Posts

Jemaat HKBP Betlehem Cilebut: Harapan Kami Cuma Satu, Bisa Beribadah dengan Damai

,

BOGOR-KITA.com, BOGOR – Pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta kepada kepala daerah dan Forkopimda agar berhati-hati terkait dengan kebebasan beribadah dan kebebasan beragama melahirkan sebuah harapan bagi jemaat HKBP Betlehem di Desa Cilebut Barat, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor yang hingga saat ini belum memiliki rumah ibadah tetap.

Jemaat HKBP Betlehem Desa Cilebut Barat beribadah dengan cara berpindah tempat. Dari satu rumah jemaat ke rumah jemaat lain setiap minggunya. Keadaan ini dirasakan warga jemaat HKBP Betlehem Cilebut sejak bulan Juli 2022 atau sejak adanya penolakan ibadah oleh warga sekitar rumah ibadah mereka di Batu Gede. Puncaknya, Jemaat HKBP Betlehem Cilebut dilarang menggelar ibadah Natal pada 24 dan 25 Desember 2022 oleh warga sekitar karena alasan ibadah dilakukan di rumah salah satu jemaat. Videonya pun viral. Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang diinstruksikan Presiden Jokowi.

“Kemudian ini mumpung juga ketemu bupati dan wali kota. Mengenai kebebasan beribadah dan kebebasan beragama. Ini hati-hati. Ini yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, dan Konghucu, hati-hati. Ini memiliki hak yang sama dalam beribadah,” ujar Jokowi pada acara Rakornas bersama Kepala Daerah dan Forkopimda se-Indonesia di Sentul International Convention Center (SICC), Selasa 17 Januari 2023.

Selain itu, Presiden Jokowi juga menyampaikan bahwa beragama dan beribadah dijamin oleh konstitusi. Dia meminta agar tiap kepala daerah memahami ini. Jokowi tak ingin konstitusi dikalahkan oleh kesepakatan.

“Ini harus ngerti. Dandim, Kapolres, Kapolda, Pangdam harus ngerti ini, Kejari-Kejati. Jangan sampai yang namanya konstitusi itu kalah oleh kesepakatan. Konstitusi tidak boleh kalah dengan kesepakatan,” tegas Jokowi.

Bagaimana realitas di masyarakat? Pada kenyataanya, instruksi Presiden Jokowi belum diterjemahkan dengan baik oleh bupati, camat, kepala desa dan Forkopimda Kabupaten Bogor.

Dalam pernyataannya kepada Bogor Kita, Penatua HKBP Betlehem Cilebut (Parmingguan), Sauth Sihombing menyatakan bahwa instruksi Presiden Jokowi tersebut merupakan sebuah dorongan dan motivasi baginya. Dia pun sangat berharap instruksi Jokowi itu bisa direalisasikan oleh bupati, camat, kepala desa, sehingga hal-hal yang berhubungan dengan kebebasan beragama menjadi sesuatu yang bisa dijalankan sehingga tidak ada pelarangan ibadah oleh warga maupun aktor negara.

“(Natal 2022) Kami tidak diperkenankan menjalankan ibadah dengan alasan bahwa rumah tidak boleh dijadikan sebagai tempat ibadah dan dalam video tersebut jelas sekali adanya anggapan bahwa ibadah tidak sah jika dilakukan di rumah, padahal ibadah itu lebih cenderung secara pribadi kita terhadap sang pencipta,” terang Sauth Sihombing.

Sauth Sihombing menerangkan bahwa kejadian di HKBP Betlehem Cilebut pada saat perayaan Natal 2022 merupakan letupan atau bom waktu yang memang sebelumnya sudah terjadi penolakan terhadap ibadah yang dilakukan di rumah yang ada di Batu Gede, Desa Cilebut Barat, Kecamatan Sukaraja diawali di bulan Juli 2022 warga membuat spanduk pelarangan ibadah.

“Di dalam spanduk tersebut, mereka mengatakan bahwa menolak keras rumah dijadikan sebagai tempat ibadah. Dan dalam hal itu, tempat ibadah yang kami tempati saat ini memang masih kami kontrak selama tiga tahun dari tahun 2021 sampai dengan September 2023 ini. Selama 2 tahun sebelumnya, kami boleh beribadah di situ tetapi semenjak bulan Juli 2022 atau semenjak adanya penolakan dan spanduk mereka tidak mengizinkan kami beribadah,” terang Sauth Sihombing.

Dikatakan Sauth Sihombing, semenjak bulan Juli 2022, pihaknya sudah beribadah dari rumah ke rumah jemaat yang menurutnya sangat tidak nyaman bagi jemaat.

