2 pagi, dimana miki sama sekali tidak mendapatkan pendampingan
  3. Lembaga terkait seperti Kompolnas, PROPAM, Komnas HAM untuk menyelidiki kasus ini secara serius dan secepatnya karena ada indikasi kriminalisasi melihat kronologis fakta dilapangan yang tidak sesuai dengan tindak pidana yang dipersangkakan.

Demikian siaran pers ini, kami ucapkan terimakasih.

12 Agustus 2015

Hormat kami

LBH Keadilan Bogor Raya

Prasetyo Utomo, S.H.
Direktur Eksekutif

PRT Bogor dan STS - Yayasan Satu Keadilan

YSK: Vonis Terdakwa Penyekap PRT Ringan, Pembela Korban Dikriminalisasi

,

Upaya kriminalisasi terhadap para Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) human rights defenders kembali terjadi terhadap Pengacara yang sedang memperjuangkan hak-hak keadilan Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang telah disekap dan mengalami tindakan kekerasan lainnya oleh Muty Situmorang (MS) yang saat ini telah divonis satu tahun hukuman percobaan oleh Pengadilan Negeri Bogor. Masih ingatkah kita semua terhadap kasus penyekapan terhadap PRT di Bogor dan bagaimana perkembangannya?

Bahwa sejak awal proses penyidikan yang dilakukan oleh Polresta Bogor dalam menangani perkara penyekapan dan kekerasan berdasarkan laporan dari Yuliana Lewier yang telah mengadukan MS ke Polresta pada 13 Februari 2014 dengan Laporan Polisi nomor : LP/135/B/II/2014/SPKT berjalan tidak maksimal. Hal ini terbukti dengan tidak ditahannya tersangka dan penyidik tidak bekerja serius dalam membongkar praktek tindak pidana perdagangan orang. Setelah MS ditetapkan sebagai tersangka dan kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Bogor, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa MS dengan pasal berlapis, yakni Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) ancaman pidana 3-15 tahun, Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan ancaman pidana 5 tahun dan Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana 3 tahun 6 bulan penjara. Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa dengan tuntutan 5 (lima) tahun dengan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang RI No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jo pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan kesatu Primair serta memerintahkan agar terdakwa segera ditahan.

Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Bogor yang menangani perkara ini pada 3 Maret 2015 justru memvonis ringan terdakwa Menyatakan terdakwa Muti Situmorang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana Kekerasan Fisik Dalam Lingkup Rumah Tangga Sebagai Gabungan Beberaapa Perbuatan” dan terdakwa hanya dijatuhi pidana 1 tahun serta memerintahkan agar pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali dikemudian hari ada putusan hakim yang memerintahkan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 2 (dua) tahun habis. Atas vonis ringan tersebut, JPU telah mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi Bandung.

Saat vonis terhadap terdakwa jauh dari rasa keadilan korban, penyidik Polda Metro Jaya terus melakukan penyidikan atas laporan dari suami MS yang telah melaporkan Sugeng Teguh Santoso, SH. (kuasa hukum PRT) atas tuduhan pencemaran nama baik dan fitnah sebagaimana pasal 310 dan 311 KUHP melalui Polda Metro Jaya. Laporan tersebut dibuat oleh pelapor sebagai suami korban yang juga mantan/Purn. Brigadir Jenderal Polri pada bulan April 2014. Merespons pengaduan pelapor, penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya telah melakukan sejumlah pemanggilan terhadap pihak-pihak terkait seperti; pelapor, saksi dari Tabliod Nova, saksi pelapor, terlapor dan Saksi ahli (pidana, bahasa dan Pers) serta telah melakukan gelar perkara pada tanggal 31 Oktober 2014 yang dilakukan di Polda Metro Jaya oleh Penyidik Dir Reskrimum Polda Metro Jaya yang dihadiri oleh kuasa hukum terlapor, pelapor beserta kuasanya. Dalam paparannya penyidik menyampaikan beberapa hal, salah satunya keterangan dari 3 (tiga) saksi ahli; pidana, bahasa dan pers/media. Dari ketiga keterangan tersebut pada pokoknya menerangkan bahwa; pertama, unsur pidana yang paling mendasar dalam pencemaran nama baik adalah terletak pada serangan terhadap kehormatan seseorang. Kedua, dalam perspektif bahasa bahwa yang tahu tentang isi berita adalah yang bersangkutan (pelapor). Ketiga, dalam perspektif media dinyatakan bahwa hal tersebut adalah hasil olah pernyataan yang lazim dilakukan oleh Pers sehingga seharusnya siapapun yang merasa dirugikan akibat dari pemberitaan melalui media, maka bisa menggunakan hak jawabnya kepada pers yang bersangkutan dan melaporkan kepada Dewan Pers;