“Video viral yang terjadi itu sebenarnya karena kami merasa bahwa perayaan Natal sebagai perayaan besar umat kristiani yang tentunya sangat banyak jemaah yang akan beribadah di hari Natal. Sehingga kami merasa bahwa rumah tempat tinggal jemaah yang ukurannya sangat kecil tidak mungkin menampung jumlah jemaah yang pada perayaan Natal biasanya besar,” terang dia.

Jemaat HKBP Betlehem Cilebut memiliki jemaat sebanyak 95 KK dengan jumlah 358 jiwa. Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (PBM) tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah jumlah tersebut cukup untuk mendirikan rumah ibadah. Namun perlu mendapat dukungan dari 60 orang di sekitar lokasi dan disahkan lurah atau kepala desa.

“Sehingga tempat yang 6 bulan tidak kami tempati kami mohon kepada kepala desa agar kiranya kami diperkenankan untuk melakukan perayaan ibadah Natal 25 Desember 2022 yang memang kebetulan bertepatan pada saat itu hari minggu. Surat kami tujukan kepada kepala desa tetapi jawaban yang kami terima melalui RW 07 yang ditandatangani oleh tokoh agama tokoh masyarakat RTRW termasuk kepala desa menolak keras agar kiranya tidak ada ibadah perayaan Natal di tempat yang kami kontrak saat ini sehingga terjadilah video viral yang kita sama sama lihat dan itu apa adanya,” ujar Sauth Sihombing.

Sejak kejadian video viral tersebut, Sauth Sihombing mengatakan sudah dilakukan beberapa kali pendekatan baik itu pendekatan dengan kepala desa kecamatan dan juga sudah dimediasi oleh Bakesbangpol dan FKUB.

“Tetapi, hasil akhirnya  kami tetap tidak boleh melakukan peribadatan di tempat yang kami kontrak. Sehingga terakhir kali ibadah di situ yang diizinkan adalah pada tanggal 31 Desember 2022 dan 1 Januari 2023. Setelah itu, kami tidak diperkenankan lagi beribadah di tempat tersebut dengan alasan bahwa tempat tersebut sudah ada kesepakatan. Padahal, bapak Jokowi jelas mengatakan bahwa tidak boleh hal apapun kesepakatan berhubungan dengan kebebasan beribadah dan beragama menjalankan ibadah di atas konstitusi,” terang Sauth Sihombing.

Dalam hal ini, lanjut Sauth Sihombing, sehingga sejak tanggal 8 Januari 2023 sampai dengan minggu kemarin tanggal 22 Januari 2023, peribadatan jemaat HKBP Betlehem Cilebut dilakukan dari rumah ke rumah,dari satu jemaat ke jemaat yang lain.

“Yang tentunya berada di wilayah Kecamatan Sukaraja secara khusus di Desa Cilebut Barat dan Cilebut Timur. Banyak hal yang membuat ketika ibadah dilakukan di rumah rumah sering kali terdapat beberapa kendala yang pertama adalah karena berpindah pindah sering kali jemaat yang akan beribadah itu sangat sulit menjangkau tempat tersebut. Bahkan kadang mereka kadang tidak menemukan lokasi yang mengakibatkan mereka batal menjalankan ibadah,” ujar Sauth Sihombing.

“Kedua kami sangat prihatin terhadap anak anak dan lansia yang mana mereka dalam kondisinya itu sangat sangat tidak memungkinkan mereka untuk melakukan ibadah yang berpindah pindah. Dan tentunya juga bagi pemilik rumah yang tentunya rumahnya sangat tidak mungkin jadi kami seadanya saja sesuai dengan luas rumahnya. Terkadang kami harus melakukan ibadah di dalam, di luar di garasi, supaya bisa memberikan tempat bagi jemaat yang akan beribadah,” sambung Sauth Sihombing.

Sauth Sihombing menambahkan pihaknya merasa was was karena beribadah dilakukan di rumah-rumah jemaat.

“Harapan kami cuma satu, beribadah dengan damai, dengan khusyu, sehingga kami dapat menghadap Sang Pencipta dengan suasana hati dan kenyamanan,” ujar Sauth Sihombing.

Sebagai penatua, Sauth Sihombing berharap instruksi yang sudah disampaikan oleh Jokowi bisa direalisasikan oleh baik oleh kepala daerah bupati, camat dan kepala desa.

“Tentunya harapan saya agar kiranya kami bisa difasilitasi sesuai dengan apa yang disampaikan oleh bapak Jokowi dan di dalam peraturan itu dengan jumlah kami yang 95 KK 358 jiwa agar kiranya kami difasilitasi memiliki tempat ibadah, yang mungkin dalam jangka pendek atau jangka menengahnya kami ada tempat ibadah yang bersifat menetap sementara. Dan tentunya ada proses perizinan yang diberikan oleh bupati camat kepala desa atau lurah sehingga kami bisa dengan nyaman beribadah”.

“Itu harapan kami dalam jangka pendek dan jangka menengah. Sehingga kami beribadah bisa dengan tenang tanpa harus berpindah pindah”.

Untuk jangka panjangnya, kata Sauth, Cilebut merupakan wilayah pengembangan sangat banyak sekali perumahan perumahan baru di Cilebut yang tentunya akan banyak warga baru. Dan ini kemungkinan akan menambah jumlah jemaat.

“Maka itu, saya selaku penatua sangat berharap sekali agar kiranya kami bisa difasilitasi baik itu tempat ibadah yang menetap sementara maupun tempat ibadah menetap tetap, artinya ada proses perizinan kepada kami kalau kami harus membangun gereja yang tentunya ini akan membutuhkan baik itu tempat dana dan sebagainya,” tutur Sauth Sihombing.

Sauth Sihombing berharap kepada Kepala Desa Cilebut Barat, Camat Sukaraja dan Bupati Kabupaten Bogor bisa memfasilitasi jemaat HKBP Cilebut untuk beribadah.

Sementara Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Bogor, Bambang W Tawekal menerangkan bahwa pada prinsipnya Pemerintah Kabupaten Bogor senantiasa memberikan fasilitasi warga masyarakatnya untuk beribadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing dan senantiasa menjamin kebebasan beragama dan beribadah untuk warga.

“Pelaksanaan beribadah dan pendirian tempat beribadah adalah dua hal yang berbeda. Dalam hal pendirian rumah ibadah untuk mewujudkan kenyamanan dan kerukunan umat beragama, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama/Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah,” terang Bambang W. Tawekal.

Bambang menambahkan Pemerintah Kabupaten Bogor bersama FKUB di beberapa tempat telah banyak memfasilitasi permohonan pendirian rumah ibadah. “Terakhir fasilitasi permohonan tempat ibadah di Desa Gunungsindur dan Desa Pabuaran Kecamatan Gunungsindur,” tutupnya. [] Hari

 

Artikel ini telah tayang di bogor-kita.com dengan judul Jemaat HKBP Betlehem Cilebut: Harapan Kami Cuma Satu, Bisa Beribadah dengan Damai

Forum Masyarakat Sipil Cirebon Dorong Rehabilitasi dan Reintegrasi Mantan Pelaku Kasus Terorisme

CIREBON– Dalam isu ekstremisme dan terorisme, Cirebon disebut-sebut sebagai zona merah. Ini karena sangking banyaknya teroris berasal dari Cirebon dan teroris tertangkap di wilayah Cirebon. Mereka juga terhubung dengan jaringan teroris nasional dan internasional.

Hasil kajian mutakhir yang disusun oleh Yayasan Satu Keadilan, sampai 2022 ini terdapat 60 warga Kota dan Kabupaten Cirebon yang terlibat dalam kasus terorisme dan ditangkap Densus 88. Maraknya kasus terorisme dan banyaknya warga Cirebon yang ditangkap Densus 88 menyebabkan Cirebon disebut sebagai zona merah radikalisme agama.

Sebagai kota wali, tentu saja hal ini sangat ironis. Sebab, ajaran toleransi yang sudah diwariskan sejak lama oleh Sunan Gunung Jati menjadi tereduksi oleh peristiwa intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme.

Imron Rosyadi, Bupati Kabupaten Cirebon, mengakui bahwa isu radikalisme dan ekstremisme masih menjadi persoalan dan tantangan yang harus dituntaskan. Hal ini disampaikan Bupati saat perwakilan dari Forum Organisasi Masyarakat Sipil Cirebon, Yayasan Satu Keadilan (YSK) Bogor, dan Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) melakukan audiensi pada Kamis, 12 Januari 2023 di Pendopo Bupati Jln. Kartini Cirebon.

Pada kesempatan itu, Bupati juga menyampaikan perlunya keterlibatan banyak pihak, termasuk dari elemen masyarakat sipil untuk menuntaskan ekstremisme, rehabilitasi dan reintegrasi mantan pelaku kasus terorisme.