Anehnya ketika gelar perkara sudah dilakukan seharusnya penyidik segera membuat keputusan sebagaimana keterangan saksi ahli dan hasil penyidikan sebagaimana Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Penyidik memiliki Prinsip dalam aturan ini menggunakan prinsip-prinsip; legalitas, professional, proporsional, prosedural, transparan, akuntabel, efektif dan efisien. Selanjutnya pada pasal 76 ayat (1) perihal pengentian penyidikan dilakukan apabila salah satunya; tidak terdapat cukup bukti dan peristiwa tersbeut bukan merupakan tindak pidana. Justru yang terjadi penyidik pada Polda Metro Jaya melimpahkan kembali kasus ini dengan membuat gelar perkara pada 26 Februari 2015 yang difasilitasi oleh Biro Pengawasan dan Penyidikan (Wassidik) Polri yang dihadiri oleh; Biro Wassidik, Divisi Hukum Mabes Polri, Inspektorat Pengawasan Umum Polri, Departemen Pembelaan Profesi Advokat Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), kuasa hukum pelapor beserta pelapor dan kuasa hukum terlapor serta penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dit Reskrimum) Polda Metro Jaya yang pada pokoknya dalam gelar perkara tersebut telah merekomendasikan kepada penyidik untuk segera memutuskan hasil penyidikan secara objektif berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ahli dan hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik.

Bahwa berdasarkan informasi dari penyidik pihaknya telah merampungkan hasil penyidikan dan akan segera melimpahkan perkara ini kembali ke Biro Wassidik Polri untuk menentukan status hukum dari terlapor menurut penyidik yang akan ditersangkakan. Proses dan tahapan kasus ini yang berjalan cukup lama memunculkan tanda tanya besar, terlebih pelapor merupakan Purn. Polri berpangkat Brigadir Jenderal sehingga adanya konflik kepentingan dalam kasus ini sangat kental. Padahal dalam gelar perkara terakhir yang difasilitasi oleh Biro Wassidik telah disampaikan surat dukungan dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan yang pada pokoknya menyatakan agar penyidik mempertimbangkan untuk segera melepaskan terlapor dari segala tuntutan hukum karena pasal 310 dan 311 KUHP (pencemaran nama baik dan fitnah) rawan disalahgunakan terlebih sering diberlakukan bagi orang-orang yang sedang memperjuangkan hak korban atau kepada para Pembela HAM.

Penyidik harus mempertimbangkan Nota Kesepahaman antara Mabes Polri dan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dimana terlapor adalah seorang Advokat yang sedang memperjuangkan kepentingan kliennya (PRT yang menjadi korban penyekapan dan kekerasan). Penyidik juga harus mempertimbangkan MoU antara Mabes Polri dan Dewan Pers mengingat yang dilaporkan oleh pelapor berdasarkan kepada pemberitaan pada Tabloid Nova, dalam hal ini sudah menjadi prodak dari pers sehingga pelapor seharusnya menggunakan hak jawab terlebih dahulu atau melaporkannnya melalui Dewan Pers.

Berdasarkan hal tersebut, kami mendorong kepada pihak-pihak terkait di bawah ini, sebagai berikut ;

Penyidik pada Polda Metro Jaya agar menghentikan perkara ini dan menyerahkan sepenuhnya kepada Dewan Kehormatan PERADI dan Dewan Pers terlebih dahulu sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh Dewan pers dan Dewan Kehormatan PERADI karena kedua lembaga profesi inilah yang berwenang dalam menindaklanjuti perkara tersebut;
Komnas HAM harus mengambil peran kontributif dalam perkara ini terutama dalam memberikan perlindungan bagi para Pembela HAM yang mendapatkan ancaman kriminalisasi;
Kompolnas harus memberikan pengawasan yang maksimal dalam mendorong profesionalisme polri terutama kepada penyidik;
Pengadilan Tinggi Bandung agar memeriksa kembali fakta hukum dengan objektif, independen dan professional karena putusan PN Bogor telah mencederai rasa keadilan korban.

Jakarta, 30 April 2015

LBH Keadilan Bogor Raya, Yayasan Satu Keadilan, LBH Apik, LBH Jakarta, PBHI dan Jala PRT