Pada hari yang sama (12/1/23), Yayasan Satu Keadilan (YSK) juga mempertemukan sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) se-Cirebon Raya yang peduli dengan isu ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Pertemuan ini diikuti oleh 17 OMS. Di antaranya adalah Fahmina Institute, Lesbumi Cirebon, Umah Ramah, WCC Balqis, Fatayat NU Cirebon, Koalisi Perempuan Indonesia, GP Ansor Cirebon, PSGA IAIN Cirebon, Inspiration House, Pelita Perdamaian, Pemuda Muhammadiyah Cirebon, IPPNU Cirebon, Nasyiatul Aisyiah Cirebon, Forum Jabar Bergerak, GMNI, Gusdurian, Gerak Puan UGJ, dan ISIF Cirebon.

Pertemuan ini selain mendiskusikan hasil analisis situasi terkini Cirebon terkait ekstremisme dan tantangan serta peluang rehabilitasi dan reintegrasi mantan pelaku kasus terorisme, juga menyepakati pembentukan Forum Organisasi Masyarakat Sipil Cirebon untuk Rehabilitasi dan Reintegrasi.

Hadir sebagai narasumber dalam pertemuan ini adalah Marzuki Rais dari Fahmina Institute. “Upaya pencegahan ekstremisme dan radikalisme di Cirebon telah banyak dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil, namun inisiasi yang serius untuk rehabilitasi dan reintegrasi mantan pelaku kasus terorisme belum banyak dilakukan. Densus 88 dan BNPT telah melakukannya dalam pendekatan sosial ekonomi dan keamanan,” kata Marzuki Rais.

“Forum Organisasi Masyarakat Sipil Cirebon yang terbentuk hari ini dimaksudkan untuk memperkuat secara kolektif dan sinergis gerakan OMS yang secara parsial telah melakukan gerakan pada isu spesifik pada kecamatan masing-masing,” sambung Syamsul Alam Agus, Sekretaris YSK, pada pertemuan tersebut.

Forum OMS Cirebon juga sudah menyepakati deklarasi, visi, misi, dan kode perilaku yang harus ditaati oleh semua anggota Forum. Agenda utamanya selain mengadakan pertemuan rutin dengan Pemerintah Daerah, menginisiasi payung hukum rehabilitasi dan reintegrasi, juga memperkuat kapasitas Forum dalam isu rehabilitasi, reintegrasi, dan mitigasi risiko keamanan.

Agenda ini disambut baik oleh Bupati Cirebon Imron Rosyadi. “Jika perlu pertemuan di Pendopo Bupati, silakan. Pemerintah membuka diri untuk kerja sama dengan Organisasi Masyarakat Sipil. Pemerintah tidak bisa bekerja sendirian dalam menanggulangi ekstremisme, radikalisme, dan terorisme,” pungkasnya.[]

Narahubung:
1. Nurul Bahrul Ulum, HP/WA: 081111124117
2. Nafida Inarotul Huda, HP/WA: 081219965095

Kearifan Lokal Sunda Wiwitan : Menghargai Alam, Leluhur dan Syukur Tuhan YME

,

Bogor : Penganut Sunda wiwitan Bogor masih memegang tatanan tradisi budaya yang berlangsung sejak nenek moyang leluhur kesundaan.Sejumlah tradisi budaya juga menjadi salah satu ciri masyarakat kesundaan dalam penganut budaya Sunda wiwitan di Bogor.Salah satu tradisi yang masih menjadi aktivitas kehidupan sehari-hari ialah nyuguh atau sedekah bumi yang berlangsung di hampir semua penganut Sunda wiwitan termasuk di Bogor.

Salah seorang penganut Sunda wiwitan di Bogor Dewi Awang mengungkapkan tradisi nyuguh ini menjadi salah satu ritual dalam menghargai alam leluhur dan berdoa kepada Tuhan yang maha esa agar dikaruniai berkah dan anugerah dalam kehidupan.

“Bentuk rasa syukur atas nikmat yang sudah diberikan ini tercermin dalam tradisi nyuguh sedekah bumi yang berlangsung dengan adanya tata cara sederhana baik di rumah ataupun di berbagai tempat lainnya,” ungkapnya.

Dirinya menjelaskan tradisi nyuguh ini berlangsung hampir setiap minggu terutama di hari Senin dan Kamis karena sudah berlangsung sejak turun-temurun leluhur yang mengajarkan berbagai kearifan lokal untuk rasa syukur kepada alam. Isi suguhan juga menyesuaikan dengan kemampuan seseorang dalam memberikan sedekah bumi sehingga tidak ada aturan baku tentang yang harus dilakukan dalam tradisi tersebut namun yang lebih terpenting adalah doa kepada Tuhan yang maha esa kepada leluhur untuk mewujudkan rasa syukur atas alam yang indah dan lestari.

“Tradisi ini akan terus diturunkan kepada anak dan cucunya karena banyak kandungan nilai kebaikan dalam sejumlah kegiatan Sunda wiwitan seperti nyuguh sehingga harus dapat dimengerti dari generasi muda dengan tidak memaksakan secara utuh apa yang menjadi pemikiran namun secara bertahap sesuai umur dan kondisi seseorang,” paparnya.  Dalam menjalankan kegiatannya sudah wiwitan juga banyak berkolaborasi dengan berbagai yayasan dan organisasi kemasyarakatan lainnya agar menyampaikan pesan untuk tetap menjaga alam kelestarian lingkungan dengan menghargai dan menghormati leluhur.

Ketua umum Salaka Nagara Cakti Shinta Mayangsari memandang kegiatan Sunda wiwitan secara keseluruhan mengandung budaya tradisi dan adat istiadat sehingga menjadi salah satu bentuk kearifan lokal dengan nilai toleransi keberagaman yang ada di tatar Pasundan termasuk di Bogor dalam berbagai ritual termasuk suguhan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing individu baik di dalam atau di luar penghayatan tersebut. Masyarakat Sunda wiwitan memang menyadari adanya pro dan kontra di tengah masyarakat terkait berbagai kegiatan yang dilakukan sehingga mereka lebih memilih untuk tidak terlalu membuka diri terutama dalam mewujudkan atau mengimplementasikan rasa syukur mereka kepada tuhan yang maha esa dan doa kepada leluhur untuk menghargai alam sekitar, sehingga semangat bertoleransi dapat tercapai.

“Banyak penganut Sunda wiwitan yang cenderung untuk menutup diri bahkan lebih memilih untuk melakukan ritual di dalam rumah sehingga terbatas untuk lingkungan keluarga dan kelompok masyarakat karena masih banyak yang secara bersama-sama melakukan kegiatan seperti di sekitaran gunung salak halimun meski mereka tidak tinggal atau menetap di kawasan tersebut,” katanya.

Pandangan terhadap penganut Sunda wiwitan juga pendapat berbagai komentar dari masyarakat alim ulama bahkan pemerintah. Ketua MUI kota Bogor KH. TB Muhidin memandang kearifan lokal di Indonesia sudah berlangsung secara turun temurun bahkan di belahan dunia lain tidak dapat ditemui dan hanya khusus ada di nusantara.

“Dalam melakukan kearifan lokal tersebut tentunya harus tetap berpegangan terhadap ajaran agama sehingga tidak menyimpang dari apa yang menjadi tuntunan dalam menyembah dan tidak menyekutukan atau menduakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam kegiatan, namun justru tetap berpegang dan berdoa untuk mengharapkan berkah karunia kepada sang pencipta,” katanya

Dari pemerintah dari pusat hingga daerah juga memandang kearifan lokal sebagai bagian dari Hasanah keanekaragaman ajaran ageman yang berada di nusantara sudah berlangsung sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Jejak literatur ke sundaan memang sudah ada sejak kerajaan Siliwangi Pajajaran dengan adanya berbagai raja dalam tatar Pasundan yang juga mengajarkan tentang budi pekerti nilai keluhuran yang mendarah daging sebagai kearifan lokal Sunda.

Wakil gubernur Jawa barat UU Ruzanul Ulum dalam sebuah bincang pagi di RRI Bogor, Senin (24/10/2022) menjelaskan pembinaan terhadap kearifan lokal terus berlangsung sehingga ada rasa memiliki dan kecintaan terhadap apa yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di tatar Pasundan.

“Namun kecintaan terhadap budaya lokal ini jangan membawa primordialisme sehingga menganggap budaya dan tradisi dari daerah lain di Indonesia menjadi perbedaan namun harus menjadi perekat seperti yang tercantum dalam pilar bangsa Indonesia bhinneka tunggal Ika,” tandasnya.

Nilai toleransi ajaran Sunda wiwitan juga terus berkembang seiring kemajuan zaman di era teknologi modern sehingga banyak sentuhan kekinian yang menjadi implementasi dalam berkegiatan namun semua tetap berpegangan pada nilai luhur kearifan lokal dari tatar Pasundan yang sudah berlangsung sejak turun-temurun.

 

Artikel ini telah tayang di rri.co.id  dengan judul Kearifan Lokal Sunda Wiwitan : Menghargai Alam, Leluhur dan Syukur Tuhan YME

Sunda Wiwitan dalam Era Modernisasi Bertoleransi

,

Bogor, Tatar Pasundan di Jawa Barat dengan berbagai nilai luhur Keagungan Ilahi berkat alam semesta panorama keindahan relung gunung lembah dan dataran menghijau menjadikan salah satu bagian Tuhan dalam memberikan rahmat bagi semesta alam.

Masyarakat Tatar Pasundan hidup dalam berbagai sendi kehidupan multidimensi multienis dan budaya karena sudah terjadi akulturasi sejak zaman Kerajaan Siliwangi.

Penganut Sunda Wiwitan juga terus berkembang mengikuti pesatnya kemajuan teknologi dan Era digitalisasi yang menuntut mereka terus beradaptasi dengan lingkungan.

Emang saat ini penganut Sunda Wiwitan di Jawa Barat khususnya di Bogor sudah tidak terlalu banyak hanya segelintir kecil dari masyarakat yang masih Memegang teguh ageman kearifan lokal dari nenek moyang.

Keluarga Dewi Awang yang berada di kawasan Kedung Halang Bogor Utara Kota Bogor menjadi bagian kecil penganut Sunda Wiwitan yang masih mempertahankan jati diri Tatar Pasundan dengan berbagai kearifan lokal dan petuah bijak dari leluhur Tatar Pasundan.

Saat RRI menemui Dewi Awang, Sabtu (2/10/2022) tingkah laku Sunda Wiwitan memang sudah sangat terlihat dengan pakaian kebaya dan berbagai ornamen yang mencirikan masyarakat kesundaan.

Dalam kehidupannya Dewi Awang bersama keluarga sudah menganut dan menjalani nilai Sunda Wiwitan sejak dalam kandungan dengan adanya petuah bijak dari sang kakek nenek yang tetap bertahan hingga saat ini.

“Saya Dewi Awang penganut Sunda Wiwitan sejak lahir dengan keturunan kakek sebagai dalang dan nenek sebagai pemberi ajaran agama kepada anak cucunya, ageman Sunda Wiwitan akan bertahan hingga hayat,” tuturnya.

Berbagai sumber kehidupan yang terus berlangsung hingga saat ini dengan adanya kegiatan yang sudah ada sejak nenek kakeknya memberikan ajaran Sunda Wiwitan seperti suguhan kepada alam semesta dengan berbagai hasil bumi untuk menghargai Ibu Pertiwi.

Kegiatan Sunda Wiwitan juga berjalan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tingkah laku Ambu Dewi Awang dan keluarga juga berpatokan terhadap nilai luhur Tatar Pasundan dengan berbagai keramahan dan keelokan tutur kata sifat dan cara berpikir.

“Kami masih memegang tingkah laku yang sudah berlangsung dari zaman nenek moyang leluhur Sunda Wiwitan seperti nyuguh nah nyuguh ini dengan berbagai perangkat hasil bumi tergantung keperluan dan kemampuan dari seseorang namun yang terpenting adalah upaya melestarikan ageman yang sudah berlangsung berabad-abad silam,” ungkapnya.

Saat ini dirinya masih berkeyakinan bahwa ada tiga unsur yang harus dipegang dalam kehidupan mengabdi untuk Tuhan Yang Maha Esa, berbakti mengayomi kepada sesama manusia dan mencintai tanah air bumi alam semesta sebagai bagian dari kehidupan Insan di dunia.

“Kita memegang ageman mengabdi untuk Tuhan Yang Maha Esa alam semesta alam dan manusia tiga unsur dalam kehidupan yang harus Selaras untuk bisa menjadi Pengabdian sepanjang hidupku,” katanya.

Dalam ajaran penghayatan Sunda Wiwitan memang sudah ada beberapa literatur yang bersentuhan langsung dengan nilai kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi resmi meneken Peraturan Presiden Nomor 114 Tahun 2022 tentang Strategi Kebudayaan. Salah satu yang diatur adalah jaminan atas hak kelompok penghayat kepercayaan dalam urusan pemajuan kebudayaan.

Tidak hanya menegakkan hak, tapi juga memfasilitasi keterlibatan masyarakat adat, komunitas tradisi, dan penghayat kepercayaan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Salah seorang Budayawan Tatar Pasundan Dian Rahadian juga mengaku bahwa kearifan lokal dalam Sunda Wiwitan tidak bertentangan dengan Pancasila bahkan kearifan dan kebijakan yang sudah ada sejak nenek moyang leluhur juga menguatkan dari nilai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

“Pelaksanaan kehidupan sehari-hari penganut Sunda Wiwitan di Bogor sudah mencerminkan nilai Pancasila karena banyak kebajikan yang tercermin sekaligus Memegang teguh nilai NKRI dan Pancasila sebagai landasan bertingkah laku selaras dengan kearifan lokal mereka,” tandasnya.

Sementara itu salah seorang Budayawan dan Kurator Seni Budaya Sunda RM. Ramli J Sasmita (Dewo) mengungkapkan banyak literasi tentang Sunda Wiwitan yang masih bertahan hingga saat ini dan relevan untuk dijalani.

Nilai dalam bertoleransi juga ada dalam ageman Sunda Wiwitan dengan saling menghargai dan saling menghormati antar anak manusia umat beragama alam semesta sehingga kehidupan harmonis dapat tercapai.

“Pada dasarnya Sunda Wiwitan memang sudah bersinergi dengan Tuhan alam dan manusia sehingga nilai toleransi sudah berkembang sejak berabad-abad yang lalu dan hingga saat ini harus tetap dipertahankan sehingga Indonesia juga mempunyai keberagaman penganut keyakinan lokal seperti Sunda Wiwitan,”

Bahkan dirinya memberikan wejangan agar penganut Sunda Wiwitan mampu bertahan dalam era modernisasi tentunya dengan beradaptasi sesuai dengan majunya zaman sehingga tidak menutup diri dengan aktualisasi dunia luar namun dapat bersinergi dan saling menguatkan sehingga Sunda Wiwitan dapat bertahan di tengah arus informasi digitalisasi dan modernisasi.

“Penganut Sunda Wiwitan harus bisa beradaptasi dengan modernisasi dan tetap menanamkan nilai toleransi sehingga di era digitalisasi dan informasi ini mereka harus tetap eksis memegang ageman leluhur sekaligus berbaur di tengah masyarakat modern,” katanya.

Dalam hal ini Sunda Wiwitan juga menjadi bagian dari keanekaragaman Hasanah kearifan lokal budaya dan tingkah laku dari masyarakat asli Indonesia sehingga harus dapat menjadi salah satu perekat NKRI dalam mewujudkan masyarakat beradab berbudaya dan sejahtera.

Penganut Sunda Wiwitan akan terus berjalan sesuai koridor ageman yang sudah ada sejak zaman nenek moyang yang akan dipertahankan hingga akhir hayat.

Artikel ini telah tayang di rri.co.id  dengan judul Sunda Wiwitan dalam Era Modernisasi Bertoleransi.

YSK dan FKUB Jalin Kerja Sama Promosikan Keberagaman dan Toleransi di Kota Bogor

,

BOGOR, Yayasan Satu Keadilan (YSK) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bogor jalin kerja sama mempromosikan keberagaman dan toleransi di Kota Bogor.

Deklarasi kerja sama tersebut ditandai dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) oleh Ketua FKUB, Hasbullah dan Ketua YSK Sugeng Teguh Santoso di Gereja Katedral Bogor, Kecamatan Bogor Tengah pada Kamis (18/8).

Ketua FKUB Kota Bogor, Hasbullah mengatakan kerja sama ini dilakukan untuk mewujudkan Kota Bogor sebagai Kota Ramah HAM. Untuk mencapai itu ia menilai perlu membangun ruang-ruang inklusif bagi setiap warga negara dengan keragaman agama dan kepercayaan yang dianutnya.

“Perjanjian kerjasama ini juga bertujuan untuk mewujudkan sinergi dan optimalisasi agenda YSK dan FKUB Kota Bogor dalam mempromosikan keberagaman dan toleransi beragama dan berkepercayaan di Kota Bogor,” imbuhnya.

Ruang lingkup kerja sama tersebut meliputi pertukaran data dan informasi mengenai permasalahan pemenuhan HAM khususnya terkait dengan hak atas kebebasan memeluk agama dan hak untuk melakukan ibadah.

Lingkup selanjutnya yakni mengenai koordinasi untuk merumuskan bersama resolusi konfllik bagi masyarakat akibat konflik atas perbedaan pandangan terkait dengan hak kebebasan memeluk agama serta pelaksanaan Ibadahnya

“Kemudian mengenai penanganan dan penyelesaian masalah kebebasan beragama kepercayaan yang terjadi di Kota Bogor. Selanjutnya memberikan pendidikan dan penyuluhan kepada organisasi keagamaan mengenai hak asasi manusia,” tutur Hasbullah

Ruang lingkup selanjutnya yakni melakukan kampanye publik mengenai perlindungan hukum dan pemenuhan hak memeluk agama dan kepercayaan serta pelaksanaan ibadah.

Serta melakukan pengembangan kapasitas organisasi atau lembaga dalam melaksanakan mandat perlindungan dan pemenuhan hak atas kebebasan beragama dan berkepercayaan.

Setelah acara penandatangan MoU ini kemudian dilanjutkan dengan kegiatan deklarasi rumah ibadah ramah anak dan disabilitas serta diskusi lintas iman sebagai bentuk respon dalam merawat nilai-nilai toleransi dan kerukunan beragama serta ruang inklusif di Kota Bogor.

Walikota Bogor, Bima Arya mengapresiasi kerja sama antara YSK dan FKUB Kota Bogor ini, menurutnya pemerintah tidak bisa berjalan sendiri dalam mempromosikan toleransi dan keberagaman butuh dukungan dari masyarakat. “Kita harus bergandengan tangan dalam mempromosikan keberagaman dan toleransi di Kota Bogor,” tegasnya.

 

Artikel ini telah tayang di radarbogor.id dengan judul YSK dan FKUB Jalin Kerja Sama Promosikan Keberagaman dan Toleransi di Kota Bogor

Penganut Islam Syiah, Pengungsi Asal Afghanistan yang Hidup Bersama Warga Puncak

, ,

CISARUA. Genap 10 tahun, Tahir Asad tinggal di Desa Batulayang, Cisarua, Kabupaten Bogor. Kondisi konflik di negaranya, Afghanistan, membuat pria berumur 35 tahun itu terpaksa pergi dari tanah kelahirannya demi menyelamatkan diri.

Tahir tidak sendiri di kawasan Puncak itu. Dia bersama komunitas pengungsi lainnya bertahan hidup dari kiriman uang sanak keluarga maupun bantuan dari Badan PBB untuk pengungsi, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).

Statusnya sebagai pengungsi cukup berat. Apalagi dengan kepercayaannya yang merupakan Islam Syiah. Berbeda dengan mayoritas penganut agama Islam di Indonesia.

Meski begitu, seiring waktu Tahir bersama penduduk setempat saling memahami perbedaan tersebut. Tahir pun tidak jarang ikut salat berjemaah di masjid.

“Syiah dan Sunni tidak ada beda, semua sama, salat pun sama,” kata Tahir saat ditemui Radar Bogor, beberapa waktu lalu.

Dia punya pribadi yang ramah. Kemampuan bahasa Indonesianya cukup fasih untuk sekadar dipahami. Saat ditemui, ia pun tengah sibuk merenovasi rumah belajar yang dia bangun sejak 2017 lalu.

Dari ceritanya, Tahir cukup moderat. Tidak menyalahkan, juga tidak merasa paling benar dengan keyakinannya. Menurutnya, perbedaan tidak menjadi alasan untuk tidak hidup berdampingan. Selama bisa memahami satu sama lain, semua dapat hidup dengan penuh kebaikan.

“Warga sini tahu saya Syiah, tapi tidak apa-apa. Saya senang mereka mau terima. Salat di masjid, saya boleh, tapi tidak boleh di depan. Saya di belakang orang Sunni, tidak apa,” tuturnya.

Kerukunan pengungsi dengan penduduk setempat diamini Kepala Desa Batulayang, Iwan Setiawan. Ia juga membenarkan banyaknya pengungsi yang berkeyakinan Islam Syiah.

“Untuk di masjid, tidak ada larangan bagi mereka (pengungsi), selama bisa mengikuti kebiasaan dan budaya di kita, tidak juga mensiarkan kepercayaan mereka,” kata Iwan.

Selama pengungsi dapat saling menjaga kerukunan dan tidak menimbulkan konflik, ia bersama warga pun menerima keberadaan para pengungsi atas dasar Hak Asasi Manusia (HAM).

Terpisah, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor, KH Ahmad Mukri Aji menuturkan, meski Islam di Indonesia tidak menjadikan Syiah sebagai rujukan aliran, namun Ahlussunnah wal Jamaah mengajarkan hidup berjamaah, tidak terpecah dan menghindari konflik sosial.

“Dari aspek kemanusiaan, saya kira sah-sah saja membantu mereka, apalagi penduduk setempat kembali kepada ajaran Islam yang tidak mengenal konflik, tidak mengenal perbedaan pandangan,” tutur Mukri Aji.

Dia pun bersama pimpinan daerah berharap, pengungsi dapat beradaptasi dan menyesuaikan dengan Indonesia yang memiliki perbedaan adat istiadat dengan negara asalnya.

“Bukan untuk saling merendahkan, apalagi merasa paling benar dengan apa yang dia percaya. Kita ingin menjaga persatuan dan kesatuan yang sudah bagus ini,” tandasnya.(*)

 

Artikel ini telah tayang di radarbogor.id dengan judul Penganut islam syiah, Pengungsi asal Afganistan yang hidup bersama warga Puncak,